SINCERELY (Completed)

By felisurya

286K 33.7K 827

Di setiap keluarga, pasti ada saja satu orang yang dilabeli pecundang dan satu lagi yang menjadi everybody's... More

Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 22
Bab 23
Bab 24
Bab 25
Bab 26
Bab 27
Bab 28
Bab 29
Bab 30
Bab 31
Bab 32
Bab 33
Bab 34
Bab 35
Bab 36

Bab 21

6.4K 823 6
By felisurya

Sepanjang hari, Laura tidak lagi ada kesempatan bertemu Ergi karena sibuk. Sampai dia pulang pun, Ergi masih belum membaca pesannya. Apakah dia baik-baik saja? Laura tidak bisa berhenti memikirkan nasib Ergi. Apa iya, dia akan dituntut ke jalur hukum? Kalau Ergi, yang merupakan anak kepala departemen bedah, bisa terseret ke pengadilan, apa kabar dirinya yang bukan siapa-siapa? Bahkan, di mata Laura, Ergi tidak bersalah. Laura teringat kata-kata Ergi waktu itu.

"But life itself is so precious, that's why we became doctors, right? Itu sebabnya setiap hari kamu, saya, berusaha menyelamatkan nyawa. That's why, we must continue to live."

Miris sekali, orang yang begitu bersemangat menolong orang lain malah jadi terjerumus. Wouldn't it be simpler if people stop trying to help each other then? Laura menarik napas dalam-dalam dan pergi tidur. Keesokan paginya, masih belum ada juga balasan dari Ergi. Sesampainya di rumah sakit, Laura memberanikan diri untuk mendatangi Dokter Arifin di ruangannya. Kebetulan, saat Laura membuka pintu, dia melihat Pak Bram dan Bu Magdala.

"Laura, nanti aja bisa? Saya lagi ada urusan penting." Dokter Arifin langsung mengusir Laura begitu melihatnya.

Wajah Laura berubah cerah melihat sosok Ergi yang juga ada di sana, demikian juga Ergi.

"Bukannya ini saat yang tepat?" Laura malah menantang balik Dokter Arifin dengan melangkah masuk. "Pak Bram tadi lagi diskusi apa dengan Dokter Arifin?"

Pak Bram melirik Dokter Arifin, meminta pendapat apakah dia harus berhenti atau melanjutkan.

"Saya penasaran, siapa yang dibela rumah sakit ini," ucap Laura. "Kalau Ergi yang anaknya kepala departemen bedah aja kena sanksi, gimana orang biasa kayak saya? Para dokter juga butuh assurance bahwa rumah sakit tempatnya bekerja emang bisa dipercaya."

"Laura!"

"Pasien sepakat untuk nggak nuntut Dokter Ergi ke jalur hukum," ucap Pak Bram. "Masalah ini diselesaikan di luar pengadilan, secara kekeluargaan. Pihak rumah sakit akan memberikan kompensasi untuk pasien sejumlah yang udah disetujui berdua dan Dokter Ergi akan kena suspend satu minggu. Alasannya, meskipun tindakan amputasi diperlukan, seharusnya Dokter Ergi bisa menjelaskan terlebih dahulu ke pasien atau pihak yang mengantarnya."

Terus terang, Laura lega karena Ergi tidak terseret ke jalur hukum. Tetapi, di sisi lain, rasanya masih juga tidak adil jika dia dihukum, seolah-olah memang benar Ergi sudah melakukan kesalahan. Oke, mungkin seharusnya dia memberi penjelasan singkat, tapi jika keadaannya sudah darurat, bukankah wajar seorang dokter menjadi panik? Laura menyampaikan itu kepada Dokter Arifin setelah Pak Bram dan Bu Magdala keluar ruangan.

"Nggak, Laura. Seorang dokter nggak pernah boleh panik." Dokter Arifin membantah. "Kamu itu seorang dokter bedah. Di ruang operasi, kamu yang pegang kendali. Kalau kamu panik, gimana dengan asistenmu? Perawat? Pasien? Keluarga pasien? Rumah sakit tempat kamu bekerja? We are saving one soul, but many other souls are dragged along too."

Dokter Arifin menghela napas.

"Kadang saya juga menyesali, kenapa sial banget kerja jadi dokter?" lanjutnya. "Nggak boleh bikin salah, nggak boleh panik, rasanya harus selalu jadi seperti dewa. Mau nyelametin nyawa orang, malah kadang dituduh bersalah. Orang bukannya terima kasih sama kita, malah kita dimaki-maki. Tapi, untuk itu kita disumpah. It's part of our duty, part of our job. Kalau nggak bisa terima, ya udah, berhenti aja."

Laura dan Ergi sama-sama terdiam.

"Kamu juga, Ergi, kalau kamu sebagai dokter juga harus yakin dengan tindakan yang kamu ambil. Kalau kamu merasa itu yang terbaik, katakan dengan yakin. Jangan ragu-ragu. Gimana dilihat sama orang awam kayak Pak Bram kalau kamu ragu-ragu menjawab saat ditanya? Ngerti, Ergi?"

Ergi mengangguk.

"Dan kamu, Laura," Dokter Arifin menatapnya. "Lain kali bedakan urusan pribadi dan pekerjaan. Jangan cuma karena kamu lagi dekat sama Ergi, kamu jadi emosian seperti itu."

Ergi mengulum senyum. Laura mengangkat sebelah alisnya. Dekat?!

"Udah, saya udah harus operasi." Dokter Arifin beranjak, memberi isyarat supaya Ergi dan Laura meninggalkan ruangannya.

Senyum Ergi merekah ketika mereka berdua sudah di luar.

"Dokter Arifin salah asumsi," dumel Laura. "Jelas saya emosi, apa yang terjadi pada kamu bisa juga terjadi pada saya. Nggak ada hubungannya kita lagi dekat atau nggak."

"Tapi, kenyataannya emang kita dekat, kan?" goda Ergi.

Laura memutar bola matanya.

"Come on, Laura. Dengan siapa lagi kamu bisa ngomong panjang lebar? Kamu, yang disangka semua orang gagu karena nggak pernah ngomong. Lalu, siapa lagi orang di kehidupanmu yang pernah nyetirin kamu Jakarta-Bandung? Yang nyetir Alfa Romeo kamu masuk ke parkiran apartemenmu? Cuma saya, kan?"

Laura jadi salah tingkah. Dia membalikkan badan dan melangkah. Ergi mengikutinya, semakin semangat menggoda Laura.

"Admit it, Laura."

"Kalau emang kita dekat, kenapa kamu nggak balas pesan saya kemarin? Boro-boro dibalas, dibaca aja nggak." Laura menggumam.

"Ah, jadi kamu ngambek karenanya."

"Saya nggak—"

"Kamu khawatir sama saya?"

"Saya—"

"Maaf." Ergi mengucap sambil tersenyum. "Saya baca dari notifikasi, tapi saya nggak buka, karena saya nggak tau harus jawab apa. Saya nggak mau bikin kamu makin khawatir. Tapi, kalau ternyata nggak balas pesanmu malah bikin kamu makin khawatir, lain kali saya nggak akan begitu lagi."

Laura ingin meluruskan bahwa dia tidak khawatir dan tidak peduli juga Ergi mau membalas pesannya atau tidak, tapi entah mengapa dia malas mengucapkannya.

"Anyway, thank you for standing by my side. It feels good to know that you trust me."

Laura menarik napas panjang. "Saya jadi sadar, alasan saya ingin jadi dokter memang dangkal, cuma karena sekolahnya lama jadi saya bisa jauh-jauh dari rumah selama mungkin, tapi saya rasa ada alasan-alasan lain. Saya ingin merasakan orang berterima kasih sama saya karena saya udah menolong mereka atau karena hal kecil apapun juga yang saya lakukan, saya ingin merasa dihargai, karena itu adalah sesuatu yang nggak pernah saya dapat dari orang lain sebelumnya. Tapi, saya nggak memperhitungkan sewaktu-waktu akan datang hari seperti ini, di mana orang bukannya berterima kasih malah menganggap kita gagal. How pathetic."

Ergi menggaruk pelipisnya. "Well, I did try my best and I always do. Saya yakin, kamu juga. God knows about it. Our colleagues know about it. Dan, kalau kita terus-terusan berusaha bekerja dengan tulus, mudah-mudahan suatu hari nanti, pasien juga bisa menyadarinya."

"Jadi, kamu oke-oke aja kena suspend?"

"Saya kecewa, tapi saya terima. Terlepas dari saya benar atau salah, it's just part of my job. Seperti yang ayah saya bilang tadi. Lagian, seminggu kena suspend nggak bikin saya jatuh miskin juga, itung-itung liburan aja. Eh, tapi itu berarti seminggu ini anak-anak co-ass saya dipegang kamu, ya."

"Hah?"

"Iya. The closest senior by hierarchy di departemen bedah kan kamu. Masa' iya saya minta tolong dokter-dokter tua yang lain buat gantiin saya bimbing co-ass? Nggak berani, sungkan!"

"Terus, sama saya nggak sungkan?" Laura mendengus.

"Kita kan dekat." Ergi mengedipkan mata. Biasanya Laura bergidik melihatnya, tetapi kali ini wajahnya malah memanas. Ergi tersenyum gemas melihatnya. "But on a serious note, I really appreciate you for trying to help me out."

Laura hanya mengangguk.

"Ngomong-ngomong, karena kita udah dekat. Ralat, lebih dekat dibanding yang lainnya," Ergi buru-buru mengoreksi ucapannya. "Boleh nanya sesuatu?"

"Hmm?"

"Kenapa kamu akhirnya balik ke Indonesia?" tanya Ergi. "Kamu kan udah lama di Perth, udah jadi dokter di sana."

"Hmm."

Laura menatap lorong dengan pandangan kosong, cukup lama, hingga Ergi yang menunggu jawabannya menjadi tidak sabar.

"Saya masih nunggu jawaban kamu, lho," celetuk Ergi.

"Karena—" Laura terlihat kesulitan menyusun kata-kata. "—I owe someone an explanation, but I still haven't got the guts to say it."

"Siapa?"

Laura menggeleng, melanjutkan langkahnya.

"Siapa yang harus kamu kasih penjelasan?" Ergi mencecar, mencegat langkah Laura.

Laura mengernyit. Dia mundur selangkah. "Don't push it. Kita nggak sedekat itu."

"Belum sedekat itu maksudmu?"

"Nggak akan pernah."

Ergi tersenyum jahil. Dia membiarkan Laura cepat-cepat pergi meninggalkannya. Namun, semakin Laura menjauh, senyum Ergi pun semakin pudar. Dia menarik napas dalam-dalam. Ergi juga berhutang penjelasan kepada Laura, sesuatu yang penting, yang sudah pasti akan melukai hatinya. Itu sebabnya sampai sekarang Ergi masih belum punya nyali untuk mengungkapkannya.

~

Continue Reading

You'll Also Like

707K 1.8K 5
Siapa tak kenal Yola, siswi yang selalu menggunakan pakaian ketat dan pendek, hanya untuk memperlihatkan betapa besar payudara nya. Terlibat hubunga...
208K 10.6K 36
Naksir bapak kos sendiri boleh gak sih? boleh dong ya, kan lumayan kalau aku dijadikan istri plus dapet satu set usaha kosan dia
203K 12.9K 57
Niat hati kabur dari perjodohan yang diatur orang tuanya dengan duda anak 1 yang sialnya masih tampan itu, Herna malah harus terjebak menikahi pria k...
248K 38.3K 50
[BACA SAAT ON GOING. INTERMEZZO PART DIHAPUS 1X24 JAM PUBLISHED] May contain some mature convos and scenes Menurut perjanjian, Robyn hanya boleh be...