Voice of The Sky

By TerribleTerrors13

44.4K 1K 247

Malaikat itu nyata. Mereka bekerja pada sebuah perusahaan bernama surga yang memperkerjakan malaikat sebagai... More

Prolog
Chapter 1: Voice of the Wings
Chapter 2: Heart's Voice
Chapter 3: When the Heart Says
Chapter 4: I'm Happy If He's Happy Too
Chapter 5: Hollow
Chapter 6: The One Will Hurted
Chapter 7: Death
Chapter 8: Consequence
Chapter 9: The Level S
Chapter 10: Painfull Time
Chapter 12: Mystery
Chapter 13: Unending Story
Chapter 14: The Angle
Chapter 15: Untitled
Chapter 16: The Beginning of the End
Chapter 17: (Not) The Last Day
Chapter 18: Paradise You Are Belong
Chapter 19: Voice of the Sky
Epilog [Yuka's POV]
Epilog [Harry's POV]
AUTHOR'S NOTE - IMPORTANT
OMAKE I - Harry's Diary: Black Ribbon on the Head

Chapter 11: Frienship

1.4K 44 20
By TerribleTerrors13

Harry’s POV

            Aku terdiam melihat seseorang manusia berdiri di hadapanku. Kedua bola matanya hanya memandangku penuh rasa kasihan. Apa yang kau lakukan di sini bodoh. Cepat pergi.

“Harry…” suara lembut itu perlahan mulai mendekatiku.

“Maaf…” aku berbalik tanpa memandang wajahnya. Tungkak kakiku kini berdiri tepat di tepi sungai dengan beberapa centimetre darinya mengambang di udara.

“Harry, kumohon aku –“

“Abaikan semua perkataan yang aku ucapkan kemarin. Anggap saja itu hanya mainan,” kuambil tasku yang berada tepat di depanku dan mulai berjalan menjauh. “Aku lelah. Aku ingin pulang,” kutinggalkan Yuka dengan perasaan yang tidak bisa aku ungkapkan. Tiba-tiba dua buah tangan melingkar di dadaku dan perasaan hangat menyerang punggungku. Semuanya membuat jantungku berdetak kencang dan membuatku muak dengan semua suara detak jantungku sendiri.

.

.

            Matahari mulai tenggelam dan sebuah bulatan putih besar terbang melayang di atasku. Jutaan cahaya berkelip-kelip kecil berada di sisinya untuk selalu menemaninya. Kemana pun dia pergi. Kemana pun dia berada. Mereka akan selalu ada di sisinya…

“Sepuluh tahun yang lalu, ketika pertama kalinya kita bertemu. Aku ingat semua perasaan yang kau buat padaku. Aku dapat merasakan sesuatu yang berbeda darimu. Aku suka padamu. Perasaan suka seorang anak berusia delapan tahun. Dan… tahun demi tahun pun berlalu. Perasaanku padamu semakin tumbuh membesar lebih dari sekedar menyukai. Tapi lebih ke arah mencintai. Seorang laki-laki mencintai seorang perempuan. Hahaha, hal yang wajar, kan?” ucapku hanya terus menatap langit-langit tanpa berani menatap majah Yuka.

“Kenapa?” suara Yuka mulai perlahan keluar dari mulutnya dan membuatku melihat ke arahnya.

“Kenapa kau baru memberitahuku semua ini sekarang?” teriaknya penuh emosi. Ekspresi wajahku yang semula datar mulai memberikan sebuah senyuman padanya. Seketika wajah Yuka terlihat bingung.

Aku mengambil sebuah kotak berwarna pink muda dan memegangnya tepat di depanku sehingga Yuka dapat melihatnya dengan jelas. “Kau ingat kotak ini?” Yuka mengangguk menjawab pertanyaanku sambil menutup mulutnya dengan kedua tangannya.

“Akan kuberitahu kau mengapa aku tidak pernah menyatakan perasanku padamu,” lanjutku.

FLASHBACK: ON

Harry’s POV

3 tahun yang lalu

            Aku Harry. Usiaku lima belas tahun dan aku duduk di kelas satu sekolah tingkat akhir. Pekerjaanku adalah sebagai seorang pelajar dan malaikat level B. Malaikat? Yap, aku malaikat penjemput roh orang mati yang sedang dipromosikan untuk naik ke level A. Kalian tidak akan bisa membayangkan bagaimana bahagianya diriku ini.

            Hari ini adalah minggu terakhir liburan musim panas. Dan aku mendengar sebuah kabar yang menurutku super duper sangat baik. Temanku Yuka akan kembali ke kota ini setelah dia menghabiskan satu tahun bersekolah di kota seberang. Aku tidak pernah bertemu dengannya dalam wujud manusia. Hanya dalam wujud malaikat ketika kami berdua berpasangan dalam mengerjakan tugas kami sebagai malaikat. Dan hal lain yang membuatku senang adalah dia akan masuk ke sekolah yang sama denganku.

            Aku… mencintainya. Kuhabiskan tujuh tahunku bersamanya tanpa bisa menyatakan perasaanku sendiri. Hari pertama masuk sekolah setelah dua bulan libur musim panas bertepatan dengan hari ulang tahunnya. Dan untuk kali ini, aku telah menyiapkan sebuah rencana untuk menyatakan perasaanku.

“Hei,” sapaku ketika aku berdiri di sebuah jendela kamar rumah bertingkat dua ini.

“Huaaa! Harry! Kau membuat jantungku hampir meloncat keluar!” dia Yuka. Perempuan berambut coklat panjang bergelombang yang membuatku berhasil jatuh karenanya.

Aku hanya tertawa melihat reaksinya. “Ngomong-ngomong, kau sudah mengurus semua dokumen untuk senin besok?”

“Udah,” balasnya ketus lalu kembali memutar kursinya dan bergulat dengan tumpukan buku di atas mejanya.

“Hei, maaf.. aku nggak berniat membuatmu kaget seperti itu,” kulangkahkan kakiku dan masuk ke dalam kamarnya. Dia hanya terdiam mengabaikan seluruh omonganku. Kuraih kepalanya dan mulai mengacak-acak rambutnya.

“Sudah kubilang jutaan ribu kali, Mr. Styles! Berhentilah merusak rambutku!” akhirnya Yuka berdiri dari kursinya dan mulai berlarian di dalam kamar ini dengan tawa yang terus bergema.

“Ah,” BRUAK. Dia terpeleset ketika dia menginjak sebuah tumpahan air mineral di atas lantai. Aku membuka mataku dan kulihat Yuka terbaring di atasku. Seketika wajahku dan wajahnya memerah bagaikan tomat busuk dan jantungku berdetak tidak beraturan.

“Ma-maaf aku eh aduh maaf..” dengan kilat, Yuka bangun dan duduk di atas lantai menutupi wajahnya dengan sweater yang besar yang dia pakai. Aku tidak bisa berkata apa-apa.

Tiba-tiba keadaan di dalam kamar ini terdengar sangat sunyi. Awkward moment mulai timbul di antara kami berdua. “Uh, kau mau mengantarku membeli sesuatu?” tanyaku. Dia hanya mengangguk dan berdiri dari duduknya, begitu pun aku.

            Kami berdua berjalan di sepanjang jalan menuju sebuah toko yang terletak tidak terlalu jauh dengan berjalan kaki. Tidak ada sebuah percakapan pun dari kami berdua karena kejadian tadi masih terus berbayang.

“Harry..”

“Ya?”

“Ma-maaf dengan yang tadi. Aku nggak bermaksud..”

“Sudahlah. Hal begitu saja kok kau permasalahkan sampai sejauh ini,” balasku sambil mengusap-usap leher bagian belakangku. “Hei, kita sampai,” kutunjuk sebuah toko jam di sebelah kiriku dan kami berdua pun masuk ke dalam sana. Aku berjalan menuju kasir setelah mengambil barang pesananku.

“Wow, kotakny lucu sekali,” ucap Yuka ketika dia melihat sebuah kotak berwarna pink muda di tanganku.

“Kau mau lihat isinya?” tanyaku. Dia mengangguk penuh rasa penasaran. Sebuah jam berbentuk bulat segenggaman tanganku membuat matanya berbinar.

“Jam ini indah sekali!”

“Dia masih punya kehebatan lainnya,” kubuka penutup jam tersebut dan seketika sebuah melodi tak bertuan mengalun pelan.

“He-hebat… ngomong-ngomong, untuk siapa jam ini?” Yuka terus meneliti setiap sisi dari jam bundar berwarna keemasan bergaya vintage ini.

Untuk siapa… Ini untukmu. Untuk hadiah ulang tahunmu. Untukmu ketika aku menyatakan perasanku padamu. “Ini untuk kakakku. Kurasa dia akan menyukainya,” senyumku berbohong menyembunyikan sesuatu.

“Kau adik yang hebat! Kakakmu pasti suka!” serunya lagi menunjukkan kegirangannya. Aku rasa kau yang akan menyukai itu Yuka..

.

.

            Senin. Hari pertama kembali ke sekolah setelah libur panjang yang bagaikan surga. Yuka menjadi murid baru di sekolah ini. Menjadi murid baru tepat di hari ulang tahunnya. Hari yang telah aku tunggu-tunggu setelah tujuh tahun aku memendam semua perasaanku padanya. Aku selalu mengharapkan yang terbaik.

“Kawan, aku lelah..” aku kembali menegak sebotol air mineral di genggaman tanganku ketika sahabat yang aku kenal tahun lalu terus mengajakku menaiki tangga menuju perpustakaan di lantai empat.

“Ayolah, Harry. Hanya lantai empat saja kau sudah kelelahan,” laki-laki berambut pirang dan bermata biru itu hanya berdiri di depanku dengan kedua tangannya bertengger pinggangnya. Dia hanya menghembuskan nafasnya panjang.

“Ugh, Niall. Staminaku tidak sekuat staminamu,”

“Dasar, omelan kebohonganmu gak akan berguna, keriting. Kau sehat dan aku nggak. Bagaimana bisa staminaku lebih kuat dari pada milikmu,” omelnya terus melihatku yang memang sedang tidak niat untuk meminjam buku di perpustakaan. Aku melihat ke luar jendela dan kutemukan seseorang tengan duduk sendiri di sebuah kursi di bawah pohon tua tak jauh dari lapangan bola.

“Anak baru itu? Siapa dia? Temanmu?” tanya Niall ikut melihat ke luar jendela.

“Yap! Aku duluan, blondie!” kuambil tasku yang tergeletak di atas lantai dan berlari meninggalkan Niall.

“Eh, hei, Harry! Dasar…” kuberlari penuh semangat menuruni setiap anak tangga menuju sebuah lapangan bola besar di halaman depan sekolah.

“Hei, mau pulang sekarang?” tanyaku padanya yang tengah duduk sendiri di sebuah kursi di bawah pohon tua.

“Yep,” angguknya. Kami berdua berjalan bersama menuju rumah kami yang berjarak tidak terlalu jauh. Sepanjang jalan kami hanya terus membicarakan mengenai hari pertama kembali ke sekolah dan kesan pertama dia masuk ke sekolah ini. Percakapan yang membuatku semakin percaya diri.

“Yuka –“

“Harry –“

“Ugh, kau duluan,” ucap Yuka menanggapi seruan kami yang hampir bersamaan memanggil nama satu sama lain.

“Nggak. Kau duluan,” balasku. Yuka terus menundukkan wajahnya terlihat sedikit grogi. Aku terus menggenggam kotak berwarna pink muda ini di belakang badanku dan menyiapkan hatiku setelah dia mengucapkan apa yang ingin dia ucapkan padaku.

“Kurasa aku menyukai seseorang…” seketika jantungku mati rasa. Aku merasakan jutaan pedang menusuk dadaku secara bergantian dan tidak ingin berhenti. Harry, berfikirlah posisif. Bisa saja itu kau.

Aku berusaha bertanya padanya, “si-siapa dia?”

“Laki-laki berambut pirang dan bermata biru yang selalu bersamamu,” lanjutnya dengan wajah yang terlihat sangat memerah. Kali ini aku merasakan semua bagian tubuhku menjadi berat. Ingin rasanya aku menggenggam tanganku hingga jari-jariku patah dan terpisah satu sama lain. Bagaimana bisa. Bagaimana bisa dia menyukai seseorang yang baru dia temui sehari sedangkan aku ada di sini. Di sisinya selama tujuh tahun. Dan terlebih lagi, mengapa dia harus menyukai sahabatku sendiri…

“Uh, Harry. Apa yang ingin kau katakan?” tanyanya membangunkanku dari lamunanku yang terasa sangat sakit. Aku tidak bisa merasakan kedua tanganku. Aku tidak bisa menyerahkan benda ini dan menyatakan perasaanku padanya. Aku tidak bisa.

“Yuka… selamat ulang tahun..”

FLASHBACK: OFF

“Benda ini… masih menemaniku sampai saat ini. Menjadi saksi kegagalanku pada hari itu tiga tahun yang lalu. Aku ingat setiap ucapan yang keluar dari dalam mulutmu mengenai Niall. Aku juga ingat semua rasa sakit yang aku dapatkan setiap kau membicarakannya. Yah, tapi ada daya. Toh, aku memanh ditakdirkan bukan untuk dicintaimu. Niall lah yang ditakdirkan untuk dicintaimu,” senyumku menahan air mataku sambil terus memangku kotak berumur tiga tahun ini di pangkuanku.

“Mengapa..” ucap Yuka setengah berbisik dan membuatku kembali melihat ke arahnya. Aku melihat beberapa tetes air mata di pipinya dan ini semua membuatku menggigit bibir bawahku.

“Mengapa kau begitu bodoh..” tiba-tiba dua buah tangan yang lembut melingkar di leherku. Menenggelamkan kepalanya sendiri di leherku. Aku tidak bisa memeluknya balik. Dia bukan milikku. Dia miliknya. Milik sahabatku.

“Selama tujuh tahun, aku selalu menunggumu. Aku selalu berharap bahwa kau akan mencintaiku juga. Aku terus berusaha membuatmu menyukaiku. Tapi perlahan, aku merasa semuanya hanya omong kosong. Kau nggak pernah menganggapku lebih hingga aku bertemu Niall. Aku berusaha melupakan bahwa aku pernah berusaha supaya kau mau mencintaiku. Niall menjadi pijakanku setelah harapanku padamu hilang..” hatiku menangis ketika aku mendengar semua kata yang terangkai menjadi beberapa kalimat keluar dari mulutnya. Aku mulai mengangkat kedua tanganku dan mendekapnya hangat.

Untuk beberapa saat, tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut kami berdua sampai aku melepas pelukannya. “Yuka, berhentilah menangis. Ini semua salahku. Aku yang telah membuatmu menderita,” kuusap air mata yang terus terjatuh dari kedua matanya dengan jariku. Memberikan senyumanku padanya.

Dia terus menggeleng. “Ini salahku. Nggak seharusnya aku mengatakan hal itu padamu sore itu. Aku –“ kupotong ucapannya ketika kutempelkan bibirku di bibirnya. Awalnya, Yuka sangat terkejut tapi perlahan dia mulai menciumku balik. Aku tahu apa yang aku lakukan adalah sebuah kesalah besar. Kesalahan terbesar yang pernah aku perbuat dalam hidupku. Aku… mengkhianati sahabat baikku sendiri.

“Yuka, maukah kau terima jam ini? Sebagai hadiah pertemanan kita,” kuberikan kotak berisi jam ini pada Yuka. Kotak yang tertahan untuk berada di dekapannya selama tiga tahun akhirnya bisa berpindah tangan padanya. Maaf, Yuka. Aku tidak ingin membuatmu semakin menderita. Terutama membuat Niall jauh lebih menderita…

.

.

Huwaaaaaaa, Harry sama Yuka kasian banget T__T mereka saling gak sadar tentang perasaan mereka satu sama lain. Coba aja Harry ngomong duluan waktu itu. Jadi, Harry bisa jadian sama Yuka ya :’D dan sekarang Harry cuma nganggep Yuka sebagai sahabatnya aja. Tapi pasti lah masih ada perasaan sama Yuka nya…

Oh iya, Niall bentar lagi nyawanya diambil loh sama Yuka sendiri. Lima hari lagi Niall bakal ninggalin Yuka sendirian. Ninggalin sendirian…… (‘:

Kira-kira gimana cerita selanjutnya? Stay tune! \:D/

Jangan lupa vote dan comment, kawan! xx

*nb:

Cerita cinta di sini itu diangkat dari cerita cinta author. Oke sip *mojok di kamar*

Oh iya, aku ngepost cerita baru judulnya Our LOVE (One Direction Fan Fiction). cek my profile to read it :D xx

Continue Reading

You'll Also Like

277K 13.5K 61
My name is Alex Cruz, I'm a omega, so I'm just a punching bag to my pack. But Emma, Queen of werewolves Sam, queen of dragons Winter, queen of vampi...
121K 244 90
Erotic shots
7.3M 303K 38
~ AVAILABLE ON AMAZON: https://www.amazon.com/dp/164434193X ~ She hated riding the subway. It was cramped, smelled, and the seats were extremely unc...
42K 2.5K 22
𝐁𝐨𝐨𝐤 # 𝟏 𝐨𝐟 𝐓𝐡𝐞 𝐑𝐚𝐚𝐳 𝐬𝐞𝐫𝐢𝐞𝐬. Love or betrayal? Consumption of betrayals. Internal betrayal? Yes! Will they be overcome? Or W...