Afterglow | In Repair

By Tirecstasy

15.4K 2.9K 2.8K

Kenapa orang yang takut menyakiti hati orang lain malah tetap berpeluang disakiti oleh orang lain..? Juga ke... More

prolusio: joshua gautrama
prolusio: viart farhanidar
‼️read this before you start reading the whole story‼️
1 | nayna and her fiance
2 | requirements
3 | as husband and wife
4 | depends on her, he said
5 | an old friend's wish
6 | joshua's future wife
7 | the gautrama(s)

prolusio: jelita renjani

3.3K 472 380
By Tirecstasy

A break from someone will either make you realize how much you truly miss/love them or how much peace you have without them.

—unknown

prolusio: hujan yang tercurah dan hubungan yang belum sudah

*

KAFE dan kopi itu seperti satu-kesatuan yang saling terikat. Tapi kendati begitu, Jelita tetap menolak untuk suka kopi tak peduli kenyataan bahwa dia bahkan menyambangi sebuah kafe nyaris setiap hari.

Yah, Jelita rasa akan banyak juga segelintir kalangan yang sama dengannya. Menetap di sebuah kafe bukan berarti orang itu pecinta kopi. Bisa jadi minuman non kafein dan hidangan peneman di sana enak—seperti matcha latte dan toast spicy bulgogi kesukaan Jelita di sini. Bisa jadi juga seseorang yang terbiasa sendiri mendadak merindu akan suasana ramai—ramai bukan dalam artian sarat berisik, ramai dimana orang-orang asing berkumpul lalu berfokus pada urusan masing-masing dan kafe hanya jadi destinasi paling mudah untuk mereka tuju. Atau bisa jadi keapikan arsitektur kafe itu sendiri yang membuat pengunjung betah untuk berlama-lama.

Memang, ada banyak alasan seseorang bisa menyukai sesuatu. Sesederhana apapun itu, setiap orang pasti punya cara pandang yang berbeda.

"Kak Tata, ini pesanan americano-nya. Icenya kurang kah?"

Oke, Jelita tidak suka kopi. Tapi bukan berarti lidahnya pantang bercumbuan dengan kafein, kan?

Jelita mengulas senyum, "Cukup, kok. Mac and cheese-nya masih ada nggak, Nik?" pelayan berumur dua puluh lima tahun itu lebih muda dari Jelita. Jelita mengenal Monik lumayan lama, saking seringnya Jelita mengunjungi kafe ini.

"Toast-nya masih ready, lho... Nggak mau toast aja nih?"

"Itu dibungkus aja buat nanti. Sekarang aku mau mac and cheese."

"Oke—"

"Eh? Aku cuma nanya, kok. Bukan mau nyelak antrean. Aku bisa pesen sendiri ke kasir.."

"Nggak usah! Mumpung ada Monik di sini, sekalian Monik aja yang catet pesenan kakak."

"Monik..."

"Tunggu paling lama sepuluh menit, yo!"

Jelita mengembuskan napas samar. Percuma saja memberi tahu Monik. Dia sebenarnya bukan pelayan biasa, Monik adalah anak dari pemilik kafe bernama Jinja Jawi ini. Namun dia bisa 'menyaru' dengan seluruh karyawan di sini, katanya sih wanita itu sedang bosan jadi budak korporat di perusahaan-perusahaan besar. Lebih baik dia jadi budak di kafe milik ayahnya sendiri. Well, beruntung ayahnya tidak mempermasalahkan itu mengingat kafe ini sudah punya belasan cabang di tanah air tercinta.

Embun dari cup americano pesanan Jelita membasahi telapak tangannya, Jelita membuka penutup cup dan segera meneguk hingga kopi tanpa glukosa itu tandas tinggal setengah. Mata Jelita terasa berat, dia harus menulis lima bab hari ini makanya americano adalah pilihan terbaik untuk mengusir rasa kantuknya.

Jelita Renjani merupakan seorang penulis. Tujuh belas tahun dia mendedikasikan diri demi membuat karya tulis, genap sepuluh tahun karyanya bisa lebih banyak dikenal dan dihargai banyak orang. Dari yang mulanya menulis suka-suka, sekarang malah jadi sumber pendapatan tak terkira. Jelita bahkan tidak menyangka kalau dia punya jutaan pembaca yang selalu siap ia kuras kantungnya.

Semasa kecil, Jelita menulis manual. Berbekal pensil 2B butut sekelingking dan buku tulis bekas berhalaman kosong yang tersisa dari beberapa buku pelajarannya. Gagal menjadi penulis cilik KKPK, berhasil melahirkan lebih banyak suksesnya karya. Novel quotes, novel self improvement, novel fiksi romansa remaja, sampai jenis novel yang menjadi zona nyamannya yaitu genre romance dan metropop—semua selalu jadi salah satu yang paling dicari di toko buku, mentok-mentok paling sedikit berhenti sampai cetakan kelima.

Bagaimana pun, berlebihan sekali menurut Jelita ketika banyak yang menyebutnya bisa satu kelas dengan Tere Liye dan Dewi Lestari. Mereka jelas sekelas dewa dibanding Jelita yang tidak ada apa-apanya. Kalah senior—meskipun Tere Liye pernah menyelipkan kata-kata bahwa senior atau tidaknya di dunia penulisan ialah bukan penjamin kalau hasil tulisan senior akan lebih bagus. Tetap saja, Jelita beda kelas dengan mereka.

Aruna:
mba tataaaaa udah sampe bab berapa nih nulisnya?
jadi terbit di una kan???
;)

Jelita menarik senyum sekilas membacanya. Jemarinya yang tengah menari-nari di keyboard pun berhenti. Jelita meraih ponselnya, mengangguri tulisannya yang baru menghasilkan tiga ratus kata.

Jelita:
bab 18 na, iya jadi aruna...

Aruna:
YEYY SENENG BANGET GAK HARUS BEREBUT DULU SAMA PENERBIT LAINNYA!!!
mba tata mau cover yang model gimana? biar aku diskusiin dari sekarang sama team
mba tata juga bebas request juga untuk freebiesnya
as long as mba tata happy, una and team happy :)

Jelita:
nanti aja ya na? belum banyak kepikiran soal itu..

Aruna:
OKAYY
gapapa kokk semangat nulisnya mba tata cantik!!!

Jelita:
thankyou aruna cantik<3

Jelita nyaris kembali mengangguri ponselnya kalau saja Aruna tidak membalas lagi.

Aruna:
by the way aku baru baca one shoot yang mba tata publish semalem dan...
MBA TATA ARE YOU CRAZY?!?! MASA BED SCENENYA HOT BANGET?!?!?
BERASA GUE YANG LAGI DIAPA-APAIN SAMA PATRICK

Jelita:
hahaha padahal bed scenenya bahkan nggak sampe 1000 kata

Aruna:
YA TETEP MANTEP KALO MBA TATA YANG NULIS MAH
satu tahun vakum nulis mba tata berguru di goa mana??? tulisannya makin bagus aaakkk aku fans berat mba tata pokoknya!!!!!

Jelita cekikikan sampai beberapa pengunjung menoleh ke arahnya. Aruna boleh jadi kepala editor di salah satu penerbit ternama, tapi Jelita tahu kalau Aruna memang sungguhan pembaca setianya. Sebentar lagi bakal banyak penerbit patah hati ketika tahu fakta ini. Fakta novel comeback Jelita setelah setahun lamanya sudah dibooking penerbit lain. Aruna pasti akan semi mengejek keleletan mereka dalam menggoda Jelita.

Senyum Jelita pudar tatkala membaca pesan yang lain, pesan yang baru-baru ini dia pin lagi sehingga nampak paling atas pada barisan orang-orang yang mengirim pesan padanya.

Art:
dimana?
masih di kafe?

Jelita:
iya, baru satu jam di sini

Art:
satu jam itu lama, J

Jelita:
aku bahkan baru nulis berapa ratus kata

Art:
i'll give you 30 minutes later i'll pick you up

Jelita:
no thanks, aku bisa naik taksi

Art:
fine
one hour?

Jelita:
no, art

Art:
satu jam setengah
deal?

Jelita:
deal.

Jelita menyandarkan punggung pada kursi kayu yang dia duduki—napasnya menghela berat, ada saja pengganggunya untuk menyelesaikan draftnya dengan segera. Selalu bersumber dari orang yang sama, orang yang juga selalu menolak untuk Jelita tolak keinginannya.

Selepas pesan itu, jemari Jelita yang telah piawai dalam merangkai kata tersebut menari lebih lihai lagi. Mac and cheese yang diantarkan Monik tak lagi membuatnya berselera, agenda bersantai produktifnya berantakan begitu saja.

Kesepuluh jemari lentik mencumbu keyboard sampai puluhan menit kemudian, bau tanah basah mulai mencampuri udara. Menyusup penciuman yang menghadirkan ketenangan jiwa, rupanya rintik gerimis hanya mampir sebentar yang kian bermetamorfosa menjadi hujan menyerbu langit sore kota.

Jelita memang duduk di luar kafe, dekat dengan balkon pembatas di lantai dua. Namun jarak antara ujung atap dengan posisi pembatas balkon cukup jauh sehingga Jelita bisa tetap menikmati hujan tanpa dibasahi cipratan tampias.

Langit menggelap, menyembunyikan sang surya serta menyuruh meredupkan sedikit sinarnya. Tanaman di pelataran seolah bersorak dimandikan—sekaligus meneguk banyaknya air minum sebagai pelepas dahaga kerontangnya matahari yang menyengat siang tadi.

Jelita mengancingkan kardigan rajutnya. Suhu beranjak turun, dingin beranjak mendekap badan. Suasana yang sempurna untuk menulis adegan sedih dan masuk ke dalam imajinasi dunia yang Jelita karang sendiri. Sayangnya, dia sudah lama tidak menontoni hujan di Jakarta. Ketika tiga ribu kata berhasil mengisi penuh layar laptopnya, Jelita berhenti menulis hanya demi melamun meratapi rintik hujan seolah mengerti bahwa dunia ini mungkin sedang bersedih.

Selain laptop dan ponsel yang ada di atas meja, terdapat sebuah buku catatan berukuran sedang bersampul kumal—menandakan tuanya usia kepemilikan buku itu. Entah mengapa, Jelita mendadak membuka buku yang selalu ia bawa kemana pun tersebut lalu menuliskan seuntai kalimat di sana.

Alih-alih menulis seputar inspirasi yang tiba-tiba dia dapat, Jelita malah memasukkan kalimat itu ke salah satu nomor pada bucket list kehidupannya.

Kissing in the rain.

Jelita bisa dibilang bukan orang yang banyak macamnya. Sepanjang perjalanan hidupnya, orang-orang lebih mengenal Jelita sebagai teman yang baik dan tidak neko-neko. Dia acap kali mengalah terhadap sesuatu, mengorbankan dirinya demi orang lain agar segalanya terasa lebih mudah.

Dari kecil, dia jarang bersuara. Jelita bukan anak yang datar, bukan juga anak aktif yang cerewet. Dia punya beribu ungkapan yang hanya dia simpan untuk dirinya sendiri sebab dia tak merasa musti sebegitu dipedulikan. Mungkin, ini alasan mengapa Jelita suka mengutarakan emosinya lewat sebuah tulisan.

Puluhan tahun Jelita hidup untuk mengesampingkan keegoisan yang agaknya dia masih punya begitu banyak porsi untuk dia pakai—saking tidak pernahnya dia mencoba jadi egois. Puluhan tahun Jelita hidup untuk memaafkan, kepalanya kerap mengangguk sedangkan dilema dalam hati belum tahu-menahu apa jawaban yang tepat dari rasa belum rela memaafkan.

Hidup Jelita diisi beragam emosi tak tersalurkan, mengendap tak siap tercurahkan. Maka, ketika bahagia menerjang, dia tak pernah merasa benar-benar bahagia bak terbang di awang-awang.

Sampai suatu malam, Jelita merencanakan untuk membiarkan emosinya lepas dari kandang. Meluruhkan segalanya, membiarkan emosinya membuas kian ia melepasnya.

"Aku mau cerai."

Tiga kata yang tidak pernah disangka-sangka akan keluar dari mulut Jelita. Tiga kata bukan main-main, dibarengi raut keseriusan yang menjamin.

Tidak mudah untuk lepas dari sesuatu yang sudah begitu lama berdampingan. Tapi ketika kata berdampingan bergeser menjadi konotasi berlebihan, itu jelas telah berubah jadi sesuatu yang tidak layak dipertahankan. Ketika kata berdampingan malah menuntut lebih, bukanlah lagi berdampingan namanya melainkan menjerat sesuatu agar senantiasa terikat.

Mulanya, Jelita tidak masalah dibuat terikat. Dia pikir, terikat merupakan artian lain dari berdampingan yang lebih erat. Namun kian waktu berjalan, hari berganti tahunan, Jelita sadar bahwa keterikatan itu semakin membuat emosinya terlarang untuk terbebaskan.

Tatkala emosinya membuncah, berada di titik paling tinggi terpecah, Jelita berhasil memanifestasikan tiga kata yang dia utarakan. Semua keterikatan itu saling melepaskan, termasuk sebuah jeratan yang ikutan mengendur terlepaskan.

Tahu istilah bodoh dalam percintaan yang berbunyi; "bersamamu itu menyakitkan tapi tidak bersamamu jauh lebih menyakitkan"? Itulah yang Jelita rasakan selepas dia tak lagi dalam belenggu jeratan. Kebebasan yang dibumbui kehampaan, rasa-rasanya tidak jauh lebih baik dari sakitnya diberi kekangan.

Hingga malam tak terlupakan lain datang, menanamkan sebuah memori baru dalam ingatan. Malam di kota Bandung nyaris satu tahun selepas kejadian diutarakan tiga kata perpisahan, rumah pelarian hampa yang Jelita tempati kedatangan tamu tak diundang.

Hujan yang mengguyur membuat lantai ruang tamu Jelita dijejaki cucuran air ketika sosok tegap itu masuk dengan kuyup di tubuhnya. Wajah bergaris tegas yang tak selaras dengan sorot mata penuh kelabu, suasana hatinya jelas membiru saat Jelita baru menyadari bahwa bukan hanya rembesan air hujan yang jatuh menetes melainkan air matanya juga.

"Aku minta maaf."

Tentu, bukan kali pertama kata maaf terujar. Belum cukup maaf yang Jelita terima atas segala sakit dalam bungkam yang ia simpan.

Tapi, malam itu, semua berbeda. Ada yang lain. Kali ini, kata maaf diutarakan dengan nada bergetar ketulusan, berkecamuknya penyesalan.

Jelita bisa dibilang terlalu cepat memaafkan. Semarah-marahnya dia, kemarahan itu akan meluap begitu saja ketika raut penyesalan seseorang ditampakkan. Dibarengi air mata yang terpampang tanpa rekayasa, tiga kata lain itu seketika menyeret perubahan dalam apa yang sudah Jelita putuskan.

Malam itu, Jelita kembali menerima permaafan. Malam itu, tidak hanya permohonan maaf yang Jelita terima, melainkan juga permohonan kembali bersama.

Tin!

Lamunan Jelita tersadar tatkala klakson yang berasal dari mobil sedan berwarna pekat memekik telinganya. Jelita bersiap memeluk totebag berisi laptopnya, menyembunyikan ke dalam cardigan lalu menunduk bersiap berlari demi melindungi aset terpenting bagi seorang penulis tersebut.

Saking tidak memperhatikan jalan, Jelita nyaris terserempet sebuah mobil Mercedes Benz abu-abu yang beruntungnya langsung mengerem ketika Jelita keluar dari pekarangan kafe. Dia sempat syok sejenak sampai ketika namanya di teriaki oleh pemilik mobil sedan, Jelita langsung tersadar dan berlari kecil dari posisinya yang semula membatu sesaat di depan mobil abu-abu tersebut.

"Kamu gapapa?"

"I'm okay." Jelita menyimpan tasnya pada jok belakang yang kosong, menyisir rambut lembabnya mengenakan jemari seiring mobil yang dia taiki melaju menembus hujan. "Aku udah cerita semuanya ke Mama."

"Then?"

"As we expected, Mama kurang suka. Setelah aku memohon, akhirnya Mama setuju." ada helaan napas melegakan yang terdengar dari si penyetir, "Tapi kita harus ketemu Mama sekarang. Mama bilang, Mama mau kasih persyaratan."

"Apa syaratnya?"

"Belum tau. Kamu... keberatan kalau kita ke sana sekarang?"

"Nggak sama sekali." suara berat itu menjeda sebentar, "Semua akan aku lakukan. Apapun, demi kembali lagi sama kamu."

Senyum Jelita mengembang sempurna.









bersambung ke prolusio kedua.

—❦—

Tira's notes:

Sebenarnya agak ragu untuk publish ini sementara KKN masih belum kelar, tapi tangan ini gatel banget buat keluarin ini dari draft wkwk

ini bakalan update lagi besok dan lusa karena prolusio (pendahuluan)-nya ada ada tiga, dari tiga tokoh penting di cerita ini. so, Prudentirals, can you guys give me hundreds of votes and 110+ comments sebelum aku update lagi besok malam? aku harap kalian bisa aktif votment seperti di KKN, juga bisa mengikuti cerita ini terus tanpa di skip-skip bacanya

oiya, universe ini saling berkaitan dengan Mind of Mine alias work 97line yang baru aku publish hari ini juga. sementara kalau cerita ini nanti bakal banyak anak 95linenya. pastikan kalian baca keduanya ya! aku bakal lanjutin MoM kalo cerita ini udah sampai setengah jalan lebih. jadi kalian masukin library aja dulu ya ceritanya

udah gitu aja, sampai ketemu lagi besok malam di prolusio main malenya. dirimu yang suka mantengin ig-story aku pasti tau siapa cowok yang aku maksud ini hahaha

dadah!

Jakarta, October 23th 2021

Continue Reading

You'll Also Like

125K 13.1K 24
Lima tahun lalu, Wonwoo memutuskan sebuah keputusan paling penting sepanjang hidupnya. Dia ingin punya anak tanpa menikah. Lima tahun kemudian, Wonw...
786K 58K 53
"Seharusnya aku mati di tangannya, bukan terjerat dengannya." Nasib seorang gadis yang jiwanya berpindah ke tubuh seorang tokoh figuran di novel, ter...
558K 57.1K 28
[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] 21+ ‼️ Apa jadinya jika si berandal Jasper Ryker yang dijuluki sebagai raja jalanan, tiap malam selalu ugal-ugalan dan babak...
88.5K 11.4K 37
Jake, dia adalah seorang profesional player mendadak melemah ketika mengetahui jika dirinya adalah seorang omega. Demi membuatnya bangkit, Jake harus...