Ketos Galak

By cappuc_cino

3.5M 392K 131K

[TSDP #1] Siapa sih yang nggak mau jadi pengurus inti OSIS? Satu sekolah bakal kenal, "Oh, dia Shahia Jenaya... More

Ketos Galak : Tokoh
Ketos Galak : Prolog
Ketos Galak : 1 | Kabar Putus
Ketos Galak : 2 | Tokoh Antagonis
Ketos Galak : 3 | Tertangkap Basah
Ketos Galak : 4 | Kak Aru
Ketos Galak : 5 | Rapat OSIS
Ketos Galak : 6 | Pillow Talk
Ketos Galak : 7 | Interogasi Dadakan
Ketos Galak : 8 | Roti dan Air Mineral
Ketos Galak : 9 | Tikungan
Ketos Galak : 10 | Magenta
Ketos Galak : 11 | Hiya Hiya Hiya
Ketos Galak : 12 | Pernah ingat?
Ketos Galak : 13 | Ujung Sepatu?
Ketos Galak : 14 | Hapus!
Ketos Galak : 15 | Yang Pertama
Ketos Galak : 16 | Zoom
Ketos Galak : 17 | Curi Balik
Ketos Galak : 18 | Istirahat Dulu
Ketos Galak : 19 | Apa pun
Ketos Galak : 20 | Percakapan Singkat
Ketos Galak : 21 | Sebentar
Ketos Galak : 22 | Bilang
Ketos Galak : 23 | Kok, bisa?
Ketos Galak : 24 | Chat Doang
Ketos Galak : 25 | You Deleted this Message
Ketos Galak : 26 | Jadi gimana?
Ketos Galak : 27 | Lebih Dekat
Ketos Galak : 28 | Caption
Ketos Galak : 29 | Nggak gitu!
Ketos Galak : 30 | Pernah Muda
Ketos Galak : 31 | Jari Kelingking
Ketos Galak : 32 | Eh?
Ketos Galak : 33 | Make-up
Ketos Galak : 35 | Keputusan
Ketos Galak : 36 | Pertemuan Masa Lalu
Ketos Galak : 37 | Kebetulan
Ketos Galak : 38 | Di Balik Dinding
Ketos Galak : 39 | Perjalanan Pulang
Ketos Galak : 40 | Jadi gini, ya?
Ketos Galak : 41 | Takut Kehilangan
Ketos Galak : 43 | Terakhir
Ketos Galak : 44 | Pengakuan yang Terlambat
Ketos Galak : Vote Cover
Ketos Galak : PO Novel
Ketos Galak : 46 | Pertunjukan Sirkus
Ketos Galak : 47 | Belahan Bumi Lain
Ketos Galak : Epilog & Extra Part
Ketos Galak : Special Part
Ketos Galak : Special Part 2
Ketos Galak : Special Part 3
Ketos Galak : Special Part 4
Ketos Galak : Special Part 5
Ketos galak : Special Part 6
Ketos Galak : Special Part 7
Ketos Galak : Special Part 8 & 9
Ketos Galak : Special Part 10

Ketos Galak : 34 | CCTV

67.6K 8.5K 4.6K
By cappuc_cino

Ketos Galak | [CCTV]













Seneng nggak malam Minggu disapa Kae? :""")





Posisi baca? Wkwkwk.














Favian dan Kae sedang akur. 💚



Semangat nggak? Bakar nggak? 🔥🔥🔥












Ini yang kemarin habis main make-up make-up-an :") Wkwk

Kasih 💚 buat Kae boleh?

Buat Jena? 💚

Buat AqkhGuw?














Happy readiiing. Tolong bangettt tandain typo yaaa. ❤️

***



JENA
Di depan ruang auditorium, panitia inti PENSI seperti Kalil, Gista, Kalina, dan yang lainnya, tengah membacakan laporan pertanggung jawaban untuk kegiatan kemarin, sedangkan aku duduk di bangku peserta rapat bersama seluruh anggota OSIS dan MPK yang hadir. Aku mengisi bangku di baris ketiga. Di sisi kananku ada Chiasa, di sisi kiriku ada Davi yang disusul oleh Hakim dan Sungkara di sebelahnya.

Aku menguap, untuk ketiga kali? Atau lima kali? Atau entah. Yang jelas, rapat yang dilaksanakan sepulang sekolah itu sudah berlangsung selama satu jam. Dan karena aku hanya bertugas menyusun laporan, aku tidak bertanggung jawab lagi pada apa yang dipresentasikan hari ini oleh Kalina. Jadi, ketika beberapa anggota OSIS mendebat poin-poin dalam laporan, Kalina menjadi orang yang bertanggung jawab sepenuhnya.

Janari baru saja berdiri, mengajukan pertanyaan tentang salah satu poin dalam anggaran, yang kemudian dijawab oleh Gista, dibantu oleh Kalina, dan diselesaikan oleh Kalil. Mereka terlihat solid dan menguasai laporan.

"Bagaimana? Jelas ya sampai di sana?" tanya Kaivan selaku moderator rapat. "Ada pertanyaan lain yang mau diajukan?"

Itu suara terakhir yang kuperhatikan, karena setelah itu Chiasa menepuk pahaku sambil menunjukkan layar ponselnya. Ah, tidak hanya padaku sih, karena kini Davi, Hakim, dan Sungkara ikut melongokkan kepala untuk melihat layar ponsel Chiasa.

"Gue tahu, kemarin udah lihat," ujar Davi saat melihat unggahan foto di instagram Kaezar.

Aku menarik bola mataku ke atas, merasa gerah. Kapan sih, topik Kae itu tidak menjadi pembahasan yang menarik lagi bagi teman-temanku?

"Orang galak, kalau udah bucin langsung drastis gini ya berubahnya?" gumam Chiasa.

Hakim mengangguk. "Bukan Ketos Galak lagi sekarang. Adanya Ketos Bucin," ujarnya yang disambut kikikkan geli oleh tiga temanku yang lain.

Aku hanya tersenyum, kembali memperhatikan layar ponsel Chiasa yang masih berada di hadapanku. Di sana, ada foto wajah Kaezar, yang full make-up, hasil karyaku. Kaezar mengambil foto saat rambutnya masih dikuncir apel, membuatku terkekeh sendiri. "Gemes banget, sih."

"Hah?" Suara heran itu terdengar dari keempat temanku yang masih mengerumuni foto Kaezar. "Gemes apanya, sih?" tanya Chiasa.

"Apanya yang gemes?" kejar Davi, terlihat tidak terima.

Gumamanku barusan terdengar, ya? "Itu ..." Telunjukku terarah ke layar ponsel Chiasa yang sudah mulai redup. "Langit-langit rumah Kae. Gemes." Aku tahu jawaban ini tidak masuk akal, tapi aku tidak bisa berpikir tentang hal lain.

"Apaan, sih?" Chiasa menyalakan lagi layar ponselnya. "Langit-langitnya begini doang juga."

"Tahu nih, Jena," tambah Hakim. "Lagian, emang lo tahu kalau foto ini diambil di rumah Kaezar?" tanyanya.

"Iya. Siapa tahu ini di rumah ceweknya," ujar Sungkara.

Aku mengangguk-angguk, tidak berbicara lagi yang berisiko kembali salah ucap dan membongkar rahasiaku sendiri. Kemudian, kepala-kepala yang melongok itu kini sudah kembali tegak, kami kembali fokus pada jalannya rapat.

"Terima kasih atas perhatian rekan-rekan sekalian. Selamat sore, dan sampai jumpa di event selanjutnya," tutup Kaivan, membuat tepuk tangan terdengar riuh memenuhi ruangan.

Ketika panitia inti PENSI yang hari ini resmi selesai menjalankan tugas itu berdiri dan menunduk untuk memberikan salam, seluruh peserta rapat ikut berdiri. Baris pertama keluar lebih dulu untuk memberikan ucapan selamat pada para panitia di depan sana.

Yang kulihat, Kalil, Gista, juga Kalina mulai menerima beberapa jabatan tangan. Walaupun aku yang berada di balik lembar-lembar laporan pertanggungjawaban itu, tapi Kalina baru saja berhasil mempresentasikan dan menguasainya dengan begitu baik. Jadi, dia berhak mendapatkan ucapan selamat.

Di saat yang lain sudah mulai bubar untuk menuju ke depan, aku dan keempat temanku masih berada di sekitaran kursi yang kami duduki selama rapat, menunggu beberapa orang keluar agar tidak terjadi antrean panjang seperti hendak menyalami pasangan pengantin di acara pesta pernikahan.

Chiasa mengulurkan tangan pada udara kosong di depannya, lalu berucap. "Selamat ya, Kalina. Presentasi lo keren banget, siapa dulu dong yang bikin laporannya?" Lalu tersenyum sinis. "Boleh nggak sih ngomong gitu?" tanyanya seraya menatapku.

Hakim dan Sungkara hanya tertawa.

Davi menyahuti. "Keren banget kan temen gue? Bisa bikin lo dipuji banyak orang?" Matanya mendelik-delik ke arah Kalina.

Aku masih menggeleng-geleng heran melihat kelakuan teman-temanku, tapi sebuah tarikan tangan dari arah belakang membuatku menoleh. Aku melihat Kaezar hendak melewatiku, bersama Janari dan Arjune.

Namun, Kaezar tanpa sungkan, tersenyum, di antara semua mata teman-temanku yang kini terarah pada jabatan tangannya. "Selamat ya, Je," ujarnya. "Makasih karena udah maksimal banget bikin laporannya."

Di saat semua orang memberikan ucapan selamat pada Kalina, dia menjadi satu-satunya dan yang pertama mengucapkan kalimat itu padaku.

Aku tersenyum. "Iya, sama-sama," jawabku, kikuk. "Tapi ngomong-ngomong printer-nya benerin deh. Kasihan tahu, ada orang yang susah-susah benerin printer dulu sebelum nge-print laporannya sampai selesai."

Kaezar terkekeh. "Udah disampein, udah mau diganti juga kata Pak Rozan. Biar Ibu negara nggak marah-marah mulu tiap mau nge-print laporan."

***

KAEZAR

Ruang auditorium sudah kosong, meninggalkan gue, Janari, Arjune, dan Favian yang baru saja keluar dan mengunci ruangan setelah selesai membereskan posisi kursi ke tempat semula. Kami tidak langsung pulang, tapi menuju ruang OSIS lebih dulu karena menyimpan tas di sana sebelum mengikuti rapat LPJ tadi.

Dan ternyata, di ruang OSIS masih ada Kalil dan beberapa panitia inti, termasuk Kalina. Mereka baru saja selesai membereskan berkas di loker belakang.

"Kae, gue absen ke Absis hari ini, ya?" ujar Favian setelah menyampirkan satu tali tas punggungnya. "Ada tugas kelompok. Mau ngerjain di rumah temen."

Gue hanya mengangguk. "Banyak banget tugas lo, ya?" sindir gue.

Dan Favian hanya tertawa. "Lho, tugas gue memang banyak. Jadi orang ketiga di antara dua orang yang lagi mabuk-mabuknya pacaran, misalnya." Favian memegang dadanya. "Ya Allah, apa jangan-jangan gue ini setan?"

Gue hanya menatapnya, sama sekali tidak memberikan respons atas sindirannya.

"Jangan kasih gue apa-apa lagi. Oke? Jangan sogok gue. Gue nggak mau terjerat kasus gratifikasi karena menerima suap dan disidang sama Papa."

"Jangan macam-macam." Gue menatapnya sengit.

Dan Favian hanya membalasnya dengan mengangkat dua bahu. "Ketemu di rumah, Brow," ujarnya sebelum melangkah pergi.

Gue masih berdiri di depan meja, menyalakan layar ponsel dan menemukan sebuah pesan dari Jena. Dia baru membalas pesan yang gue kirim sebelum rapat LPJ dimulai.

🌱💚
Aku pulang sama Chiasa, Kae.

Soalnya dijemput Om Chandra, jadi nggak enak kalau nggak ikut.

Alkaezar Pilar
Iya.

Hati-hati.

🌱💚
Marah? :(

Alkaezar Pilar
Lho?

Nggak.

🌱💚
Habis.

Iya.

Hati-hati.

Gitu doang.

Dingin banget.

Alkaezar Pilar
Iya.

🔥🔥🔥

🌱💚
Nggak lucu.

Alkaezar Pilar
Katanya tadi dingin.

🌱💚
Ih!

Sisa senyum masih terasa di bibir gue saat Kalina tiba-tiba menghampiri. Cewek itu berdiri di depan gue dengan dua tangan yang memegang tali tas punggung. "Hai, Na," sapa gue setelah memasukkan ponsel ke saku celana dan mulai meraih tas yang tergeletak di atas meja.

"Hai," balasnya. "Makasih ya, kata Gista lo bantuin Jena ngerjain laporan juga ya hari itu?" tanyanya. Dia mengangkat alis saat gue balas menatapnya. "Gue udah bilang makasih juga kok sama Jena."

Gue mengangguk. "Tapi lain kali, jangan gini lagi, ya."

"Maksudnya?"

"Ngerjain Jena."

Kalina terlihat sedikit terkejut dengan ucapan gue, tapi segera menyamarkannya dengan senyum.

"Gue tahu, lo sengaja, kan?" Kepala gue meneleng, menatapnya.

Dan Kalina malah tersenyum semakin lebar. "Yah, jadi lo sadar, ya?"

Gue balas tersenyum tipis, lalu menganguk-angguk kecil.

"Kayaknya lo nggak punya hak deh, buat nyuruh gue ... nggak ngelakuin apa-apa ke Jena. Lo nggak berhak ikut campur," ujarnya. "Karena ... lo tahu kan, kenapa gue kesal sama dia? Kenapa gue nggak bisa buat nggak marah setelah apa yang dia lakuin ke gue?"

"Gue tahu. Itu hak lo," balas gue. "Hak lo. Kalau lo masih kesal sama Jena, masih marah sama dia. Tapi ..." Gue menjeda kalimat agar Kalina mendengarkan ucapan gue baik-baik. "Gue punya hak untuk ngelindungi Jena dari segala hal yang ganggu dia."

"Karena?" tanya Kalina.

"Karena, jena cewek gue. Oke? Dia cewek gue sekarang."

***

Motor gue baru saja memasuki carport dan terparkir di samping mobil Papa yang sudah lebih dulu berada di sana. Selain mobil Papa, ada motor Favian juga sudah terparkir di sisi lain.

Gue mengernyit, pasalnya, Favian bilang dia akan mengerjakan tugas di rumah temannya dan akan pulang larut. Memang gue nggak langsung pulang tadi, ada jadwal bimbingan belajar di Absis sampai pukul enam sore, tapi gue nggak menyangka Favian akan pulang secepat ini.

"Nah, tuh datang juga." Favian yang tengah duduk di sofa ruang tengah bersama Papa segera menunjuk ke arah gue. Wajahnya kelihatan gerah sekaligus lega.

Gue melangkah perlahan, menghampiri Papa dan mencium punggung tangannya. Saat mendongak, gue melihat Papa masih menatap gue dengan tatapan yang tidak seperti biasanya. Nggak nyantai banget, Bos.

"Papa telepon kamu dari tadi."

"Lagi di Absis." Gue merogoh saku celena dan menemukan empat panggilan tak terjawab. Jadi, karena alasan ini Favian pulang lebih cepat? Papa pasti meneleponnya juga.

"Duduk kamu." Papa menggedikkan dagu ke arah Favian, menyuruh gue bergabung untuk duduk bersamanya.

Gue menurut. Walaupun masih bingung. Karena biasanya, Papa akan menyuruh gue untuk mandi, ganti pakaian, dan bertanya, 'Udah makan belum?' Ketika gue menjawab belum, beliau akan memesankan makanan.

Sekarang nggak. Sekarang berbeda. Gue tahu ada yang salah.

Setelah menatap gue selama beberapa saat, Papa mendengkus. Menggeleng pelan, lalu melepaskan kacamata untuk mengurut keningnya dengan raut lelah.

Gue melirik Favian. "Kenapa, sih?" gumam gue.

Favian menatap gue, tapi satu tangannya bergerak menggorok leher.

"Apaan, si?" Gue makin bingung.

"Alkaezar." Ucapan Papa membuat gue menoleh cepat. Karena pemanggilan dengan nama lengkap itu seperti kode bahwa gue sekarang sedang berada dalam masalah, telah melakukan kesalahan besar, mengecewakan Papa, atau ... entah.

Setelah berpikir selama beberapa saat, gue tidak menemukan petunjuk apa pun. Keadaan gue di sekolah, di Absis, semuanya baik-baik saja. Apa yang salah?

"Jangan kamu pikir, selama ini kamu hidup sendiri di rumah, kamu bisa melakukan apa pun," ujarnya dengan suara tegas. "Jangan kamu pikir, selama ini, kamu lepas dari perhatian Papa."

Gue masih diam, masih mencoba mendengarkan.

"CCTV di mana-mana, Kaezar."

Gue masih diam.

"Dan kamu pikir Papa tidak pernah memantau kamu dari kamera yang ada di berbagai sudut rumah ini?"

Gue baru saja menarik napas, isi kepala yang sejak tadi mencari jawaban, seperti mulai bisa meraba arah perbincangan ini.

"Kaezar, kamu nggak bisa begini. Kamu nggak bisa melakukan semua hal sesuka hati kamu." Ucapan Papa masih berputar di luar inti. "Papa nggak pernah melarang kamu pacaran. Tapi—" Papa kembali melakukannya, melepas kacamata dan mengurut kening. "Kamu ...."

Gue hanya menghela napas panjang.

"Jangan kecewakan Papa, Kaezar."

"Aku nggak pernah dengan sengaja berusaha mengecewakan Papa."

"Apa?" Papa kembali mengenakan kacamatanya. "Lalu, anak perempuan yang kamu bawa ke sini, yang Papa lihat di rekaman CCTV dan—" Tangan Papa menunjuk wajah gue, lalu turun setelah menghela napas panjang. "Kamu apakan anak perempuan orang?"

Oke. Papa melihatnya. Jelas sekarang. Gue yakin dengan akar masalahnya.

"Kamu nih, kamu masih SMA. Ingat? Ada banyak hal yang perlu kamu jalani di depan sana. Papa nggak mau dunia kamu berhenti di titik ini karena kesalahan yang—"

"Aku bisa membatasi sikap, Pa. Aku masih waras. Aku masih—"

Telunjuk Papa kembali mengacung, penuh peringatan. "Dan kamu pikir, itu bukan masalah? Semua yang kamu lakukan itu bukan masalah?"

Favian berdeham pelan. "Ada aku kok, Pa, di sini. Setiap Jena ke sini, aku past ... ada."

"Oh, namanya Jena?" Papa mengernyit, seperti berusaha mengingat-ingat. "Papa tahu, kamu ada di sini. Saat Kaezar dan—siapa?"

"Jena," jawab Favian.

"Ya, saat Kaezar dan Jena ...." Papa menghela napas, tidak sanggup menjelaskan lebih jauh apa yang gue dan Jena lakukan. "Kamu ada, Papa tahu. Kamu bahkan tahu apa yang Kaezar dan pacarnya itu—"

"Jena," potong gue.

"Iya, Jena. Kamu tahu apa yang Kaezar dan Jena lakukan di pantri, kamu turun dari tangga, tapi habis itu naik lagi. Kamu kenapa?" Kali ini, Papa memelototi Favian.

"Lho .... Ya, Papa pikir aku harus ngapain?" gumam Favian, malah kedengaran bingung.

"Disuap berapa kamu sama Kaezar?"

"Pa ...." Gue mencoba menjelaskan.

"Tuh, kan, Kae. Ketahuan." Favian malah memperumit segalanya.

"Nah, ketebak, kan? Kamu perdaya adik kamu, Kaezar?"

"Nggak gitu maksudnya, Pa." Favian seperti ingin membela gue, tapi malah bingung sendiri.

"Favian, saat itu kamu telepon Papa harusnya! Biar Papa panggil RT, RW, dan semua warga sekalian. Biar Kaezar sama pacarnya—"

"Jena, Pa," potong Favian.

"IYA, JENA!" Papa mulai terlihat frustrasi. "Biar mereka berdua dinikah paksa sama warga. Sekalian Papa bawa ke KUA."

Favian malah bertepuk tangan kecil. "Yeee .... Malah seneng kan lu?" tanyanya pada gue.

Papa memejamkan mata, menyangga kening dengan satu tangan. "Jangan main-main, Kaezar." Papa menatap gue lagi. "Papa nggak pernah mengajarkan kamu jadi laki-laki yang suka mainin perempuan."

"Aku nggak pernah ada niat mainin Jena," ujar gue.

Papa menatap gue, terlihat tidak percaya.

"Aku serius. Aku nggak pernah ada niat nyakitin dia."

Favian kembali bertepuk tangan, membuat gue berdecak dan menangkap tangannya agar diam. Ribet banget dia dari tadi.

"Kamu nggak ngerti bahwa apa yang kamu rasain ini masih ... semu." Papa meyakinkan gue. "Kaezar, nggak ada kata serius dari seorang anak SMA yang benar-benar serius tentang cinta. Kamu tuh nggak tahu apa-apa." Papa mencondongkan tubuhnya. "Di depan sana, nggak ada yang tahu kamu akan suka perempuan lain, dan meninggalkan pacar kamu ini setelah apa yang kamu lakukan. Bagus begitu?" Papa menggeleng. "Nggak, Kae. Anak laki-laki itu nggak diciptakan untuk merusak perempuan."

Hening. Gue tidak berusaha membela diri. Bicara saat ini nggak ada gunanya, malah memperpanjang masalah.

"Dengar Papa?" tanya Papa.

Gue mengangguk, begitu juga dengan Favian.

"Berapa kali dia datang ke sini? Jena. Berapa kali Jena datang ke sini?"

"Dua kali," jawab gue. "Yang pertama cuma jenguk. Yang kedua ..., aku yang ajak, karena kehujanan."

Papa melongokkan wajah ke belakang. "Papa belum cek rekaman Jena datang kedua kalinya."

"Nggak usah," larang gue. Gue berdeham, menormalkan kembali suara yang agak panik tadi. "Aku cuma kasih Jena jaket, cuma ... nunggu hujan reda."

"Kae, itu tadi bukan kode minta mobil, kan?" Favian menyengir saat gue menatapnya. "Biar ... nggak kehujanan kalau jalan."

Papa menatap gue.

"Nggak, Pa," elak gue.

Papa masih tampak berpikir, sejak tadi, seperti ada hal yang berusaha diingatnya.

"Kenapa, Pa?" tanya Favian. Mungkin lebih jelasnya, Apa lagi yang mau dibicarain, Pa? Kalau nggak ada, aku mau ke kamar.

"Jena." Papa bergumam. "Kok, Papa kayak nggak asing sama namanya."

"Kita pernah bahas dia sebelumnya memang." Favian menjelaskan dengan cepat.

"Sebelumnya?" Papa mengernyit.

Gue dan Favian sama-sama mengangguk. Bedanya, gue mengangguk dengan ragu dan Favian sebaliknya, semangat banget dia.

"Oh, ya?" Papa mengernyit. "Kapan?"

"Itu. Yang waktu ... mau ke Blackbeans." Gue mencoba mengingatkan.

"Jena itu anak yang punya Blackbeans itu lho, Pa," tambah Favian.

"Oh—hah?" Dan setelah itu, Papa melotot. "APA?!"

***



















Alkaezar Pilar
Je.

Jena.

Jenaya.

Halo ....

Je?

Sayang ....

🌱💚
Kamu ... kenapa ..., deh ...?

Alkaezar Pilar
Aku mau ngomong.

🌱💚
Hah?

Ngomong apa?

Tiba-tiba gini.

Kaget aku.

Alkaezar Pilar
Nggak ada apa-apa.

Mau ngomong aja.

Kamu lagi apa?

🌱💚
Nggak lagi apa-apa.

Di kamar doang.

Alkaezar Pilar
Udah malem.

Tapi ....

Nggak jadi.

Besok aja.

🌱💚
Aku belum tidurrr.

Alkaezar Pilar
Ya udah. Sekarang istirahat aja.

🌱💚
Belum mauuu.

Alkaezar Pilar
ASTAGFIRULLAH.

JANGAN DEKET-DEKET FOTONYA.

***





Kae, sehat? Wkwkwk











Komen 'next' yang banyak untuk part selanjutnya cobaaa xD












Ya, benar. Saat ini kita sudah memasuki wilayah berkonflik.

Mau konflik ringan apa berat? Wkwkwk.

Penasaran selanjutnya bakal gimana? Nunggu pertempuran kedua bapack-bapack berkonflik ini nggak? Wkwkwk.

Untuk kamu yang saat ini sedang bersedih. Semoga masalah yang kamu hadapi segera mereda. Dan kekecewaan yang kamu dapatkan segera berbalas kebaikan.

Bahagia selalu
Citra ❤️

Continue Reading

You'll Also Like

2.2M 233K 28
Follow dulu dong biar jadi cees:v PART MASIH LENGKAP *** "Saya bisa loh banting bapak sekarang juga." "Saya juga bisa loh pecat kamu sekarang juga." ...
42.7K 2.4K 43
[Sedang Revisi] _____________________________ Di sini kita belajar jika mencintai tak mesti memiliki. "Dik ..." "Cha ..." "Mau sampe kapan?" "Jangan...
918K 67.5K 31
ace, bocah imut yang kehadirannya disembunyikan oleh kedua orangtuanya hingga keluarga besarnya pun tidak mengetahui bahwa mereka memiliki cucu, adik...
690K 63.1K 54
Kepergianmu banyak mengajarkan hal baru bagiku, cara menghargai, dan betapa berharganya kamu dalam hidupku. Note: siapkan tissue, mojok, dan siap-si...