Toxic

SitiUmrotun tarafından

6.7M 1.1M 1.2M

AKBAR ADJI PANGESTU [A K B A R] Yang orang lain tahu, Akbar itu: •Kalem. •Baik hati. •Pintar. •Ramah. •... Daha Fazla

P E M B U K A
Chapter Satu
•SEBAGAI PENGINGAT•
Chapter Dua
Chapter Tiga
Chapter Empat
Chapter Lima
Chapter Enam
Chapter Tujuh
s e k i l a s i n f o
Chapter Delapan
Chapter Sembilan
Chapter Sepuluh
Chapter Sebelas
Chapter Dua Belas
Chapter Tiga Belas
Chapter Empat Belas
Chapter Lima Belas
Chapter Enam Belas
Chapter Tujuh Belas
Chapter Delapan Belas
Chapter Sembilan Belas
Chapter Dua Puluh
Chapter Dua Puluh Satu
Chapter Dua Puluh Dua
AKSA ANAK KALEM
Chapter Dua Puluh Tiga
Chapter Dua Puluh Empat
Chapter Dua Puluh Lima
Chapter Dua Puluh Enam
Chapter Dua Puluh Tujuh
Giveaway spesial ulangtahun Haechan
Chapter Dua Puluh Delapan
Chapter Dua Puluh Sembilan
Chapter Tiga Puluh
Chapter Tiga Puluh Satu
Chapter Tiga Puluh Dua
Chapter Tiga Puluh Tiga
Chapter Tiga Puluh Empat
Chapter Tiga Puluh Lima
Chapter Tiga Puluh Enam
Chapter Tiga Puluh Tujuh
Chapter Tiga Puluh Delapan
Chapter Tiga Puluh Sembilan
Chapter Empat Puluh Satu
Chapter Empat Puluh Dua
Chapter Empat Puluh Tiga
Chapter Empat Puluh Empat
Chapter Empat Puluh Lima
Chapter Empat Puluh Enam
Chapter Empat Puluh Tujuh
Chapter Empat Puluh Delapan
chapter empat puluh sembilan (baca duluan)
Kamu harus tau 🔥
Chapter Empat Puluh Sembilan
Chapter Lima Puluh
Chapter Lima Puluh Satu [selesai]
OPEN PRE-ORDER
PROMO 10.10

Chapter Empat Puluh

102K 18.4K 22K
SitiUmrotun tarafından

P E M B U K A A N

Unreal banget nggak, sih, Jeno ini. Tolong, selama ngetik Toxic, Jeno haluable 😣

Senggol dong

•Tokoh dalam cerita Toxic hanyalah imajinasi penulis, tidak ada sangkut pautnya dengan kehidupan RL visualnya•

⚠️Bijaklah dalam berkomentar⚠

***

"Lingkaran kecil, lingkaran kecil ...lingkaran besar."
Mia bersenandung lirih seraya memberi coretan di sekitar lukanya. Sesekali ia akan menusuk luka itu dengan ujung bolpoin karena terlalu gemas. Kalau diingat-ingat lagi, sudah lama ia tidak terluka.

Dari tempat duduknya, Elang terus mengamati kegiatan Mia. Ia masih tidak habis pikir dengan apa yang cewek itu lakukan pada luka di lutut dan sikunya. Alih-alih merengek kesakitan, Mia justru terlihat bahagia. Lihat saja bagaimana asyiknya Mia menggambar bentuk-bentuk lucu di sekitar darah yang belum sepenuhnya mengering itu dengan bolpoin.

"Mia! Ngeri ih, ke UKS aja kenapa, sih? Ngilu gue liatnya," protes Lia yang duduk di sebelah Mia. Cewek yang baru saja selesai berganti pakaian itu menarik tangan kanan Mia agar berhenti bertingkah. "Ayo, gue temenin ke UKS," ajaknya.

"Nggak mau. Orang ini lucu banget, merah-merah gemoy. Udah gitu nyut-nyutnya bikin candu."

"Udah nggak waras lo."

"Hehehe. Kita cuma beda kesenangan aja."

Saat hendak memprotes ucapan Mia, guru matematika masuk ke kelas. Hal itu membuatnya mengurung niat.

"Siaaaang, Bu!" jawab seisi kelas dengan kompak.

"Tugas di pertemuan sebelumnya silakan dikumpulkan."

Mendengar perintah itu, Mia langsung menghentikan kegiatannya lantas menurunkan kaki dari kursi. Cewek itu mulai sibuk mencari buku tugas dan baru hendak bangkit untuk mengumpulkan, bahunya ditahan oleh seseorang yang berdiri di sampingnya.

"Sini buku tugas lo, gue aja yang kumpulin biar sekalian. Kaki lo pasti sakit kalau buat jalan," tawar Elang dengan senyuman yang dibalas kekehan pelan oleh Mia.

"Ya elah, luka gini doang masih bisa buat jalan kali. Maraton dari Sabang sampai Merauke aja masih kuat."

Tak menerima penolakan, Elang merampas buku tugas di tangan Mia lalu membawanya ke meja guru. Begitu kembali, cowok itu tersenyum diiringi anggukan saat Mia mengucapkan terima kasih padanya.

"Ulangan minggu kemarin sudah selesai dikoreksi. Ibu heran, kalau ditanya paham atau belum, kalian jawab udah paham. Giliran ulangan ... kelas ini cuma satu yang nggak remidi."

"Gimana nggak remidi, waktu jelasin contoh soalnya gampang banget. Giliran ulangan susah, mana beda jauh lagi," gerutu Lia yang ditanggapi kekehan geli oleh Mia.

"Reandra Mia Esterina!"

Mendengar namanya disebut, Mia langsung bangkit dan maju untuk mengambil kertas ulangannya.

"Ibu bangga sekali sama perkembangan nilai kamu. Naiknya sedikit, tapi nggak pernah turun lagi. Pertahankan semangat belajarmu, kalau bisa ditingkatkan lagi. Sama satu lagi, kalau bisa pakai cara yang Ibu ajarkan."

"Siap, Bu!"

Mia tak bisa menahan senyum melihat angka 79 di sudut kanan kertas ulangannya. Bangga dengan pencapaiannya, ia pun menciumi nilai itu berkali-kali lalu didekap erat sembari dibawa ke tempat duduknya. Tidak sia-sia ia belajar bersama Akbar. Walaupun ya, ya, seperti itu.

"Kering tuh gigi nyengir mulu," ejek Lia.

"Selain Mia, silakan kerjakan soal di papan tulis untuk perbaikan nilai."

"Tenang, nanti gue bantuin yang bisa gue kerjain," ucap Mia pada Lia yang menghela napas melihat soal-soal yang tengah ditulis di papan tulis.

"Beneran loh, ya."

"Tapi nggak gratis, beliin telor gulung."

"Perhitungan banget sama temen."

"Ya gimana, ya. Gue dapet ilmunya juga nggak gratis."

Mia tidak berbohong, kan? Ia mendapat ilmu itu dari Akbar. Apapun yang menyangkut Akbar, mana ada yang gratis. Cowok itu selalu memanfaatkan dengan baik setiap ada peluang untuk menyerangnya.

"Iya, iya, telor gulung lima ribu."

Setelah mengacungkan ibu jari pada Lia, Mia mulai menyiapkan alat tulis. Ia pun ikut mengerjakan beberapa soal yang bisa ia kerjakan dan langsung dibagi pada Lia. Saat menoleh ke belakang dan melihat sahabatnya tengah kesusahan, Mia pun menyalin jawaban di kertas lain. Diremasnya kertas itu dan dilempar sengaja agar mengenai dahi Elang.
"Sama-sama, tapi nanti beliin gorengan ya," ucap Mia dengan suara lirih lalu kembali menghadap ke depan.

Untuk beberapa saat Elang hanya terdiam menatap kepala Mia yang mengangguk-angguk pelan. Kegiatan membenci Mia dengan mempertahankan senyum di wajahnya semakin sulit ia lakukan.

Sialan! Ia benci kebaikan dan ketulusan Mia yang membuatnya terombang-ambing.

***


Akbar melarangnya pulang bersama Elang, cowok itu yang akan menjemput. Sedang berkomitmen untuk mencoba berpacaran seperti orang-orang, Mia pun patuh walaupun jiwa bar-barnya memberontak ingin membuat Akbar marah.

Menunggu Akbar, Mia duduk di halte bersama beberapa cewek kelas lain.
Untung ia biasa bergaul dengan siapa saja, jadi waktu untuk menunggu Akbar tidak membosankan.

"Eh itu Akbar, kan? Gue baru pertama kali liat langsung, anjir! Lebih cakep aslinya daripada yang di foto."

Mendengar celetukan cewek di sebelahnya, Mia mengikuti arah pandang cewek itu. Benar. Cowok berstelan putih abu-abu rapi itu adalah Akbar. Ia pun mengangkat tangan, melambai dan berteriak memanggil Akbar yang tengah celingukan mencarinya. Tidak ada respons memang, tapi Mia yakin Akbar sudah tahu keberadaannya.

"Apaan, sih, Mi. Kebiasaan banget deh, nggak bisa gitu ya kalem dikit. Itu Akbar loh, beda sama cowok-cowok di sini yang emang selalu notice lo. Mana mau sama lo."

Melihat Akbar kembali masuk ke mobil, Mia ditertawai. Salah satu dari mereka mengelus pundak Mia lalu berkata dengan nada mengejek, "sabar, ya. Akbar ketinggian buat lo. Lo sama Elang aja deh, udah deket juga."

Mia mendengkus kesal. "Akbar cowok gue!"

Hening. Kemudian tawa mereka pecah. Mereka akui jika tingkat kepercayaan diri Mia mengaku Akbar sebagai kekasih patut diapresiasi. Tapi mana mungkin itu terjadi, kan? Selera seorang Akbar mungkin bukan lagi Mia yang pecicilan, berisik, dan minim prestasi. Kalaupun tidak pintar, seenggaknya kalem.

"Halu lo ketinggian," ejek cewek di sebelah Mia.

"Eh kok Akbar jalan ke arah sini, sih?"

"Ya kan mau nyamperin gue!" sewot Mia.

"Kepedean banget lo!"

"Bobanya," ucap Akbar singkat seraya mengangsurkan minuman pesanan kekasihnya.

Mia menerimanya dengan kepercayaan diri yang tinggi, apalagi saat cewek-cewek di sekitarnya terlihat syok dengan apa yang mereka saksikan. "Lama banget jemputnya," keluh Mia dengan nada yang dibuat-buat agar terdengar sedikit manja dan itu sebenarnya menjijikkan menurut Mia.

"Ke kantor mama dulu pinjem mobil, lo nggak mau dijemput pake motor."

"Oh iya, lupa. Hehehe." Mia pun mulai menikmati minumannya lalu mengembalikan itu pada Akbar. "Rasanya aneh," komentarnya.

Sebelah alis Akbar terangkat. "Aneh gimana? Gue beli di tempat biasa."

"Cobain aja sendiri, kayak ... gatau pokoknya aneh. Makanya cobain deh."

Menuruti keinginan kekasihnya, Akbar pun memasukkan sedotan bekas Mia ke dalam mulut. Saat mencobanya, tidak ada keanehan rasa seperti yang Mia katakan. "Perasaan sama aja rasanya," beritahunya.

Sedetik kemudian Mia merebut kembali boba di tangannya. Saat cewek itu kembali menikmati bobanya sembari melirik-lirik ke arah samping, saat itulah Akbar paham dengan maksud Mia.
Mau pamer ternyata.

Puas dengan ekspresi konyol cewek-cewek yang tadi meragukan ucapannya, Mia pun mencondongkan tubuh ke arah mereka. "Kena mental, kan, lo. Dibilangin ngeyel, Akbar cowok gue. Udah bucin banget, kalian liat sendiri, kan?"

"Lo make jasa pelet dukun mana, Njir?"

"Apa gunanya Tuhan ngasih gue wajah cantik ini kalau masih pake pelet? Yang bener aja lo," sewot Mia bisik-bisik.

"Sialan lo!"

"Kaki lo kenapa?"

"Hehehe." Mia memasang wajah sepolos mungkin. Kenapa sampai lupa menutupi luka di lututnya dari Akbar, sih? Kalau ketahuan Akbar pasti langsung diobati, kan, jadi cepet sembuhnya. Mia penginnya sakit lebih lama lagi. Soalnya enak.

"Diem," perintah Akbar yang kini sudah bertekuk lutut di hadapan Mia. Semenjak tahu Mia sering terluka, Akbar memang selalu menyimpan kotak P3K di dalam ransel sekolahnya. Dengan cekatan cowok itu mulai memberikan penanganan pada lutut kekasihnya. Sekalipun Mia terus protes dan mengatakan banyak omong kosong, Akbar menulikan pendengaran.

"Pulang sekarang, ya?" ajak Akbar dengan suara lirih begitu selesai mengurus lutut Mia. Usai merebut ransel cewek itu, ia pun melangkah mendahului.
Saat itulah Mia tahu jika suasana hati Akbar memburuk.

"Gaes, duluan ya! Ngambek kayaknya tuh bocah," pamit Mia lalu buru-buru mengejar Akbar.

Akbar memang sengaja berhenti melangkah untuk menunggu Mia lalu bisa menyeberang bersama. Begitu Mia berdiri di sisi kirinya, ia langsung menggenggam erat tangan cewek itu.

Lantaran tingginya kalah belasan senti dari Akbar, Mia pun mendongak. "Ngambek, ya?"

"Pikir sendiri. Gue capek-capek ngusahain biar lo nggak kenapa-kenapa, tapi lo sendiri ...udahlah dijelasin pun lo nggak nyampe ke situ. Mending langsung pulang. Jajannya ntar malem kalau udah mood."

Akbar tidak membukakan pintu untuk Mia dan Mia memang tidak mengharapkan itu di saat seperti ini.

"Tadi olahraga, gue main basket sama cowok-cowok. Pas gue mau ambil minum tiba-tiba punggung gue kena bola terus jatuh. Maaf, gue masih belum bisa kayak orang normal. Gue masih suka kesakitan makanya gue biarin aja lukanya," jelas Mia tanpa menunggu dituntut oleh Akbar yang terus menatapnya tanpa bersuara.

"Jangan diem aja dong, Bar," bujuk Mia.

"Gue lagi maki-maki lo di dalam hati. Udah terlanjur janji makanya nggak bisa maki-maki langsung."

Tawa Mia mengudara. Ia pun memberanikan diri untuk mengelus rahang Akbar yang mengeras. "Jangan khawatir, gue nggak papa. Gue juga bakal belajar buat bertingkah normal, tapi pelan-pelan. Gue nggak bisa berubah dalam sekejap."

Akbar mengambil napas dalam-dalam lalu dikeluarkan perlahan sebelum akhirnya tersenyum karena sudut-sudut bibirnya ditekan oleh jari lentik Mia.

"Mau langsung pulang?"

"Iya. Capek banget pengin tidur."

"Ok. Gue juga pengin tidur bareng."

Mia menatap galak ke arah Akbar. Pengin nyakar leher cowok itu tapi teringat janji-janji semalam. "Tidur sendiri-sendiri!" tukasnya saat mobil mulai melaju.

"Nggak denger," ucap Akbar santai.

Kesal dengan Akbar, Mia pun menggigit lengan atas cowok itu. Puas melakukannya, Mia menyandarkan punggung lalu menghela napas beberapa kali. Sesekali ia melirik Akbar yang fokus menyetir.

"Tau nggak, temen-temen gue nggak ada yang percaya kalau lo cowok gue. Lo sih, sering pencitraan jadi taunya mereka lo itu baik makanya nggak mungkin mau sama gue. Padahal aslinya," cibir Mia membuka topik pembicaraan. Mana betah Mia diam-diam saja.

"Kenyataannya gue cuma mau sama lo, kan? Begitu juga sebaliknya."

Mia memukul lengan Akbar. "Gue juga kepaksa kali sama lo. Orang lo mau lempar guci kalau gue nggak mau sama lo, ya gue takut lah. Padahal gue mau memaksakan diri buat Aksa. Eh malah dipaksa lo."

"Cuma mau ngasih tau, Aksa udah punya istri. Jangan banyak berharap deh lo. Selera Aksa juga bukan cewek nggak jelas kayak lo. Aksa sukanya cewek kalem nggak banyak tingkah. Mending lo sama gue aja. Gue juga punya banyak warisan, cuma nggak dipamerin aja. Nggak usah khawatir jadi gembel. Kalaupun jadi gembel, gue bakal pastiin kita gembel bahagia modal cinta."

Mia tertawa lepas dengan omong kosong cowok di sebelahnya. Ada kemajuan juga. Akbar mulai bisa melawak, walaupun garing. Setelah itu, Akbar lebih banyak diam. Ia lah yang terus mengoceh dari hal-hal yang penting sampai hal yang tidak jelas. Anehnya Akbar tidak ada bosan-bosannya mendengar ocehannya. Hingga tidak terasa, mobil yang Akbar kendarai sudah sampai di halaman rumah cowok itu.

"Oh iya lupa nggak pamer ini. Dapet nilai tertinggi nih boss. Haram hukumnya kalau lo ngata-ngatain gue goblok," pungkas Mia dengan bangga lalu mengangsurkan kertas ulangan matematika pada Akbar.

Akbar menyeringai lalu merogoh saku celana. Ia pun mengeluarkan kertas yang sedari tadi membuatnya tidak sabar bertemu Mia. "Nilai seratus yang lo minta," katanya lalu memberikan kertas itu pada Mia.

Mia gelagapan sendiri melihat angka 100 di kertas yang saat ini ia pegang. Otaknya mulai dipaksa untuk mencari alasan.

"Kasih hadiahnya sekarang. Gue udah penasaran banget sama rasa liptin lo yang sekarang. Kayaknya belum gue cobain."

***


Zanna menggeleng sekali lagi saat Elang menawarkan sesuatu padanya. Kepalanya menunduk takut saat mendengar helaan napas cowok di hadapannya. Sesuatu yang buruk akan terjadi, Zanna ingin menangis sekarang. Keberadaan Elang terlalu menakutkan.

Elang tersenyum lalu mengembalikan es krim yang baru saja ia tawarkan ke Nana-nya. Cowok itu tersenyum lalu mengelus kepala belakang Zanna disertai tekanan cukup kuat.

"Aku pengin nyenengin Nana, pengin ngasih sesuatu ke Nana. Tapi Nana nolak terus, Nana maunya apa hm?" bisik Elang dengan kesabaran yang mulai menipis.

Zanna kembali menggeleng. Memang tidak ada yang ia inginkan dari cowok di sampingnya itu. "Aku mau pulang, Kak. Nanti papa khawatir."

"Pulang? Nana tuli? Aku mau nyenengin Nana dulu, mau kasih apapun buat Nana. Nana nggak bisu, kan? Sekarang, bilang apa yang Nana mau."

Cengkeraman Zanna pada jaket Elang yang melekat di tubuhnya semakin erat. Ia semakin ketakutan sekaligus terancam.

"Nana mau seblak nggak? Biasanya cewek suka seblak," tawar Elang kembali melunak.

Zanna menggeleng. Ia ingin berteriak dan mengatakan tidak menginginkan apapun, tapi terlalu takut.

"Kalau telor gulung gimana? Sama boba deh. Sosis bakar? Bakso? Atau---" Elang tersadar sesuatu. Apa yang baru saja disebut merujuk pada seseorang yang sering meminta itu padanya.
Mia.

Menyugar rambutnya ke belakang, Elang mengambil napas dalam-dalam lalu menatap Zanna. "Nana mau pulang?"

Zanna mengangguk lemah.

"Sebut atau ambil apapun yang Nana pengin beli di sini, baru pulang."

Ragu-ragu Zanna membuka lemari pendingin minuman dan mengambil sebotol air mineral. Ia ingin semua cepat selesai, maka dari itu ia harus menuruti kemauan cowok di hadapannya. "Ini," katanya.

"Cuma ini? Jajanan banyak loh, yakin cuma ini?"

"Iya."

"Iya sudah kalau Nana maunya itu. Aku beliin ini, ya. Nana harus bilang apa?"

"Terima kasih, Kak Elang."

Senyum Elang terbit. "Anak pintar," pujinya lalu mengusap puncak kepala Zanna sebelum mengajak cewek itu ke kasir. Suasana hati Elang sudah mulai membaik dan cengkeramannya di pergelangan tangan Zanna pun mulai mengendur.

Saat menunggu kembalian, ponsel Zanna berdering. Elang dengan sigap merebut benda pipih itu dari pemiliknya. "WhatsApp dari Kak Akbar hmm menarik," gumamnya.

Tubuh Zanna menegang hebat. Belum sempat melakukan apapun, ia sudah diseret paksa keluar dari minimarket.

Sembari menyeret Zanna, Elang terus menggulir layar ponsel Zanna untuk membaca pesan-pesan terdahulu yang Akbar kirim. "Oh jadi Nana udah dianggap adek sama Akbar."

"Kak, balikin," pinta Zanna.

"Nanti, masih kepo."

Zanna meringis kesakitan saat cengkeraman Elang semakin kuat saat ia berusaha untuk merebut ponselnya. Itu artinya cowok itu memintanya untuk diam.

"Tunggu, ini maksudnya ....kucing Mia pernah nyakitin Nana? Ya Tuhan!" Elang bereaksi dramatis saat membaca permintaan maaf Akbar mewakili Mia atas insiden kucing.

"Eng-nggak Kak, bukan kucing Kak Mia. Itu---"

Elang tersenyum penuh arti seraya mengusap pipi Zanna. "Nana tenang aja, semua yang nyakitin Nana bakal dapat balasannya. Nana tunggu kabar bahagianya besok pagi, ya."

Zanna menggeleng panik.

"Kucingnya bakalan aku bunuh," bisik Elang lalu tertawa puas.

***

TBC

Spam komen di sini, kalau rame banget update cepet 👌🏻

Tolong ini kenapa gemooy banget 🙈

Ini Jeno-Yeji bukan sih? 🙈😂

P E N U T U P A N

Okumaya devam et

Bunları da Beğeneceksin

6.5M 996K 70
Rank #1 teenficiton 3/9/21 Rank #2 Fiction 3/8/21 Rank #1 Fiction 4/8/21 "Lo...gay?" Tanya Abbie memberanikan diri, bukannya menjawab Khages malah me...
876K 63.4K 35
Aneta Almeera. Seorang penulis novel legendaris yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwany...
9.5M 707K 31
"Kudanil, Tuhan nggak sayang Angel, ya?" "Kok ngomongnya gitu?" "Buktinya papanya Angel diambil. Angel, kan, jadi sedih." "Nggak gitu, Ngel. Semua...
3.6M 432K 41
[COMPLETED] [JUDUL SEBELUMNYA : Hey, Shawty] Pembicaraan tentang Andreas selalu datang dan pergi, tapi keberadaannya masih menjadi misteri. Katanya...