Friends Don't Kiss

By ayleentan

3.6M 561K 65.3K

Alana dan Elang sudah saling kenal sejak keduanya masih sangat kecil. Terbelenggu pada label persahabatan yan... More

Bab Pembuka
Fifth Birthday
Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 23
Bab 24
Bab 25
Bab 26
Bab 27
Bab 28
Bab 29
Bab 30
Bab 31
Bab 32
Bab 33
Bab 34
Bab 35
Bab 36
Bab 37
Bab 38
Bab 39
Bab 40
Bab 41
Bab 42
Bab 43
Bab 44
Bab 45
Bab 46
Bab 47
BAB 48
Bab 49
Bab 50
Bab 51
Bab 52
Bab 53
Bab 54
Bab 55
EPILOG

PROLOG

239K 15.6K 1.4K
By ayleentan

There are friends, there's family, and then there are friends that become family.

Aku tersenyum membaca quotes yang tertulis indah dengan tinta putih di bagian depan kaus hitam polos. Aku mengambil dua kaus dengan tulisan sama, lalu membawanya ke kasir.

"Selamat sore, ini aja, Mas? Atau masih mau tambah yang lain?" Gadis yang bertugas di kasir menyapa ramah. Baru pertama kali aku melihatnya, ia mengenakan kemeja putih dan bawahan hitam, tidak seperti karyawan lain yang mengenakan kaus berlogo Cherised, jadi mungkin dia karyawan magang. Cherised adalah sebuah gift shop yang terletak di daerah Seminyak, Bali.

"Iya, ini aja," jawabku singkat sambil membuka kaca mata hitamku, lalu memandang sekeliling.

Suasana Cherised cukup ramai, mungkin karena masih liburan sekolah. Jadi cukup banyak turis yang datang ke Bali.

"Mas lagi liburan di Bali, ya?" tanya gadis petugas kasir sambil mulai men-scan barcode.

"Nggak." Aku menggeleng pelan.

"Mas asli Bali berarti?"

"Hmm, nggak juga."

"Atau jangan-jangan, Mas artis yang lagi shooting sinetron di Bali, ya?" tebak gadis itu, sementara alisku langsung terangkat heran. Kenapa tiba-tiba larinya ke artis?

"Nggak, saya bukan artis."

"Wah, sayang banget."

"Kenapa memangnya?"

"Soalnya Mas ganteng, cocok jadi artis." Gadis itu terkikik, sementara aku hanya bisa tersenyum samar. Ini bukan pertama kali pujian ganteng, keren, handsome, tampan, dan semacamnya ditujukan padaku, tapi tetap saja rasanya rikuh. I mean, memangnya aku harus menanggapi gimana?

"Thanks, tapi saya benar-benar bukan artis," jawabku seadanya.

"Tapi kok wajahnya familiar ya, kayak pernah lihat gitu." Gadis itu menatapku saksama. Aku hanya mengedikkan bahu cuek, benar-benar ingin pembicaraan nggak masuk akal ini segera berakhir.

"Dhea, itu pelanggannnya jangan diajak ngomong terus, cepat selesaikan pembayarannya." Sebuah suara lembut, tapi tegas terdengar. Aku menoleh dan melihat sosok cantik bergaun putih tengah berjalan menuruni tangga.

"Eh iya, maaf, Bu." Gadis petugas kasir buru-buru melanjutkan tugasnya.

"Pembayarannya cash atau pakai credit card, Mas?" tanyanya.

"Cash aja." Aku mengulurkan beberapa lembar uang ratusan ribu. Gadis itu meraihnya, lalu mengulurkan tas berlogo Cherised padaku.

"Thanks." Aku mengambil tas itu. Keningku berkerut melihat serentetan nomor yang tertulis dengan tinta hitam di bagian depan tas.

"Itu nomor telepon saya. Oh ya nama saya Dhea, nama kamu siapa? Mungkin kita bisa berteman?" Gadis itu tersenyum menggoda, sementara aku hanya bisa menghela napas panjang. Ajakan 'pertemanan' seperti ini juga hal biasa buatku, tapi tetap saja rasanya nggak pernah terbiasa.

Aku adalah orang yang percaya kalau pertemanan antara laki-laki dan perempuan itu bisa terjadi. Namun, mungkin hal semacam ini yang membuat orang-orang menganggap pertemanan antara laki-laki dan perempuan itu mustahil, karena selalu ada udang di balik batu, selalu ada maksud tersembunyi. Aku hendak menanggapi, tapi tertahan saat suara lembut nan tegas itu kembali terdengar.

"Namanya Elang, tapi sejak kapan nama pelanggan harus dipertanyakan saat pembayaran, Dhea?" Sosok cantik bergaun putih itu kini sudah berdiri di samping meja kasir.

"Eh, maaf, Bu. Saya cuma berusaha bersikap ramah."

Sosok bergaun putih itu berdecak sambil geleng-geleng kepala. Aku tersenyum geli melihat wajahnya yang terlihat gusar. Wajah yang tetap terlihat cantik walau usianya tak lagi muda.

"Bunda," sapaku sambil menunduk mencium pipinya.

"Kapan datang, El? Kulit kamu kok jadi gosong gini?"

Bunda mengamatiku dari atas ke bawah dengan kening berkerut, sementara aku hanya tertawa. Selama tiga hari ini aku camping di tepi pantai bersama beberapa teman. Sinar matahari di sana sangat menyengat hingga kulitku terbakar.

"Barusan, terus Ayah telepon, suruh jemput Bunda. Ayah masih ada meeting katanya." Bunda manggut-manggut, sementara gadis penjaga kasir bernama Dhea itu menatapku dan Bunda bergantian.

"Bunda?" Wajahnya berubah pucat pasi. Well, Bunda adalah pemilik toko merchandise ini. Tertangkap basah sedang menggoda anak boss sudah pasti bukan pengalaman menyenangkan.

"Iya, Elang ini putra saya yang masih SMA."

"Masih SMA?" Dhea menatap tubuhku dari atas ke bawah dengan wajah takjub. Sejak kecil memang banyak orang yang nggak percaya usiaku sebenarnya. Mungkin karena tubuhku yang selalu lebih tinggi dari teman-teman seumuranku atau karena pembawaanku yang terlihat dewasa. Entahlah.

"Iya, masih SMA." Aku memutar bola mata mendengar Bunda menekankan kata 'masih SMA', seolah aku anak di bawah umur yang masih sangat polos.

"Aku sudah lulus SMA, by the way, kalau Bunda lupa," sindirku.

"Lulus SMA baru sebulan lalu, dan kamu belum mulai kuliah, jadi secara teori kamu masih anak SMA," balas Bunda tak mau kalah. Aku hanya bisa menghela napas pasrah.

"Astaga, pantas saja wajahnya familiar." Gumaman Dhea membuat tatapan Bunda beralih ke arahnya.

"Dhea, lain kali jangan pernah kasih nomor telepon kamu ke pelanggan. Kamu di sini untuk bekerja, bukan mencari 'teman', kamu mengerti?" Bunda berucap tajam yang membuat Dhea menunduk dalam.

"Iya saya mengerti, Bu, maaf," ucapnya lirih.

Bunda jarang marah, tapi kalau sudah marah, aku pun nggak berani membantah. Bunda menghela napas panjang, lalu kembali menatapku.

"Udah selesai?" tanyanya. Aku mengangguk sambil menunjukkan tas berlogo Cherised di tanganku.

"Ya sudah, ayo pulang," ucapnya. Kami melangkah menuju Jeep Rubicorn merah yang terparkir di depan toko. Ini dulu mobil Ayah yang dihibahkannya padaku.

"Karyawan baru, ya, Bun?" tanyaku saat kami sudah ada di dalam mobil yang meluncur membelah kepadatan jalan raya Seminyak di sore hari.

"Iya, karyawan magang," jelas Bunda. "Jangan ditanggapi godaannya," imbuhnya.

"Nggaklah," jawabku singkat.

"Kadang Bunda nggak tahu harus bersyukur atau khawatir kamu dikaruniai wajah kayak gini. Bunda yakin bukan baru pertama kali tadi, perempuan dengan suka rela kasih nomor handphone-nya ke kamu." Aku hanya tersenyum, karena kalau bilang iya pasti Bunda akan semakin khawatir.

"Apalagi sebentar lagi kamu akan jauh dari Bunda. Bunda nggak bisa lagi jaga kamu," keluhnya sambil menghela napas panjang.

"Aku bisa jaga diri sendiri, Bun. Bunda tenang aja, lagian kan cuma ke Surabaya." Aku memang akan melanjutkan kuliah di Surabaya. Kota kelahiran kedua orang tuaku.

"Ya, tapi kamu kan nggak pernah jauh dari Bunda sebelumnya. Bunda pasti bakal kangen banget." Wajah sedih Bunda membuatku tersenyum. Bunda memang jadi sangat melankolis sejak aku bilang akan kuliah di Surabaya dan bukan di Bali.

"Cuma setengah jam perjalanan naik pesawat. Bunda bisa jenguk aku setiap saat," hiburku.

"Iya sih, tapi tetap saja rasanya beda." Helaan napas Bunda terdengar sangat berat. Ia menoleh ke samping, menatap pemandangan turis yang lalu lalang lewat jendela mobil.

"Nggak terasa waktu berlalu, kamu bukan lagi anak-anak. Sudah jadi laki-laki dewasa yang sebentar lagi akan pergi meninggalkan rumah," ucapnya sendu.

Aku melirik Bunda dan hatiku tersentuh melihat matanya yang berkaca. Aku meraih tangannya dengan satu tanganku yang sedang tidak memegang setir.

"Aku memang bukan lagi anak-anak, tapi selamanya aku anak Bunda. Kita punya ikatan yang nggak akan terpatahkan oleh jarak dan waktu. Jadi Bunda nggak usah khawatir, anggap lagi LDR, tapi LDR yang ini nggak mungkin putus," godaku.

Bunda tersenyum sambil meremas tanganku hangat.

"Belajar sungguh-sungguh di sana," nasihat Bunda.

"Iya."

"Jangan pacaran melulu."

Kali ini aku hanya meringis hingga membuat Bunda menghela napas panjang.

"Bunda nggak melarang kamu pacaran, El. Tapi harus tahu batasannya. Kamu mengerti maksud Bunda, kan?"

Aku mengangguk pelan. Aku sangat mengerti. Bunda nggak ingin aku mengulang kesalahan yang ia lakukan di masa lalu. Bunda dulu melahirkanku tanpa kehadiran seorang ayah. Kekasih yang dicintainya pergi untuk mengejar impian saat Bunda sedang mengandungku.

Ya, kisah kami memang berakhir bahagia. Ayah kembali dan aku mencintainya sebesar aku mencintai Bunda. Kami hidup sebagai satu keluarga bahagia hingga detik ini, tapi tetap saja itu bukan sebuah kisah yang baik untuk diulang. Bunda nggak ingin ada perempuan yang bernasib sama sepertinya, atau seorang anak yang bernasib sama sepertiku.

Sebenarnya aku nggak bisa bilang masa kecilku buruk. Aku nggak pernah kekurangan cinta kasih, bahkan sebelum Ayah hadir kembali dalam kehidupan kami. Aku punya Bunda dan seorang Kakek yang sangat menyayangiku. Di masa-masa sulit, Bunda juga cukup beruntung bertemu dengan orang-orang baik hingga aku pun bisa tumbuh dalam lingkungan yang baik.

Ada Oma Sarah, tetangga sebelah rumah kami yang sekarang benar-benar menjadi omaku karena sudah menikah dengan Kakek. Ada juga Tante Hana dan suaminya, Om Tama, mereka yang memberi Bunda pekerjaan hingga Bunda bisa punya pegangan hidup. Bunda dan Tante Hana bahkan akhirnya bersama-sama membuka toko merchandise yang diberi nama Cherised.

Jadi masa kecilku nggak buruk, tapi memang ada masa-masa di mana aku kebingungan saat melihat teman-temanku memiliki seorang Ayah, sementara aku nggak. Ada masa-masa di mana aku mempertanyakan hilangnya sosok ayah dalam hidupku. Namun, syukurlah aku juga cukup beruntung memiliki seorang teman yang selalu ada untukku. Dia yang selalu memberi semangat. Dia ....

"Kamu beli apa tadi di toko, El?" Pertanyaan Bunda membuatku tersadar dari lamunan.

"Oleh-oleh."

"Buat siapa?" tanya Bunda sambil mengambil paperbag Cherised dari kursi belakang dan melihat isinya. Ia tersenyum melihat kaus pilihanku tadi.

"Buat Alana?" tanyanya lagi.

Aku mengangguk, sementara di sebelahku Bunda tersenyum lembut. Bunda memang sangat menyayangi Alana, putri Tante Hana dan Om Tama yang sekarang kuliah di Surabaya.

"Salam buat Alana, ya. Bunda kangen bangat, udah lama dia nggak pulang." Liburan kali ini Alana memang nggak pulang ke Bali karena dia dan keluarganya liburan keliling Eropa.

"Iya nanti aku sampaikan."

"Bunda sedih kamu akan pergi, tapi setidaknya kamu kuliahnya di Surabaya. Bunda lumayan lega karena ada Alana yang bisa jaga kamu di sana."

Aku menahan diri agar nggak memutar bola mata. Aku bukan bayi yang harus dijaga. Lagipula bagaimana ceritanya Alana dengan tubuhnya yang mungil itu bisa menjagaku? Namun, lebih baik diam, agar Bunda nggak semakin khawatir.

"Benar-benar nggak terasa waktu berlalu. Kalian berteman sejak kecil. Sekarang sudah sama-sama dewasa, tapi persahabatan kalian masih tetap bertahan. Menakjubkan, ya?"

Kali ini ucapan Bunda membuatku tersenyum. Menakjubkan memang. Semua orang pasti memiliki teman, yang satu mungkin lebih dekat dari yang lain. Ada yang bertahan lama, ada juga yang hanya sementara. Namun, jarang ada yang cukup beruntung memiliki teman yang bertahan selamanya, teman yang selalu ada saat susah dan senang. Teman yang memahamimu lebih dari dirimu sendiri. Teman yang sudah sangat dekat hingga menjadi seperti keluarga.

There are friends, there's family, and then there are friends that become family.

Oma Sarah, Tante Hana, dan Om Tama, mereka bisa dibilang adalah teman-teman Bunda yang sudah jadi seperti keluarga.

As for me ... hanya ada satu orang dalam hidupku yang bisa masuk dalam kriteria itu ....

Continue Reading

You'll Also Like

5.8M 333K 39
"Hubungan kita aneh dan absurd. Lo bahkan nggak suka cewek bertato, yakin mau lanjutin rencana para kakek ini?. Pernikahan ini, akan jadi neraka buat...
3.2M 246K 39
Setelah menjalani pernikahan nyaris sempurna selama dua tahun lebih, Kanina hanya ingin punya anak. Namun, dia tidak mungkin hamil dan melahirkan apa...
303K 22.9K 16
[Romantic Comedy] #3 HelloExUniverse Permintaan terakhir sang ibu sebelum meninggal adalah meminta Bara menikah dengan mantan tunangannya, Nerakasara...
455K 67.2K 45
(18+ Romantic Comedy) Suasana baru. Hal yang sedang dicari Rumbai Prambadi dalam hidupnya sehingga nekat mengunjungi Love and Dust, tempat yang mempe...