Yuk jangan jadi silent readers ;)
1 vote kamu berarti sejuta bagi penulis❤
Dengan pemandangan langit oranye di sore hari Jakarta dari luar jendela, seorang gadis dan ibunya terduduk di atas sofa kamar hotel. Barang-barang yang mereka bawa untuk beberapa hari ke depan telah diletakkan di tempatnya. Tak satupun dari mereka berjauhan dari satu sama lain karena rasa rindu yang membludag.
"Jadi kamu mau cerita apa?"
Syila diam tak menjawab pertanyaan yang dilontarkan ibunya. Kedua tangannya justru terbuka dan beralih melingkari pundak ibunya. Tidak, sebenarnya ia sama sekali tak siap untuk ini. Namun menyembunyikannya akan membuat semua semakin buruk.
Sang ibu menepuk pundak Syila kecil. "Kok jadi meluk?"
Di lain posisi Syila berdehem singkat sebelum mulai mengeluarkan isi pikirannya. "Sebenarnya Syila udah ketemu sama ayah bu." Ucapnya tanpa berani menatap lawan bicaranya. Dalam hati Syila berharap keadaan akan tetap baik-baik saja.
Karena tak kunjung mendapat balasan, kepala Syila terangkat kembali menghadap depan. "Bu?"
"Gimana bisa ketemu?" Tanya ibunya dengan nada bicara yang berubah menjadi lebih dingin.
Syila memainkan jari-jarinya karena gugup yang melanda. "Di acara sekolah, anaknya ternyata temen Syila." Ucapnya kecil.
Terdengar helaan nafas dari sang ibu. Yang ia bayangkan selama ini terjadi juga pada putrinya. Tak ada yang salah bertemu dengan ayah sendiri, tapi itu seketika menjadi salah karena pertemuan terjadi setelah satu pihak pergi dan tak pernah menoleh ke belakang.
"Nggak papa, kamu berhak tahu ayah kamu. Ibu salah karena selama ini nutupin segala sesuatu tentang ayah yang kamu berhak tahu." Ucapnya berusaha tegar.
Syila dengan segera menggelengkan kepalanya. Ia sama sekali tak menyangka reaksi penuh rasa bersalah yang didapatkan dari sang ibu. "Enggak bu, Syila bahkan lebih nyesel ketemu ayah dan tahu apa alasan dia ninggalin kita." Matanya mulai berkaca-kaca, hatinya terasa perih seketika. "Dia jahat bu, dia hidup bahagia bersama istri dan anak laki-lakinya. Syila benci itu, tapi Syila nggak bisa benci ke keluarga mereka, dan itu lebih menyakitkan dari apapun." Jelasnya dengan tangis yang tak terbendung lagi. Air mata itu mengalir di kedua pipi pada wajah yang begitu rapuh.
Badannya dibawa masuk ke dalam pelukan sang ibu yang erat.
"Terimakasih karena kamu berhasil menjadi anak ibu dengan hati yang baik. Dan kamu harus tahu memaafkan itu memang sulit, tapi ibu sendiri sampai sekarang masih berusaha memaafkan ayah kamu." Bahkan suara ibunya saat ini terdengar mulai bergetar.
Kepala Syila jatuh bersandar di bahu sang ibu. "Syila salah bu, pertemuan itu Syila yang mengawali. Akhirnya ayah menemukan nomor Syila dan berhasil ngehubungin." Sial, ia benar-benar menyesali perbuatannya. Tak seharusnya dari awal ia mengirim lukisan bahkan dengan simbol itu. Syila pikir awalnya ia akan biasa saja bertemu ayah, tapi nyatanya tidak. "Syila nggak kuat liat mukanya bu..hiks.hiks.hikss...bahkan di waktu yang sama itu Syila ternyata udah deket sama sauadara tiri Syila sendiri tanpa sadar."
"Shutt... kamu nggak boleh nangis. Apa ayah berusaha minta maaf sama kamu?" Tanya ibunya lembut. Tangannya mengelus sayang rambut Syila yang terurai panjang di punggung.
Dapat dirasakan dalam dekapan, kepala Syila bergerak ke atas ke bawah. "Ta..tapi Syila bilang nggak mau, bahkan setelah ayah minta beberapa kali."Ia cukup sadar diri bahwa sikapnya sedikit egois kala itu. Kata-kata yang dilontarkannya bila diingat kembali terasa sedikit kasar.
Lalu badan Syila ditegakkan dengan kedua sisi wajah yang ditopang telapak tangan ibunya. "Besok ibu mau kamu bawa kita ketemu ayah." Pintanya dengan nada memerintah.
Alis Syila saling bertatut. Ia tak percaya jika ibunya baru saja meminta untuk bertemu dengan laki-laki itu. Tidak, Syila tidak yakin apa hati ibunya cukup tangguh untuk membuka luka di masa lampau. "Kenapa bu? Syila nnggak mau." Tolaknya tak setuju.
"Ibu nggak kuat menyimpan kebencian dan dendam terlalu lama Syila." Tangannya berganti mengusap telapak tangan Syila lembut. "Memang nggak semua luka bisa disembuhkan hingga menghilangkan bekasnya, tapi bukan berarti kita sama sekali nggak coba melakukan sesuatu terhadap luka itu. Setidaknya keringkan dan buat dia tak sesakit sebelumnya." Kata ibunya penuh makna. Ia tak mau putrinya menyesal karena tak memberikan satupun kesempatan pada sang ayah.
Syila menunduk ke bawah seraya mengusap sisa air mata di wajahnya. "Iya bu, Syila ngerti."
"Makasi anak ibu." Dan tak lama badannya kembali dibawa masuk ke dalam pelukan hangat. Saking hangatnya hingga Syila bisa lupa sejenak untuk menyiapkan dirinya fisik dan mental untuk besok.
...
Pintu menuju balkon terbuka menampakkan seorang gadis menyandarkan tubuh depannya di penyangga besi itu. Tak seincipun dari badannya tergoyah oleh angin malam yang menerpa kencang terkecuali rambut panjangnya. Mata gadis itu kosong menatap bintang-bintang yang bercengkrama menghiasi langit malam. Begitu menyejukkan hati dan menenangkan pikiran.
"Ting.."
Terdengar suara notifikasi dari handphone dalam genggaman jemari Syila. Gadis itu mengembalikan kesarannya dan menghidupkan telepon genggamnya. Senyuman perlahan mengembang ketika satu nama pengirim pesan terpapar di dalam layar.
Arlan
Gue otw nyamperin lo ke hotel
Nggak perlu izin.
Apa benar laki-laki itu akan datang kesini. Jari Syila mengirim balasan, namun hanya centang satu yang ia dapat. Mungkinkah laki-laki itu sudah berada di tengah jalanan ibu kota. Apakah perlu terburu-buru seperti itu. Semoga saja kecepatan kendaraan Arlan tidak di atas rata-rata.
Syila menikmati seisi hamparan langit untuk sesaat lagi sebelum dia masuk ke dalam dan mengambil jaket. Walau tubuhnya telah terbalut rapi dengan piyama tidur, tapi ia berusaha menghargai usaha Arlan.
"Bu, Syila ke supermarket di bawah bentar ya." Izinya sedikit keras sebab mamanya tengah sibuk membersihkan diri di dalam toilet. Begitu mendapatkan jawaban ya Syila mulai melangkah keluar kamar. Jalannya santai agar waktu terlewati dan ia tak lama menunggu.
Begitu keluar dari hotel, Syila berbelok ke kanan. Ia memang ingin membeli sebotol yogurt untuk mengisi perut sebelum berjumpa dengan laki-laki itu.
Tunggu.... kenapa ia merasa melihat siluet orang yang begitu tak asing. Buru-buru Syila mengambil handphone di kantong jaketnya dan melihat jam. Baru sepuluh menit berlalu dan Arlan sudah sampai, ya laki-laki itu tengah melangkah keluar dari supermarket. Tiba-tiba ia tersenyum misterius seraya menatap Arlan dengan lekat.
Kaki Syila berlari cepat lurus ke depan.
"Arlann..."
"Heii.." Kata Arlan sontak ketika Syila tiba-tiba meloncat ke tubuhnya dan bergelantung bak koala. Sedetik kemudian kaki gadis itu melingkar di sekeliling pinggangnya dengan tangan yang bertengger kuat di sepanjang leher. Bahkan kepala Syila bersender ria di bahunya. Arlan sama sekali tak masalah dengan posisi ini, ia sangat menyukainya. Gadis itu bahkan dengan berani menghirup aroma tubuh di bagian lehernya.
"Kangen banget ya sama gue." Tukas Arlan percaya diri. Kedua tangannya perlahan menyangga pinggang ramping Syila. Jari-jari besarnya terasa pas di punggung itu.
Sial, gerakan tangan Arlan membuat bulu kuduk di leher Syila meremang. Padahal ia sendiri yang memulainya. Jemari itu bahkan menyebabkan rasa geli di perut, tapi Syila suka. Posisi ini juga terasa nyaman dan hangat, masalahnya seketika hilang sirna dari permukaan.
"Turun dulu." Pinta Arlan melihat tempat mereka saat ini yang berada di pinggir jalan.
"Enggak."
Arlan berdecak. "Malu diliatin orang di jalan."
"Iya-iya." Jawab Syila terpaksa seraya mencebikkan bibirnya.
Begitu turun posisinya yang tadi sejajar dengan Arlan berubah menjadi di dagu laki-laki itu. Dengan leluasa sekarang berganti Arlan merasa gemas sendiri melihat wajah Syila. Tangannya terulur ke depan mencubit hidung mungil itu. "Gemes banget sih."
"Yuk gue anter balik ke hotel." Tambah Arlan.
Kedua Alis Syila terangkat ke atas. "Gitu aja?" Terdengar nada kecewa di pertanyaan yang keluar dari mulutnya.
Arlan menurunkan kepala hingga berada tepat di depan wajah Syila. "Mau apa emang?"
"Bawa gue jalan-jalan." Ucap Syila seraya menunduk ke bawah. Ia benar-benar terlihat bak anak kecil yang meminta sesuatu dengan orang tuanya, malu-malu.
Arlan berfikir sebentar. "Yaudah ayo."
Setelah melihat ekspresi girang Syila, Arlan mulai melangkah menuju motornya. Tapi tunggu ia tak merasa ada pergerakan seseorang di belakang. Begitu membalikkan badan, Syila nyatanya masih di posisi yang sama.
"Kok nggak jalan?"
"Gendong."
Late night update 🎉🎉
Semoga kalian belum tidur deh wkwk
Gimana asupan kemesraan ini???
Para jombol rebahan sudahkah berteriak? Wkwk 😂😂
Part ini ga ada pertanyaan dulu ya karena penulisnya sendiri ngantuk 🤭
Semoga habis baca ini kalian dapet bunga tidur yang mengesankan ⚘
Good night semua...
Jumpa lagi 🖐🖐