BEAST ABAD 21 (KAT)

By Zain_Isika

2.1K 419 43

SKANDAL CINTA SANG PEMBUNUH BAYARAN Follow dan jangan lupa masukkan library kalian šŸ˜‰ šŸ”‘šŸ”‘šŸ”‘ Pulang ke Indone... More

WELCOME
Bag 1 : Prolog
Bag 2 : Menjalankan Misi
Bag 3 : Melarikan Rizqa
Bag 5 : Tempat Baru
Bag 6 : Menanti
Bag 7 : Milikku
Bag 8 : Dalgona Sarat Makna
Bag 9 : Misterius
10 : Rizqa-Barra
E-book Skandal Cinta Sang Pembunuh Bayaran

Bag 4 : Pandangan

163 44 4
By Zain_Isika

Alhamdulillah, Selamat membaca

🔫🔫🔫

Wajah ayu dan gestur anggun nan ceria yang dilihat Barra ketika pertama bertemu Rizqa kini berganti dengan sikap dingin dan ketus. Gadis itu tengah meluapkan emosinya pada Barra. 

"Kamu sungguh nggak sopan! Beraninya kamu menyentuh aku? Apa maksud kamu? Aku tanya aku mau dibawa ke mana itu wajar  dong? Aku berhak tau! Meski kamu itu ajudan Papa, tetap aja aku berhak tau, ya! Camkan itu! Dengar. Aku ini bukan wanita yang bisa dengan seenaknya saja kamu perlakukan seperti ini. Apalagi kamu sentuh! Dengar? Aku benci ini!" 

Mendengar kalimat 'aku benci ini' membuat Barra bergidik dan mengernyit. Kalimat yang sering ia gunakan. Rizqa juga suka mengatakannya? 

"Kamu nggak suka aku tanya-tanya? Kamu pikir aku sukarela ikut kamu? Haa? Aku senang ikut kamu? Enggaaak! Aku mau pulang! Cukup! Aku nggak suka ini! Aku benci ini!" 

Panjang! Rizqa mencerocos panjang. Wanita itu marah besar dengan sikap Barra yang berani kasar dan menyentuh dia tanpa permisi. 
Meski permisi pun, ia tidak akan mengizinkannya. Tentu saja. Rizqa tidak pernah membiarkan pria yang bukan mahramnya bisa menyentuhnya begitu saja. Meski ia terlihat ramah, tapi ia tetap menjaga marwah. 

Barra menarik napas keras menahan diri agar ia juga tidak ikut marah. Ia butuh wanita yang sedang merepet itu tetap bersamanya. 

"Mana? Mana pesan papa? Mana? Sinih. Aku mau lihat! Ke mana Papa minta kamu bawa aku?" Tangan Rizqa menunjuk dada Barra dengan maksud meminta ponselnya. 

Bara diam. Ia tak mungkin menunjukkan pesan dari Abbas. Karena nyatanya bukan ke tempat yang diminta Abbas tujuan Barra membawa Rizqa. 

"Okay. Okay. Sorry." Barra menahan napas. Lagi-lagi kata itu terasa aneh di lidahnya. "Kalau kamu mau lihat pesan Mister Abbas, artinya aku harus menyalakan ponsel itu lagi, iya 'kan?" Barra mengedik dagu sekali. "Kau tau, itu artinya musuh Mister Abbas bisa dengan mudah melacak keberadaan kamu? Mengerti?" 

Rizqa memberengut, giginya bergemeletak. Akhirnya wajahnya ditekuk. 

Segera ia membuang pandang keluar jendela sambil melipat tangan di depan dada. Sungguh merasa sebal dengan sopir yang kurang ajar dan kasar ini. 

Barra mengusap wajah, sibuk mengetuk di roda kemudi. Ia harus berusaha bersikap ramah dan manis pada Rizqa agar gadis berbaju besar itu nyaman. Rizqa berpikir kalau ia ajudan yang dibayar Papanya. Meski Barra benci itu. 

"Buka pintunya!" kata Rizqa tegas. 

"Apa?"

"Aku mau keluar!"

Barra bergeming. 

"Aku bilang buka!"

Barra tak menggubris juga. 

Rizqa berbalik, dan menatap Barra tajam. "Apa-apan kamu ini ha? Aku minta kamu buka pintu! Aku mau keluar!"

"Kamu mau ke mana?" tanya Barra sedikit melunakkan suara. Dalam hati jiwa Robin-nya meronta-ronta. 

"Gerah aku satu mobil sama orang angkuh!"

Mendengar itu ada yang tersentak dalam hati Barra. 

Ya, dia angkuh, dingin, kaku, misterius. Barra suka itu selama ini. Tapi mengapa kalimat pernyataan dari Rizqa tentang dirinya terdengar menyakitkan? Seakan ia tak rela Rizqa yang mengatakan itu. 

"Kamu mau ke mana? Kita sedang di kapal."

"Paling nggak aku keluar dari mobil ini! Sesak aku di sini terus," jawab Rizqa ketus. 

Entah mengapa kini Barra ingin karakter Rizqa yang ceria kembali. 

Akhirnya, Barra membuka kunci pintu mobil dan membiarkan Rizqa keluar. Ia pun ikut turun dan mengikuti gadis itu berjalan. 

Rizqa berdiri di pinggiran menatap ke lautan. Ia bersedekap dua tangan di depan dada meredakan gemuruh yang menyiksa. 

Tak jauh darinya, Barra berdiri menyembunyikan tangan di saku menatap ke laut sambil berjaga takut Rizqa terlepas dari pandangan. Benar saja, Rizqa diam-diam bergeser untuk menghindar. 
Dua langkah bergerak. Barra juga mengambil langkah bergeser. 

Rizqa mendengkus dengan bibir yang mengerucut melihat aksi Barra. Gadis dengan netra hitam itu bergeser, namun lagi-lagi Barra ikut mengambil langkah memupus jarak mereka. 

Gadis itu berdecak. 

Berulangkali Rizqa berjalan, tapi Barra terus mengikuti bagai ia adalah bayangan. 

Rizqa memekik samar dengan gigi bergemeletak dan kaki menghentak. Namun di sana, tatap Barra hanya lurus, bahkan terkesan menghunus. 

Bagai gadis kecil yang merajuk, ia kembali melangkah pergi mencari tempat bersembunyi. Namun bukannya berhasil, karena Barra dengan tenang mengambil langkah ikut lagi. Kini, mereka malah terkesan seperti dua sejoli yang sedang bertengkar saja. 

Rizqa memutar bola mata. Ya Tuhan, apa yang sedang terjadi sekarang? 

"Ck! Bisa nggak berhenti aja di situ? Jangan ikutin gerakan aku? Paham?" ucap Rizqa ketus. 

Barra berhenti tapi mata masih terus mengikuti. Rizqa lari dan secepat yang ia bisa menghilang dari pandangan Barra. 

Pria itu mendesah kasar dan langkah besar mengejar. Tanpa disangka Rizqa menghilang tapi Barra yakin gadis itu tetap berada di sekitar. Meski demikian ia tetap harus mencarinya. 

Barra berkeliling di sekitar mobil dan tidak menemukan gadis itu. Ia menekan tombol panggil di ponsel, tersambung, tapi tidak mendapat jawaban. Barra mulai berang, ia menyugar kasar. 

Masih dengan langkah besar, ia masuk ke area dalam kapal kembali mencari Rizqa tapi tak juga ia temukan. Tak mudah putus asa, ia terus mencari ke tiap sudut. Sampai akhirnya di depan musala, tak sengaja ia melihat sepatu ket berwarna biru muda seperti milik Rizqa yang sempat ia lihat ketika gadis itu tiba di bandara. 

Kebiasaan yang dilakukan seorang Robin Alexander si pembunuh berdarah dingin terhadap targetnya. Memindai detail, dan menyimpannya dalam memori ingatan. 

Barra mendekat ke musala dan mengedar pandang langsung ke area wanita. 

Benar. Ada Rizqa di sana sedang melaksanakan shalat menggunakan kerudung besar yang dilihat Barra sering digunakan umat islam. Apa namanya? Ah, ya, mukena? Pria itu menerka. 

Tak ingin Rizqa terlepas, Barra terus mengintai pandang hingga tanpa sadar menyeksamai apa yang Rizqa lakukan. 

Gadis itu melakukan gerakan, mengangkat tangan, merunduk memegang lutut lalu mencium lantai. Ya, Barra tau itu gerakan shalat ummat islam. 

Rizqa terihat seperti menyudahi shalat dengan menoleh ke kanan dan ke kiri. Lalu menengadah yang Barra tau meminta pada Tuhannya. 

Melihat semua pemandangan itu, ada yang berdesir di hati Barra diikuti angin berhembus lembut di wajahnya. Ada sesuatu yang melebur dan membuatnya lentur hingga napas Barra terasa teratur. Mata hazel Barra lekat, terus menatap Rizqa dari luar jendela kaca yang lebar. 

Lama Barra terpaku menatap gadis yang masih berdoa itu. Menikmati sentuhan demi sentuhan yang mengerayangi hatinya yang kasar dan pekat kegelapan. 

Begitu melihat Rizqa melipat mukena dan beranjak keluar ia bersiap menyambut Rizqa dengan wajah kaku. 

Melihat ada Barra di situ Rizqa membisu. 

"Sudah selesai? Kenapa nggak bilang aja kalau kamu mau ke sini?" tanya Barra sedikit datar dan parau. 

Rizqa diam tak mau buka suara. Tadi memang sudah waktu magrib. Karena marah, Rizqa tak ingin pamit dan langsung saja cari musala. Harusnya pria itu tahu kan? 

"OkayOkay. Ayo. Kita ke mobil," ajak Barra lagi. 

"Mas Barra nggak shalat?" tanya Rizqa yang memang punya karakter tak bisa marah untuk waktu yang lama. Lidahnya terdesak pertanyaan spontan yang tak bisa ia tahan. 

"Eng?" Barra terhenyak lalu ia menggeleng. 

Rizqa mengangguk mengerti, menganggap itu area privasi. Ia lalu pergi diikuti Barra. 

"Kita cari makan di kantin kapal. Mau?" tanya Barra kaku. 

Rizqa mengangguk meski ia tak lapar. Di luar mobil lebih baik dari pada harus duduk berdua di dalam mobil bersama Barra apalagi dengan amarah di dada. 

Menemukan tempat makan di kapal. Mereka mengambil duduk di meja berhadapan. Barra memesan makanan setelah bertanya tapi Rizqa hanya menggeleng saja. 

"Makan, ya," kata Barra sekuat tenaga menekan ego, setelah pesanan datang. Nasi goreng spesial dan jus jeruk hangat. Sama dengan milik Barra. 

"Maafin aku tadi bersikap kasar ke kamu." Barra membuka suara tanpa mengangkat wajahnya. Jiwa Robin bertepuk tangan meriah di dalam dadanya. Jiwa pemburu yang sedang tertawa jemawa keheranan dengan perubahan dirinya. 

Rizqa diam tak ingin menambah rasa kesalnya. 

"Aku nggak terbiasa pergi bersama wanita. Aku memang pria kaku. Aku akui itu." 

Mendengar itu Rizqa mengerjap samar. Masih setia menutup mulutnya.

Tak berhasil mengembalikan mood Rizqa, mau tak mau akhirnya Barra kembali mencoba. 

"Aku terbiasa bekerja sendiri, hidup sendiri, karena bagiku aku memang sendiri." 

Entah bagaimana kalimat itu terlontar begitu saja. Apa ia sedang curhat terkait hidupnya? 

"Aku nggak ngerti prinsip-prinsip wanita, termasuk kamu. Aku cuma nggak suka aja ditatar terus-terusan. Karena ... ya, aku memang nggak biasa. Jadi  ... aku nggak terlalu suka." 

Ada hening yang menguasai perbincangan mereka. 

"Ak--"

"Kamu type pemarah? Iya 'kan?" Sama dengan Barra, Rizqa berkata tanpa mengangkat muka. 

Barra menaruh sendok yang sedang ia pegang, membalik telapak tangan bimbang. Lagi-lagi ia tak suka hal seperti itu keluar dari mulut Rizqa tapi nyatanya memang itu benar 'kan? 

Akhirnya Barra hanya mengangguk pasrah. 

"Pantesan kamu nggak bisa senyum apalagi tertawa. Sukanya marah mulu. Apa nggak capek urat saraf wajah kamu diajak tegang mulu? Nggak jenuh? Nggak suram?" 

Barra berkedip samar. Pupilnya melebar, ia tak suka gadis itu mendikte dirinya tapi sisi lain hatinya melebur ikut pendapat gadis itu. 

"Hidup ini udah berat. Jadi jangan terus bawa wajah ketat. Tegang mulu. Enjoy gitu, biar awet muda. Nanti kerutan kamu makin nambah tuh!" kata Rizqa ketus. 

Barra mulai mendengkus dan merasakan panas di dada. Ingin sekali ia membekap lagi mulut gadis itu. 

"Kamu nggak suka aku bilang begini? Iya 'kan?"

Barra terperanjat, gurat wajahnya berderai. Perkataan Rizqa bagai anak panah melesat lalu menancap di poros yang tepat. Barra hanya diam, dengan wajah dinginnya. 

"Nah, itu artinya kamu memang terbiasa memelihara emosi. Tuh buktinya, wajah kamu mulai tegang dan tanpa ekspresi. Aku saranin nih, kurangin gih. Lagian marah itu nggak baik. Kata nabi, orang yang sanggup menahan marah padahal ia bisa saja marah maka surga baginya." 

Ada yang tersentil di hati Barra, ia mengingat sesuatu. Ayahnya pernah mengatakan ini dulu di masa kecilnya. 

"Jujur aja, aku nggak suka laki-laki asing yang bukan mahramku nggak pakai sopan santun main maju aja nyentuh dengan amarah menggebu. Apalagi aku merasa aku berhak tau dan nggak salah. Jadi, aku pasti tak gentar mempertahankan yang harus aku pertahanankan."

Mendengar itu, Barra sedikit tergelitik. Ada kesan wanita di depannya sok jaim dan sombong. Tapi Barra juga penasaran untuk alasan Rizqa. Padahal apa pentingnya coba? 

Ya, apa pentingnya? Jiwa Robin-nya kembali meronta-ronta. 

"Jelaskan padaku, apa itu prinsip kamu?" tanya Barra. 

Dahi Rizqa mengernyit. Serius pria ini tidak mengerti? 

"Keharusan kalau buat aku," jawab Rizqa. 

Mata Barra terangkat menatap Rizqa yang tertunduk menyuap makanannya. 

"Begitu?"

"Hhmm."

"Bukankah itu terkesan sombong?" tanya Barra dengan seringai miring. 

"Sombong? Ya nggak dong! Itu demi menjaga harga diri wanita. Meski ia tercipta dari tulang rusuk tapi ia bukan untuk diinjak, tapi untuk dijaga. Kamu pikir untuk apa coba perempuan disuruh pakai pakaian nutup aurat? Supaya terlindung dari gangguan. Demi kehormatan gadis itu sendiri." 

"Aurat?" Dahi Barra mengernyit lagi. Namun wajahnya mengguratkan remeh yang tersirat. 

Rizqa semakin heran dengan ketidakmengertian pemuda itu. 

"Iya. Seluruh bagian tubuh wanita kecuali muka dan telapak tangan itu aurat. Wajib ditutup supaya tidak mengundang syahwat. Bahkan ada sebagian wanita yang menutup wajah dengan cadar demi menjaga pandangan orang." 

"Yang seperti ninja itu?" Kalimat itu dengan nada pertanyaan, tapi masuk ke telinga Rizqa dengan nada cibiran. 

Mendengar itu Rizqa mendengkus tajam. Meski ia tidak bercadar tapi ia tak suka mendengarnya. Ingin ia bertanya balik pada Barra terkait sesuatu yang bersarang di hatinya, tapi urung ia lakukan. 

"Ya nggak ninja juga lah. Yang jelas itu demi menjaga marwah wanita dari gangguan mata pria jelalatan. Karena bagian tubuh wanita yang termasuk aurat biasanya akan mengundang syahwat meski hanya sekilas. Kamu setuju 'kan? Seandainya tiba-tiba kamu lihat perempuan tanpa busana, gimana emangnya?"

Alis Barra berjengit. Pertanyaan itu menohok hati. 

Meski ia tak mau berhubungan dengan spesis berjenis kelamin wanita secara serius tapi tetap saja dia pria normal. 

"Nah 'kan. Itu. Untuk itu wanita menutup auratnya seperti anjuran agama. Untuk menjaga diri. Karena Allah tahu mudharat-nya seperti apa. Memang apa-apa dibuat karena Allah tahu itu mendatangkan kebaikan buat manusia 'kan?"

Barra mengernyit. Apa sekarang ia sedang mendengar ceramah agama? 

Tapi  ... ya setidaknya Rizqa mulai kembali seperti semula. Itu lebih baik dari pada gadis itu menjadi ketus seperti tadi. Entah mengapa Barra tak suka itu. 

"Kamu termasuk yang taat agama?" tanya Barra misterius. 

"Ha? Belum." Rizqa menggeleng kecil. "Aku masih banyak kurangnya baik dalam ilmu dan penerapan. Aku belum baik benar."

"Tapi kamu seolah 'memperlihat' begitu," ujar Barra lancar. Rizqa merasa sedang disindir dengan kalimat ini. 

Rizqa tergelak sumbang. "Nggak kok. Jangan berpikir aku ini terlalu baik. Nanti salah asumsi, malah kecewa." Bukan menurunkan standart kualitas diri tapi kalimat itu lebih untuk menyatakan bahwa Rizqa bukan sedang sok baik. Tapi tentu berusaha menjadi lebih baik. 
"Masih banyak yang harus aku pelajari lagi. Kadang aku merasa banyak dosa dan malu. Pengen terus memperbaiki diri. Aku bilang tentang tadi bukan berarti aku udah paling suci, ya! Enggak! Cuma saling ngingetin aja. Kalau aku salah kamu juga boleh ngingetin aku," jawab Rizqa yang kembali dengan sikap terbuka. Begitulah Rizqa, ia sulit marah, jika marah cepat redanya. 

"Kamu udah nggak marah?"

"Masih! Tapi, ya, aku nggak bisa merepet terus. Entar cepat tua. Yang penting aku udah ingatin ke kamu bagaimana aku. Jadi, tolong, selama kita bersama, jaga, ya. Aku harap kamu respect dan menghargai ini. Itu tandanya kamu pria yang patut untuk dihargai juga."

Barra bergeming bagai sedang tersindir. "Okay. Aku minta maaf," ucapnya dingin. 

Barra merasakan ada yang berbeda dari Rizqa, sehingga ia juga merasakan perbedaan pada dirinya. Barra si manusia kaku pembunuh berdarah dingin itu ternyata bisa juga melunak seperti ini. Dan ... apa itu dari atau karena Rizqa penyebabnya? 



Tbc








Continue Reading

You'll Also Like

904K 20.2K 15
Ini adalah versi revisi!! Hidupku hancur setelah hari itu tiba, kehidupan yang awalnya selalu di landasi dengan keceriaan kini telah hilang ditelan o...
17.2K 2.5K 32
Kisah seorang gadis yang menjadi pemuda karena ibunya, dengan sederetan rahasia keluarga dan masalah yang ia lalui di sekolahnya. ...
94.6K 8.4K 78
Ini hanya kisah Boboiboy dan (Name) yang dinikahkan pada umur 17 tahun dengan dalih perjodohan. Lantas bagaimana kisah mereka kedepannya? Warning...
123K 12.9K 52
gatau šŸ—æ nikmati saja.