Teach Me How to be Gay! [Revi...

By ksnapdragon

125K 9.5K 533

Niat awal gue ke pantai itu buat nenangin pikiran. Eh, lagi asik-asiknya gue ngelamun, tetiba ada anak peremp... More

IMPORTANT NOTES
Apes
Such A Non-Sense
Space In A Daze
Nikah Atau Kawin Kontrak?!
Butuh Rencana
Keponakan Setan
Gatel?! Hell NO!
As Crazy As Them
Getting To Know Her
A Tiny Bit Of Change
Momen Tak Terlupakan
Incoherent Feelings
Perjanjian Awal
Gundah
Gak Peka!
A Glimpse Of The Past
Learn From Mistakes
LIST OF MAIN CHARACTERS
Besan
Dimulai Dari Sini
Everthing Is Finally Laid Bare
Nggak Terduga!
As Sour As A Vinegar

Hope For The Future

2.1K 234 11
By ksnapdragon

Rafe's POV

Ketika aku mengajak Dian untuk bertemu dengan teman-temanku, aku tidak bermaksud untuk membuatnya merasa kecil di hadapan mereka. Terutama di hadapan Adam. Sebab aku hanya ingin memamerkan orang terkasihku kepada teman-teman dekatku, agar mereka juga bisa merasakan kegembiraan dan kebanggaan di hatiku untuk bisa menjadikan Dian sebagai pendamping hidupku setelah sekian tahun lamanya.

Awalnya aku tidak berniat untuk mempertemukan mereka, karena aku lebih memilih untuk mengumumkan hubungan kami kepada semua orang sekaligus melalui undangan pernikahan secara langsung. Tapi, Dave yang merupakan sahabat karibku yang sudah mengetahui kepulanganku ke California tidak henti-hentinya membombardirku untuk meminta bertemu dengan orang yang bisa menggerakkan hatiku. Akhirnya kami pun membuat janji temu. Tapi aku tidak tahu bahwa Adam akan ikut serta dalam pertemuan ini. Sebab aku mengira Dave hanya akan mengajak Roy dan tunangannya, Scarlet. Alih-alih justru Adam-lah yang muncul di sana.

Sebenarnya aku selangkah lagi ingin memutar tubuh untuk pulang, tapi kemudian aku berpikir bahwa tidak ada yang harus aku khawatirkan dari kehadiran Adam di pertemuan ini. Dan jika aku mengurungkan niat untuk menghadiri janji temu ini, Dian tentunya akan lebih merasa bertanya-tanya akan sikapku yang tiba-tiba berubah. Bisa saja dia kemudian menaruh curiga padaku. Tapi sayangnya, yang ingin aku hindari justru terjadi.

Aku sudah menyadari bahwa Dian amat sangat tidak nyaman berada di kafe, dan aku juga sudah menyadari bahwa Adam beberapa kali terdengar seperti mengeluarkan sindiran-sindiran padanya. Tapi aku tidak bisa langsung menghardiknya atau apa di hadapan umum, karena biar bagaimana pun ketegangan ini harus aku selesaikan di belakang publik. Namun kenyataannya, keragu-raguanku justru membuat suasana hati dan perasaan Dian semakin menjauh. Hingga akhirnya ia mengutarakan keinginannya untuk membatalkan rencana pernikahan kami yang sudah berjalan hampir setengahnya. Aku pun mengelak dari permintaannya itu. Bukan karena aku tidak peduli dengan keinginannya, tetapi lebih kepada kepercayaanku akan perasaan Dian yang sebenarnya untukku yang ia coba untuk sembunyikan dan abaikan. Akhirnya aku pun berhasil mengulur waktu sampai kami tiba di Indonesia untuk acara pertemuan keluarga.

Ketika Dian yang kelelahan dan bersuasana hati buruk tertidur lelap sejak perjalanan pulang dari bandara hingga ke kediaman keluargaku, dan baru terbangun esok harinya, aku tidak memberitahunya bahwa kami tidur satu kamar dan di satu tempat tidur yang sama. Bahkan selama Dian tinggal di rumah keluargaku di California, kami pun juga tidak tidur di satu kamar, apalagi di satu tempat tidur. Sebab kami berdua menyadari bahwa hubungan dan perasaan kami belum sampai sejauh itu yang bisa dengan kasual berada di satu ranjang untuk menghabiskan malam. Tapi, bukan berarti saat aku tidur sekamar dengan Dian aku melakukannya dengan sengaja atau melakukan hal-hal yang tidak pantas. Hal itu terjadi karena aku sudah terlampau lelah untuk mengeluarkan tenaga ekstra untuk mencari kamar lain. Jadi malam itu aku pun juga langsung terlelap. Lalu keesokan harinya aku pun mengiyakan permintaannya untuk pergi ke memenuhi janji temu dengan temannya.

Kembali ke beberapa saat yang lalu ketika kami baru sampai di kafe, Dian dengan perasaan membuncah penuh kegembiraan melesat keluar dari mobil tanpa menungguku untuk ikut keluar. Aku pun hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat suasana hatinya yang sudah sedikit lebih baik dan dia bisa kembali menjadi dirinya yang biasanya, yaitu selalu ceria. Tapi yang membuatku sedikit terkejut adalah ketika Dian berinteraksi dengan cukup—hmm bagaimana ya menggambarkannya—terlampau familiar? Ya, mungkin seperti itu yang bisa kukatakan setelah melihat interaksi Dian dengan laki-laki bernama Andreas itu.

Ada perasaan janggal yang muncul di benakku saat kami berkenalan. Insting dan naluriku juga seperti membunyikan bel peringatan pada laki-laki ini. Meskipun Dian mengatakan bahwa laki-laki itu adalah kekasih dari teman wanitanya, Inneke, tapi aku tetap merasa ada yang tidak benar dari cara laki-laki itu berbicara, bersikap, ataupun bereaksi terhadap Dian.

Terlebih lagi ketika kami sedang menemani Dian melihat-lihat isi etalase kafe untuk memilih kue. Dia seperti ingin memamerkan kedekatan dan pengetahuannya yang lebih baik tentang Dian padaku. Dan jujur saja, aku mengakui bahwa aku cukup kesal melihatnya. Aku juga mengakui bahwa aku merasa cemburu dengan keakraban mereka berdua, terlepas dari status laki-laki itu yang memiliki kekasih dan hanya sekedar teman untuk Dian. Meskipun begitu, aku tidak bisa melepaskan perasaan gelisah terhadap laki-laki yang seperti memiliki perasaan dan maksud lain terhadap Dian itu. Sedangkan untuk Dian sendiri, well seperti biasanya, instingnya menjadi tumpul untuk segala hal yang berkaitan dengan dirinya sendiri. Padahal biasanya dia cukup jeli dengan sikap atau perubahan perilaku orang lain.

Tapi, tidak ada yang bisa kulakukan terkait hal ini. Jadi aku hanya bisa berharap bahwa Dian tidak akan menyadari sinyal-sinyal yang dilemparkan laki-laki itu padanya, apalagi sampai meresponnya balik. Mungkin perasaan seperti inilah yang di rasakan oleh Dian ketika aku membawanya bertemu dengan teman-temanku dan harus menelan mentah-mentah sikap kurang ajar Adam padanya, atau mungkin perasaannya berkali-kali lipat lebih buruk lagi dari ini. Sayangnya, aku tidak bisa berlama-lama menghabiskan waktu bersama Dian hari itu, sebab kakak laki-lakiku menelepon untuk mengatakan ada masalah dengan berkas perizinan untuk para wedding organizer dari Indonesia untuk pergi ke California.

Jadi, pada akhirnya, aku pun harus undur diri dari kafe itu untuk pulang dan menyelesaikan masalah ini. Lalu kenapa aku mau repot-repot menyewa wedding organizer dari Jakarta untuk pernikahanku di California nanti? Memangnya tidak ada wedding organizer yang mumpuni di sana? Well, alasannya ada sebab kami—aku dan ayah Dian—sepakat untuk menggunakan dua jasa wedding organizer yang berbeda untuk mengusung tema pesta pernikahan kami nantinya. Selain mengurus berkas-berkas perizinan untuk para wedding organizer dan keluarga Dian, aku juga berencana untuk meminta beberapa teman dekat Dian untuk ikut terbang ke sana menghadiri acara pernikahan kami.

Dari rencana yang aku persiapkan ini, aku bisa mengatakan dengan pasti bahwa aku tidak berniat untuk membatalkan rencana pernikahan kami. Justru aku meminta Orz untuk sebisa mungkin mempercepat proses persiapannya. Aku tidak memikirkan hal-hal lain seperti besaran dana atau usaha yang harus kukeluarkan untuk pernikahan ini. Sebab besaran material yang seperti ini tetap tidak ada bandingannya di mataku dibandingankan dengan kepuasan hati dan kegembiraan Dian. Mengingat pernikahan ini merupakan pernikahan pertama dan terakhir yang akan dialami Dian, jadi aku ingin sebisa mungkin membuatnya sebagai pengalaman sekali seumur hidup yang tidak akan pernah bisa Dian lupakan.

Ketika aku pulang, Wyatt sedang berdiskusi dengan Orz mengenai masalah perizinan yang sebelumnya sempat disampaikan oleh Orz. Kami berdiskusi untuk beberapa saat sebelum memutuskan untuk menelepon pengacara dan agensi tempat kami mengaplikasikan berkas-berkas perizinan mereka untuk diurus ke kantor imigrasi sesuai dengan solusi yang sudah kami putuskan bertiga. Selama sisa hari itu, aku memutuskan untuk menghabiskan waktu dengan putriku. Sementara Ethan sudah pergi keluar bersama Ryan sejak keponakanku itu datang seperti yang ibuku bilang saat aku menanyakan keberadaan mereka berdua.

Waktu berlalu dan sore pun menjelang. Perasaan tidak sabaran yang aku lalui sepanjang hari tadi demi menunggu pesan dari Dian pun akhirnya terbayar, karena akhirnya Dian menghubungiku untuk mengatakan bahwa mereka tidak akan makan malam di luar dan memintaku untuk datang menjemputnya dua jam setelah pesan ini masuk. Sebab, dia akan menonton film dulu sebelum pulang karena rencana menonton filmnya tadi siang batal mengingat tidak ada seat dengan posisi yang bagus tersisa di sesi pemutaran film siang tadi. Sehingga mereka harus memundurkannya di sesi lain yang masih tersisa seat dengan posisi strategis.

Setelah lewat setengah jam, aku mulai bersiap-siap untuk pergi keluar. Aku mandi, berganti pakaian, dan berpamitan pada ibuku untuk pergi menjemput Dian. Satu jam sebelum waktu penjemputan, aku sudah meninggalkan rumah dan mengendarai mobil untuk berjaga-jaga seandainya aku akan terjebak kemacetan jalanan ibu kota. Dan benar saja, jalanan cukup padat mengingat sekarang sudah mendekati jam pulang kerja untuk para pekerja kantoran. Namun, karena aku sudah keluar lebih awal, aku tidak terjebak lama di jalan, dan sampai di bioskop di dalam mall tempat Dian dan teman-temannya menonton film.

Aku tidak menunggu lama sampai film selesai diputar, hanya sekitar 10-15 menit sejak kedatanganku. Ketika pintu-pintu bioskop pada sesi pemutaran sore itu akhirnya terbuka menandakan pemutaran sudah usai, aku berdiri tak jauh dari ruang tunggu agar Dian bisa melihatku dan aku bisa melihat Dian saat dia keluar. Suara percakapan yang saling tumpang tindih dan gelak tawa di sana sini mulai terdengar, tapi aku tidak mengalihkan perhatian dari arah pintu tempat film yang ditonton Dian tadi diputar.

Dan benar saja, usahaku tidak sia-sia, sebab beberapa saat kemudian aku bertemu pandang langsung dengan Dian yang membuat apapun yang sedang diucapkannya pada teman wanitanya dengan wajah bersungut-sungut itu pun terhenti sejenak. Sayangnya, baru saja aku hendak memanggil namanya dan menghampirinya, perhatian kami justru teralihkan oleh dua suara familiar yang sangat menarik perhatian banyak orang sebab mereka sedang berbicara dengan bahasa Inggris.

"How come you didn't notice it when the ghost pulled him into its dimension?! {Bagaimana bisa kau tidak menyadari saat hantu itu menariknya masuk ke dimensinya?}" tanya remaja laki-laki kepada orang dewasa yang berjalan di sebelahnya.

"I noticed that scene, you dumbass. I just didn't get the jumpscare feeling you're experiencing because I was distracted by the subtitle the whole time. {Aku menyadari adegan itu, bodoh. Aku hanya tidak merasakan keterkejutan yang kau alami karena sepanjang waktu perhatianku terganggu oleh subtitel.}" jawab orang dewasa itu atas pertanyaan remaja tadi.

Bersamaan dengan kami menoleh ke arah sumber suara itu, mereka sebagai pemilik suara itu pun ikut beradu pandang dengan kami.

"Brother? {Kakak?}" "Dian?"

Panggil Ethan padaku bersamaan dengan Ryan memanggil nama Dian.

Kami berenam pun akhirnya saling mendekat satu sama lain dan berjalan agak menjauh dari perhatian para pengunjung lainnya.

"Why are you here? {Kenapa kalian bisa ada di sini?}" tanyaku pada Ethan.

"He said he was bored and wanted to get a fresh air. {Dia bilang dia merasa bosan dan ingin mencari udara segar.}" kata Ethan berkilah.

"Hey, that's not true! You were the one who wanted to drive around the neighborhood but then you changed your mind and came out here to play instead! {Hei, itu tidak benar! Kaulah yang ingin berkendara di sekitar perumahan tapi kau lalu berubah pikiran dan malah pergi keluar untuk bersenang-senang!}" protes Ryan pada Ethan.

"Did you drive the car yourself? {Apa kau sendiri yang mengemudikan mobilnya?}" tanyaku sambil memicingkan mata.

"He insisted! {Dia bersikeras!}" lapor Ryan padaku.

Aku mendesah dan melipat kedua tangan menyilang di depan dada.

"Ethan, you don't have the legal permission to drive in this country. Do you want to be arrested by the cops? Do you think the cops would let you go if you fished out your overseas license? If you really wanted to go out that badly, you should have agreed to Dian's invitation this morning instead of wandering around by yourself as you please. {Ethan, kau tidak punya izin legal untuk mengemudi di negara ini. Apa kau ingin ditahan oleh para polisi? Apa kau pikir polisi akan melepaskanmu jika kau mengeluarkan izin mengemudimu di luar negeri? Jika kau memang sangat ingin keluar, kau seharusnya mengiyakan ajakan Dian tadi pagi daripada berkeliaran sendiri semaumu.}" kataku menasehati.

"Oke, oke, udah om. Gak usah diperpanjang. Ethan juga pasti tau kalo dia salah." ujar Dian akhirnya menengahi, yang membuat Ryan mengangguk-anggukkan kepalanya saat mendengar ucapannya.

"Karena udah terlanjur begini, dan kalian masih ada beberapa hari untuk tinggal di Jakarta, mending sekalian urus aja izin mengemudi buat Ethan selama kalian di sini. Supaya si Ethan leluasa kalo mau pergi kemana-mana, dan lu juga gak perlu khawatir bakal kena masalah nantinya." usulnya kemudian.

"Oke, aku akan urus itu nanti." kataku menyerah dan menuruti usulan dari Dian.

Saat aku selesai memarahi Ethan, aku pun kembali menyadari keberadaan dua orang teman Dian yang sejak tadi memperhatikan dari tepi.

"Maaf kalau sikapku membuat kalian tidak nyaman." ujarku pada mereka berdua.

"Nggak apa-apa kok, om. Kami enggak ada masalah." balas Inneke.

"Oh iya, ini adeknya om, namanya Ethan. Dia gak bisa ngomong bahasa Indonesia. Dan dia Ryan, dia bisa ngomong bahasa Indonesia." ujar Dian kemudian untuk mengalihkan topik dengan memperkenalkan dua anggota keluargaku yang lain pada kedua temannya.

"Halo kak, halo bang. Nama gue Ryan, keponakan mereka berdua. Salam kenal." ujar Ryan memulai.

"Salam kenal, dek. Nama gue Inneke, sohibnya Dian. Dan ini Andre."

Mereka berjabat tangan satu sama lain seusai berkenalan, meskipun Andre dan Ethan tidak mengutarakan sepatah katapun saat berkenalan.

Dian berbincang sebentar dengan kedua temannya itu, sementara aku, Ryan, dan Ethan menunggunya selesai berpamitan. Lagi-lagi, aku menyaksikan Andre memberikan gestur-gestur kepada Dian yang bisa membuat banyak orang salah paham dan mengira kalau Dian-lah kekasihnya alih-alih Inneke yang ada di sana bersama mereka. Sebab sejak bertemu mereka di kafe tadi pagi bahkan sampai sekarang, aku tidak melihat kedua teman Dian berinteraksi layaknya seorang pasangan kekasih. Yang terlihat di mataku justru adalah interaksi sebagaimana seorang teman yang seharusnya, yang sangat berbanding terbalik dengan status mereka bertiga yang sebenarnya.

Dan ternyata, apa yang aku rasakan dan saksikan juga tertangkap oleh radar Ryan. Sebab tak lama setelah Dian fokus untuk berpamitan kepada temannya dan mengobrol sebentar dengan mereka, Ryan mengutarakan pikirannya padaku.

"Om, bukannya cowok yang namanya Andre itu tingkahnya rada aneh ya ke Dian? Apa om yakin mereka nggak ada apa-apa di belakang?" tuturnya padaku dengan pertanyaan.

"Dia itu pacarnya Inneke." jawabku pendek.

"Om yakin mereka berdua yang di sana itu pacaran? Kok aku malah ngerasanya mereka itu justru cuma temen biasa ya." kata Ryan lagi.

"Dian bilang mereka pacaran, jadi nggak ada yang perlu dipertanyakan lagi." ujarku tegas.

"Ohh... oke deh kalo Dian udah bilang gitu. Aku cuman mau ngutarain pendapat aja, supaya nggak ada salah paham nantinya."

"Aku tau, tapi aku nggak akan meragukan Dian." balasku lalu berhenti sejenak untuk melirik ke arah Ryan sekilas, "I could probably guess that it was just a one-sided feeling from that guy's part alone. {Aku mungkin bisa menduga bahwa itu hanyalah perasaan sepihak dari laki-laki itu sendiri.}" gumamku di bawah napas.

"Jangan ungkit masalah ini ke Dian." imbuhku pelan saat melihat Dian memutar tubuh untuk menghampiri kami.

"Kamu sudah selesai pamitan pada mereka?" tanyaku pada Dian.

"Udah. Kalian udah siap pulang? Jam makan malam tinggal sebentar lagi nih. Mending telpon Mom dulu om, takutnya keburu kejebak macet di jalan dan nanti malah mereka kelamaan nungguin kita lagi." sarannya padaku.

"Yaudah, kamu telepon Mom sekarang. Dan tolong sekalian bilang ke Mom untuk kirim supir ke sini supaya bisa bawa pulang mobil yang tadi dipakai sama Ethan. Aku juga mau pamitan ke teman kamu sebentar."

"Oh... oke deh, om." kata Dian menyetujui dan langsung mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi ibuku di rumah.

Saat Dian menunggu panggilan telepon tersambung, aku berjalan ke arah Inneke dan Andre.

"Halo..." sapaku ke mereka.

"Ah, ya om... ada apa ya?"

"Maaf kalau ini kedengarannya tiba-tiba, tapi bisakah aku meminta tolong sesuatu pada kalian?" tanyaku meminta izin.

"Iya, om boleh. Kalo emang ada yang bisa kami bantu, kami nggak akan nolak."

"Syukurlah, terima kasih."

"Nggak apa-apa kok om, nggak perlu sungkan."

"Mungkin kalian sudah dengar dari Dian kalau kami akan mengadakan pertemuan keluarga besok." ujarku memulai percakapan.

"Ah, iya om. Dian udah cerita."

"Dan mungkin kalian juga sudah menebak kalau sebenarnya aku tahu tentang keresahan yang dirasakan Dian." jelasku lalu berhenti sejenak untuk melihat ekspresi wajah mereka yang menandakan bahwa dugaanku benar.

Aku menoleh ke belakang ke arah Dian yang sedang sibuk menelepon untuk sekilas sebelum mengalihkan perhatianku kembali kepada dua orang di hadapanku.

"Aku berencana untuk meluruskan semuanya dan memberi penjelasan pada Dian setelah acara pertemuan keluarga besok. Jadi, aku ingin mengundang kalian untuk datang ke kediaman keluargaku selepas acara untuk memberikan sedikit dukungan moral padanya. Aku tidak akan meminta kalian untuk membantuku mencari pembenaran atas tindakan dan keputusanku, sebab itu adalah tanggung jawabku seorang. Yang kuinginkan hanyalah untuk Dian merasa damai tanpa beban dalam menjalin hubungan denganku." aku menjelaskan selugas mungkin kepada mereka tanpa ada yang ditutup-tutupi.

Aku mengeluarkan dompet dan menarik dua buah kartu nama dari dalamnya, lalu memberikannya kepada Inneke.

"Ini kartu namaku, dan ini kartu nama asisten pribadiku. Jika ada yang ingin kalian diskusikan lebih jauh tentang tawaranku, tolong jangan ragu untuk menghubungiku. Jika kalian bersedia untuk datang, aku akan memberitahu asistenku untuk menyiapkan semua akomodasi yang kalian butuhkan."

"Apa kita boleh ngajak temen-temen deket Dian yang lain buat dateng ke sana, om?" tanya Inneke hati-hati.

Aku tersenyum mendengar pertanyaan ini. Sebab jawaban akan permintaanku sudah bisa dipastikan. Bahwa mereka bersedia untuk datang.

"Tentu. Kalian boleh mengajak siapapun yang berhubungan baik dengan Dian. Aku tidak akan keberatan." jawabku mengizinkan, "Sebenarnya aku juga berencana untuk mengundang kalian datang langsung ke pernikahan kami di California nanti, tapi aku baru punya kesempatan untuk mengutarakannya sekarang. Bagaimana menurut kalian?"

"Om serius mau ngundang kami terbang ke sana? Kita sih tentu aja mau, om. Tapi, bukannya susah ya om, buat WNI dapet izin pergi ke US? Harga tiket pesawatnya sendiri yang paling murah itu puluhan juta, itu juga baru yang kelas ekonomi. Ditambah lagi kita harus punya jaminan tabungan di rekening. Kalo kita dan temen-temen lainnya mau ikut pergi, apa nggak bakal sulit banget om jadinya?" tutur Inneke.

"Kalian tidak perlu khawatir dengan semua itu. Keluargaku akan menanggung dan mengurus semua perizinannya. Baik itu visa, passport, tiket pesawat, akomodasi tempat tinggal ataupun yang lainnya, kami yang akan mengurusnya. Kalian hanya harus memberikan persetujuan untuk datang dan menyiapkan dokumen pribadi untuk perizinan." terangku padanya.

"Wah! Kalo gitu kita mau om!" ujar Inneke dengan penuh antusias.

"Oke, silahkan hubungi aku atau asistenku untuk membicarakan detailnya. Pastikan teman-teman kalian yang lain juga sudah benar-benar yakin dan setuju untuk datang." kataku mengingatkan.

"Oke, om. Siap. Makasih banyak ya, om Rafael."

"Sama-sama. Kalau begitu aku pamit pergi, sampai jumpa."

"Oke, om. Hati-hati di jalan. Sampai besok, om."

Aku kembali ke tempat Dian, Ethan, dan Ryan menunggu. Setelah mendengar kepastian dari Dian bahwa ibuku dan yang lain akan menunggu sampai kami pulang untuk memulai makan malam, kami pun bersama-sama keluar dari gedung mall menuju area parkir.

Selama aku berdiskusi dengan Inneke tadi, Andre tidak mengutarakan sepatah kata pun padaku. Tapi aku tidak mempermasalahkan hal itu. Justru karena itulah aku semakin memantapkan niat untuk segera meluruskan segala kesalahpahaman yang ada di antara aku dan Dian, sehingga aku bisa memberikan ketenangan batin untuk calon suamiku itu.

Continue Reading

You'll Also Like

560K 23.2K 38
Siapa yang punya pacar? Kalau mereka selingkuh, kamu bakal ngapain? Kalau Pipie sih, rebut papanya! Pearly Aurora yang kerap disapa Pie atau Lily in...
2.9M 23.4K 45
harap bijak dalam membaca, yang masih bocil harap menjauh. Kalau masih nekat baca dosa ditanggung sendiri. satu judul cerita Mimin usahakan paling b...
2.7M 135K 60
Mari buat orang yang mengabaikan mu menyesali perbuatannya _𝐇𝐞𝐥𝐞𝐧𝐚 𝐀𝐝𝐞𝐥𝐚𝐢𝐝𝐞
477K 51.9K 46
Ini adalah Kisah dari Kila. Kila Prastika yang ternyata memiliki seorang bapak kos yang kebelet kawin ... "Nikah sama saya, kosmu gratis seumur hidu...