Mr.Teacher Pervert [Completed...

By Ulfa_Al

2.7M 106K 3.3K

Arabella Pramudhita yang sudah kelas dua belas yang dimana tahun depan dia akan lulus dan melanjutkan pendidi... More

01.
02
03
04
05
06
07
08
09
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
Ekstra Part 1
Ekstra part 2
Ekstra part 3
Ekstra Part 4
New Story

51

49.7K 1.8K 65
By Ulfa_Al

Aku menatap matanya yang tajam, perlahan aku mundur merasa ngeri.

Ia ikut merangkak di atas ranjang, seketika aku menghindar hendak turun, tapi Pak Revan menarik kakiku hingga tubuhku jatuh dan terbaring di depannya.

"Pak lepasin! Biarkan saya pergi!" jeritku memberontak. Menggerak-gerakkan kakiku sembarangan berharap ia melepaskan cekalannya.

Ia kembali merangkak semakin memperdek jarak. Ia berada di antara kakiku seraya membungkuk dengan tangannya yang bertumbu di samping kepalaku dan tangan satunya lagi menahan daguku.

"Pak saya mohon lepasin," mataku berkaca-kaca menatap bola matanya.

"Kamu ingin pergi tanpa peduli akan perasaan saya. Saya tidak akan melepaskanmu," bisiknya tepat di depan wajahku.

"Lebih baik saya yang pergi. Saya nyerah," cicitku tak sanggup menahan tangis.

"Semudah itu? Semudah itu kamu mempermainkan perasaan saya?"

Aku menggeleng. Bukan aku yang memepermainkan perasaannya tapi dia yang mempermainkan perasaanku. Di saat aku sudah mulai membuka hati ternyata dia akan tetap bersama Miranda.

"Bukannya Bapak yang-"

Pak Revan malah membungkam mulutku dengan bibirnya. lidahnya terus melesak masuk tanpa memperdulikan aku yang berusaha mengatakan sesuatu.

Ia menarik wajahnya, kini tangannya pindah ke atas kemejaku.

"Pak jangan!" aku menahan tangannya yang hendak membuka kancing seragamku.

Awalnya ia cukup sabar untuk membukanya satu-persatu, tapi melihatku yang semakin berontak ia segera kegilaan akal dengan menarik, mengoyak kemejaku hingga kancingnya lepas dan bertaburan.

Kemejaku rusak dan terbuka lebar memperlihatkan tanktop hitam yang menutup tubuhku bagian atas. Pak Revan segera menyingkirkan penghalang itu dengan menyibak tanktopku hingga ke atas dada, menampilkan buah dadaku yang masih terbungkus bra.

Telapak tangannya mendarat di pucuk payudaraku lalu meremasnya. Kepalanya mendekat menciumi pelipisku hingga ke dagu sembari memberikan gigitan pelan.

Tangannya masuk ke dalam bra-ku menyentuh langsung di kulit payudaraku. Aku mencengkram pergelangan tangannya karena ia cukup kuat meremasnya, jelas itu sakit.

Ia melepaskan payudaraku lalu beralih ke bawah diantara kakiku. Ia menyibak kain yang menutupi kemaluanku, jarinya membelai dengan pelan kemudian memasukkan jarinya perlahan.

"Akh!" tubuhku bergetar ketika Pak Revan memaju-mundurkan jarinya membuat bagian sana menjadi sangat basah.

Ia memandangiku yang gelisah. Dengan satu kali hentakan ia berhasil menarik celana dalamku lepas dari kakiku.

Ku lihat ia melepas gesper miliknya lalu membukanya sembarangan. Ia menegakkan tubuhnya, membuka resleting celananya seraya memposisikan benda miliknya tepat di depan pintu kewanitaanku.

"JANGAN! ka-kalau Bapak berhenti sekarang, aku tidak akan mengatakannya pada siapapun. A-aku akan melupakan kejadian ini. Lepaskan Pak!" aku berucap dengan air mata yang menggenang di sudut mataku.

"Saya akan melepaskanmu jika kamu tetap bersamaku. Jangan pernah lagi meengatakan ingin pergi dan melupakan saya begitu saja!"

Aku menggeleng. Bagaimana bisa aku tetap bersamanya jika dia sudah memiliki perempuan lain. Aku dianggap apa?

"Jadi cuma ini satu-satunya cara agar kamu jadi milik saya?" ucapnya memasukkan miliknya ke dalam milikku.

"Aaakhh!" aku merasa aneh, ujung benda itu baru saja masuk sedikit. Rasanya agak perih dan menganjal, aku ingin segera mengeluarkan benda itu.

Ia mendorong pelan miliknya untuk semakin masuk ke dalam. Aku menangis tersedu-sedu karena merasa sakit sekaligus takut.

"Pak sakit, saya mohon jangan lakukan itu" ringisku mendorong perutnya.

"Rileks Ara! Ini akan semakin sakit jika kamu terus meronta-ronta seperti ini!" gumamnya.

"Saya akan benci Bapak selamanya kalau Bapak tetap lakukan!" pekikku, menutup kedua mataku yang banjir air mata dengan lenganku. Aku tidak mau melihat wajahnya saat melakukan itu. Aku takut.

Untuk sesaat ia terdiam, tak bergerak sedikitpun. Lalu dia memegang tanganku, menyingkirkannya dari depan mataku.

Pandanganku mengabur karena mataku yang basah oleh air mata.

Pak Revan mundur, menarik miliknya dariku. Detik setelah ia melepaskanku, aku langsung bergerak mundur hingga mentok punggungku menyentuh kepala ranjang.

"Ara-"

Aku menekuk lutut, memeluk kakiku, menunduk menyembunyikan wajahku.

Ranjang bergetar karena Pak Revan yang bergerak mendekat. Ia menyentuh bahuku yang berguncang karena menangis.

Tapi saat tangannya bertengger dibahuku, aku bergeser ke ujung, tepi kasur. Ia tetap mendekat, menarik lenganku kuat hingga kepalaku menabrak dadanya, ia juga melingkarkan tangannya di tubuhku, memelukku.

"Maafkan saya."

Aku berusaha meloloskan diri, tapi Pak Revan semakin erat memelukku seraya berulang kali menggumamkan kata maaf.

"Maaf, maaf, maaf, maaf Ara," bisiknya di telingaku.

"Bapak buat saya takut. Bapak keliatan menakutkan sekarang!" tangisku kencang bersandar di dadanya.

"Tapi saya tetap tidak akan membiarkanmu pergi. Tak akan pernah menerima jika kamu mengatakan akan kalau kita seharusnya tidak usah bertemu. Bersikap layaknya tak saling mengenal. Itu menyakiti saya Ara!" ia meraih tanganku, menciumi punggung tanganku bertubi-tubi lalu menempelkan telapak tanganku di pipinya.

Aku mendongak melihat wajahnya yang juga menatapku. "Bapak egois! Saya tidak bisa bersama Bapak lagi!"

"Kenapa tidak bisa? Apa yang membuatnya menjadi tidak bisa? Ara dengar, saya serius mengatakan kalau saya mencintai kamu!"

"Terus gimana sama Miranda?" jeritku. "Bapak dijodohin sama Miranda kan?"

Ia terdiam, wajahnya tampak pias. "Darimana kamu tau?"

Tuhkan! Apa jika aku tidak pernah mengetahui ini dia akan tetap merahasiakannya dariku? Tega sekali dia!

"Ternyata bener? Bapak bakalan tunangan sama Miranda?" air mataku kembali menumpuk di pelupuk mata. "Bapak jahat! Bapak bilang cinta sama saya! Bapak bersikap peduli cuma untuk mempermainkan perasaan saya? Untung saja Miranda datang dan mengatakan semuanya!"

"Miranda yang mengatakannya?" tanyanya.

Aku mengangguk tersenyum pedih. "Yah, Miranda yang mengatakannya. Pantesan Bapak diam saat saya bertanya siapa Miranda, ternyata kalian memiliki hubungan seperti itu! Bapak tau dia bilang apa?" aku tertawa, menertawakan diriku sendiri. "Dia terlihat sangat benci pada saya. Tentu saja dia benci! Tanpa sadar saya sudah mengambil miliknya! Saya rasa kata jalang yang dia ucapkan cocok untuk saya!"

Aku menyentuh wajahnya. Menatap matanya dalam. "Hati saya sakit! Saya terus memikirkannya, bahkan saya tidak berani bertanya langsung pada Bapak, saya takut. berharap kalau yang dikatakan Miranda bohong!"

"Bapak bilang saya tidak peduli perasaan Bapak? Bapak yang tidak peduli!" aku meyeka air mataku. "Saya cinta sama Bapak! Tapi cinta yang Bapak bilang ternyata bohong! Bagaimana bisa saya tetap bersama Bapak kalau pada akhirnya Bapak memilih Miranda?"

"Bapak tega banget!" pekikku, menggepal tanganku menghantam dadanya.
Beruntun pukulan kuberikan hingga akhirnya aku lelah, lalu mencengkram bahunya, menunduk lagi menyandarkan kepalaku di dadanya seraya terus menangis.

Pak Revan menangkup kedua pipiku, mendongakkan wajahku kembali. "Sudah?"

"Ha?"

"Sudah marahnya?"

Aku terdiam sesugukan.

"Kamu salah paham Ara. Saya memang pernah dijodohkan dengan Miranda, tapi itu waktu kami kuliah. Dan saya sama sekali tak menerima perjodohan itu!"

Kernyitan dahiku semakin dalam, rasa sedihku tadi digantikan oleh rasa heran.

"Miranda yang mengatakan itu padamu kan?"

Aku mengangguk.

"Astaga Ara. Kamu percaya begitu saja?" geramnya.

Dia menampar, menjambak dan mengata-ngataiku, ya tentu saja aku percaya. Dia terlihat sangat murka.

Ia turun, berdiri di depanku. Berjalan mengambil jas-nya yang tadi ia lempar. Rupanya dia mengambil ponsel.

Ia menyalakan ponsel, selanjutnya ia membawa ponsel itu ke telinga. "Nuan temukan Miranda dan bawa dia ke hadapan saya! Dan juga hubungi Pak Walden, dia juga harus datang menemui saya!" usai mengatakan itu, ia segera mematikan ponsel dan melemparnya ke sofa.

Aku turun dari ranjang, melangkah menjumput cepat celana dalamku yang tergeletak begitu saja lalu memakainya. Aku memakai kemeja yang sudah rusak yang tidak bisa dikancing lagi. Aku mengikatnya dari bawah, bra yang ku kenakan sedikit menyembul dari luar karena tanktop-ku saja tak cukup untuk menutupinya.

"Mau kemana?" Pak Revan bertanya saat aku hendak berlari ke kamar mandi.

"Kesini!" jarinya mengail memintaku untuk datang padanya.

Aku diam, tak berani mendekat.

Pak Revan memungut kemejanya lalu menghampiri. "Pakai ini!"

Aku mengambil kemeja di tangannya. Bergegas memakainya.

Pak Revan menggenggam tanganku, membawaku menuju sofa. Duduk dengan santai, ia menarik pinggangku hingga aku jatuh di atas pahanya.

Aku bergerak gelisah di pangkuan Pak Revan karena merasa sesuatu yang mengganjal.

"Ara jangan bergerak! Kamu mau saya melanjutkan yang tadi?" suaranya serak berbisik di belakang telingaku membuatku merinding.

Pak Revan melingkarkan kedua tangannya di perutku. Menumpukan dagunya di atas bahuku.

"Ara dengar, saya tak akan segan melakukan hal seperti tadi jika kamu masih ingin pergi!"

Ujung hidung Pak Revan menyentuh kulit leherku, mengendus-ngendus di sana.

Aku hanya diam tak berani bergerak, karena ancamannya.

"Pak, kenapa manggil Miranda ke sini?" tanyaku.

Ia menghentikan sejenak kegiatannya mengecupi leherku. "Memberi penjelasan tentang kebohongan yang dia katakan Padamu! Berani sekali dia!" ia menggigit bahuku menyalurkan rasa kesalnya.

Cukup lama ia menggerayangiku, terdengar ponsel yang berdering. Pak Revan meraih ponsel yang berada tak jauh di sampingnya.

"Pak saya sudah di depan," ucap seseorang dapat kudengar karena ponsel pak Revan dekat ke telingaku.

"Masuk dan bawa dia!" ucap Pak Revan lalu memutus panggilan.

Tak lama, seseorang yang kutemui di bawah tadi datang.

"Revan kamu memanggil-" Miranda muncul dari belakang Pria itu.

Wajahnya nampak kaget. Sedetik kemudian berubah ganas.

Aku segera berdiri dari pangkuan Pak Revan.

"Cewek murahan! Apa yang kamu lalukan disini?" berangnya sembari melangkah menghampiriku tapi ditahan oleh Pak Revan.

"Miranda stop!"

"Lepasin Revan! Aku harus memberinya pelajaran!" teriaknya.

"Kamu siapa untuk memberinya pelajaran? Harusnya saya yang memberimu pelajaran karena sudah mengganggunya!"

Miranda terdiam menatap Pak Revan.

"Aku tidak suka melihatmu dengannya Revan!"

"Kenapa? Kamu bukan siapa-siapa Miranda!" balas Pak Revan.

"Tapi aku cinta sama kamu! Kamu tau itu kan?"

"Kamu tidak mencintaiku Miranda! Kamu hanya terobsesi padaku! Setiap perempuan yang dekat dengan saya, kamu tak segan-segan meyakiti mereka. Dari dulu kamu memang gila!"

"tapi itu aku lakukan agar mereka tak mendekatimu! Aku tidak suka! Kamu punyaku!"

"Kamu selalu mengatakan itu! Sudah berapa kali saya katakan, saya tidak menyukaimu! Jadi berhenti melakukan drama seperti ini!" murka Pak Revan.

"Pasti gara-gara perempuan itu kan? seharusnya dari awal aku melenyapkannya!" ia kembali mendekat hendak menamparku, tapi Pak Revan segera menyentaknya hingga terpental di lantai.

Ia terlihat shock. Menatap Pak Revan dengan mata yang berkaca-kaca.

"Jangan meyakiti gadisku Miranda! Atau kau akan tau akibatnya!"

"Re-van?" nafasnya memburu bersamaan dengan air matanya yang mengalir. "Kalau kamu terus menolakku seperti ini aku pastikan perempuan itu akan menderita Revan! Aku bersumpah!" ia menunjukku dengan wajah garang.

"Pak," panggil orang yang membawa Miranda tadi.

Kami bersamaan menoleh dan melihat seorang lelaki paruh baya sedang berdiri kaku menatap Miranda.

"Anda sudah datang Pak Walden?" pertanyaan retorika itu Pak Revan ucapkan dengan angkuh.

"Daddy?"

"Ada apa ini Revan? Kenapa Miranda menangis seperti itu?" tanya laki-laki yang dipanggil daddy oleh Miranda.

Miranda segera berdiri dan menghampiri ayahnya. "Daddy Revan punya perempuan lain! Aku tidak terima ini!" adunya.

"Karena anda sudah datang, saya akan mengatakan terus terang kalau putri anda sudah lancang menggagu gadisku!" jelas Pak Revan.

Pak Revan menarikku yang bersembunyi di belakang punggungnya, merangkul pinggangku posesif.

"Anda tahu kalau saya sudah menolak perjodohan yang anda tawarkan lima tahun silam. Tapi kenapa putri anda membohongi gadisku dengan mengaku sebagai tunanganku? Berani sekali dia!"

"Tapi Revan, kita semua tau kalau Miranda menyukaimu sedari dulu. Wajar saja dia bersikap begitu karena tak mau kehilanganmu."

"Apa? Wajar? Anda tidak tau saja kelakuan putri anda. Saya tidak bisa menerimanya. Dia bahkan mengatakan ingin melenyapkan gadisku! Saya memutuskan untuk berhenti membantu anda!" tutur Pak Revan.

"Tidak bisa seperti itu Revan! Kalau kamu berhenti membantu Om , darimana Om bisa minta suntikan dana? Bisa-bisa perusahaan Om bangkrut!" protesnya.

"Saya akan tetap berhenti," balas Pak Revan tenang.

"Om ini sahabat ayah kamu! Ayah kamu pasti tak mengizinkanmu untuk berhenti membantu mengembalikan perusahan Om, Revan!"

"Tak peduli apa yang akan dikatakan oleh ayah saya. Saya akan tetap melakukannya."

Wajah Pria paruh baya itu nampak pias. Ia menampar Miranda di hadapan kami hingga aku terkejut dibuatnya.

"Apa yang sudah kamu lakukan Miranda? Dasar anak kurang ajar! Bagaimana kalau kita kehilangan perusahan itu? Apa kamu sanggup hidup miskin? Minta maaf sekarang!" Pria itu berteriak pada putrinya.

"Tidak! Aku tak akan pernah membiarkan perempuan itu bersama Revan!" Miranda balas berteriak.

"Apa kamu bilang? Jangan membantah Miranda!" amuknya.

Pria itu berbalik menghadap Pak Revan. "Revan Om mohon sama kamu, bantu Om. Om akan melakukan apapun!"

"Apa pun?" ulang Pak Revan.

"Iya Apapun."

"Kalau begitu pastikan putrimu tak mengganggu lagi!"

Pria itu mengangguk. "Om akan mengirimnya ke rumah kakeknya di Australia. Jadi kamu tidak perlu khawatir!"

"DADDY AKU NGGAK MAU! KAMU SUDAH PERNAH MENGIRIMKU KE AMERIKA SELAMA DUA TAHUN! AKU NGGAK MAU BERPISAH LAGI SAMA REVAN!" Miranda menolak keras menagis tersedu-sedu. Aku sedikit kasihan padanya, ia terlihat menderita.

"Daddy akan tetap mengirimmu kesana Miranda!"

"Bagus!" sahut Pak Revan. "Nuan, bawa wanita itu pergi!" lalu beralih menatap ke Ayahnya Miranda. "Anda sebaiknya juga pergi Pak! Urusan kita selesai."

Pria bernama Nuan itupun menyeret Miranda yang terus berontak. Yang diikuti oleh pria paruh baya itu.

Kini ruangan ini menjadi hening.

"Ara."

Aku melirik Pak Revan dari sudut mataku.

"Kamu tadi mengatakan mencintaiku bukan?"

Ya, aku memang mengatakannya. Mengingat aku yang menangis tadi membuatku malu.

"Kamu kekasihku sekarang!" ucapnya penuh penekanan di setiap kata.

"Ha?"

Pak Revan memutar badanku mengahadapnya. "Tak ada penolakan! Kamu sendiri yang mengatakan kalau kamu mencintaiku. Jadi mau tidak mau kamu harus jadi kekasihku!" ucapnya lalu mencium bibirku.

"Pemaksa sekali dia!"





End

* * *

Ending yang membagongkan(emot batu) Author nggak pandai buat anding yang mengesankan😭

Jangan dihapus dulu dari perpustakaan kalian teman-teman! Masih ada ekstra part😘

Adegan itunya ada di sana🌚













Continue Reading

You'll Also Like

47.7K 5.8K 33
cr cover: pinters! [Sirius black X Jessica Potter] ⚠dunia sihir dan karakter by j.k Rowling! ⚠alur cerita sesuai karangan ku!
246K 18.8K 19
Bayangkan bagaimana tiba-tiba ditebak sama cowok paling populer di sekolah? Harusnya sih seneng, tapi tidak bagi Rei. Rei si cuek dan anti cowok popu...
147K 4.6K 35
21+ ROMANCE ✨ Seorang gadis yang telah sembuh dari sakit hati, kemudian bertemu dengan pria posesif yang memiliki masalah emosional akibat perceraian...
1.3K 215 14
20XX tahun dimana manusia dan makhluk liar yang sejenis dengan manusia namun pemakan manusia yang sangat liar tim EWC (Exterminator Wild Creatures)...