Yuk jangan jadi silent readers ;)
1 vote kamu berarti sejuta bagi penulis❤
Dengan rambut dikuncir setengah dan sweater putih, Syila masuk ke dalam kelasnya. Setengah dari keseluruhan murid sudah datang dan menduduki bangku masing-masing. Tapi anehnya semua dari mereka merunduk ke bawah membaca lembar demi lembar buku begitu serius, bahkan termasuk ketiga sahabatnya.
Syila datang menduduki bangkunya. Ia menyenggol lengan Seva di samping. "Anak kelas pada belajar apa sih? Kok serius banget?"
Seva menutup bukunya kasar. "Hari ini kita ada tes fisika dadakan, gila nggak lo kepala gue mau pecah rasanya." Keluh Seva menghamtam-hamtamkan buku ke kepalanya.
"Lo tau darimana?" Tanya Syila mengernyitkan alis.
"Anak IPA lain semua bilang habis tugas praktikum waktu itu, pertemuan selanjutnya pasti dikasi tes dadakan." Jelas Seva menghadap ke samping. Ia berharap ini hanya penggalan bunga tidur.
Syila mengambil tangan teman sebangkunya dan menepuknya pelan. "Kayaknya lo rugi deh." Katanya dengan rasa bersalah.
"Maksudnya?"
"Tadi gue dikasi tahu sama wali kalo Bu Ratih alias guru fisika kita hari ini izin, jadi disuruh baca materi aja." Jelas Syila menahan tawanya sebisa mungkin. Ia jadi tidak enak karena teman sekelasnya belajar susah-susah tanpa tahu fakta terbaru.
Seva mengacak rambutnya frustasi. "Anj*r, terus buat apa gue daritadi belajar susah-susah."
Tawa Syila tak bisa ia tahan lagi. "Kasi tahu gih depan kelas, hahaha..."
Akhirnya Seva beranjak ke muk kelas dan mengumumkan ketidakhadiran Bu Ratih. Semua murid sontak menutup buku mereka rapat-rapat. Sayangnya ada yang sudah menulis contekan panjang-panjang berakhir menelan kekesalan.
"IBASSSS!!" Teriak Rara di bangkunya dengan keras. Telinga Syila sampai berdengung dibuatnya.
Gadis itu membara dan berjalan ke pojok kelas. Ia mengejar murid laki-laki tersebut dengan tangan yang siap memukul. "Lo tuh makanya jangan asal ngasih info, cek dulu. Gara-gara lo gue jadi keringat dingin, sakit perut, pusing, apalagi ya... banyaklah pokoknya." Protesnya kesal.
Ibas sendiri berdiri di atas meja menghindari pukulan Rara sebisa mungkin. "Ya mana gue tahu gurunya nggak ada, maap ye semua." Ucapnya seraya menyatukan kedua telapak tangan di depan dada. Memang ia lah yang memulai informasi tersebut dan benar adanya. Hanya saja mereka lupa guru juga manusia yang bisa tidak menghadiri sekolah.
Seisi kelas bernafas kasar, namun lega disaat bersamaan. Jika saja Syila datang lebih lambat dipastikan mereka bisa saja selesai membaca singkat keseluruhan materi. Meski mereka memilih jurusan IPA, tapi rasa suka pada pelajaran fisika sangat kecil. Yang diajarin apa yang keluar apa, tahu rumus nggak selalu jamin kita bisa menjawab.
Syila menggerakkan tangannya memberi isyarat Rara agar kembali duduk di tempatnya. Temannya terlihat begitu meresahkan.
Ilma menepuk punggung Rara, menyabarkannya. "Udah Ra, yang penting kan rambut lo masih di tempatnya belum hangus kebakar karena stress." Ucap Ilma konyol. Rara bahkan sudah mencoret seisi telapak tangannya dengan berbagai rumus.
"Ilmaa, tau ah."
Syila menyodorkan dua lembar tissue basah kepada Rara. Gadis itu terlihat mencebikkan bibirnya membuat Syila kasihan. "Nih pake."
"Thank you Syila."
Tissue itu mulai Rara usap membersihkan seluruh telapak tangannya. "Eh btw lo nonton kan pertandingan basket dua hari lagi?" Tanyanya menghadap ke depan.
Syila menganggukkan kepalanya. "Nonton, kalian juga kan?"
"Iya, lagian nggak bayar masuknya." Jawab Seva menyahuti.
Rara merapikan rambutnya dan mulai bertingkah gemulai. "Nonton lah, gue mau hunting nanti disana, pasti banyak cowok ganteng."
Masih dengan kegenitannya sendiri, kepala Seva ditoyor oleh Ilma. "Cowok aja isi otak lo, belajar fisika tu dulu yang bener."
Rara berdecak membantah. "Demi masa depan Ma, memperbaiki keturunan."
"Tapi ya Syil, gue tebak kalo lo sama Arlan punya anak pasti mantap tu hasilnya."
"Uhuk..uhuk...."
...
"Hari ini cukup sampai disini persiapannya, ingat kesehatan yang utama. Jangan sampai acara ini buat kalian kelelahan atau kecapean. Acaranya tinggal tiga hari lagi." Ingat Kak Indi di depan anggota-anggota club.
Pameran seni ini memang cukup besar dan akan mendatangkan banyak tamu. Mereka sebagai salah satu partisipan tentunya harus mengeluarkan yang terbaik. Lukisan-lukisan disortir hingga diperoleh yang menarik untuk diikutseratakan nanti.
Setelah membubarkan seluruh anggota untuk kembali pulang, Kak Indi melangkah mendekati Syila yang tengah mengambil tas. "Syila, nanti tolong di data-data lagi ya persiapannya, terus kirim aja lewat email."
Tangan Syila terangkat ke atas membentuk tanda oke. "Oke kaj, gue balik dulu ya kak."
"Sip, hati-hati."
Kaki Syila berpijak di lingkungan sekolah yang sepi. Jam saat ini menunjukkan pukul tiga lebih tiga puluh menit. Kedua tangannya ia renggangkan ke samping, menghilangkan rasa pegal.
"Hufttt.."
Sampai akhirnya hendak melewati lapangan basket, Syila menyadari anggota ekskul basket tengah istirahat sesaat sebelum melanjutkan latihan.
Entah kenapa, Syila ragu untuk melangkah. Padahal tidak ada alasan juga untuk merasa canggung.
"Air buat lo."
"Makasi."
Dari kejauhan Syila dapat mendengar percakapan antara Arlan dan Gladys. Laki-laki itu menerima sodoran botol mineral tersebut bahkan langsung membukanya. Syila memalingkan wajah ke samping dengan kesal dan memilih cepat-cepat pergi.
"Arlan, bebeb lo lewat tuh." Teriak Rakil menggelegar yang bahkan masuk ke telinga Syila dengan volume besar.
"Mati gue."
Arlan bangkit dari duduknya lalu melangkah menuju gadis itu. Semakin ia berlari mengejar semakin Syila mempercepat langkahnya. Gadis itu bahkan tak memalingkan wajahnya ke belakang.
Hingga sampai di pelataran depan sekolah, Arlan baru berhasil menggaet tangan Syila dan memutar badannya ke belakang.
"Apa Arlan? Kok nggak ngelanjutin kegiatannya di lapangan?" Tanya Syila mengangkat kedua alisnya. Ia berdecak melihat tangan Arlan yang satunya masih memegang botol mineral yang diberikan Gladys.
"Cemburu ya?"
"Enggak kok, cuman ngerasa pingin NIRKAM lo aja." Jawabnya seraya mendelik tajam dengan rahang diketatkan.
Arlan terkekeh kecil. "Bukan gue doang kok yang dikasi air, Rakil sama Argan juga dapet."
Syila menarik tangannya dari pegangan Arlan. "Ya udah, diminum aja sana sekalian botol-botolnya." Tukas Syila dengan dagu menunjuk botol mineral dalam pegangan Arlan. Kedua tangannya terangkat menyilang di depan dada.
"Uhukk..uhukk.." Arlan memegang tenggorokannya dengan tubuh yang nampak linglung ke depan.
Syila awalnya berniat tak menghiraukan, tapi kenapa batuknya tak berhenti dan ekspresi laki-laki itu terlihat kesakitan.
Syila menghilangkan egonya, ia meraih lengan Arlan. "Lo kenapa?" Tanyanya khawatir.
"Kayaknya gue dirancunin deh."
"Uhuk...uhuk.."
"Duh mau pingsan nih."
Syila menatap sekelilingnya yang sepi dengan cemas. "Tuh kah, makanya jangan asal nerima gitu aja." Ucapnya panik. Tangannya lantas pindah memegang kedua sisi wajah Arlan. Meneliti apakah air muka laki-laki itu berubah pucat.
"Tapi boong." Arlan mengedipkan satu matanya nakal. "Takut gue mati ya."
"Sialan." Syila menarik tangannya dan berdesis sebal.
Arlan menarik badan gadis di depannya, mengikis jarak. "Dimaafin kan? Gue terima aja biar dia cepet pergi, sumpah." Kali ini Arlan mengatakan yang sebenarnya. Meski Arlan terang-terangan mendekati Syila di sekolah, Gladys beberapa kali masih suka mengintilinya. Karena itu air ini ia terima saja agar gadis itu segera pergi.
Syila mengacuhkan laki-laki itu. Ia mengarahkan wajahnya ke samping. Siapa suruh sudah membuatnya cemburu tambah menjahilinya pakai acara pura-pura keracunan segala.
"Syilaa..."
Arlan menongolkan kepalanya di depan wajah Syila.
"Syila..."
Gadis itu memalingkan wajahnya ke samping menghindari tatap muka. Dan Arlan tidak menyerah, ia terus memunculkan wajahnya di hadapan Syila, lagi dan lagi. Sial pertahanan Syila runtuh dikala wangi mint Arlan menyeruak ke dalam hidung padahal laki-laki itu tengah berkeringat, bisa-bisanya ia tetap harum.
"Iya-iya, dimaafin." Syila menatap lurus ke manik mata Arlan. "Sini airnya buat gue aja." Tangannya merebut botol tersebut dan menyembunyikannya di balik badan.
Arlan menekan pipi Syila gemas. "Gue tuh cuman suka sama 3 orang." Ia menurunkan kepalanya hingga sejajar dengan wajah Syila.
Kening Syila bekerut mendengar ucapan Arlan. "Maksu.."
"Satu, orang yang tinggal satu atap sama gue."
"Dua, orang yang sekarang berdiri di depan gue."
"Tiga, perempuan yang namanya Syila, ngerti?"
Late night update 🎉🎉
Gimana part ini?
Semoga kalian suka ya bacanyaa....
Btw happy 200k viewsnya 😊
Makasi banyak kaliannn ❤❤
Jangan lupa support cerita aku yang lain ya :)
Btw aku bikin ig @orchids.stories, kedepannya aku bakal banyak post soal cerita, nanya-nanya, minta saran, bahkan spoiler, dll.
Jangan lupa difollow ya
Bye....