Amnesia by Irh Vanillacid (no...

By WimsiTarukallo

6 0 0

Amnesia || lrh Vanillacid "Aku Luke." "Aku tahu." "Aku Brooke," Ia tersenyum. Aku memandangnya layaknya hal t... More

Bab 1
Bab 2
Bab 4

Bab 3

1 0 0
By WimsiTarukallo


[a/n : emotional chapter]

"Haruskah kamu pergi?" Dia bertanya, dengan sorot matanya yang merah dan tajam. Ia melihatku berputar-putar, mencari sepatu. Ia tertahan di sana seperti anak anjing yang tersesat. Menunggu tuannya membawanya pulang ke rumah.

"Ya," aku menjawab cukup cepat, sambil mengingat-ingat dimana aku meletakkan sepatuku.

"Seberapa lama kamu akan pergi, lagi?" ia bertanya, siratan kesedihan terdengar dari suaranya.

"Tiga tahun." Aku menjawab. Aku selalu berpikir bahwa tiga tahun akan menjadi waktu yang singkat. Tapi, aku membuktikan diriku salah ketika aku mengatakannya dengan lantang, kembali menbuatku tersadar tentang itu.

"Aku membencimu." Ia menggerutu. "Bagaimana kamu dapat meninggalkan sahabat terbaikmu yang tergila-gila kepadamu seperti ini?" Ia mencibir.

Aku mengerang keras "ayolah, jangan membuatnya terdengar lebih sulit," Aku memohon seraya berjalan ke arahnya.

"Aku tidak," ia tersenyum menggoda, sebagaimana ia tahu apa yang dilakukannya. Ia sedang menggiringku kearah rasa bersalah dan kasihan. Aku tak akan membiarkannya. Aku bermaksud mengatakannya ketika ia menangkap mataku, napasku tertahan di tenggorokan. Aku tak dapat bergerak. Kami terpisah hanya beberapa inci, cukup dekat bagiku untuk menangkap segala hal tentangnya. Aku mulai menjabarkan segala hal yang paling kusuka darinya, secara tidak sadar. Aku mengingat bagaimana matanya adalah hal pertama yang memikatku, matanya dapat menyampaikan begitu banyak macam emosi dalam sekali waktu. Dan itu adalah hal yang paling sempurna, kalau aku boleh jujur. Berikutnya adalah senyuman dan tawanya, dan kemudian bagaimana ia tetap bertahan denganku sepanjang malam di telpon, dan sebutannya terhadapku 'kepala bodoh' dan semua hal yang berhubungan dengan kami. Menghentikan diriku untuk memikirkannya lebih lanjut, aku berpaling dari tatapannya.

"Luke, bisakah kamu mengambil tasku dari atas?" aku bertanya, berharap ia dapat meninggalkanku sendiri untuk sesaat. Ia memutus ketidaksadaran diantara kami, terlihat iapun ikut terkejut. Ia mengangguk, sepenuhnya kehilangan kata, dan berjalan ke arah tangga. Ketika akhirnya ia hilang dari pandangan, aku mengelah napas dan memandang sekeliling mencari tempat duduk terdekat. Aku menjatuhkan diriku ke bangku yang khusus di letakkan di depan piano. Aku menempelkan telapak tangan di kepalaku, menghela. Pikiran-pikiran saling berbalapan di dalam benakku, kebanyakan diantaranya adalah hal-hal yang buruk, tapi aku tidak akan membiarkannya mematahkanku. Aku melihat sekeliling ruangan sebelum pandanganku jatuh pada tuts-tuts piano. Jari-jariku mulai gatal untuk memainkannya. Tak dapat menolak dorongan itu, aku menempatkan diriku pada posisi yang lebih nyaman, menekan jari-jariku melawan tuts hitam dan putih yang dingin. Aku mulai memainkannya, bersenandung bersama dalam irama musik yang manis.

"Sangat indah," aku mendengar suara yang akrab di belakangku. Aku berputar hanya untuk melihat Luke berdiri di tangga dengan tasku. Ia meletakkan tas di lantai dan berjalan ke arahku dengan tangan dalam saku jaketnya, berujar sepanjang melangka. Ia duduk di sampingku dan menyandarkan kepalanya di bahuku.

"Mainkan sesuatu untukku," ia mengecup bahuku seraya bersandar di dalamnya.

Aku mengangguk dan menekan piano dengan jariku, menghanyutkan diri ke dalam musik. Luke dengan segera mengenali lagunya dan mulai menyanyi bersama dengan permainanku.

"Brooklyn," aku berbalik dan melihat ayahku di depan pintu. Ia menggangguk ke Luke sebagai persetujuan. Ayahku tidak memiliki masalah dengan Luke. Ia tidak perduli dengan hubungan kami. Faktanya, ayahkulah yang menyakinkan ibuku agar Luke dapat datang bersama kami ke bandara.

"Ayah," aku menyelah, kesedihan di mataya terlihat jelas dan nyata.

"Kamu harus berangkat sekarang, penerbanganmu tinggal sejam lagi." Ia tersenyum tenang.

Aku melihat ke arah Luke dimana kepalanya sedang tertunduk, "ayo pergi," Ia berkata.

.

.

.

Aku melihat keluar jendela, memandang lampu kota yang mengelilingi kami. Aku benar-benar tak pernah berpikir aku akan melakukan ini, tapi disinilah saya, pada akhirnya membuat keputusan menantang hidup bagi diriku sendiri. Orang tua ku mengikut dibelakang kami di dalam truk mereka, mengikuti kami saat kami melalui jalan gelap di luar kota. Ibuku cukup baik dengan membiarkan Luke menyetir untukku dibandingkan menyuruhku naik ke kendaraan mereka. Mungkin ia berpikir untuk memberiku sedikit kebahagian dengannya mumpung aku masih memiliki waktu. Pada akhirnya Ia tidak begitu buruk. Ketika kami berkendara dari luar kota ke bandara, kami melewati tempat dimana kami sering menghabiskan waktu bersama. Ratusan ribu kenangan terlintas di mataku, bagaikan sebuah film. Aku merasa air mata mulai mengisi mataku saat melihat tanda jalan yang menginformasikan bahwa kami tinggal 2 km lagi dari tujuanku.

"Tempat itu dimana kita pertama kali mabuk," ia tersenyum seraya menunjuk ke bar dekat 7/11, yang untungnya menghentikan air mata yang mengancam keluar dari mataku.

"Yeah," aku tersenyum teringat akan hal itu, "15 dan 14 tahun mencoba untuk menjadi pemberani."

"kita mabuk setelah 10 shots," ia tertawa.

"kamu benar-benar pengaruh buruk!" aku memukul lengannya. Ia memegangi tempat dimana aku memukulnya, berpura-pura pukulan itu sakit.

"hu diamlah. Itu adalah kenangan yang istimewa.'

Kami tertawa pada kenangan untuk sesaat sebelum melewati sebuah dinding batu yang ditutupi oleh gambar-gambar dan tulisan-tulisan. Orang-orang mungkin berpikir itu vandalism tapi menurutku itu adalah seni.

Aku menunjuk ke dinding, "Ingat itu?" aku bertanya.

"Yeah," Luke terkekeh, "Kamu menjadi perempuan yang buruk waktu itu."

"Aku tidak!" aku berseru, "Aku waktu itu bosan!" bahkan di saat tersedih, Luke tak pernah gagal membuatku tersenyum. So aku membiarkan diri melupakan khawatirku dan meyakinkan diriku untuk menikmati berkendara dalam mobil.

Ia mengangguk sebagai persetujuan mengejek, "Ya, kamu begitu bosan sampai-sampai menyeretku dari kamarku di tengah malam hanya untuk menyemprot gambar ke dinding itu."

Aku tertawa lepas, "Well, cerita kita tertulis di dinding itu." Aku mengingat bagaimana kami menggambar masing-masing dan setiap jengkal dari kenangan kami tergambar di dinding batu itu.

Ia mengangguk setuju, "Aku rasa demikian."

Percakapan kami diputus oleh suara nyaring dari sakuku, yang aku kenali sebagai dering telfonku.

"Hello?"

"Brooke! Kamu brengsek. Kamu bahkan tidak menghubungiku! Kamu bilang akan menghubungiku sebelum penerbanganmu!" sang penelpon di ujung lain berteriak. Aku sangat mengenali suara itu. Saat itu ketika 'Melupakan-semuanya-dan-ingin-menikmati-waktuku-hanya-bersama-Luke'ku dengan sepenuhnya runtuh oleh pilihan katanya, mengingatkanku bahwa aku akan pergi dan tidak akan dapat melihat kedua sahabat terbaikku dan orang tauku selama tiga 'sialan' tahun.

"Elaine!" aku tersenyum, sedikit bahagia ia menghubungiku. Elaine, selain Luke, adalah seorang sahabat terbaikku. Ia selalu meyakinkanku untuk memulai pacaran dengan Luke tetapi akhirnya terhenti ketika aku menjelaskan bagaimana ibuku sepenuhnya menantang hubungan kami. Hal apalagi yang akan ibuku pikirkan jika kami mulai berhubungan?. Elein adalah seorang yatim piatu, menetap berseberangan jalan dengan rumahku. Ibuku mengatakan karena dia adalah sahabatku maka ia harus diperlakukan layaknya keluarga. Jadi ia menyewa aparteman murah di depan rumah kami dan memberikannya kepada Elaine, sebagai tanda terima kasih karena ia selalu ada untukku. Ia sebenarnya penyelamat hidupku ketika aku terkena asma. Aku berhutang hidup terhadapnya dan itulah bagaimana kami manjadi sahabat. Ia sepenuhnya orang asing saat itu tapi ketika asmaku kambuh aku sedang berada di taman, ia dengan segera membawaku ke rumah sakit terdekat dan menghubungi polisi untuk menghubungi orang tuaku. Hal itulah yang membuatnya menjadi anak perempuan ibuku. Aku selalu penasaran dengan aturan 'diperlakukan layaknya keluarga' tidak dapat di berikan ke Luke. Kalau di pikir-pikir, aku tidak tahu dengan jelas bagaimana ibuku bisa sangat membencinya.

Meskipun sahabat, ia tidak ke sekolah yang sama denganku. Luke dan Elaine bersekolah di sekolah yang sama, karena itu mereka berdua cukup akrab.

"Hey, El,"

"Brooke! Aku akan merindukanmu." Ia menjerit.

"Aku pun akan merindukanmu."

Kami bercerita untuk sesaat sebelum ia mengakhiri panggilannya dengan sebuah ucapan semoga beruntung dan sebuah permintaan darinya untuk mencarikanya beberapa lelaki prancis untuk dapat di jadikan pacar.

Aku menoleh ke Luke yang terjatuh dalam kesunyian untuk sesaat dan aku dapat melihat matanya yang berkaca-kaca. Ia terkena efek yang sama denganku. Dapat dikatakan, kurasa panggilan telpon tadi mengingatkannya kembali tentang alasan utama mengapa kami sedang berkendara di luar kota. Aku melihat jauh memandang keluar jendela, memfokuskan sesuatu di luar dari tentangnya. Tapi, dengan segera, air mata jatuh dengan bebas dari mataku dan aku hanya dapat mengeraskan volume radio untuk menutupi isak tangisku. Aku sepenuhnya yakin Luke tahu aku sedang menangis dan aku pun sepenuhnya yakin ia pun sedang menangis sehingga dia tidak memprotes ketika aku menaikkan volume radio.

Tiba-tiba, sesuatu yang tidak kuinginkan terjadi, terjadi. Sebuah alunan musik tak asing mulai terdengar dari radio.

[sedang berjalan Ever Enough dari A Rocket to the Moon aku bersumpah demi Tuhan hal ini akan menjadi baik]

"Itu lagu kita," Luke mengeluarkan tawa (pedih), membuatku menoleh kearahnya. Matanya merah dan bengkak. Tetapi ia tetap menembakku dengan senyum 'ribuan juta dolar'nya bagaikan mendengar lagu kami dari radio adalah hal terindah di dunia. Ia menggapai tanganku yang sedang terbaring di dekatku, meremasnya seakan tak ingin membiarkanku pergi. Air mata mulai mengalir dengan lebat dan aku menutupi mataku dengan tangan yang lain, bukan tangan yang sedang digenggang oleh Luke dengan sepenuh hidupnya.

"No I'm never gonna Leave you darling. No I'm never gonna go regardless. Everything inside of me is living in your heartbeat. Even when all the lights are fading. Even then if your hope was shaking. I'm here holding on," suara nyanyian dari radio. Kemudian Luke ikut bergabung.

"I will always be yours, forever and more. Through the push and the pull," Luke bernyanyi, suaranya goyah. Ia melihat kearahku dengan mata tersedih yang pernah ada dan aku dapat merasakan pipiku semakin basah. "I'd still drown in your love and drink till I'm drunk and all that I've done is it ever eno-"

Dan sebelum ia dapat menghabiskan chorusnya, mataku bertemu dengan cahanya menyilaukan, sebuah tabrakan keras nyaring di telingaku. Dan semuanya menjadi hitam.

.

.

.

"Brooke," aku mendengar suara seorang wanita memanggil namaku. Aku mencoba membuka mata tetapi aku tak dapat melihat dengan begitu jelas. Aku dapat melihat perawakan dari ibuku, walaupun kabur.

"Ibu," memanggil dengan suara serak, rasa sakit yang sangat tajam terasa dari sisiku.

"Harry! Ia sadar!" ia berteriak. Aku dapat melihat merah, biru dan putih lampu dan suara dari sirine berbunyi dari kejauhan melewati kegelapan malam.

"Dimana L-Luke?" aku memaksa diriku untuk berbicara.

"Aku memanggil ibunya," ia menangis, "Ia bersamanya."

Aku mencoba kembali berkata namun rasa sakit yang tajam di kepalaku mulai terasa dan aku tahu aku tidak akan sampai pada akhir lagu. Mataku mulai terkatup dan sosok ibuku yang berteriak histeris untuk meminta pertolongan mulai memudar, sekelompok orang berlari ke arahku sebelum semuanya menghitam untuk kedua kalinya.

Pikiranku seperti memutar kembali ribuan kenangan di dalam kepalaku. Seperti film, sang karakter sekarat dan seluruh peristiwa di kehidupannya berlangsung di depan matanya. Siapa yang tahu, itulah yang sedang terjadi kepadaku sekarang?

Aku merasa seperti telah terjatuh ke dalam jurang yang dalam dari kegelapan abadi ketika aku merasa cahaya membutakan mataku melalui kelopak mataku. Aku membuka mataku dengan hati-hati, menengadah untuk melihat lampu florescent yang melemparkan cahayanya kearahku. Aku dapat melihat sesosok pria walaupun kabur, beberapa perawat dan seorang wanita yang menangis. Terlihat seperti aku sedang bergerak, ketika mereka mendorongku melewati pintu rumah sakit, aku melihat ke sekitar, mencoba menolehkan kepalaku kesamping. Telihat seorang laki-laki dengan rambut pirang dan mata biru terbaring dengan tenang, juga sedang di dorong sepertiku. Dengan segera aku mengenalinya dia.

"Luke," Aku memanggil dengan sekuatku. Matanya perlahan terbuka ke arah asal suara yang memanggil namanya. Matanya dengan segera bertemu mataku.

"Brooke," ia menggembuskan nafas lega ketika melihatku. Ia dipenuhi dengan darah dan aku dapat melihat setitik air mata keluar dari matanya. Air mata pun mulai terbentuk dimataku dan dengan gemetar dia menggapai dan mengambil tanganku. Ia mencoba untuk duduk. Mengerang kesakitan dalam proses. Tetapi ia tetap mendorong dirinya untuk bersandar padaku.

"Hun, berbaringlah," aku mendengar seorang wanita berkata. Ia adalah ibunya, Liz.

Ia mengabaikan ibunya dan mengarahkan wajahnya lebih dekat kearahku dan meskipun faktanya kami sedang di dorong ke ruangan gawat darurat, ia dapat menekan bibirnya ke bibirku. Ia bahkan tidak memberi pikiran ke orang tuaku yang melihat, mereka seperti tidak berada di sana. Bibirnya terasa lembut walaupun aku dapat merasakan darah bercampur dalam ciumannya. Ia tertahan sesaat dan aku dapat merasakan tangisanku semakin deras. Jika ciuman pertama kami ini terjadi saat kami sedang berkencan, mungkin aku akan meledak dengan hormon dan kegembiraan. Tetapi ciuman ini berbeda. Ciuman ini tidak di bawa oleh hormon atau oleh kebutuhan, ciuman ini datang bersama kesedihan dan kerinduan. Ciuman ini bisa menjadi ciuman yang terakhir untuk kami. Ciuman ini, bagi kami bisa menjadi yang pertama dan yang terakhir.

Ia akhirnya menjauh, cukup membuatku terkejut dan aku tak tahu bagaimana harus bereaksi. Sebelumnya aku merasa dia adalah sahabat terbaikku, hanya dalam sepersekian detik ai berubah menjadi kekasih hatiku tetapi aku tahu ini bukanlah akhir. Salah satu dari kami mungkin akan mati malam ini. Dan kuharap bukan dia. Ia kembali terbaring, jemari kami masih saling bertaut.

Ia melihat kearahku ketika aku memandangi jemari kami yang dipenuhi darah, "Brooke?"

"Ya, Luke?"

"Aku tak sempat mengakhiri lagu kita," ia tersenyum dengan lemah.

"Tak usah, Luke." Aku mencoba mengatakan kepadanya bahwa lebih baik ia tidak membebani dirinya dan berhenti membuat dirinya stress. Selain itu, juga akan membuatku kembali menangis.

Ia mengabaikan protesku dan mulai bernyanyi, menggapai wajahku dengan tangannya yang bebas, bukan yang memegang tanganku. "I will always be yours. F-forever and more," ia bernyanyi, suaranya pecah. Aku tak dapat berhenti memikirkan ini mungkin menjadi saat terakhir aku dapat mendengar suaranya. Aku memutuskan untuk memberinya 'hadiah' dengan bernyanyi bersama dengannya.

"through the push and the pull," aku memaksa suaraku untuk bernyanyi. Darah kembali mengisi rongga mulutku.

"I'd still drown in your love and drink till I'm drunk. After all that I've done, is it ever enough?" ia bernyanyi.

Dan dengan itu, Ia di dorong masuk keruangan yang berbeda, ia meneriakkan namaku. Aku pun meneriakkan namanya, tetapi hal itu sudah terlambat. Gambar terakhir yang terlintas di benakku adalah jemari kami yang perlahan terpisah, ketika kami menggapai satu sama lain. Ribuan kenangan berlarian di dalam benakku tetapi hanya satu yang nyata. Ia didorong menjauh dariku, sahabat terbaikku selama 7 tahun, akhirnya berada di luar jangkauanku. 

Continue Reading

You'll Also Like

1.8M 59.6K 69
Cinta atau Obsesi? Siapa sangka, Kebaikan dan ketulusan hati, ternyata malah mengantarkannya pada gerbang kesengsaraan, dan harus terjebak Di dalam n...
1.4M 114K 36
"Aku benar-benar akan membunuhmu jika kau berani mengajukan perceraian lagi. Kita akan mati bersama dan akan kekal di neraka bersama," bisik Lucifer...
170K 10.9K 23
Akankah kisah tragis terulang kembali? °°° 'Hikayat cinta Sang Iblis', lanjutan dari cerita 'Di bawah naungan Sang Iblis' Cover by Pinterest and Me
2.5M 30.9K 29
"Lebarkan kakimu di atas mejaku! Aku ingin melihat semua yang menjadi hakku untuk dinikmati!" desis seorang pemuda dengan wajah buas. "Jika aku meny...