SINCERELY (Completed)

By felisurya

286K 33.7K 827

Di setiap keluarga, pasti ada saja satu orang yang dilabeli pecundang dan satu lagi yang menjadi everybody's... More

Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 23
Bab 24
Bab 25
Bab 26
Bab 27
Bab 28
Bab 29
Bab 30
Bab 31
Bab 32
Bab 33
Bab 34
Bab 35
Bab 36

Bab 12

6.8K 923 15
By felisurya

Tok! Tok!

"Iya."

Pintu ruang kerja Laura perlahan dibuka. Kepala Suster Gita menyembul. Dia menarik napas lega dan melangkah masuk saat melihat Laura sedang duduk di meja kerjanya.

"Duh, Dokter Laura. Tadi Suster Prima heboh, katanya Dokter tiba-tiba menghilang dari ruang perawatan." Suster Gita menggerutu. "Nggak taunya di sini."

"Mau di mana lagi saya?" balas Laura, sementara matanya masih fokus membaca data pasiennya yang hendak dioperasi Dokter Arifin siang nanti. "Nanti siang kamu ikut Dokter Arifin operasi?"

"Iya, Dok."

"Oke, tolong bantu pastikan—"

"Dokter Laura, kenapa Dokter malah di sini, sih?" Suster Gita menyela. "Seharusnya Dokter istirahat."

"Saya baik-baik aja."

"Tapi, Dokter Laura tetap harus istirahat," ucap Suster Gita tegas.

"Ada banyak pasien yang harus saya urus."

"Saya tau, tapi kalau Dokter nggak istirahat, gimana bisa pulih? Kalau nggak pulih dengan baik, gimana bisa kerja dengan benar?"

Plok! Plok! Plok!

Laura dan Suster Gita sama-sama menoleh mendengar suara tepuk tangan. Mereka melihat Ergi berdiri di ambang pintu, menyunggingkan senyumnya yang menurut Laura menyebalkan.

"Apa yang dibilang Suster Gita benar," celetuk Ergi. "Kamu kenapa nggak percayaan banget, sih, sama orang lain? Yang handle pasien-pasienmu itu ayah saya, lho—dokter senior kepala departemen bedah."

"Dokter senior nggak berarti pasti kompeten."

Suster Gita menutup mulutnya, terkesiap mendengar ucapan Laura. Ergi melotot dan mulutnya menganga. Manusia ini memang pelit kata, tapi sekalinya bicara begitu menohok dan arogan!

"Well, kadang ada benarnya juga." Ergi mengatupkan mulutnya lagi dan mengangkat bahu. "Kamu tau, saya juga sering berdebat sama Papa soal metode-metode dia yang kadang kolot dan play safe banget. Saking safe-nya, kadang malah jadi merugikan pasien atau nggak memaksimalkan teknologi yang ada. Contohnya—"

"Can you please leave?" pinta Laura. "Saya lagi malas bicara."

"Bukannya kamu emang selalu malas bicara?" Ergi tertawa mencemooh. "Anyway, besok kamu udah boleh pulang, tapi harus istirahat dulu di rumah selama beberapa hari ke depan. Besok saya antar pulang saat jam makan siang."

"Antar pulang?" Laura mengernyit.

"Iya. Apa kamu expect udah bisa langsung nyetir Alfa Romeo dua hari setelah operasi?" balas Ergi. "Ya, terserah sih. Either saya antar kamu pulang atau kamu stay seminggu di rumah sakit."

"Lebih baik saya stay seminggu di sini."

Ergi melongo. "Segitu nggak maunya kamu diantar pulang sama saya?" "Saya tinggal sendirian di rumah. Kalau jahitan saya infeksi, saya kena sepsis lalu mati, nggak ada yang tau. Kasihan yang berikutnya jadi penghuni apartemen saya, karena nanti saya akan gentayangan."

Suster Gita menutup mulutnya lagi, setengah mati menahan tawa. Tapi, diam-diam dia terkesima dengan Ergi, yang mampu memancing Laura hingga bicara panjang lebar seperti itu. Barangkali, ini pertama kalinya Suster Gita melihat Laura berinteraksi demikian dengan rekan kerjanya di rumah sakit.

"Dead or alive, you are a mean-spirited person." Ergi mendengus. "Kenapa kamu nggak minta Aimee untuk nemenin kamu?"

"Nggak."

"Iya, kenapa?"

Laura hanya menghela napas. Dia memalingkan wajah, kembali menatap layar laptopnya, pertanda tidak ingin melanjutkan percakapan dengan Ergi.

"Fine," ucap Ergi akhirnya. "Kalau begitu, kamu butuh barang-barang apa dari rumahmu? Biar saya bantu ambilkan."

"Saya akan ambil sendiri nanti siang."

"Kamu mau ngambil sendiri? Gimana caranya? Nyetir Alfa Romeomu itu?"

"Naik taksi."

"Terus, kalau kamu kena infeksi dan sepsis di tengah jalan gimana? Mau gentayangin taksinya juga?"

Laura terdiam.

"Saya antar kamu nanti siang untuk ambil barang." Ergi menegaskan. "Setelah itu kamu dirawat seminggu di rumah sakit. Statusnya di sini saya adalah dokter kamu, oleh karena itu jangan jadi pasien yang nyebelin."

Laura tak punya pilihan lain. Mau tidak mau dia setuju dengan perintah Ergi.

"Oh ya, siang nanti naik mobil kamu, ya?"

Laura mendengus, tetapi tangannya merogoh ke dalam tas dan meletakkan kunci mobilnya di atas meja. Mata Ergi berbinar melihat benda hitam dengan logo Alfa Romeo itu. Cepat-cepat dia menyambarnya.

"Jam satu kita jalan." Ergi nyengir puas. "Jangan lupa makan siangmu di ruang perawatan hari ini, menunya favorit kamu: sup ayam. Daa!"

Blam! Ergi keluar dan menutup pintu ruang kerja Laura. Selepas Ergi pergi, Laura mengusap wajahnya.

"Dok," panggil Suster Gita. "Kayaknya Dokter Ergi naksir Dokter Laura."

Laura melongo mendengarnya.

"Dia perhatian banget, lho. Sampai mau nyupirin Dokter Laura segala." Suster Gita menahan senyum.

"Soalnya kalau saya mati di jalan, dia yang tanggung jawab karena dia dokter saya," gumam Laura.

"Nggak. Dia memang baik dan perhatian. Sewaktu tau Dokter Laura ulang tahun, dia yang ngajak kita semua untuk surprise-in Dokter Laura."

But I hate surprises, bisik Laura dalam hati.

"Dokter Laura senang, kan, pastinya? Ada yang merhatiin."

"Nggak."

"Kenapa, sih, Dokter selalu 'alergi' sama orang yang berusaha baik dan dekat sama Dokter Laura?" tanya Suster Gita. "Padahal Dokter Laura orang yang baik. Tapi, orang lain jadi sering salah sangka karena sikap Dokter Laura yang dingin."

Laura menarik napas panjang dan berdiri. "Saya balik dulu. Tolong update saya setelah operasi nanti."

Suster Gita hanya bisa mengangguk. Dia pamit dan meninggalkan ruang kerja Laura. Setelahnya, Laura pun keluar untuk kembali ke ruang perawatan. Ketika mengunci pintu, kalimat Suster Gita kembali terngiang di kepala Laura. Suster Gita bukanlah orang pertama yang bilang seperti itu padanya. Maxime said the same thing to her. Saat Maxime menanyakan hal itu padanya, Laura bingung bagaimana harus menjawab, sebab dia juga tidak mengerti. Dua puluh tahun berlalu, sekarang dia sudah tahu.

Kebaikan itu adiktif dan Laura tidak mau jadi kecanduan. Lebih baik tidak usah mengenal sesuatu yang menyenangkan jika hal itu tidak abadi, jika kehilangannya malah membuat sakit hati.

~

Continue Reading

You'll Also Like

601K 84.3K 36
Mili sangat membenci kondisi ini. Di usianya yang baru 22 tahun, dia dikejar-kejar oleh Mamanya yang ingin menjodohkannya karena Mili harus menikah s...
450K 26.6K 31
Story Kedua Neo Ka🐰 Duda Series Pertama By: Neo Ka Gayatri Mandanu itu ingin hidup simpel, tidak ingin terlalu dikekang oleh siapapun bahkan kadang...
312K 797 4
bocil diharap menjauh
674K 52.7K 53
[COMPLETED] Beleaguered : Terkepung Meisya seorang jomlo menaun yang sedang dilanda kebingungan dengan perubahan hidupnya akhir-akhir ini. Dia mendap...