Bab 3

1 0 0
                                    


[a/n : emotional chapter]

"Haruskah kamu pergi?" Dia bertanya, dengan sorot matanya yang merah dan tajam. Ia melihatku berputar-putar, mencari sepatu. Ia tertahan di sana seperti anak anjing yang tersesat. Menunggu tuannya membawanya pulang ke rumah.

"Ya," aku menjawab cukup cepat, sambil mengingat-ingat dimana aku meletakkan sepatuku.

"Seberapa lama kamu akan pergi, lagi?" ia bertanya, siratan kesedihan terdengar dari suaranya.

"Tiga tahun." Aku menjawab. Aku selalu berpikir bahwa tiga tahun akan menjadi waktu yang singkat. Tapi, aku membuktikan diriku salah ketika aku mengatakannya dengan lantang, kembali menbuatku tersadar tentang itu.

"Aku membencimu." Ia menggerutu. "Bagaimana kamu dapat meninggalkan sahabat terbaikmu yang tergila-gila kepadamu seperti ini?" Ia mencibir.

Aku mengerang keras "ayolah, jangan membuatnya terdengar lebih sulit," Aku memohon seraya berjalan ke arahnya.

"Aku tidak," ia tersenyum menggoda, sebagaimana ia tahu apa yang dilakukannya. Ia sedang menggiringku kearah rasa bersalah dan kasihan. Aku tak akan membiarkannya. Aku bermaksud mengatakannya ketika ia menangkap mataku, napasku tertahan di tenggorokan. Aku tak dapat bergerak. Kami terpisah hanya beberapa inci, cukup dekat bagiku untuk menangkap segala hal tentangnya. Aku mulai menjabarkan segala hal yang paling kusuka darinya, secara tidak sadar. Aku mengingat bagaimana matanya adalah hal pertama yang memikatku, matanya dapat menyampaikan begitu banyak macam emosi dalam sekali waktu. Dan itu adalah hal yang paling sempurna, kalau aku boleh jujur. Berikutnya adalah senyuman dan tawanya, dan kemudian bagaimana ia tetap bertahan denganku sepanjang malam di telpon, dan sebutannya terhadapku 'kepala bodoh' dan semua hal yang berhubungan dengan kami. Menghentikan diriku untuk memikirkannya lebih lanjut, aku berpaling dari tatapannya.

"Luke, bisakah kamu mengambil tasku dari atas?" aku bertanya, berharap ia dapat meninggalkanku sendiri untuk sesaat. Ia memutus ketidaksadaran diantara kami, terlihat iapun ikut terkejut. Ia mengangguk, sepenuhnya kehilangan kata, dan berjalan ke arah tangga. Ketika akhirnya ia hilang dari pandangan, aku mengelah napas dan memandang sekeliling mencari tempat duduk terdekat. Aku menjatuhkan diriku ke bangku yang khusus di letakkan di depan piano. Aku menempelkan telapak tangan di kepalaku, menghela. Pikiran-pikiran saling berbalapan di dalam benakku, kebanyakan diantaranya adalah hal-hal yang buruk, tapi aku tidak akan membiarkannya mematahkanku. Aku melihat sekeliling ruangan sebelum pandanganku jatuh pada tuts-tuts piano. Jari-jariku mulai gatal untuk memainkannya. Tak dapat menolak dorongan itu, aku menempatkan diriku pada posisi yang lebih nyaman, menekan jari-jariku melawan tuts hitam dan putih yang dingin. Aku mulai memainkannya, bersenandung bersama dalam irama musik yang manis.

"Sangat indah," aku mendengar suara yang akrab di belakangku. Aku berputar hanya untuk melihat Luke berdiri di tangga dengan tasku. Ia meletakkan tas di lantai dan berjalan ke arahku dengan tangan dalam saku jaketnya, berujar sepanjang melangka. Ia duduk di sampingku dan menyandarkan kepalanya di bahuku.

"Mainkan sesuatu untukku," ia mengecup bahuku seraya bersandar di dalamnya.

Aku mengangguk dan menekan piano dengan jariku, menghanyutkan diri ke dalam musik. Luke dengan segera mengenali lagunya dan mulai menyanyi bersama dengan permainanku.

"Brooklyn," aku berbalik dan melihat ayahku di depan pintu. Ia menggangguk ke Luke sebagai persetujuan. Ayahku tidak memiliki masalah dengan Luke. Ia tidak perduli dengan hubungan kami. Faktanya, ayahkulah yang menyakinkan ibuku agar Luke dapat datang bersama kami ke bandara.

"Ayah," aku menyelah, kesedihan di mataya terlihat jelas dan nyata.

"Kamu harus berangkat sekarang, penerbanganmu tinggal sejam lagi." Ia tersenyum tenang.

Amnesia by Irh Vanillacid (novel translation)Where stories live. Discover now