Wattpad Original
Ada 3 bab gratis lagi

Bab 8

62.3K 10.3K 1K
                                    

ALANA

"Al ditawari beasiswa dua tahun untuk sekolah di Parsons New York." Devi yang menjawab untukku.

"Wah, congratulations, Kak Lana," pekik Sania.

"Thank you." Aku tersenyum tanpa semangat, sementara Elang masih menatapku lekat.

"Take it." Tiba-tiba dia berucap.

"Tapi ...."

"Talk to him." Suaranya yang tegas membuat suasana jadi hening. Elang memang bisa sangat mengintimidasi jika sedang serius.

"I'm scared," bisikku lirih.

"Al, this is your dream. Kamu nggak bisa melepaskan impian kamu begitu saja tanpa berusaha. Cuma dua tahun. Kalau dia memang sungguh mencintai kamu, dia pasti mendukung impian-impian kamu. So talk to him, jangan sampai kamu menyesal nantinya." Elang berucap sungguh-sungguh.

"Ini maksudnya Mas Riyan nggak setuju kamu berangkat, gitu?" tanya Devi.

Aku mengangguk pelan. "Kayaknya. Aku belum ngomong sih, tapi dia ingin aku pindah ke Jakarta setelah lulus kuliah, dia nggak mau LDR-an lagi."

"Wah berat juga sih kalau gitu." Devi menghela napas.

"LDR memang berat, kalau aku nggak bakal sanggup," timpal Sania.

"Nggak ada yang berat kalau kita mau berusaha. LDR nggak akan jadi masalah selama dua pihak menjaga komitmen," ujar Elang.

"Tapi kalau kangen, gimana? Pasti aneh rasanya nggak bisa peluk kamu, nggak bisa cium kamu setiap saat. Nanti kamunya kesepian terus ngelirik cewek lain, gimana? Aduh, aku nggak bakal bisa LDR-an. Kalau kamu mau sekolah di luar bilang, ya, El. Aku ikut kamu ke mana pun pokoknya." Wajah cantik Sania yang tampak sangat cemas membuatku tersenyum kecut.

Melihat cewek bucin yang terlalu clingy sama pacar, biasanya selalu membuatku geleng-geleng kepala. Menurutku perempuan harus punya prinsip, nggak boleh hanya mengikuti kemauan pacar. Siapa sangka sekarang aku jadi salah satu dari mereka. Mendengar kata-kata Sania membuat hatiku tersentil. Ke mana Alana yang punya impian setinggi langit? Ke mana Alana yang nggak pernah ragu mengutarakan pemikiran-pemikirannya? Kenapa untuk bicara dengan Mas Riyan saja aku sudah gentar duluan?

"Al, listen, kalau suatu saat Mas Riyan minta izin untuk mengerjakan suatu proyek besar di tempat yang jauh selama beberapa tahun. Proyek yang sudah jadi impiannya sejak lama, tapi karena sesuatu dan lain hal kamu nggak bisa ikut, apa yang akan kamu lakukan? Melarangnya pergi?" Pertanyaan Elang membuat keningku berkerut. No, aku nggak akan melarangnya pergi. Kalau itu memang impiannya, he should go for it. Menurutku pesona seorang laki-laki adalah saat dia punya impian dan berusaha sekuat tenaga meraihnya.

"No, I'll support him," ucapku tegas.

Wajah serius Elang berubah menjadi lebih lembut mendengar jawabanku. "Then he will do the same for you. This is your dream since you're just a little girl. Don't sacrifice your dreams for the sake of someone else's. If he can't support your dream, is he the man you want to spend the rest of your life with?"

Aku terdiam merenungkan kata-kata Elang. Perlahan senyumku terkembang saat keraguan di hati menghilang. Ya, yang harus kulakukan hanya bicara pada Mas Riyan. Dia pasti mendukungku sama seperti aku yang akan selalu mendukung impian-impiannya.

"You're right. I'll talk to him," putusku akhirnya. Elang tersenyum lebar sambil menandaskan sepotong pancake yang tersisa di piringku.

"I'm always right. Kapan sih aku pernah salah?" ucapnya jumawa hingga membuatku memutar bola mata. Saat Elang dan Sania sudah pergi ke kampus, Devi menatapku sambil tersenyum. Senyum mencurigakan yang membuat sepasang alisku terangkat.

Friends Don't KissTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang