GUE CANTIK, LO MAU APA?! (End)

By svanhild28

62K 12.7K 3.5K

"Mantanku memang dekat, lima langkah dari rumah." Jangan nyanyi, please! Tahu tidak, rasanya bertetangga deng... More

Prolog : Mantan yang tak dianggap
Part 1: Mantan jahanam
Part 2: Mabok kecubung
part 3: Trio babu Nindi
Part 4: Pacaran sama lo itu khilaf
Part 5: Konten settingan Dimas
Part 6: Lo masih ngarep gue kan?
Part 7: Cara modus sultan
Part 8 : Santi hilang, Nindi menggila
Part 9 : Pacar baru Mahes
Part 10 : Kadang hidup juga perlu pahit
Part 11 : Perebutan hak asuh Santi
Part 12: Ketika dihadapkan dengan dua orang yang sama-sama mencintaimu
Part 13 : Penilaian tentang Nindi dari dua sudut pandang
Part 14: Pengen nikah muda
Part 15: Masih tentang menikah muda
Part 16: Amankan Nindi dari bujuk rayu Mahes
Part 17: Mahes si moody-an dan labil
Part 19: Dimas dan rencana liciknya
Part 20: Dimas si tukang kompor
Part 21: Nindi dan kegalauannya
Part 22: I will always be the one who pull you up, when everybody push you down
part 23 : Viral
Part 24: Yang tidak Nindi tahu
Part 25: Pacar ganteng, bikin Insecure
Part 26: Bimbang
Part 27: Bingung mau kasih judul apa
Part 28: First dating
part 29: Pacarku ternyata hatersku
Part 30: Physical abuse and sexual harassment
Part 31: Setelah kejadian itu
Part 32: Dibalik rahasia Abel
Part 33: Gosip menggosip
Part 34: Curhatan anak broken home
Part 35: Seseorang yang dikalahkan oleh lelah
Part 36: Terciduk season 2
part 37: Masalah yang datang bersamaan
part 38: Menghilangnya si manusia freak
Part 39: Munculnya bocah Prik
Part 40: Gimana? udah mual belum?
Part 41: Setelah cuitan itu
Part 42: Gagal memahami perasaan sendiri
Part 43: Yang tulus bukan cuman Radit
Part 44: Titik terang tentang Abel
Part 45: Hari ini tanggal kita
part 46: Minions Pepes
Part 47: Mimpi buruk yang terlalu nyata
Part 48: Menuju ending
Part 49: Udah sah, kenapa nggak?
The End (Part 1)
The End (Part 2)
sequel?

Part 18: Jangan pernah sepelekan pelecehan dalam bentuk apa pun

1K 244 20
By svanhild28

Part 18: Jangan pernah sepelekan pelecehan dalam bentuk apa pun

Radit membawa motor beserta penumpangnya ke sebuah gang berpaving. Rumah-rumah sederhana berjejer rapi dengan penghuni sebagian tampak berkumpul atau sekadar duduk saja di serambi rumah. Lingkungan ini diterangi oleh lampu-lampu rumah warga yang terang benderang, nan satu-dua lampu di pinggiran jalan. Ramai, namun tak bising, sesuai untuk menggambarkan suasana malam di lingkungan ini. Walau terletak di pusat kota, lingkungan ini cukup dikatakan asri, tidak ada sampah yang teronggok begitu saja, pun selokannya mengalir lancar. Kentara damai, dan kelihatannya sukar terjadi keributan antar warga.

"Gue kira Abel tinggal di perumahan elite gitu. Soalnya penampilannya kelihatan mahal, henpongnya ipon," ujar Nindi pada temannya yang sibuk mengemudikan motornya."Iya 'kan Dit?" Nindi bertanya meminta persetujuannya, karena Radit tak kunjung menjawab.

"Iya," balas Radit, sekenanya.

"Tapi gue yakin Abel kaya."

"Iya, Nindi."

"O, iya, Abel 'kan kerja."

"Iya."

Napas Nindi menghambur gusar, tangannya dengan gemas mencubit bahu Radit, membuat cowok itu meringis menahan sakit.

"Sakit, Nin!"

"Makanya jangan pendek-pendek gitu jawabnya! Gue nggak suka!"

Rasa-rasanya Radit lebih kesal darinya, Nindi dapat mencetuskannya karena decakan Radit amat keras menusuk telinga.

"Ya, udah, ngomong lagi." Pada akhirnya, laki-laki itu pasrah, lebih memilih menuruti kemauan Nindi, daripada tak acuh pada Nindi.

Karena Radit mempersilakan dirinya melanjutkan ocehan, maka lantas Nindi berkata, "temen-temen gue udah pada kerja kayaknya."

"Siapa? Kok, gue baru tahu?"

"Dimas Youtuber, Mahes kayaknya bantu rintis usaha skincare sama abangnya, terus Abel ... A-abel, nganu." Tiba-tiba diserang grogi, pikirannya tak cukup diam di tempat, berkelana memikirkan sisi buruk pekerjaan Abel. Angannya membayangkan liarnya Abel ketika bekerja. Dia seorang ... sebut saja jalang.

"Eh, nggak deh." Nindi mengulum senyum kikuk, tangannya menggapai ujung rambut yang ia kuncir untuk dimainkan.

"Btw, Mahes tuh, kayak bantu jualin produk abangnya gitu. Semacam online shop," imbuh Nindi, kini nada bicaranya kedengaran antusias.

"Serius? Bagus dong." Sementara respon Radit tetap begitu-begitu saja, tidak antusias dan tak berminat. Namun, agaknya dia berusaha membuat Nindi senang.

"Dia kayaknya tajir sih, tapi orangtuanya kayak milih nggak nunjukin. Kalau seandainya keluarga Mahes milih jadi orang kaya sungguhan mah, mereka bakal tinggal di perumahan elite, yang halamannya luas, yang bisa nampung banyak mobil."

Sekian detik Radit membiarkan ocehan Nindi mengambang diawang-awang, akhirnya dia menjawab," bagus-bagus, kalau masih cinta mending balikan." Radit berucap seperti itu, karena ia dapat menanggap betapa Nindi amat memuja dari bagaimana caranya membicarakan Mahes.

"Jangan bahas soal balikan, males banget." Nindi merengut, masih kesal agaknya pada Mahes.

"Jadi, lo sama Mahes?"

"Sebatas mantan."

"Lo sama Dimas?"

"Nggak ada status."

"Lo sama gue?"

Entah kenapa ia merasa dipojokkan, tiga pertanyaan Radit seolah menuduhnya telah mengghosting tiga cowok sekaligus. Bukannya tersinggung, justru ia merasa sakit hati karena pertanyaan Radit yang belum tentu memojokkannya.

"Apa kelihatannya gue murahan ya?" Nindi berkata lirih dengan mata sayunya.

"Hah? Kenapa lo ngomong gitu?"

"Gue bergaul sama tiga cowok, elo, Mahes sama Dimas tuh, tiga cowok yang dianggap anu gitu di sekolah. Ngerti nggak sih?"

Radit sedikit menoleh ke belakang, maka wajahnya bertemu dengan Nindi sekejap, kemudian kembali fokus pada jalan." Anu apa maksudnya?"

Nindi mendesah gusar, kepalanya terbenam di bahu Radit." Kalian punya penggemar gitu lho! Pasti gue dianggep rendahan sama penggemar kalian!"

"Gue nggak punya, buktinya nggak ada yang minta fotbar atau tanda tangan."

"Lo mah, nggak ngerti!"

"Btw, kita kayaknya udah ngelewatin rumah Abel."

Nindi mendongak dengan mulut sedikit menganga, motor Radit tidak berniat berhenti atau setidaknya belok arah, padahal Radit tahu rumah Abel sudah lewat.

"Kenapa nggak balik arah?"

"Sengaja, biar dempetan terus sama lo."

Nindi memutar bola mata, lalu tangannya melayang memukul pundak Radit." Modus!"

Lumayan kebablasan jauh, mungkin sekitar 100 meter. Pantas mencari rumah Abel seperti menyusuri jarak di antara kita, jauh sekali. Ah, rupanya rumah Abel sudah terlewati jauh.

Motor Radit pun berhenti di depan sebuah rumah paling mencolok di antara yang lain. Yang membuat rumah ini mencolok adalah ukuran dan desainnya yang berbeda dari para tetangganya. Jika rumah di depan, kanan dan kiri cenderung sederhana dan memiliki ukuran ala kadarnya. Berbeda dengan rumah yang satu ini. Megah dan besar, konsepnya putih cemerlang, pilar-pilar rumahnya menjulang tinggi, ada tembok tinggi yang mengungkung rumah ini di sisi kanan dan kiri, seolah sengaja memenjarakan diri dari rumah sederhana lainnya, serta gerbang berkarat yang tak kalah tinggi pula. Rumah ini terkesan gelap, hanya lampu teras yang menjadi satu-satunya penerang, nan lampu terang yang berasal dari rumah para tetangganya.

Namun ada yang membuat Nindi hilang kagum dengan rumah ini, yaitu pekarangan rumahnya yang kotor, dedaunan kering berserakan di rumput yang menjadi alas dipermukaan tanah, serta terdapat rumput liar yang tumbuh. Jika diperhatian mendetail, sebagian temboh putihnya itu berlumut, terasnya kotor bukan main, apalagi atapnya yang telah menghitam. Rumah ini seperti tak terawat, menyebabkan sebagian kemewahannya raib, sayang sekali.

"Ish, Abel cantik-cantik rembes banget! Muka aja dirawat, tapi rumahnya kotor begini," komentar Nindi disertai gidikan.

Radit membuka gerbang yang ternyata tidak dikunci itu, saat dibuka, decitan keras memenuhi gendang telinga.

"Lo suka nggak cewek yang pinter ngerawat diri, tapi nggak pinter ngerawat rumah?"

"Nggak."

Setelah pertanyaan Nindi dan jawaban dari Radit, keduanya saling terdiam karena sibuk mematut apa yang mereka pijak mau pun apa yang ada di sekitar mereka. Sampailah mereka di depan pintu putih, nan tinggi. Mata tetap sibuk meneliti apa pun yang dapat digapai mata. Seperti ubin yang berselimut debu, tanaman hias yang mengering, dan kaca jendela yang kusam.

Sedikit mengintip dari jendela rumah, hanya gelap yang terlihat.

"Orangnya ada nggak sih, Dit?"

"Ada kok."

Tangan Radit mengepal, kemudian menempel di pintu itu, siap mengetuknya. Tiga ketukan, belum ada yang merespon. Pikir Radit, ketukannya kurang keras, jadi ia mengetuknya lebih keras lagi, namun tetap tak ada respon.

Nindi yang tak sabaran memilih jalan brutal, yaitu dengan menggedor seperti ngajak tawuran, menendang pintu itu dengan tenaga dalam.

"Woy, keluar! Kami rentenir yang mau nagih hutang!"

Sentuhan di pundak membuat Nindi menyudahi kebrutalannya, lalu memandang Radit tajam.

"Selow dong!"

"Habisnya nggak keluar-keluar tuh, orang. Gue 'kan jadi---"

"Hutang apa?"

Suara bass nan serak membuat keduanya mengerjap terkejut. Pemilik suara yang diduga milik pria jangkung yang berada di hadapannya itu berdiri dengan tangan terlipat di depan dada. Nindi bersusah paya meneguk ludah, kakinya mendadak gemetaran nan nyaris tak sanggup menyanggah tubuhnya sendiri manakala pria besar nan tinggi itu menatapnya tajam. Diperkirakan umurnya 50 tahunan, gagah meski rambut putih sebagian telah tumbuh. Ada garis keriput di wajahnya, cincin akik besar melingkar di jari manis. Hanya memakai kaus putih dipadukan celana panjang, pria itu sungguh kelihatan sehat nan kuat.

"Maaf Om, saya kira yang bakal keluar Abel, tadi cuman bercanda aja," respon Nindi seraya mengulum senyum tipis. Sementara Radit diam-diam terlihat menahan takut, dirasakan Radit bergerak-gerak gelisah di sebelahnya.

"Pulang aja yuk!" bisik Radit tepat di telinganya.

"Kenapa?" tanya Nindi yang juga berbisik.

"Mending pulang aja, yang penting udah tahu tampang bapaknya."

Mulut Nindi sedikit terbuka, matanya menyorot Radit, bertanya-tanya. Saat Nindi sedang sibuk melempar pertanyaan lewat raut wajah, pergelangan tangannya terasa hangat karena suatu sentuhan. Walhasil Nindi terpelonjak kaget, serta refleks meluruskan pandangan, tepatnya menatap pria itu.

"Ternyata anak itu juga pintar membawa perawan." Sebelah sudut bibirnya terangkat, menyeramkan sekaligus menyebalkan di mata Nindi. Dari cara Om itu berbicara, kentara bahwa Dia lelaki berhidung belang.

"Astaghfirullah! Inget anak-istri Om!" sergah Nindi sembari memberontak dari cekalan pria itu, dibantu Radit yang menariknya.

"Saya nggak punya istri, kamu mau jadi istri saya? Pasti punyamu---"

"Innalillahi, bawa gue pergi!" Radit bukan lagi menarik Nindi, namun selangkah maju menyerang pria itu dengan kepalan tangan yang melayang mengantam pipi pria itu keras. Pria itu tumbang. Tak menyia-nyiakan kesempatan, Radit menarik Nindi keluar pekarangan, nan mengendarai motornya dengan kecepatan paling tinggi.

Nindi erat memeluk Radit, menyenderkan kepalanya di punggung lelaki itu, berusaha mengurangi kekalutannya, namun agaknya sia-sia. Tubuhnya gemetaran, hembusan napasnya teramat cepat, berbarengan dengan degup jantung yang membabi buta pula.

Ia rasakan motor yang ia tumpangi menurunkan kecepatannya, perlahan menepi dan berakhir berhenti. Nindi melepas dekapannya, mendongakkan kepala kala Radit turun dari motornya, Nindi pun melakukan hal yang sama karena dibuat kebingungan terhadap tujuan Radit memberhentikan motornya.

"Kok, berhenti?"

Tindakan tak terduga Radit membuatnya sedikit terjengkit. Ia didekap dengan eratnya, diusapnya surai hitam legam milik Nindi, teramat sayang. Apa tujuan lelaki ini untuk menenangkannya? Jika benar begitu, itu artinya dia pula merasakan betapa Nindi mencoba menghilangkan ketakutannya. Dekapan hangatnya mengundang Nindi untuk membalasnya tak kalah hangat pula. Memejamkan mata, mencoba menerima saluran ketenangan yang diberikan Radit.

"Radit, bukannya gue lagi modus," lirih Nindi, tetap mempertahankan pelukannya."Mungkin kelihatannya sepele, tapi gue sensitif banget, gue beneran takut."

"Gue tahu." Suaranya selalu melembut di satu waktu, pemuda ini benar-benar tahu apa yang seharusnya dia lakukan pada perempuan.

***

Mahes segera gegas menuju kantin, diikuti Dimas, tentunya. Mereka mempunyai tujuan yang sama, mendatangi gadis yang sama, dan kini mereka berlari karena berebut duduk di sebelah gadis itu. Akhir menentukan Mahes yang duduk di sebelah Nindi, sebab Dimas kalah tipis. Mau tak mau, yang kalah memilih duduk di bangku kosong yang berseberangan langsung dengan gadis itu, daripada sama sekali tidak berdekatan.

Seringaian licik Mahes sunggingkan untuk Dimas, sementara Dimas memunculkan mimik merengut. Untuk kali ini, ia tak akan membiarkan dirinya kalah, seperti hari-hari sebelumnya. Ia tak akan membiarkan kecemburuan menyelimutinya, justru orang itu yang akan kebakaran jenggot kali ini.

Baru saja mendaratkan bokong, pemandangan di sebelahnya telah membikin dirinya baik pitam. Kepala bersandar di pundak lelaki lain, lalu dirangkul juga oleh lelaki lain, maksudnya apa? Baru juga hendak protes, kenyataan segera menyadarkannya bahwa Nindi bukan miliknya lagi. Mantan bisa apa? Bisanya makan hati.

Namun, emosinya cepat mereda bergantian perasaan khawatir saat ditatapnya mata sayu gadis itu. Bukan hanya itu, kantung matanya juga menarik simpati Mahes, bibir kering nan pucatnya membuat Mahes sadar bahwa Nindi sedang tidak baik-baik saja, wajahnya memperlihatkan bahwa dia sedang tidak sehat. Biasanya juga dia atraktif.

"Lo kenapa?" Mahes tidak bisa untuk tak bertanya perihal keadaannya, dibenaknya hanya ada kekhawatiran pada Nindi.

"Masuk angin," katanya, lirih dan parau.

Tangan Mahes tanpa kendali menyentuh dahi dan pipi Nindi, air mukanya berubah panik manakala dirasakan hangat saat bersentuhan dengan Nindi. Telapak tangannya segera membungkus kedua tangan dingin Nindi.

"Terus kenapa masih sekolah?"

"Sayang kalau ketinggalan mata pelajaran."

"Ada Radit, bisa pinjem catatan dia."

Nindi menggeleng lemah, "nggak."

"Sini, sama gue." Baru hendak membawa Nindi dalam pelukannya, Nindi justru sedikit menggeser duduknya menjauh darinya. Jelas, membuat Mahes mau tak mau menelan kecewa.

"Kontroversi Deket sama lo," cibir Nindi, selanjutnya.

"Kenapa nggak ke UKS?"

Nindi mendesah, kini tangannya mengusap perutnya."Laper, mau makan," ujarnya, merengek.

"Mau makan apa? Biar gue pesenin."

Kalimatnya berhasil menarik atensi Nindi, dia kini menegakkan punggungnya, nan menatapnya dengan alis mengerut.

"Nggak, gue bisa sendiri."

Tertolak lagi. Ini cukup menyiksa hati, di mana otaknya mulai berpikir, bahwa perhatian yang ia berikan terbuang sia-sia, namun karena kekhawatirnya pada Nindi, ia rela melenyapkan egonya.

"Kalau gitu gue temenin."

Nindi memutar bola mata malas, kemudian mengerucutkan bibir." Nggak usah sok perhatian! Emang lo siapa gue?"

"Lo lagi coba ngode gue?"

Nindi bergeming. Tatapannya turun memerhatikan tangannya sendiri."Ya, udah deh, sana!" Akhirnya Nindi menyerah juga, disodorkannya uang pecahan sepuluh ribuan pada Mahes.

"Bakso doang, kembalian harus pas! Takutnya main lo embat!"

Mahes tersenyum dan mengangguk, tangannya menjulur ingin menyentuh pipi Nindi, namun ditepis kasar.

"Jangan genit deh, buaya!"

Mahes langsung kicep dibuatnya, tanpa berkata-kata lagi, ia gegas menuju Abang tukang bakso, dan lima menit kemudian telah kembali dengan semangkuk bakso dan segelas teh manis.

"Makasih. Btw, gue nggak pesen teh padahal," protes Nindi, ekspresinya makin lecek.

"Heran, ada gitu orang habis makan nggak minum?"

"Ish, gue lagi nabung buat nyusul Sehun! Lo tuh, perusak rencana gue, tahu nggak!"

"Pakai duit gue Nindi." Setelah mengembuskan napas berat, Mahes merogoh saku celananya, lalu menyerahkan pecahan sepuluh ribu Nindi yang masih utuh.

Tangan Nindi sangsi untuk menerimanya, antara ingin menerimanya, namun disisi lain seperti diserang perasaan takut."Gue tuh, trauma ditraktir lo! Entar diminta balik."

Apa iya karena sikap kekanak-kanakan Mahes, sampai memunculkan trauma? Sebetulnya, ia tak benar-benar meminta kembali apa yang telah ia berikan pada Nindi dulu, itu hanya taktik agar terus berurusan dengan Nindi. Ya, memang si labil ini perlu di rukiyah

"Ikhlas lahir batin."

Tanpa ba-bi-bu lagi, Nindi lekas menerima kembali uangnya dan mengamankannya di kantung roknya." Papa bilang, harus mengucapkan terimakasih pada orang yang telah membantu, sekalipun pada mantan. Oleh karena itu, gue berterimakasih."

Kalau soal gratisan, dia tak akan membesarkan gengsinya, membiarkan keinginannya mengalir begitu saja tanpa dicampuri gengsi, dan kini, senyumnya terbit dan matanya amat berbinar. Setidaknya senyum dan tatapan matanya mengurangi dirinya yang sedang kurang baik.

"Sama-sama." Mahes membalasnya sembari tersenyum juga.

"Gue sariawan kayaknya Dit," adu Nindi kemudian, seraya memegangi pipinya dan merintih.

"Nggak usah makan yang pedes-pedes dulu."

Untuk hal sekecil itu, Nindi mengadukannya pada Radit. Gejolak iri bergemuruh di benak, menjelma jadi kecewa dan gundah. Sekali lagi, mantan bisa apa?

Selagi Nindi sibuk dengan urusan mengisi perutnya, Mahes memilih mengajak berbincang Dimas yang sedari tadi memilih senyap dengan memainkan ponselnya.

"Tumben nggak ngomong?"

Dimas menghentikan jarinya yang menari lincah di layar ponsel, lalu melayangkan tatapan datarnya pada Mahes.

"Ngalah, soalnya lo ambekan orangnya, takut ngamuk," balasnya, seperti tak berminat memandang Mahes.

"Halah, kalau seandainya Nindi nggak sama lo, gue bakal relain Dim. Brengsek banget Lo orangnya!"

Sebelah alis Dimas naik."Brengsek gimana?"

"Ini antara Lo nggak sadar, atau emang pura-pura lupa."

"Nggak paham sama omongan lo."

Seenaknya bilang 'nggak paham', apa dia sempat kejedot meteor sebesar dosa ya? Sampai otaknya macet begitu.

"Gue masih inget kata-kata lo pas jelek-jelekin Nindi."

Kontur wajah Dimas cepat mengalami perubahan dari yang awalnya datar-datar saja, berubah tegang.

"Jujur, gue sakit hati, karena posisinya waktu itu Nindi cewek gue."

Dimas mengembuskan napas berat, lalu meletakkan ponselnya di meja."Oke, gue salah. Gue nggak perlu minta maaf ke lo 'kan? Gue salahnya ke Nindi."

Dimas tak akan bisa menyangkal, mengingat bagaimana cara dia menjatuhkan Nindi begitu nyata, dan mustahil terlupakan begitu saja, bahkan Nindi sekali pun tak akan melupakannya begitu mudah.

Mahes mengangguk singkat, sebagai respon pernyataan Dimas tadi."Dulu aja ngejelek-jelekin, nge-bodyshaming. Pas udah cantik ternyata naksir." Memangku dagu, sembari tersenyum picik pada Dimas."Ini antara lo yang Mandang fisik, atau tiba-tiba jatuh cinta gitu aja tanpa sebab?"

Sementara Dimas berusaha memunculkan mimik sesantai mungkin, agar tak disangka terintimidasi dengan pertanyaan Mahes.

"Kalau masalah perasaan, gue nggak bisa beberin, anggap aja privasi. Cuman yang bersangkutan yang boleh tahu."

Mahes mengangguk lagi." Terus, gimana soal lo yang pengen banget gue putusin Nindi? Eh, akhirnya Lo deketin juga."

Cukup sulit dicerna akal, di mana seorang Dimas begitu gencar menghina Nindi lewat kekurangan fisiknya, serta teramat menginginkan Mahes memutuskan hubungan dengan Nindi, justru akhirnya Dimas kedapatan mendekati Nindi. Namun pada akhirnya, Mahes menyadari bahwa, ia tengah dipermainkan teman sendiri.

Dimas membiarkan cecaran pertanyaan Mahes tak terjawab, atau barangkali Dimas sibuk merangkai aksara yang tepat untuk menjawab pertanyaan Mahes.

"Masa iya, sih, lo udah naksir Nindi sebelum gue putusin?"

"Jangan ngarang deh!" Akhirnya elakan Dimas layangkan.

"Gue cuman nanya."

"Nggak perlu gue jawab, karena itu rahasia gue."

Dengan Dimas yang bersikukuh menyangkal, sudah dapat dipastikan bahwa dugaan Mahes benar.

"Nggak perlu lo pengaruhin gue buat putusin Nindi Dim, kalau Lo emang suka ya, udah, deketin aja. Nggak gitu caranya."

Terlalu sibuk dengan emosi berapi-apinya, hingga melupakan orang yang dibicarakan tengah menahan risi. Pura-pura tak acuh pun tak bisa, selagi suara mereka masih terdengar panca indera, tak akan selesai risi ini.

"Apaan sih, Hes! Jangan ngadi-ngadi deh." Dimas tampaknya telah frustasi, aksara tepat tidak ia temukan untuk menjawabnya.

"Mungkin lo bisa seneng kali ini Dim, karena gue nggak akan ngajak Nindi balikan atau pacaran lagi."

Sudut bibir Dimas terlihat sedikit naik, namun detik berikutnya kembali membentuk segaris bibir tanpa senyum.

"Sekarang gue tanya deh, lo nyesel nggak putus sama Nindi?"

"Nggak." Jawaban Mahes tidak keliru, ia bersungguh-sungguh atas jawabannya. Tak ada penyelasan, sebab Mahes memilih mengakhiri hubungannya dengan Nindi bukan karena terpengaruh ucapan Dimas, tetapi karena membebaskan Nindi dari kekangannya, dan tak ada yang menyakitkan ketika seseorang telah rela melepas demi kebahagiaan.

"Oh, gue pikir lo nyesel karena kemakan omongan gue."

"Udah ngomongnya?" Bukan Mahes yang menjawab, melainkan gadis yang sedari tadi dibicarakan. Mimik wajahnya tampak menahan jengkel. "Gue risi lama-lama. Ada Lo bikin nafsu makan hilang. Mending cari tempat lain buat bacot." Ocehannya tertuju pada Mahes, hanya pada Mahes.

Bingung, sempat bertanya-tanya, mengapa Nindi hanya mengusirnya? Bagaimana dengan Dimas?

"Gue doang? Dimas?"

"Cuman lo."

Agaknya, hari ini menjadi hari mengecewakan baginya. Nindi seperti menutup diri darinya, atau bahkan mulai menutup hati. Tidak ia dapati juga tatapan penuh pengharapan Nindi seperti pada hari-hari sebelumnya.

"Gue ganti duit lo." Nindi hendak menyodorkan selembar kertas itu, namun cepat Mahes tahan.

"Nggak, gue pergi," pamitnya, setelahnya beranjak dengan segenap hati hancur, dan nyerinya yang menyamakan anak panah mendesak ke jantung.

***

Lama aku ndak update. Males buanget! Nggak mood mau mikir, pas udah mulai ada mood, eh, jaringan tidak memadai. Jadinya males lagi.

Btw, pelecehan sekecil apa pun, mau cuman berupa kata-kata, kayak semacam," hai, cewek! Sini sama Abang, pasti punyamu ... Bla BLA BLA." Itu bikin trauma banget tahu. Aku tuh, di body shaming pernah, dilecehin juga pernah, cuman pakai kata-kata sih, tapi bikin trauma setengah mampus. Itu pas masih SD kalau nggak SMP, sejak saat itu aku takut ke warung yang banyak cowoknya, Sampek sekarang gitu. Mending aku pergi ke warung yang jaraknya jauh banget, ketimbang warung yang Deket dari rumah, tapi banyak cowok-cowok.

Maap curcol.

Continue Reading

You'll Also Like

4.7K 587 53
Kanala Btari Sora tidak pernah berencana menyatakan perasaannya pada Benua Kalundra, si kakak kelas populer yang menjungkirbalikkan idealismenya hany...
890 303 30
Event maraton khusus alumni ©2023
434K 55.6K 36
Campus Series #1 Trigger warning : anxiety disorder, overthinking, toxic family, feeling useless. Penipu. Itulah ungkapan yang diberikan Nadia Mona F...
1.5M 55.2K 20
Sebagai perempuan modern yang sukses dalam karier, dijodohkan adalah sesuatu yang sangat konyol dalam hidupku. Tapi ketika aku mulai mengenalnya apak...