Pandora's Dating Agency: Yoon...

By ZeeDooRi

60.8K 3K 3.8K

⚠️ 21+ 🔞🌚 Underage jangan baca ⚠️ LeeHana adalah perempuan dengan impian yang sederhana, membawa keluargany... More

Prolog
Note (Wajib baca)
1. Dora I
2. Dora II
3. Yoongi 0
4. Yoongi I
5. Yoongi II
6. Yoongi III
7. Yoongi IV
8. Yoongi V
9. Yoongi VI
10. Yoongi VII
11. Yoongi VIII
12. Yoongi IX
13. Yoongi X
14. Yoongi XI
15. yoongi XII
16. Yoongi XIII
17. Yoongi XIV
18. Yoongi XV
19. Yoongi XVI
20. Yoongi XVII
21. Yoongi XVIII
22. Yoongi XVIX
23. Yoongi XX
24. Yoongi XXI
25. yoongi XXII
26. Yoongi XXIII
27. Yoongi XXIV
29. Yoongi XXVI
30. Yoongi XXVII
31. Yoongi XXVIII
32. Yoongi XXIX
33. Yoongi XXX
34. Yoongi XXXI
35. Yoongi XXXII
36. Yoongi XXXIII
37. Yoongi XXXIV
38. Yoongi XXXV
39. Yoongi XXXVI
40. Yoongi XXXVII
41. Yoongi XXXVIII
42. Yoongi XXXIX
43. Yoongi XXXX
44. Yoongi XXXXI
45. Yoongi XXXXII
46. Yoongi XXXXIII
47. Yoongi XXXXIV
48. Yoongi XXXXV
49. Yoongi XXXXVI
50. Yoongi XXXXVII
51. yoongi XXXXVIII
52. Yoongi - XXXXIX
53. yoongi - XXXXX
54. yoongi XXXXXI
55. Yoongi - XXXXXII
56. Yoongi XXXXXIII
57. Yoongi XXXXXIV
58. Yoongi XXXXXV
59. Yoongi XXXXXVI
60. Yoongi XXXXXVII
61. Yoongi XXXXXVIII
62. Yoongi XXXXXIX
63. Yoongi XXXXXX
64. Yoongi XXXXXXI
65. Yoongi XXXXXXII
66. Yoongi XXXXXXIII
67. Yoongi XXXXXXIV
68.Yoongi XXXXXXV
69. Yoongi XXXXXXVI
70. Yoongi - XXXXXXVII
71. Yoongi XXXXXXVIII
72. Yoongi XXXXXXIX
73. Yoongi XXXXXXX
Seoho: Epilogue
Baca Juga
Vote Member

28. Yoongi XXV

691 39 33
By ZeeDooRi

"Hai." Wajah bulat berbibir tipis itu memenuhi pandanganku saat aku membuka mata.

"Yoongi oppa." Aku mengucek mataku. Tubuhku terasa lemah dan pegal.

Jemari Yoongi pelan-pelan menyingkirkan rambutku dari dahiku. "Putri tidur." Ia tersenyum. "Sudah enakan?"

"Berapa lama aku tertidur?"

"Tidak lama, hanya sekitar 3 jam kurasa."

Aku meremas kepalaku. Rasanya sakit sekali, bagaikan ada palu yang memukul-mukul tengkorakku.

"Apa aku melakukan hal yang aneh, Yoongi Oppa?"

"Apa yang terakhir kau ingat?"

"Ngh...waktu...Seoho pergi..." Rasa sakit di kepalaku kembali menyerang. Aku mengernyit sambil menekankan bantalan tanganku ke dahiku.

Senyum Yoongi menghilang. Ia memilin-milin rambutku. "Iya, kau melakukan hal-hal yang aneh."

"Untungnya kau bersamaku." Ia berjalan ke pantry di kamar hotel yang akhirnya kukenali sebagai kamar hotel tempat kami menginap setelah ia menyiksa Sutradara Lee. "Tadi kau kuberi obat penenangku. Harusnya tidak boleh. Tapi obatnya dari dokter, dan kau hanya kuberi setengah dosis."

Aku merosot turun ke lantai, duduk berselonjor diantara 2 tempat tidur.

Aneh. Segalanya sangat aneh.

Aku memandangi tanganku yang terbebat perban. Sekilas aku teringat betapa paniknya Yoongi melihat tanganku berdarah karena cakaran Seoho.

Pria yang santai saja menembak manusia lain, panik karena luka lecet kecil?

Lalu kenapa ia pulang lebih cepat daripada jadwal yang sudah ditentukannya sendiri? Yoongi tidak pernah seperti itu sebelumnya. Ia tipe yang sangat disiplin dengan jadwalnya.

Lalu kamar hotel ini, buat pertama kalinya selama kami bersama ia menyewa kamar dengan twin single bed.

Apakah ada yang terjadi selama ia di Amerika?

Entah kenapa aku jadi berpikir perlu membawanya ke shaman. Mungkin ia terkena guna-guna atau dihantui roh halus?

Aku terkikik sendiri atas pikiranku. Mungkin daripada ke shaman, aku malah sebaiknya memberi sesaji buat makhluk halus yang sudah membuat Yoongi jadi baik begini.

"Memikirkan apa sampai tertawa sendiri?" Tangan Yoongi tiba-tiba di depan wajahku memegang sekaleng jus buah. "Kau baru minum obat penenang, tidak boleh minum alkohol."

Ia turut duduk di lantai, bersandar ke tempat tidur. Kami berhadapan. Kaki kami menjulur bersebelahan.

Ia mengeluarkan ponselnya, mendekatkannya ke telinganya. "Hyungjoon, aku ada keperluan penting hari ini. Batalkan semua jadwalku. Pindahkan ke besok setelah jam 2 siang. Aku tidak apa-apa kerja sampai malam."

"Oke. Terima kasih." Ia mematikan ponsel itu, lalu memandangku.

Kami sama-sama tidak berkata apa-apa. Akhirnya kami sama-sama memalingkan wajah dari satu sama lain. Membuka kaleng minuman kami, lalu menyesapnya dalam diam.

"Kau dan dia tidak pernah menginap disini kan?"

Aku menggeleng.

"Hotel ini memberi kenangan buruk buatmu ya?"

Dahiku berkerut. "Kenangan buruk...apakah?"

"Di hotel ini aku pertama jujur padamu kalau aku tahu hubunganmu dengan Seoho, kan."

"Ah..." Aku meneguk minumanku. "Kata-katamu waktu itu yang sedikit menyakitkan."

"Kalau tidur denganmu ada harganya?" Yoongi meringis

Aku mengangguk.

"Karena itu kau tidak mau berpacaran dengan Seoho?"

"Aku tidak akan berpacaran dengan siapapun."

"Kenapa?"

Aku menatapnya sejenak sebelum kembali mengalihkan tatapan ke lantai. "Setelah semua yang kulakukan, tidak akan ada orang tua yang akan merestui aku menikah dengan anak laki-laki mereka. Pacaran hanya membuang waktu."

"Kalau begitu menikah denganku saja."

"Apa?" Aku tertawa terpingkal-pingkal. "Kau tidak dengarkan aku? Ayahku yang miskin luar biasa saja tidak akan merestui kalau adikku mau menikahi perempuan yang melakukan apa yang kulakukan. Apalagi keluargamu."

Yoongi terkekeh. Memutar-mutar kaleng birnya. "Hahaha. Kau benar. Tapi aku bukan anak tertua, dan bukan pewaris utama. Kalau mau, aku bisa menikahi siapapun. Tidak seperti Namjoon atau Seokjin hyung."

"Kalau orang tuamu tidak setuju, kau tidak akan dengarkan?"

Yoongi tertawa kencang dengan nada mengejek, mendongak ke langit-langit. "Orang tua? Coba katakan padaku kenapa kau begitu sayang pada ayahmu? Apa yang sudah ia berikan padamu sampai kau rela melakukan apapun yang kau lakukan sekarang ini buatnya?"

"Ayahku membesarkan aku dan kedua adikku sendirian. Ia hanya petani, tapi ayah bekerja dari matahari terbit sampai jauh malam merawat kebun dan hewan ternak kami agar kami bisa sekolah."

"Dimana ibumu?"

"Aku tidak punya ibu. Ia tidak pernah peduli padaku. Ia meninggalkan kami semua begitu saja saat adikku lahir." Mataku mengernyit dengan kemarahan yang sulit kutahan. "Hari ini ia melahirkan, besok paginya ia menghilang dari rumah sakit. Tidak satu katapun kami dengar darinya setelah itu."

"Itulah orangtuaku." Yoongi menyahut lirih. "Ada, tapi tiada. Aku tidak ingat kapan aku terakhir bicara pada mereka. Ibuku hanya mempedulikan kami saat ia membutuhkan kami buat dipamerkan ke teman-teman sosialitanya. Ayahku, hm, sebelum dia sakit dan bedridden, untuk bertemu dia saja kami harus membuat janji dengan sekretarisnya."

"Tidak ada cinta di rumahku. Hanya uang. Kami dibesarkan sebagai pewaris, bukan anak. Meeting pemegang saham pertamaku adalah waktu aku 15 tahun. Saat SMA aku sudah terlibat dalam manajemen audisi, trainee dan administrasi."

"Tapi kau menyukainya kan Oppa? Kau cocok jadi direktur utama." Aku mencoba menghiburnya.

"Menyukainya?" Ia cemberut. "Cita-citaku ingin jadi musisi. Aku ingin menulis lagu dan memproduksinya. Aku menang lomba rap waktu aku masih SD. Tapi apa yang dilakukan ayahku? Dia bangun perusahaan sialan itu, dia taruh namaku di daftar petinggi bahkan pada saat aku belum bisa minum alkohol."

"Dia kutuk aku dengan tugas mengurusi kalian para penyanyi seumur hidupku. Memperhatikan kalian melakukan apa yang ingin kulakukan..." Kalimatnya terputus. Ia meremas rambutnya dengan kesal.

"Tapi kau masih bisa menulis lagu dan menyanyikannya kan, oppa?"

"Hahaha. Terus menjadikan diriku sendiri bahan tertawaan publik? Direktur utama perusahaan entertainment terbesar di Korea yang menulis lagu yang jelek?" Ia menatap langit-langit dengan nanar. "Aku...takut..."

Aku menyentuh tangannya. "Tulislah lagu buatmu sendiri. Aku bisa menyanyikannya juga, biarpun kau bilang suaraku jelek. Tidak ada yang perlu tahu."

Yoongi menatapku lembut. Membalas meremas jemariku. "Hana, apa yang sebenarnya kau lakukan? Kenapa kau berubah? Kau tidur dengan banyak sekali orang seakan kau tidak yakin perusahaan akan bisa memberimu proyek yang cukup."

Aku terdiam. Menghela napas panjang. "Aku takut. Sama sepertimu."

"Takut apa? Aku sudah janjikan kau tidak akan hidup kesusahan lagi setelah masuk ke KYNG."

Aku mencoba tersenyum. Leherku terasa tercekat. "Aku takut tidak punya uang, oppa. Kau tidak pernah di posisiku. Kau tidak tahu rasanya mengirim semua uangmu supaya adikmu bisa sekolah, sementara kau sendiri makan satu bungkus mie instan untuk sehari."

"Kau tidak tahu rasanya mengetahui ayahmu merasa sakit selama bertahun-tahun tapi tidak mampu membiayainya untuk berobat." Air mata mulai mengalir di pipiku. "Dan bagaimana setelah bertahun-tahun berusaha, pada akhirnya aku terpaksa menjual tubuhku juga pada saat ayahku hampir mati."

Yoongi mengatupkan bibirnya menjadi segaris tipis. Kurasa ia menyesal telah menanyakan hal ini kepadaku.

"Bersamamu, akan bertahan berapa lama, oppa? Joy pun hanya bertahan selama 3 tahun. Artinya apabila aku sememuaskan Joy, waktuku hanya tinggal 1,5 tahun sebelum kau bosan dan meninggalkanku." Aku menatapnya tajam. "Atau haruskah aku menjadi laki-laki? Kudengar dari Seokjin Oppa ada seorang laki-laki yang sangat kau sayang. Lebih dari aku dan Joy."

Yoongi tersentak terkejut. Wajahnya langsung memucat.

"Aku tidak berminat menanyakan dia siapa. Kau menyembunyikannya dengan sangat rapat, tidak ada yang tau, kutanyapun kau tidak akan jujur." Aku mengetuk-ngetuk kaleng minumanku ke lantai. "Suatu saat aku akan tahu sendiri."

"Dia beda." Yoongi menyergah. "Juga Joy. Mereka beda dengan kau."

"Beda dimananya?"

"Kau membuatku tenang." Yoongi menggenggam tanganku. "Aku merasa senang dan damai saat bersamamu. Seakan semua masalahku menghilang."

Aku menarik tanganku dari genggamannya. "Tapi, aku merasa jadi gampang marah apabila bersamamu."

"Akupun bisa rasakan itu. Apa kau pikir kita saling mempengaruhi?"

Aku mencubit hidungnya. "Mungkin wajahmu menyebalkan jadi aku mudah emosi."

"Ih, apa sih?" Yoongi mengibas-ngibas.

Aku tertawa.

"Kau cantik kalau tertawa."

"Aku selalu cantik, Oppa."

"Kata siapa?"

"Kata Seoho."

"Sialan."

Aku tertawa lagi.

"Hana" yoongi memandangku dengan lembut.

"Ya, oppa?"

"Tetap bersamaku ya?"

Aku tertegun. Benarkah yang kudengar?

Saat itu ponselku berbunyi. Aku meraihnya, terkejut melihat notifikasinya. Seoho?

Cepat-cepat aku membuka pesan darinya.

Aku menunggu beberapa lama. Alih-alih terkirim, tanda silang merah muncul.

Aku menghela napas mematikan ponsel itu.

"Seoho?" Yoongi bertanya.

Aku mengangguk. "Aku diblokirnya."

"Buat apa dia mengontakmu? Kukira dia yang bilang supaya kau tidak mengontaknya. Dasar plin-plan." Yoongi mencemooh.

"Cuma minta maaf karena memakiku."

"Dia tadi agak kelewatan."

"Nggak apa-apa. Aku layak dikatai begitu." Aku berpindah duduk ke sebelah Yoongi. Bahu kami saling menempel. "Bisa dibilang aku menipunya. Aku terus menolaknya dengan alasan dia punya dating ban."

"Apa yang akan kau lakukan saat dating bannya berakhir?"

"Tidak ada yang berubah. Friends with benefits."

Yoongi tertawa. "Oke. Masuk akal. Kau layak dimaki." Ia meneguk birnya beberapa kali.

"Tapi Seoho juga memang selalu agak dramatis." Aku tersenyum geli.

"Nah, itu juga benar." Yoongi terkikik kecil. "Apa dia tipemu? Yang manis dan bertingkah seperti anak kecil begitu?"

"Entahlah." Aku meringis. "Memang kenapa kalau dia tipeku?"

"Aku, benar-benar kebalikan dia."

"Aaa..." Aku mengangguk-angguk, akhirnya paham maksudnya. "Jadi maksudnya oppa tidak punya kesempatan denganku?" Aku tertawa. Mendorong bahunya bercanda.

Yoongi ikut tertawa. Entah kenapa, wajahnya terlihat malu.

"Aku baru berpikir, kalau sudah ada seseorang yang membuatku merasa nyaman, kenapa aku harus mencari lagi?" Yoongi menarik bahuku, memaksaku menatap wajahnya langsung. "Persetan dengan status. Pacar. Sugar baby. Friends with benefits. Yang penting, tetaplah di sampingku Hana."

"Akan kuberikan semua yang kau minta. Uang. Perhatian. Pekerjaan." Ia mulai terdengar terengah karena bersemangat. "Jangan tidur dengan siapapun lagi, hanya denganku. Jangan buka bajumu depan kamera, hanya di depanku." Genggaman tangannya mengencang. "Aku juga hanya akan bersamamu. Hanya melihatmu. Hanya menyentuhmu."

Aku menatapnya dengan pandangan iba. Pernyataan perasaan Yoongi begitu indah.

Aku pernah menunggu-nunggu kata-kata ini keluar dari bibirnya. Saat-saat dimana perasaanku hanya hancur dan hancur lagi, karena ia memperlakukanku tidak lebih daripada barang yang bisa bergerak dan bernapas.

Kini, yang aku tunggu akhirnya terucapkan. Tapi, entah kenapa hatiku terasa kosong menerimanya.

"Hana. Ini pertama kalinya aku bicara seperti ini seumur hidupku." Yoongi mengecup jemariku. "Tetaplah bersamaku. Jangan pergi dariku. Aku butuh dirimu."

"Yoongi Oppa..."

"Ya?"

"Maaf aku tidak bisa beri jawaban sekarang." Aku mengusap mata dan memijat dahiku. "Aku...tidak bisa berpikir."

Yoongi berdiri. Menarik tanganku mengajakku ikut berdiri. "Tidak apa-apa. Take your time." Ia tersenyum lebar saat mengajakku ke balkon. Ternyata hari sudah menjelang matahari terbenam. Semburat cahaya kemerahan dari langit, menghujani kamar membuat kami bagaikan tenggelam dalam lautan berwarna jingga.

"Sini, aku ceritakan tentang bisnis keluargaku." Yoongi menarikku ke balkon. Memeluk bahuku lalu mulai menunjuk-nunjuk ke pemandangan pertanian dan peternakan luas di kejauhan. Ceritanya begitu bersemangat, dan senyum tidak pernah hilang dari wajahnya.

Aku meliriknya. Haruskah aku memberi kesempatan? Bisakah aku mempercayainya?

Aku balas memeluk pinggangnya dan menyandarkan kepalaku di bahunya. Yoongi sontak berhenti berbicara, memandangku dengan terkejut.

Perlahan senyumnya kembali merekah. Jemarinya menelisik rambutku. Lalu, ceritanya kembali dimulai.

- - - 🔹🏺🔹- - -

Perempuan itu merapikan rambut panjangnya yang dibleach pirang platinum. Dirapikannya pakaiannya yang minim, lalu disekanya keringat di dahinya dengan punggung tangannya.

Ia mematikan dua ring light yang ada di hadapannya. Lalu berjalan dari meja kerjanya sambil memijat pipinya yang pegal karena terus tersenyum selama live stream.

Apartemen mungil itu tampak suram, bahkan terkesan berantakan dengan rak-rak plastik dan kardus bertumpuk dimana-mana.

Perempuan itu memakai jaket tebalnya lalu mengelus-elus bahunya. Malam ini. begitu dingin, tapi ia tidak menyalakan heater untuk menghemat uang listriknya.

Ia menghapus make-upnya di meja makan sebelum membuka kemasan take-away yang sudah dingin. Disendoknya nasi gorengnya dengan tidak bersemangat.

Teleponnya berbunyi, sebuah panggilan video call. Dinyalakannya speakernya agar ia bisa bertelepon sambil makan.

"Hai!" Seorang perempuan berambut pendek muncul di layar. "Aku baru nonton live mu."

"Terima kasih." Si perempuan berambut sepinggang menyahut dengan acuh.

"Kau dapat banyak balon."

"Lumayan." Ia menengok ke belakang, menatap lampu-lampu di apartemennya yang dimatikan. Apapun untuk menghemat pengeluarannya. "Tapi masih kurang buat menutup pengeluaranku."

"Companymu bagaimana? Mereka tidak kasih kau pekerjaan?"

Si rambut panjang menghela napas panjang. "Tidak ada pekerjaan, tidak ada proyek, tidak ada casting. Buat live stream ini aku beli baju sendiri, makeup sendiri. Tapi mereka ambil 70% dari pendapatanku."

Ia menyingkirkan poni panjangnya dari depan wajahnya. "Paling tidak apartemen ini masih mereka bayarkan sewanya. Kalau tidak aku harus tidur di jalan. Kau lihat sendiri kan kondisiku. Tolonglah aku. Sebagai teman lama."

"Hhh...Aku ada perasaan buruk mengenai ini."

"Perasaan buruk apa? Aku tidak akan melakukan hal yang aneh-aneh." Nada suaranya menaik karena ia sedikit panik. "Sudah kubilang, bosmu itu teman lamaku. Tapi aku tidak punya nomer terbarunya. Kau cuma perlu beri aku nomernya. Itu saja."

"Benar ya. Pegang kata-katamu."

Si rambut panjang tertawa. Mengangkat tangannya seakan membuat sumpah. "Janji."

"Oke. Kuchat nomernya sekarang." Wajah di layar ponselnya itu masih tanpa senyum, dengan dahi sedikit berkerut. "Haaah...ini masih tidak terasa benar. Pokoknya aku pegang kata-katamu."

"Aku janji. Terima kasih banyak."

"Oke. Aku harus pergi. Bye." Si rambut pendek mematikan video call nya.

Tidak lama, sebuah pesan berisi sebuah nomer telepon masuk. Perempuan pirang itu kegirangan, sampai tersedak makanannya.

Setelah batuknya mereda, ia mengecek jam. Ah, belum terlalu malam, pikirnya. Cepat-cepat ia mensave nomer itu, lalu menchatnya. Chat yang sudah bertahun-tahun tidak bisa tersampaikan.

Ia menatap ponselnya dengan penuh harap. Angka di belakang pesannya berubah.

Ia terpekik kegirangan. Tidak apa-apa tidak ada jawaban. Yang penting ia tahu itu nomer yang benar.

Mungkin orang itu hanya butuh waktu mengingat betapa lamanya mereka tidak bersua. Ia hanya perlu mengontaknya lagi sesekali. Ia yakin cepat atau lambat, jawaban akan ia dapatkan.

- - - 💠💠💠 - - -

Next update: Sabtu.

Setelah ribut-ribut, chapter ini tenang dulu ya, turunin emosi.

Yang ditunggu-tunggu akhirnya keluar juga. Siapakah dia?

Semoga suka sama chapternya. Jangan lupa vote dan komen.

💜 Thank you for reading 💜

- - - 💠💠💠 - - -

AU ini terinspirasi dari edit oleh filtermyg (Twitter)

Continue Reading

You'll Also Like

1.7K 175 23
[ #The Winner WWC2020 ] Bagi kim Hye Jung bertemu park jimin adalah sebuah takdir. Si malaikat penyuka vanilla, dan pemilik mata biru safir itu sanga...
38.2K 1.6K 62
Buku Tahunan Mahasiswa Kidols versi lokal. Semua foto, tempat tanggal lahir disesuaikan dengan versi lokal. Karna ini mahasiswa jadi bajunya bebas ga...
1.8M 15.9K 24
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) Hati-hati dalam memilih bacaan. follow akun ini biar lebih nyaman baca nya. •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan sa...
13.4K 1.6K 25
Selesai, 16 Februari 2023 -Min Yoongi- "Berhenti membuat otak ku terus memikirkanmu, kau begitu candu dan menyebalkan di waktu yang sama." -Shin Jiya...