GUE CANTIK, LO MAU APA?! (End)

By svanhild28

64.3K 12.7K 3.5K

"Mantanku memang dekat, lima langkah dari rumah." Jangan nyanyi, please! Tahu tidak, rasanya bertetangga deng... More

Prolog : Mantan yang tak dianggap
Part 1: Mantan jahanam
Part 2: Mabok kecubung
part 3: Trio babu Nindi
Part 4: Pacaran sama lo itu khilaf
Part 5: Konten settingan Dimas
Part 6: Lo masih ngarep gue kan?
Part 7: Cara modus sultan
Part 8 : Santi hilang, Nindi menggila
Part 9 : Pacar baru Mahes
Part 10 : Kadang hidup juga perlu pahit
Part 11 : Perebutan hak asuh Santi
Part 12: Ketika dihadapkan dengan dua orang yang sama-sama mencintaimu
Part 14: Pengen nikah muda
Part 15: Masih tentang menikah muda
Part 16: Amankan Nindi dari bujuk rayu Mahes
Part 17: Mahes si moody-an dan labil
Part 18: Jangan pernah sepelekan pelecehan dalam bentuk apa pun
Part 19: Dimas dan rencana liciknya
Part 20: Dimas si tukang kompor
Part 21: Nindi dan kegalauannya
Part 22: I will always be the one who pull you up, when everybody push you down
part 23 : Viral
Part 24: Yang tidak Nindi tahu
Part 25: Pacar ganteng, bikin Insecure
Part 26: Bimbang
Part 27: Bingung mau kasih judul apa
Part 28: First dating
part 29: Pacarku ternyata hatersku
Part 30: Physical abuse and sexual harassment
Part 31: Setelah kejadian itu
Part 32: Dibalik rahasia Abel
Part 33: Gosip menggosip
Part 34: Curhatan anak broken home
Part 35: Seseorang yang dikalahkan oleh lelah
Part 36: Terciduk season 2
part 37: Masalah yang datang bersamaan
part 38: Menghilangnya si manusia freak
Part 39: Munculnya bocah Prik
Part 40: Gimana? udah mual belum?
Part 41: Setelah cuitan itu
Part 42: Gagal memahami perasaan sendiri
Part 43: Yang tulus bukan cuman Radit
Part 44: Titik terang tentang Abel
Part 45: Hari ini tanggal kita
part 46: Minions Pepes
Part 47: Mimpi buruk yang terlalu nyata
Part 48: Menuju ending
Part 49: Udah sah, kenapa nggak?
The End (Part 1)
The End (Part 2)
sequel?

Part 13 : Penilaian tentang Nindi dari dua sudut pandang

1.1K 272 36
By svanhild28

Part 13: Penilaian tentang Nindi dari dua sudut pandang

Saat Kaki keduanya menjejak ubin kelas, baru sampai daun pintu, Radit segera disambar oleh seorang gadis, bukan, sebut saja perempuan, karena dia bukan gadis lagi. Perempuan itu Abel, menyerangnya dengan pelukan yang spontan membuat dirinya terhenyak sekaligus menegang. Abel, menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Radit, bahkan hembusan napasnya amat terasa menyapu kulit,membuatnya menggeliat karena ini sangat mengganggu. Menurutnya, ini terlalu agresif untuk ukuran remaja SMA. Di mana ia diserang dengan dengan pelukan teramat erat di depan orang-orang, tidak banyak, namun ia berhasil menjadi pusat perhatian segelintir orang di kelas ini.

Radit melempar tatapan tersiksa pada Nindi, kemudian dengan kode mata ia meminta izin untuk melepas tautan tangan mereka. Nindi tampaknya tak keberatan, maka setelah tangannya bebas, ia perlahan menjauhkan Abel darinya, hingga berjarak setengah meter.

"Kenapa?" Radit bertanya dengan nada bicara tenang, walau jantungnya berpacu amat cepat karena perbuatan Abel.

"Kenapa kemarin nggak masuk?" Wajah sendu Abel menyiratkan bahwa ia tengah mengkhawatirkan dirinya. Sebetulnya, tidak ada yang perlu dikhawatirkan, ia baik-baik saja. Hanya sedikit butuh tenang sehari.

"Gue sakit." Tentu itu dusta, namun soal hati memang sedang ringkih.

"Sakit apa?"

"Demam, flu, bisul, cacar, panu."

Abel memanyunkan bibirnya, kemudian menangkup pipi Radit. Meneliti setiap inci wajahnya. Sementara Radit terkesiap bukan main, sekaligus salah tingkah ditatap sedekat ini oleh seorang erempuan. Kepalanya berusaha menjauh, namun Abel tak membiarkan hal itu terjadi.

"Kalau cacar pasti ada bekasnya, mana? Kulit lo juga adem-adem aja."

"G-gue udah sembuh." Untuk bertapas saja, Radit tahan. Mungkin ia bisa mati jika Abel tak kunjung menjauh darinya. 

"Sakit sehari doang? Nggak masuk akal! Bilang aja lo bolos!"

"Iya, gue ngaku, gue emang bolos!" setelah mengatakan kalimatnya, Radir buru-buru menjauhkan tangan Abel dari wajahnya, kemudian ia mundur beberapa centi.

Napasnya menghembus kasar, beberapa kali ia bersusah payah menghirup udara, setelah beberapa detik menahan napas.

"Lo nggak kangen sama gue?" Sial! Pertanyaan menjebak. Tidak mungkin ia mengatakannya dengan jujur bahwa sebetulnya bukan dia yang ia rindukan, tak mungkin pula ia berbohong, sementara ada Nindi di sampingnya.

"Em, gimana ya? Kangen sih, sedikit."

Wajah Abel murung, matanya tidak berminat menatapnya.

"Kok, sedikit?"

"Soalnya baru nggak ketemu sehari doang. Kalau berhari-hari, kangennya bisa banyak. Emang mau nahan kangen banyak-banyak?" Waduh, mengapa mulutnya bisa sebuaya ini? Senakjubkan untuk ukuran cowok baik-baik anti PHP seperti dirinya.

Tak apa, karena ucapannya tadi membuat Abel tersenyum, perdana setelah sehari tak bersua. Namun, pudar beberapa detik kemudian. Entah, apa yang mempengaruhi mood-nya hari ini.

"Dit, gue nggak dibolehin."

Radit langsung mengerti ke mana arah pembicaraan Abel, soal pekerjaannya. Ekspresi Radit pun menyerius, siap mendengarkan kata demi kata yang akan dituturkan Abel.

Mata bulatnya tergenang lautan air mata yang siap meluap, sekali berkedip, setetes cairan bening itu meluruh dari ekor matanya. Dia berusaha menikmati isakannya sendiri, menyembunyikan kehancurannya. Sayang, bentengnya tak cukup menghalaunya, hingga dia dengan pasrah menyuarakan isakannya, keadaannya, kerapuhannya. 

Radit punya hati yang lembut, gampang tersentuh hanya dengan melihat seseorang menitihkan air mata. Radit punya empati yang tinggi, hingga ketika seseorang menceritakan peristiwa atau keadaannya yang menyedihkan, ia seolah ikut menyelami kesedihan itu. Dengan segenap hati yang sama teririsnya, jiwa yang juga hancur, mata Radit tak berdusta bahwa ia juga menangis dalam diam.

"Lo boleh bayangin seburuk apa gue. Lo boleh manggil gue jalang, wanita pemuas nafsu, PSK, atau apa pun yang pantes buat gue."

Mendengarnya menghina dirinya sendiri, seolah dia membenci dirinya sendiri, membuat Radit menyadari bahwa, Abel memang tidak pernah ingin di posisinya sekarang. Dia benar terpaksa, dia benar dipaksa oleh ... ayah? Sebutan ayah tak pantas disematkan dalam diri pria itu, lalu apa? Iblis? Pria berengsek?

"Jangan ngomongin ini di sini Bel, semua orang bakal tahu," lirih Radit dengan tangan menyeka air mata Abel.

"Gue udah nggak peduli." Abel menggeleng lemah, tangan perempuan itu meraih tangan Radit untuk ia genggam. Dingin tangannya dapat ia rasa, seperti setrum menjalar. "Gue bahkan pengen mereka tahu, gue pengen keluar dari sekolah ini, karena gue merasa nggak pantes sekolah lagi. Pendidikan gue bahkan nggak bakal merubah masa depan gue yang mudah banget ditebak."

Sejenak, pikirannya kosong, memikirkan satu solusi otaknya menolak kuat. Walau apa yang dikatakan dan disembunyikan Abel pada akhirnya akan terungkap, setidaknya rahasianya tertunda untuk diketahui khalayak ramai, beri sedikit banyak waktu untuk menundanya, atau semoga semesta berbaik hati dengan menjadikan rahasia Abel sebagai peristiwa yang tak akan diketahui siapa pun, kecuali yang terlibat.

Radit kelimpungan untuk menenangkan Abel, sementara sekitar telah berpusat pada mereka. Tak masalah, bila mereka menuding Radit akar dari tangis Abel, sungguh! Asal jangan dulu mereka tahu bangkai yang disembunyikan Abel.

"Bahkan gue mau Nindi nyebarin video gue, gue bisa ngaku sekarang juga."

Ini bukan Abel yang jemawa, bukan dia yang congkak. Ini sisi ringkih paling nyata dari seorang Abel yang selalu bertingkah antagonis, atau wataknya tak sepenuhnya seburuk itu. Ini hanya upaya menutupi hancurnya yang sudah sejak dulu.

"Jangan ngomong gitu ah! Nggak lucu! "

"Lo tahu? Nggak enak banget nyimpen rahasia, gue pengen bebas."

Jantungnya ikut sesak, ritmenya melonjak cepat. Sungguh, ini seperti berada di titik Malaikat Maut hendak mencabut nyawanya. Sakit sekali melihat seorang gadis histeris dan sibuk mengutuk dirinya sendiri.

"Gue takut. Gue nggak pengen hidup liar, tapi Ayah ---"

Sebelum kian menjalar ke mana-mana, sebelum perhatian orang-orang kian intens, Radit lebih dulu membekap mulut Abel, hingga yang tersisa hanya isakannya yang tertahan dan air matanya yang meluruh mengenai tangannya.

"Apa ayah selalu jadi momok ya? Lo takut ayah?"

Abel mengangguk cepat. Sejenak, ia mengingat masalahnya sendiri yang juga berhubungan dengan pria yang disebur 'ayah'. Senyum getir terpampang di bibirnya, menyiratkan luka yang sama seperti kepunyaan Abel. 

"Sama."

Terjadi keheningan beberapa saat, isakan Abel pun menyurut, yang tampak dari perempuan itu hanya alis yang menyudut. Entah, Abel masih berusaha menerka maksudnya atau dia terlalu tak percaya pada apa yang Radit cetuskan barusan. Sampai derap langkah seseorang mengisi keheningan ini, serta pertanyaan mengintimidasi yang terdengar setelahnya.

"Video apa? Rahasia apa? Ayah lo kenapa?" Misel hadir memecah kebisuan mereka, berubah jadi perasaan ketar-ketir, namun hal itu tak lantas membuat keduanya bersuara sejak kata terakhir yang diucapkan Radit. 

"Jawab Bel!" sentak Misel begitu lantang, hingga siapa pun yang menyaksikan berasumsi telah terjadi pertengkaran hebat di antara mereka.

Yang Abel lakukan pertama kali yaitu mengusap jejak air matanya, berusaha menetralkan sesaknya, selanjutnya menyembunyikan isakannya. Jangan lupa sikap seolah tak terjadi apa-apa, yang barusan hanya sandiwara belaka.

"Bukan video apa-apa," elak Abel.

Misel memicingkan mata pada Radit. Dari tatapannya, Radit tahu Misel tengah meminta klarifikasinya.

"Video gue sama Abel lagi berduaan di tempat sepi, itu direkam Nindi, katanya mau di sebarin dan dicepuin ke ayahnya Abel." Seolah dapat dorongan untuk berbohong, Radit teramat cepat mengunggap yang tentu saja dusta. Entah, penjelasan itu tiba-tiba muncul di kepalanya.

"Bener gitu? Lo ngapain sama dia?" Misel mendorong pelan bahu Abel, sedangkan Abel membalasnya dengan kekehan kaku.

"Gila lo ya! Gue pikir lo polos!" ejek Abel pada Radit. "Btw, gue mintak videonya dong," imbuhnya, yang spontan membuat Radit mengusap tengkuk.

"Ada di Nindi."

"Sial! Coba gue nggak musuhan sama tuh, orang!"

Kepanikan akhirnya reda kala Misel menarik Abel ke bangku mereka. Kini hanya Radit seorang diri yang berdiri di dekat pintu, seraya diawasi oleh segelintir orang yang ada di kelas. Ditengah kecanggungannya, ia menyadari Nindi tak lagi ada di kelas. Barangkali gadis itu memilih ke gazebo menikmati wi-fi gratis ketimbang ikut campur masalah Abel.
Tidak ada jeda lama, kilat Radit keluar kelas untuk menyambangi Nindi, sekaligus menjauhkan perhatian mereka dari sosoknya. 

Rupanya gadis itu duduk seorang diri di kursi panjang pinggiran koridor. Dia dengan tenang menilik ponselnya.
"Nin?"

Nindi sedikit terjengkit karena kehadiran Radit yang dadakan, kemudian melayangkan tatapan lesunya pada Radit.

"Gue nggak mau ikut campur soal Abel, makanya gue keluar."

"Gue pikir Abel juga nggak keberatan lo ikut campur masalah dia, karena rahasia Abel ada di lo 'kan?"

Nindi mengangguk lemah, matanya kembali fokus pada layar ponselnya.

"Boleh nyender nggak?"

Radit ingin wajah tenangnya terusik, ingin dia ekspresif seperti biasanya.

"Boleh dong, masa gue doang yang boleh nyender ke elo." Tak butuh banyak usaha untuk membuatnya berekspresi, sedetik kemudian senyumnya mekar.

"Makasih."

"Sama-sama."

Kepalanya pun turun menempel pada bahu Nindi. Meski tinggi Nindi terpaut beberapa centi di bawahnya, Radit berusaha menyesuaikan, meski yang ia rasakan pegal di sekitar lehernya. Tentunya ia tidak benar-benar bersandar di bahu Nindi, hanya menempel dan tetap menyanggah tubuhnya. Sebab Radit terlalu khawatir Nindi terusik dan risi. Bagaimana pun di hati gadis itu ada nama yang terpatri, jelas bukan dirinya. Barangkali, Nindi lama-lama jengkel dengan sikapnya yang manja, dan barang kali juga, Nindi tidak akan jengkel jika yang bermanja dengannya merupakan seseorang yang betul-betul Nindi sukai. Tentu bukan dirinya! Kalian tahu siapa orang itu!

"Lo cantik banget."

Dalam misi bermanja-manjanya ini, ia dapat melihat jelas wajah Nindi. Ia tilik lekat-lekat, menyisir tatapan ke seluruh inci wajahnya. Bibirnya selalu ia pastikan lembab, bulu mata lentingnya, alisnya yang rapi, sedikit rona merah di pipinya, dan hidungnya yang minimalis. Dia cantik, semua orang tahu itu, hanya saja image-nya terlanjur dipandang buruk. Sebab dulunya berhasil membuat dua lelaki bertekuk lutut.

"Lo juga ganteng. Jangan bilang 'biasa aja' kali ini, lo perlu sombong sesekali!"

Radit terkekeh sebagai balasannya, kamudian mencubir pipi Nindi, gemas.

"Apaan sih! Sakit!"

"Nggak dicubit beneran padahal."

Tuhan memang tidak memahat wajahnya dengan sempurna, namun Tuhan cukup pandai menciptakan hatinya sebaik mungkin, dengan kebijaksaannya dalam meninggikan harga dirinya, dan tak membiarkan siapa pun merendahkannya.

Jika semua lelaki melihat perempuan hanya karena wajahnya, maka Nindi kalah jauh jika dibandingkan dengan gadis cantik mana pun. Lihatlah Nindi dari sisi lain, maka dia akan membuat semua lelaki meninggalkan type idealnya, dan memilih mencari sosok gadis seperti Nindi.

Ah, hanya dengan menatapnya saja sudah membuat jantung Radit berdebar, bertalu-talu.

"Lo deg-degan ya, Dit?"

"Eh, gila!"

"Tangan lo tremor!"

Sialan!

****

Tak pempedulikan ingar-bingar kantin, fokus Dimas bercabang pada perempuan yang terduduk lesu di salah satu meja, sendirian. Tidak punya teman kah? Mana teman lelakinya itu? Si PHO?

Berusaha tak mematutnya terlalu serius, namun ia sendiri pun tak bisa untuk tidak peduli padanya. Sungguh, sendirian di tempat ramai itu menyakitkan, seakan dianggap asing di tempat familiar yang ramai. Ingar-bingar seolah menertawai dia yang bergundah hati.

"Nindi nggak punya temen lagi, selain cowok itu?" Rasa penasarannya membuncah, pertanyaan ia layangkan pada Mahes, karena ia pula tahu, mereka sudah saling mengenal sejak kecil. 

"Kalau bukan gue sama Radit, emang siapa lagi temen dia? Dan sekarang gue udah bukan temennya lagi. Dia cuman bisa bergantung ke Radit doang," ungkap Mahes. Tercetak senyum getir Mahes, agaknya juga iba pada Nindi.

"Kenapa dia nggak punya temen cewek?"

"Dia dulu punya. Misel, mantan gue. Mereka udah nggak temenan lagi, karena ya ... begitulah." Mahes mengedikkan bahu, lantas menenggak es tehnya.

"Mau izin deketin Nindi boleh nggak?"

Alih-alih marah, Mahes malah tersenyum lebar. Padahal Dimas tahu betul, Mahes masih menyimpan rasa, meski mulutnya terus menyangkal hal itu.

"Gas aja lah!"

"Serius nih! Pertama kali soalnya!"

"Serius. Biar lo tahu kalau sekolah ini isinya nggak melulu cewek kemayu! Nindi andal kalau soal tawuran."

Mengenal Nindi, Dimas harus rela mematahkan asumsinya kalau cewek di sekolah ini lemah, kemayu, centil sana-sini. Ada Nindi, satu-satunya perempuan yang ia kenal blak-blan anti jaga image di depannya. Di mana lagi Dimas menemukan perempuan seperti Nindi? Ya, barangkali namanya yang tersohor membuat para gadis salah tingkah, dan kemayu ketika berhadapan dengannya. Namun Nindi berbeda, gadis itu seperti tak memandangnya sebagai orang terkenal. Dia teman yang seru dan keren jika dijadikan pasangan.

"Tapi usaha lo bakal sia-sia sih."

Dahi Dimas mengernyit saat mendengar penuturan Mahes. Mendadak ia jadi pesimis, mengingat Nindi mungkin masih menyukai Mahes. Ketampanannya agaknya tak akan memukau Nindi, jujur, Dimas insecure parah.

"Kenapa?"

Entah kenapa raut wajah Mahes membingungkan. Antara sedih, iba dan ingin menertawakan. Apa Nindi terlalu sulit ditaklukkan?

"Kalau pun Nindi balas suka ke elo, tetap nggak akan bisa."

Ini semakin membuatnya bingung. Bagus bukan, jika Nindi balas menyukainya? Peluang untuk jadi pasangan kian besar. Bilang saja dia tak rela mantannya direnggut, tidak usah membual!

"Nggak bisa pacaran maksud lo? Menikah? Punya anak? Kenapa?" Dimas tak henti-hentinya mencecar pertanyaan pada Mahes atau pun pada dirinya sendiri, tak berhenti intropeksi diri, mencari kesalahannya yang barangkali belum ia sadari.

Berbeda dengan Dimas, Mahes justru terlihat frustasi. Pelipisnya dia pijat sembari mengerang. "Bodo amat Dim! Goblok banget jadi orang! Kenapa sih, lo hidup?"

"Kok, ngamuk?"

"Bodo amat! Udah sono pdkt!"

"Bilang aja lo gamon!"

"Bodo amat Dim! Gue mau gali sumur!"

Setelahnya Mahes berlenggang pergi dari area kantin dengan muka selecek serbet warteg, rasa-rasanya hendak mengamuk.

Tak memperdulikan Mahes yang barangkali sedang depresi, ia pun gegas menuju meja tempat Nindi duduk, membawa serta semangkuk baksonya. Persetan, omong kosong Mahes tadi, dia hanya tak rela tersaingi.

"Hei," sapanya, yang langsung direspon tatapan sinis Nindi.

"Maaf, nggak ada uang receh."

"Dikira mau ngamen apa?"

"Lah, terus ngapain nyamperin gue?"

Apa dia selalu sensi seperti ini ketika dekat dengannya? Perasaan ia tak melakukan hal menyebalkan apa pun. Alih-alih histeris saat didekatnya ---seperti semua perempuan, Nindi justru berang. Agaknya hanya gadis itu yang tidak normal.

"Mana temen lo?"

"Ada."

"Nggak nemenin lo?"

Helaan napas dari gadis itu terdengar berat, lantas membenamkan kepalanya di meja. Rambutnya yang tergerai menutupi seluruh inci wajah, hingga tak sedikit pun Dimas tahu ekspresinya.

"Dia lagi pdkt," gumamnya, namun masih dapat dicerna indera pendengarnya.

"Ya, terus kenapa? Lo sedih? Patah hati?"

Baru kali ini ia berempati pada seeorang, terlebih pada gadis. Selama ini, ia nyaris tak pernah menaruh empati pada orang lain, kecuali saat membuat konten sedekah riya'. Mau tak mau memang harus berempati, supaya aktingnya menjiwai.

"Patah hati sih, nggak. Cuman gue nggak punya temen ke kantin."

"Untung ada gue ya, kan?"

Nindi menegakkan punggungnya kembali, ekspresinya merengut seraya melipat tangan di dada."Sorry ya, adanya elo nggak berdampak apa pun!"

"Dih, ya, kali nggak mau ditemenin youtuber terkenal."

"Ogah! Mending lo pergi!"

Sekali saja, coba sekali saja! Perlakukan ia seperti layaknya orang terkenal, seperti foto bareng, meminta tanda tangan dan apa pun yang wajar dilakukan seorang fans pada idola. Sebagai youtuber ber-subscriber 500 ribu lebih, ia merasa derajat dan harga dirinya anjlok saat berhadapan dengan gadis ini. Anehnya, Dimas kian merasa tertantang, alih-alih membencinya.

Dasar terkutuk!

"Subscriber gue 500 ribu lebih, follower IG 300 ribu lebih, udah cendang biru, IGS bisa swipe up, endorse dibayar mahal, dan lo nggak ada niatan ngajak foto gue gitu? Mintak tanda tangan barangkali?"

Tak disangka gerutuannya tadi dibalas tatapan tajam Nindi, membuatnya berkedip beberapa kali karena terintimidasi. Hei! Bisa-bisanya Dimas takut pada perempuan modelan Nenek Gayung? Ya, karena dia memang titisan Nenek Gayung sepertinya.

"Soalnya gue waras."

"Ye, terus fans gue pada gila gitu?"

"Iya, junjungannya kan, gila, kontennya settingan teros! Apa nggak capek bohongin publik?"

Sialan perempuan ini! Sebenarnya dia dari alam mana? Menyebalkan, namun candu berdebat dengannya.

"Ya, udah yuk, ngevlog! Nggak ada settingan, asli nih!"

"Nggak! Bisa-bisa gue diserang antek-antek lo!"

Sementara orang-orang di sekitar mulai menaruh fokus pada keduanya. Saat Dimas menyadari hal itu, ia meneguk salifa gamang. Apa mereka dengar kata 'settingan' dari pembicaraan mereka? Semoga saja salah seorang dari mereka tidak menyimak pembicaraan ini, kendati mustahil mereka tak menguping.

"Nggak bersyukur banget! Cewek lain sekali gue ajakin pasti nggak bakal nolak! Padahal udah gue kasih gratis pansos sepuasnya, kurang apa? Fotbar sepuasnya? Tanda tangan? Makan bareng?"

"Mending lo yang pansos ke youtuber terkenal. Ajakin Raffi Ahmad collab, atau nggak Atta Halilintar! Lebih menguntungkan ketimbang ngajakin gue ngevlog sialan! Apaan sih, gaje bener!"

Andai berada di tanah lapang luas, Dimas tidak akan mau mengalah, bahkan gelut pun Dimas jabani. Berhubung ini di kantin, dan mereka sudah terlanjur menarik perhatian banyak orang, walhasil Dimas memilih diam dengan ekspresi merengut.

"Ekhem. Baksonya nanti dingin lho."

Celetukan Nindi menarik atensi Dimas. Ditatapnya ngeri senyum sok imutnya.

Bau-bau mau mintak bakso.

"Udah nggak selera."

"Bagus kalau gitu. Buat gue ya?"

Nindi berubah semringah, tangannya mulai merayap hendak menarik mangkuk bakso Dimas, namun Dimas segera menjauhkan dari jangkauan Nindi.

"Gue pesenin lagi, ini udah gue makan sebagian."

"Eh, jangan! Itu buat gue aja kalau lo emang nggak mau, kalau lo masih mau baksonya, ya, nggak pa-pa sih. Ini cuman dalam rangka menghindari mubazir."

Rakus berkedok mubazir, modelan seperti ini harus dikandangi.

"Ini udah gue makan! Gue pesenin yang baru!"

"Ya, udah, sana! Tapi ini tetap buat gue! Buang-buang makanan itu dosa tahu!"

Kalah telak, Nindi berhasil menarik mangkuknya, dan Dimas berakhir menghela napas pasrah.

"Masih banyak gini kok, apa semua cowok nggak doyan makan ya?"

Dimas menangkup dagu lelah, matanya mengawasi mata Nindi yang penuh binar. "Mana ada orang nggak doyan makan? Mati dong."

"Soalnya Mahes sama Radit suka nggak habis kalau makan bareng gue. "

"Kayaknya mereka hilang nasfu makan karena lo."

Dahinya berkerut, matanya menatap kosong ke atas. Agaknya sedang memikirkan sesuatu ."Bodo amat deh! Mereka hilang selera makan, gue dapet makan tambahan."

Memandangi binar matanya, menularkan binar yang sama pada mata Dimas. Sudut bibirnya tertarik sedikit tanpa ia sadari. Ia sangat memujanya sebagai gadis aneh, namun mampu melululantakkan hati para pemuda.

"Sendoknya udah gue pakek lho," ulang Dimas, tetap mempengaruhi Nindi agar urung memakannya.

"Selagi lo nggak punya penyakit menular, gue santuy aja."

"Ya, ampun, jangan Nindi! Gemes deh, pengen gue pacul pala lo!"

Cukup! Kalau mau Dimas bisa bisa membeli satu gerobak bakso untuk Nindi, asalkan jangan memakan sisa makanannya. Tidak baik untuk gadis selucu Nindi.

****

Aku double update lho, langka banget nih. Nggak ngerti, tumben rajin

Continue Reading

You'll Also Like

36.6K 1.5K 47
(#1 in #itb, 30/12/23) Kisah seorang mahasiswa FTI ITB, jurusan Teknik Industri. Semoga bermanfaat bagi peminat kampus gajah logo. Amin.
79.9K 8.9K 53
𝐦𝐞𝐧𝐣𝐚𝐝𝐢 𝐩𝐚𝐜𝐚𝐫 𝐬𝐞𝐨𝐫𝐚𝐧𝐠 𝐢𝐝𝐨𝐥 𝐛𝐮𝐤𝐚𝐧𝐥𝐚𝐡 𝐡𝐚𝐥 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐬𝐞𝐥𝐚𝐥𝐮 𝐢𝐧𝐝𝐚𝐡 𝐬𝐞𝐩𝐞𝐫𝐭𝐢 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐤𝐚𝐥𝐢𝐚𝐧 𝐛𝐚�...
33.7K 1.4K 32
Reza, nama yang hampir tujuh tahun ini tidak pernah dilupakannya. Nama yang sudah terlalu dalam terpahat dalam hatinya. Sebuah nama yang selalu membu...
S M A K S A By Miil

Teen Fiction

15.9K 3.3K 38
"Selamat datang di SMAKSA! Apa dosa orang tuamu?" ***** Sekolah Menengah Atas itu berbeda. Setiap tahun menerima siswa baru, tetapi tidak pernah memi...