malem-malem update euy🤓
jam berapa kalian baca bab ini??
happy reading !!
***
RHETA POV
"Pak lagi sibuk ga?"
"Kenapa By?"
aku mengelus rambutnya pelan. kini kepala pak Linggar ada di pangkuanku. dia sedang istirahat siang. bukannya makan, dia malah mainan hp berbantal pahaku. udah, udah aku ingetin aku paksa malah tapi katanya dia udah makan sebelum tau aku mau datang ke sini.
Huft. Jadi sia-siakan ini satu box bento yang aku bawa.
"Nanti sore ke rumahnya Arumi yuk pak? nengok baby Rain. aku belum kasih dia kado tau," terangku membuatnya beralih dari layar ponsel dan menatapku dari bawah.
pak Linggar mengangguk. "Ayo."
"Bapak... gapapa kan?" tanyaku ragu. takutnya, gimana ya. aku juga ga tau sih ragu kenapa kan aku belum tau semua cerita jelasnya antara dia sama mba Riri.
"Saya gapapa, By. kenapa kamu ragu gitu hm?"
"Ya... gapapa."
aih aku berharapnya dia inisatif duluan, ingin membagi kisahnya tanpa aku tanya. tapi kayanya emang kisah itu terlalu berkesan, sehingga sulit untuk pak Linggar terbuka.
tiba-tiba pak Linggar terkekeh. sontak aku mengerutkan alis.
"kenapa ih? Nyeremin banget ketawa sendiri, ga ada yang lucu juga."
"Kamu yang lucu By."
eh?
sialan.
"Engga. emang aku ngapain?" bangsul. aku berusaha ga mesem di depannya. barusan itu dia ga lagi ngegombal kan? ah mana bisa dia ngegombal. makanya aku tahan biar ga dikira kepedean sama dia. ish.
"Ih pengen cium kamu... tapi ga bisa."
aku melotot heran. kok ga bisa? kalo mau cium ya tinggal ciumlah. aku ga nolak kok. ini dia malah uring-uringan sendiri macam cacing ke panasan. ahaha. aneh banget.
"Sabar Linggar, nunggu janji suci dulu. sabar," ucap pak Linggar lagi. berusaha menyamangati dirinya sendiri. aku menahan ketawa liat tingkahnya yang satu ini.
"Sabar Linggar, sabar," godaku mengikuti kata-katanya yang tadi.
pak Linggar mendengus lalu memiringkan badannya hingga menghadap perutku. aku yang terkekeh geli, sibuk mengelusi rambut hitamnya lagi.
sayang banget aku sama bapak. jangan pernah tinggalin aku ya.
dalam hati aku berkata gitu. gila aja kalo bilang langsung. hiyah.
"Saya mau tidur. jangan ganggu."
"Eh waktu istirahatnya bentar lagi habis lho, pak. jangan tidur lah!"
"Saya ada operasi darurat tadi pagi. 3 jam berdiri, terus. capek, By..." rengeknya dengan suara pelan macam gumaman karena terbenam di sana.
"Yaudah. jam 2 aku bangunin, cukup?"
"Hm."
setelah itu ga ada lagi suara pak Linggar yang terdengar. kecuali deru nafasnya yang terdengar teratur. aku tersenyum hangat waktu melihat tangannya yang memeluk pinggangku erat. kalo gini terus ceritanya, gimana bisa aku berpaling ke cowok lain. bahkan untuk ngelirik aja ga sempat.
pak Linggar definisi cowok paket komplit. udah ganteng, pinter, kaya, penyayang, dan yang paling penting dia mau nerima aku apa adanya. pak Linggar sabar ngadepin sikap aku yang kadang masih children.
tapi sejauh ini, apa ya yang buat dia akhirnya mau sama aku?
sibuk dengan pikiranku sendiri. aku bingung mau ngapain lagi selagi nunggu pak Linggar bangun. akhirnya aku memutuskan membaca pdf jurnal di hp. hei, bukan sok rajin. tapi emang aku dituntut rajin. sadar dirilah, bentar lagi aku naik semester. belum lagi akhir-akhir ini fokus belajarku kepecah karena masalah yang bertubi-tubi.
iya tau, salah satu masalah itu karena ulahku sendiri. gausah diinget-inget gitu napa. ish.
oke mari kita move on.
ga berasa waktu berjalan dengan cepat, saking larut dalam bacaanku sendiri. ketika nengok ke jam, lima menit lagi menunjuk angka 2. aku pun mematikan ponsel dan beralih pada sosok berbadan besar yang tengah tertidur pulas.
"Pak, bangun. udah mau jam dua," bisikku halus tepat di depan telinganya.
Pak Linggar menggeliat. Pelan-pelan dia membalikkan badannya dan membuka kedua matanya.
"10 menit lagi By." Ehh dia malah balik ngadep perutku lagi.
"Gabisa!" Aku mendorong lengannya agar ga bisa tidur lagi. "Ayo bangun ih, kasian pasien bapak atuh. Buruan bangun ga?!"
"Lagi engga ada pasien kok."
"Yaudah tetep aja harus bangun. Ga bagus tidur di jam kerja gini. Kan bapak pimpinanya. Bapak itu panutan di sini."
"Kamu mah..."
Akhirnya pak Linggar bangun. Dia merengut kesal. Aku menyunggingkan senyum geli. Utututut. Ada jelmaan bayi besar di sini.
"Aku mau pulang. Nanti bapak jemput aku di rumah, terus kita ke rumah Arumi bareng ya?"
"Engga. Tunggu di sini aja. Jam 4 pulang kerja."
Aku menggembungkan pipi sedikit bete. Bete karena bosan. Mau ngapain coba di sini sampe 2 jam kedepan.
"Bapak kerja. Terus aku ngapain? Kan gabut. Mending pulang, mau cari kadonya sekalian."
"Kalo gitu ayo cari kado sekarang."
"Ehhhh?? Kok gitu sih!" Astagaa. Dia ini kenapa, kok kaya males kerja gitu.
"Biar ke rumah Aruminya ga ke sorean."
"Halah alesan. Bilang aja males kerja."
"Itu tau."
"Ya Tuhan bapakkk!"
Pak Linggar menyengir. Tanpa aku duga, dia nyium pipi kiriku.
Cup.
"Ada kamu sih. Jadi saya maunya sama kamu terus."
"YAUDAH MAKANYA AKU PULANG AJA!!"
***
Emang ga patut ditiru kelakuan direktur yang satu ini. Liatlah, jam pulang masih dua jam lagi tapi sekarang dia sedang di jalan bukan untuk meeting melainkan menuju pusat perbelanjaan kota.
"Bapak ga selalu kaya gini kan?" Alis pak Linggar naik sebelah. "Males kerja," lanjutku menjelaskan.
Dia menggeleng. "Engga. Kan tadi dibilang karna ada kamu By."
Cengiran itu, aku jadi gabisa ngomel. Huft. Ada-ada aja kelakuan om-om ini.
"Kalo ketauan gimana? Bapak bisa ditegur dong."
"Pemilik rumah sakit itu papah. Mana mungkin bisa papah marah ke saya."
"Kok gitu?"
"Kan saya udah ngancem. Saya bebas ngelakuin apa aja, kalo dilarang, saya akan pergi dan ga nerusin perusahaan."
What?!
"Bapak serius gitu?"
"Iya dong. Masa bohong By."
Ya Tuhann. Kenapa baru hari ini sikap buruk pak Linggar kebongkar sih?? Selama ini kemana aja kamu wahai sisi buruk.... Hiks.
"Papah maksa saya terus, buat pegang perusahaan. Padahal saya ga mau. Saya maunya jadi dokter bedah aja."
"Emang ga saudara yang lain? Kakaknya bapak misal," tanyaku kini mulai antusias mendengar kelanjutan cerita pak Linggar.
Kan belum pernah dia cerita apapun. Kayanya aku ga tau apa-apa soal hidupnya. Huh. Padahal katanya kita mau nikah.
"Saya anak tunggal, By. Mau ga mau harus nerusin usaha papah." Wajah pak Linggar nampak lesu. Apa sesulit itu untuk melanjutkan tanggung jawab dari papahnya? Ah pasti sulit. Aku agaknya bisa ngerasain. Di mana kita inginnya A, tapi orang tua inginnya di B. Dan dengan tekanan tak kasat mata itu akhirnya secara terpaksa kita sebagai anak menurut.
Aku beringsut memeluk lengannya. Aku cium-ciumin itu lengan bisepnya. Wangii. Dalam hati aku berkata, yang kuat ya Sayang. Aku ga bisa bantu apa-apa selain ada di sisi kamu.
Pak Linggar terkekeh.
"Daripada nyiumin lengan, mending pipi, By.
"Maunyaa!"
Dia tergelak.
"Kamu mau tau apalagi soal kehidupan saya? Mumpung saya lagi mood ingin bercerita sama kamu."
"Ish. Berarti kalo ga mood, ga bakal cerita-cerita ke aku gitu??"
Dia lagi-lagi tertawa.
"Kadang saya ngerasa semua yang udah berlalu, ga penting untuk dibahas. Mungkin dulu ingin, tapi karena ga ada yang mendengarkan, saya terbiasa menyimpannya sendiri."
Tatapan mata itu... Kenapa berubah? Ga ada lagi kilatan jail atau rasa cinta yang tulus. Yang ada cuma kesedihan. Emang kehidupan gimana yang udah pak Linggar lalui?
"Jadi sekarang aku boleh tau dunia bapak?"
Dia menoleh. Kebetulan sedang lampu merah. Pak Linggar tersenyum ke arahku, lalu tangannya menangkup sebelah pipiku.
"Boleh." Begitu jawabnya sambil mengusap pipiku lembut dengan ibu jarinya.
Mobil kembali berjalan. Selama dia sibuk menyetir, aku terus mengamati pahatan sempurna karya Tuhan itu.