Hospitalship (extended storie...

By amiplaylist

3.5K 238 8

AU lokal BTS Kisah 7 manusia dalam menghadapi hidup bersama mbak pacarnya masing-masing. Disarankan baca hosp... More

Bosan pt. 1 (Juno)
Bosan pt. 2 (Juno)
Sleeping child (Gio)
First love (Gio)
Ngidam (Gio)
Bersama (Ihsan)
Lepas Jaga
Happy birthday, you
"happy birthday" (Ihsan - Lisa)
First Fight (Juno-Zahra)
Dating, in marriage (Gio-Ayu)
Hadiah (Juno-Zahra)

Ragu (Luthfi)

171 19 2
By amiplaylist

"Selamat pagi, Dok."

Seorang perempuan langsung berdiri dari kursinya, menyapa Luthfi ketika ia baru membuka pintu masuk ruangan poliklinik tumbuh kembang.

Perempuan itu berambut pendek sebahu. Wajah cantiknya semakin menawan dengan polesan makeup yang dikenakannya. Jelas-jelas seseorang yang pandai berdandan. Ia mengenakan dress selutut berwarna krem. Kaki jenjangnya dilapisi sepatu model Mary Jane berwarna coklat.

"Pagi." Luthfi tersenyum sopan, matanya tidak menemukan name tag yang tergantung pada leher perempuan itu. Tapi rasanya Luthfi pernah melihatnya. Masih pukul setengah 6 pagi, siapa yang sudah datang di sini selain residen? Fellow baru? Tapi rasanya terlalu muda.

"Saya Ine Elina Danastri, Dok. Kalau masih inget..." Ine memperkenalkan diri sebelum Luthfi sempat bertanya. "Pernah dibimbing sama dokter dulu pas koas."

Luthfi mengangguk. "Oh iya. Kayaknya saya ingat, tapi kayaknya gak ingat. Hehe, maklum koas banyak." Luthfi menjawab dengan tawa cengengesannya.

"Iya gak apa-apa Dok. Dulu pernah bimbingan sama dr. James Obgyn terus ada Dokter. Kata teman-teman saya, dokter teman baiknya dr. James." balas Ine masih dengan senyum santun.

"Ah, iya kayanya inget. Udah lama banget tapi kayaknya."

Ine mengangguk, senyumnya semakin melebar. "Iya, Dok. Sekarang saya magang di tumbuh kembang Dok, jadi izin ikut polikliniknya."

"Silakan, silakan, makin rame makin seru. Semangat banget ya kamu jam segini udah dateng." Ucap Luthfi sambil meletakkan tas selempang kulitnya di atas meja. Hari itu Luthfi mengenakan kemeja berwarna hijau gelap dan celana hitam. "Berarti kalau magang udah lulus, ya?"

"Sudah, Dok." balas Ine, ikut duduk ketika Luthfi duduk.

"Magangnya sama dokter siapa?" Luthfi sebenarnya ingin mulai membuka laptopnya, bersiap menyicil tugas laporan kasus sambil menunggu poliklinik buka jam 7 pagi, karena itu pula ia datang lebih awal. Kalau sehari-hari sih biasanya ia sulit bangun pagi. Tapi karena sekarang ada orang lain di depannya, tidak enak hati juga kalau tidak mengajak ngobrol. Apalagi sekarang posisi mereka berhadap-hadapan.

"Prof. Kamal, Dok." Luthfi menyadari ada keraguan dalam nada suaranya. Wajar, mungkin takut? Prof. Kamal memang terkenal sebagai salah satu konsulen divisi tumbuh kembang yang killer, sama sekali tidak menolerir kesalahan, ultra idealis, tapi itu karena beliau sangat memedulikan pasiennya. Kalau habis dimarahi beliau, hati hancur, tapi otak terisi penuh dengan ilmu.

"Pinter banget dong ya kamu, diterima magang sama beliau" Luthfi mengangguk-angguk heran.

Ine menunduk malu, "Ah, engga, Dok"

"Emang-" kalimat Luthfi terpotong ketika pintu poliklinik terbuka. Sebuah kepala muncul dari celah sempit bukaan pintu. Kepala dengan senyuman yang manis.

"Eh? Lagi sama siapa, Fi?" Senyuman James menghilang, ia masuk ke dalam, tangan kanannya memegang sebuah plastik hitam. Ia masih mengenakan baju jaga, habis jaga semalam.

"Ine, koas dulu yang pernah diskusi sama lo katanya. Sekarang lagi magang sama Prof. Kamal." Jawab Luthfi, menerima plastik hitam dari tangan James. Ia langsung melongok isinya, tentu saja sarapan untuknya.

Semenjak Luthfi membantu James mengangkut bunga saat James menembak Ia sekian tahun lalu, James berjanji untuk memberikannya sarapan setiap kali Luthfi punya jadwal poliklinik. Janjinya sih hanya 1 tahun, tapi karena becandaan Jin yang bilang kalau James berhenti memberikan Luthfi sarapan, hubungannya juga bisa berhenti, jadi gak jadi berhenti.

"Terus, terus kalau ngasihnya berhenti, hubungannya juga berhenti hahaha." canda Jin saat James menceritakannya untuk pertama kali, yang lain ketawa, James keringet dingin.

Tapi namanya juga James-Luthfi, mau percaya atau gak percaya dengan becandaan Jin, dua orang ini emang selalu nempel terus.

"Wih keren, pinter dong." Puji James.

"Tadi gue juga bilang gitu. Prof. Kamal kan selektif banget, pasti maunya yang paling pinter dari yang terpinter." Ucap Luthfi kemudian. Kedua pipi Ine memerah.

James berdiri di samping Luthfi, "Tadi gue udah curiga kenapa lo pagi banget. Gue kira tadi ada yang jauh-jauh ke sini HEHEHE." James memukul punggung Luthfi. Begitu dekat dengan Dila, Luthfi langsung cerita dengan James, sahabatnya. Sejak itu, James selalu menanyakan keberadaan Dila karena ingin sekali bertemu dengannya secara langsung.

"Ngaco, udah pergi sana!" Luthfi ikut tertawa, tangannya mendorong tubuh James.

---

"Halooo, Ade Agil sehat? Iya? Huaduh beratnyaaa. Makan apa ini, Ma?" Luthfi mengangkat bayi pasien pertamanya di pagi itu. Ia kemudian mendudukkannya di atas meja periksa.

"WIH! Udah bisa duduk anak Dokter?" mata Luthfi melebar, kedua tangannya mengambang di kanan dan kiri pasiennya, sang bayi menunjukkan kebolehannya seimbang duduk.

Ibu pasien tertawa sambil membenarkan kain gendongannya, "Hahaha iya dr. Luthfi, Agil udah bisa duduk dari seminggu yang lalu"

"Aduh Dokter ketinggalan, terus terus udah bisa apa lagi ini?" Luthfi mulai mengeluarkan stetoskop macannya.

"Lumayan Dok, nambah bisa manggil 'nene' sekarang."

Luthfi memajukan bibirnya, stetoskopnya masih tergantung. Kedua tangannya diletakkan di pinggir tempat tidur, matanya disejajarkan dengan bayinya. Bayinya sendiri masih asik bermain dengan tangannya. "Dokter kapan? Panggil dong, 'dokter Luthfi', 'dokter Luthfi'"

"Kepanjangan kali, Dok" perawat di sebelahnya tertawa.

BUG.

Kaki gemuk Agil menendang dada Luthfi.

Mata Luthfi membulat. "Wah nendangnya udah kuat nih, bentar lari lari nih kayaknya, Ma!" Luthfi menggendong bayinya, menggelitikinya sampai bayinya tertawa.

Dari seluruh poliklinik anak, Luthfi paling senang praktik di poliklinik tumbuh kembang. Pasien di poli ini relatif lebih sedikit dibandingkan yang lain. Ditambah lagi, ada banyak mainan di dalamnya. Luthfi jadi bisa bermain dengan bayi-bayi dan anak-anaknya sepuasnya.

Selama praktik, senyum kotaknya tidak lepas dari wajah Luthfi. Setiap pasien yang datang langsung disapa dan digendongnya. Motto poliklinik Luthfi adalah: datang menangis, pulang tersenyum.

Sepanjang poli, pandangan Ine diam-diam dilemparkan pada Luthfi. Beberapa kali tangannya bersentuhan dengan Luthfi saat ikut membantu memeriksa pasien, entah pria itu sadar atau tidak. Setiap hal itu terjadi, hati Ine rasanya tidak tenang, jantungnya berdegup kencang, bahkan sesekali badannya menegang. Sulit sekali rasanya mengontrol dirinya.

Pembawaan Luthfi sangat memesona di mata Ine. Bukan hanya kepada pasien, bahkan kepada perawat dan orang tua pasien. Semua itu membuat Ine tidak sabar untuk berkunjung ke Poli Tumbuh Kembang setiap harinya. Bahkan, Ine dapat berubah bad mood ketika hari itu ia dipanggil Prof Kamal untuk magang di kantor Departemen anak, bukan di Poliklinik Tumbuh Kembang. Ya, karena kesempatan Ine untuk bersama Luthfi tentu saja jadi musnah.

---

"Emm, Dok" ucap Ine saat

---

--Chat Group 7--

James: panas ya

Jaka: iya panas

Jin: ape lagi ni

Jaka: gerah banget buset

James: ada yang maen api ya?

Jaka: siapa nih yang maen api?

Ihsan: wkwkwk siapaa?

James: inisial L

Jaka: U

James: T

Jaka: H

Jin: Kelamaan. Kenapa si Luthfi?

Ihsan: James buru spill

James: Si Luthfi gue pergokin di poli sama anak magang Prof. Kamal

Gio: udah gila lu Fi

Jaka: Yee Bang Gio mantau juga ternyata

Jin: udahan kali dia HTSan sama Dila?

James: masih baaang

Jaka: itu lah

Ihsan: ya gak sama anak magangnya Prof. Kamal juga kali nyari mati

Juno: asas praduga tak bersalah. Mari kita undang @Luthfi Anak

Ihsan: gile si Luthfi jomblo paling lama, peminat paling banyak

Jin: kalau masalah jumlah peminat, boleh diadu sama gue

Luthfi: apaan sih-_- gue gak ngapa2in.

---

Luthfi berdiri di depan pintu IGD, menguap sejadi-jadinya. Udara pagi itu lumayan dingin, rupanya badai hujan semalaman yang membuat anak-anaknya menangis ketakutan ada manfaatnya juga akhirnya. Cuaca dingin begini cocoknya memang dipakai tidur. Luthfi bisa mencium wangi kopi di sebelah kanannya, 2 orang satpam sedang menyisip kopi masing-masing. Luthfi mengerutkan hidungnya, heran mengapa ada orang yang menyukai minuman pahit itu. Jangankan rasanya, mencium aromanya saja ia sudah mual. Kata siapa kuliah kedokteran dan spesialis harus banyak minum kopi biar bisa kuat begadang untuk belajar? Buktinya Luthfi bisa melewati itu semua dengan modal jus stroberi.

Jadi pengen, pikir Luthfi. Baru saja ia mengeluarkan handphone untuk memesan delivery ke apartemennya, terdapat panggilan masuk.

Prof. Kamal.

Mati gue. Luthfi mengingat dengan cepat pasien-pasien Prof. Kamal yang dipegangnya semalam, rasanya tidak ada? Pernahkah ia salah menangani pasien Prof. Kamal di ruangan?

"Selamat pagi, Prof." Luthfi menjawab panggilan.

"Ya Dok. Bisa ketemu sebelum poli?"

"Bisa, Prof." Jawab Luthfi, refleks. Kepalanya masih berusaha mengingat semua pasien-pasiennya.

"Oke saya tunggu. Saya udah di poli."

Klik.

Luthfi langsung berjalan cepat ke arah poliklinik. Goodbye jus stroberi.

---

Suasana poliklinik pagi itu kosong, hanya ada Luthfi dan Prof. Kamal yang duduk di seberangnya. Sang profesor tidak sedang menatap Luthfi, namun Luthfi sudah merasa ditatap oleh beliau. Sang profesor pun belum mengucapkan satu patah kata pun, tetapi Luthfi sudah merasa ia akan dikritisi. Begitulah. Prof. Kamal memang sangat disegani. Setelah hampir lima menit saling berdiam diri di sofa masing-masing, akhirnya Prof. Kamal mulai berbicara.

"Kamu baru jaga atau mau jaga?" Tanya Prof, melihat seragam jaga yang masih melekat di tubuh Luthfi. Luthfi melengos lega, bahwa setidaknya suasana hening itu kini bisa cair. Walaupun ia masih cukup cemas, khawatir kalau yang beliau ucapkan habis ini dapat berbahaya baginya.

"Baru jaga, Prof."

"Ya sudah, hanya sebentar saya ajak ngobrol. Tidak apa-apa ya?"

"Tidak apa-apa, Prof." Jawab Luthfi tenang. Berusaha tenang tepatnya. Mau ngobrol apa? Pikiran Luthfi sudah melayang kemana-mana.

Ngobrol apa ini? Apakah performa Luthfi di Poli menurun? Apakah Luthfi melakukan kesalahan diagnosis atau tatalaksana pasien? Apakah Luthfi akan diberi hukuman atau tugas? Apakah Luthfi tidak disukai oleh para konsulen?

Prof. Kamal memajukan tubuhnya, Luthfi refleks mengikuti.

"Kamu sudah bertemu dengan Ine?"

Hah. Bener juga. Jangan-jangan Luthfi tanpa sadar membuat Ine, anak magang Prof. Kamal ini merasa tersudutkan. Atau lebih parahnya lagi, ada sikap Luthfi atau kesalahan Luthfi dalam menangani pasien yang sampai di telinga Prof. Kamal. Gawat.

"Sudah, Prof." Jawab Luthfi sambil menelan ludahnya.

"Gimana menurut kamu?"

Maksudnya?

"Maksudnya bagaimana Prof?"

"Ine. Anak magang di Tumbuh Kembang. Bagaimana menurut kamu?"

Luthfi menghembuskan napas lega, bahkan cenderung agak kencang hingga Prof. Kamal mengernyit heran. Kini, pikiran buruk di kepalanya perlahan sirna, mengetahui bahwa ia dipanggil kesini bukan untuk dicaci maki atau dicecar, melainkan hanya ditanyai perihal anak magang baru itu. Mungkin Prof. Kamal ingin melakukan evaluasi.

"Ketemunya di poli aja, Prof. Selama ini kerjanya baik, Prof. Anaknya mau dan cepat belajar."

"Kalau karakternya bagaimana?"

"Baik juga, Prof. Sopan."

Prof. Kamal mengangguk. "Kamu sudah jalan dengan dia?"

Hah?

"Dia anak saya satu-satunya."

HAH?

"Dia bilang ke saya kalau dia ada hati sama kamu."

HAAAAAAAH??

Ini jauh lebih buruk daripada mendapat caci maki dan cercaan dari Prof Kamal! Bahkan lebih buruk daripada Luthfi harus mengulang rotasi Tumbuh Kembang.

Untung Luthfi bisa akting, ia bisa menyembunyikan ekspresinya. "Ine belum bilang apa-apa, Prof dengan saya-"

Seorang perawat mengetuk pintu poliklinik dan masuk ke dalam ruangan, "Permisi, Prof. Sudah boleh mulai panggil pasien masuk?"

"Ya, boleh." Prof. Kamal menjawab, sang perawat keluar ruangan sebentar, kemudian membawa pasien masuk. Prof. Kamal kembali menatap Luthfi. "Saya titip dia sama kamu. Saya tidak tahu kamu orangnya seperti apa, tapi jangan sakiti hatinya. Kamu boleh pulang, istirahat."

Luthfi masih mematung, berusaha untuk menggerakan kepalanya ke atas dan kebawah, bermaksud mengangguk. Kemudian, dengan kikuk, ia mulai berdiri dari kursinya.

"Oh iya satu lagi," ucapan Prof. Kamal menghentikan langkahnya. "Dia tidak mau kamu tahu saya ayahnya dia. Jangan sampai ketahuan kamu tahu kalau saya ayahnya."

Skak mat.

---

Ting!

Tanda ada sebuah pesan masuk di handphonenya. Luthfi melirik sejenak, melihat nama pengirim pesan itu. Ia hanya menghembuskan napas, rasanya enggan untuk membukanya. Namun, ia juga takut kalau isi pesan itu merupakan pesan penting, apalagi menyangkut studinya.

Chat

Ine: Pagi, Dok. Ini Ine, anak magangnya Prof. Kamal. Mohon maaf mengganggu waktunya, Dok. Prof. ada acara ulang tahun di Restoran Daun Hari Sabtu ini, kebetulan ini acara khusus untuk rekan kerja jadi beliau mengundang beberapa konsulen dan perwakilan residen. Dokter salah satu yang diundang. Jika Dokter berkenan. Terimakasih sebelumnya Dok.

Luthfi memandang handphonenya, bingung bagaimana harus mengartikan pesan yang disampaikan itu.

"Konsulen?" Suara Dila dari laptopnya terdengar. Ia sedang berada di tengah-tengah sesi-belajar-bersama-via-video-callnya dengan Dila. Tampak Dila sedang merapikan rambut panjangnya dengan jepitan. Malam itu Dila mengenakan baju piyama panjang berwarna cokelat.

Luthfi menggeleng. "Anak magang konsulen." Jawabnya jujur.

Mulut Dila terbuka membentuk huruf O. Kemudian kembali menatap buku yang sedang ia baca. Mungkin ia mengira anak magang yang menghubungi Luthfi hanya menyampaikan tugas yang harus dikerjakannya. Dila memang belum mengetahui perihal Ine. Semenjak pertemuannya dengan Prof. Kamal (baca: AYAH INE) hampir sebulan yang lalu, Luthfi hanya sesekali bertemu dengan Ine di poliklinik. Semakin diperhatikan, memang Luthfi semakin sadar kalau Ine sering memerhatikannya. Luthfi sendiri bingung bagaimana harus menyampaikannya kepada Dila. Dila kan bukan pacarnya? Memangnya Dila peduli? Kalau-kalau ia bercerita perihal ini, bagaimana jika nanti Dila malah mengira Luthfi sedang dekat dengan perempuan lain lalu ia menghindar? Atau lebih parah, bagaimana jika Dila menjadi risih kepada Luthfi? Luthfi kan tidak tahu kalau Dila menyukainya atau tidak.

"Dila,"

Dila menatap monitornya, setengah badan Luthfi yang mengenakan kaus putih. "Kenapa?"

"Kamu mau pacaran?"

Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Luthfi. Ia memutuskan untuk tidak berpikir dua kali. Katakan sajalah apa yang ada dihatinya. Perkara ditolak, urusan belakangan. Justru, ia takut Dila menanggapnya tidak serius.

Dila mengerutkan alisnya, tangannya tampak memainkan pulpennya. Sampai saat ini Dila sudah terbiasa dengan pertanyaan-pertanyaan random Luthfi. Serandom apapun, ia akan menjawab dengan serius. Ia mengira bahwa ini adalah salah satunya. "Belum ada rencana. Mau fokus ujian nasional. Lagian lagi gak deket sama siapa-siapa."

Luthfi menatap Dila sejenak. Apa maksudnya Dila tidak merasa dekat dengannya? Sepertinya ia harus berusaha lebih lama lagi mendekatinya.

Chat

Luthfi: Oke Ne, jam berapa?

---

Pesta ulang tahun Prof. Kamal berlangsung hangat. Seperti yang Ine bilang, beberapa konsulen dan residen anak lain datang untuk ikut memeriahkan acara. Dan seperti yang Prof. Kamal bilang, Ine benar-benar tidak ingin ketahuan kalau ia adalah anaknya. Sepanjang acara tadi, Ine tidak banyak berinteraksi dengan ayahnya sendiri.

Saat residen lain berpamitan, Luthfi harus tinggal di tempat karena Prof. Kamal ingin membicarakan sesuatu selepas acara. Luthfi tahu itu hanya alasan agar ia bisa lebih lama berinteraksi dengan Ine, yang membuatnya kurang nyaman. Tapi mau bagaimana lagi? Baru ada kabar pula yang menyebutkan bahwa beliau akan menjadi salah satu penguji tesisnya nanti.

Luthfi duduk di kursi paling pojok, tidak bisa bergabung dengan para konsulen senior yang sedang bernostalgia membicarakan pekerjaan dan keluarga masing-masing. Karena sudah berjuang bersama dahulu, mereka menjadi kenal terhadap keluarga masing-masing.

"Permisi Dok." Ine berdiri di hadapannya. Ia mengenakan dress berwarna merah muda selutut, rambutnya tergerai. "Prof. bayarin dokter dessert, sudah dipesan di kafe di dalam restoran. Nanti setelah ini beliau juga akan mengobrol dengan Dokter di sana. Saya juga disuruh menunggu di sana saja."

Luthfi mengangguk dan mengikuti Ine. Sekilas ia merasakan pandangan Prof. Kamal padanya.

Kafe di dalam restoran itu kecil, jaraknya agak jauh dengan tempat mereka makan tadi. Sebuah musik klasik terdengar lembut. Di dalam kafe itu hanya ada 2 pasang kursi dan meja. Luthfi dan Ine memilih duduk di salah satunya. Tidak berapa lama, seorang pelayan menghidangkan 2 potongan kue dan 2 gelas teh. Ine bertanya mengenai jalur-jalur karir di bidang kedokteran setelah ia lulus nanti, termasuk pengalaman-pengalaman Luthfi sebagai dokter umum dan residen.

"Saya mau jadi dokter anak karena melihat Dokter, Dok." Ucap Ine sambil tersenyum di tengah-tengah percakapan mereka.

Luthfi refleks ikut tersenyum. "Kok bisa?"

"Dokter keliatan tulus."

Luthfi tidak memberikan balasan apapun atas pernyataan Ine. Ia hanya memandang Ine, langsung pada matanya, membuat Ine malu dan menunduk. Saat ia hendak melanjutkan langkahnya, tiba-tiba handphonenya bergetar. Sebuah notifikasi WA. Dari Dila.

Chat

Dila: Mau belajar bareng?

Luthfi sudah tidak tahan, ia harus menyudahi ini semua. Ia merasa sangat bersalah bila melanjutkan langkahnya menemui Prof. Kamal sesuai dengan permintaan beliau. Ia juga tidak tega menyakiti perempuan di hadapannya ini. Luthfi tahu Ine tidak bersalah. Tidak ada yang salah dalam situasi ini. Hanya tidak tepat.

"Ine."

"Ya Dok?"

"Kamu suka sama saya?"

"Eh-"

"Saya" Luthfi menjilat bibirnya, "lagi suka sama orang lain. Teman saya."

Ine menunduk. "Temannya juga suka sama Dokter?"

"Saya gak tau sekarang. But it's irrelevant, right? Saya gak mau nyakitin kamu, jadi saya mau jujur."

Ine masih menunduk, tidak ada tanda-tanda air mata. "Sama kan, Dok? Saya juga gak tau Dokter suka sama saya atau engga? Kita baru kenal sebentar... and it's irrelevant. Saya salah kalau suka sama Dokter? Saya gak ganggu Dokter kan?"

Luthfi berpikir sejenak, merangkai kata-kata yang pantas dan tidak menyakiti. "Kalau saya pacaran dengan teman saya, itu mengganggu kamu?"

"Apa bedanya saya dengan teman Dokter? Saya mau ini semua seimbang, jadi Dokter bisa memutuskan dengan adil. Kalau teman Dokter residen, putuskan saat saya jadi residen... Kalau dokter kenal dengan dia 5 tahun, putuskan saat saya sudah kenal sama Dokter 5 tahun juga... Saya mau berusaha, Dok."

"Kamu... jangan mengubah diri kamu demi orang lain." Ucap Luthfi, sepelan mungkin.

"Kalau mengubah diri saya ke arah yang lebih baik kan bagus Dok."

"Saya tahu, tapi... Saya gak ngerasa perasaan yang sama dengan kamu."

"Kalau gitu izinkan saya, Dok. Izinkan saya suka sama Dokter, setidaknya izinkan saya berusaha. Saya akan berjuang menjadi residen. Saya gak minta Dokter untuk nunggu, atau menyukai saya. Saya cuma minta Dokter untuk membiarkan saya suka."

Luthfi menghembuskan napas perlahan, lalu mengangguk pelan.

Setelah percakapan dengan Ine berakhir, Prof. Kamal tidak benar-benar datang untuk berbicara dengannya. Pun tidak ada percakapan antarkeduanya setelahnya selain saat sidang.

---

"Kalau gue ranking satu, gue jadi pacar lo ya" ucap Luthfi tiba-tiba di sela-sela sesi belajar-bareng-via-video-call-mereka. Entah sudah berapa kali mereka melakukan ini. Padahal isinya hanya Luthfi dan Dila yang masing-masing membaca catatan mereka tanpa berbicara. Hanya sesekali satu di antara keduanya bertanya kepada yang lainnya jika ada hal yang tidak dimengerti. Ujian nasional kelulusan dokter spesialis anak sudah di depan mata, 1 minggu lagi mereka akan menjalaninya.

Dila yang masih pusing menghafalkan dosis-dosis obat di depannya mendongak ke layar, bingung. "Bilang apa tadi?"

"Kalau gue ranking satu, gue jadi pacar lo."

Alis Dila berkerut "Itu pertanyaan atau pernyataan?"

"Per-" Luthfi berhenti sejenak, tangan kanannya dinaikkan ke dagunya, sepertinya berpikir benar-benar keras.

Dila mengangkat kedua alisnya.

"-tanyaan." Luthfi menyelesaikan jawabannya dengan mantap.

"Kalau gak ranking satu?"

"Kalau engga, ya gak jadi pacaran."

"Gak seru dong, gak ada hukumannya?"

Luthfi mendesis, bibirnya dimajukan, wajahnya tampak berpikir keras. Ia memposisikan kursinya agar dirinya lebih dekat dengan layar. "Kalau engga, lo jadi pacar gue"

Dila tertawa pelan "Apa bedanya?"

"Beda." Dila menunggu penjelasan Luthfi. "Kalau gue jadi pacar lo, berarti lo yang nembak. Kalau lo jadi pacar gue, berarti gue yang nembak"

Dila berusaha mengerti ucapan Luthfi. Untungnya lebih mudah daripada menghapalkan dosis-dosis ini. "Jadi maksudnya, kalau lo ranking 1, gue yang nembak lo, kalau gue ranking 1, lo yang nembak gue?"

Luthfi menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. "I'm in if you're in."

Dila menatap wajah Luthfi sejenak, wajah yang tidak pernah berubah sejak dulu. Wajah yang pertama kali ia lihat setiap pagi di kelas pukul setengah 6 pagi. "I'm in." Ucapnya.

----

Jari-jemari Luthfi bergerak tidak sabar di handphonenya. Dia sedang menunggu pdf pengumuman hasil ujian nasional untuk membuka. Memori handphonenya terlalu penuh dengan foto-foto hasil pemeriksaan pasiennya membuat handphonenya beroperasi dengan lebih lambat.

1. dr. Luthfi Haidar
2. dr. Dilanita Amanda Rahmi

Luthfi tidak peduli nama-nama selanjutnya. Dengan cepat ia sudah melakukan panggilan video call kepada Dila.

Begitu tersambung, muncul wajah Dila yang menutup wajahnya dengan tangan kirinya. Tampaknya ia juga masih berada di rumah sakit. "Aduhh gue kalah yaaa" Dila memelas. Luthfi tertawa puas.

"Beneran harus nembak nih gue?" tanya Dila, masih menutup wajahnya yang kini memerah.

Luthfi hanya kembali tertawa.

"Aduhhh yaudah Luthfimaujadipacarguega?" tanya Dila cepat-cepat.

"Apa apa? Kecepetan" goda Luthfi masih sambil tertawa.

"Aduhhh" Dila menahan rasa malunya dan mengatakan, "Luthfi, mau jadi pacar gue gak?"

Luthfi tersenyum lebar, rasanya ia ingin pergi ke Surabaya dan menemui Dila langsung. Dilanya. "Harus keliatan mukanya"

"LUTHFI ADUH UDAH DONG."

Baru saja Luthfi ingin membatalkan karena merasa kasihan dengan Dila, Dila menghela napas panjang dan menghadapkan wajahnya ke kamera. "Luthfi Haidar, ranking 1 ujian nasional PPDS anak, mau gak jadi pacar gue?"

Luthfi tersenyum puas. "Iya, gue terima." kemudian,

"Dil?"

"Ya?"

"Kita nikah aja kali ya? Kamu mau aku jadi suami kamu gak?"

---

Continue Reading

You'll Also Like

1M 35.2K 62
π’π“π€π‘π†πˆπ‘π‹ ──── ❝i just wanna see you shine, 'cause i know you are a stargirl!❞ 𝐈𝐍 π–π‡πˆπ‚π‡ jude bellingham finally manages to shoot...
809K 18.4K 47
In wich a one night stand turns out to be a lot more than that.
136K 3.7K 54
Daphne Bridgerton might have been the 1813 debutant diamond, but she wasn't the only miss to stand out that season. Behind her was a close second, he...
930K 56.9K 119
Kira Kokoa was a completely normal girl... At least that's what she wants you to believe. A brilliant mind-reader that's been masquerading as quirkle...