Pak Linggar

By rammdinn

1.7M 141K 1.5K

[TAMAT] cerita ini santai minim konflik untuk penghilang penat:) *** Rheta Amanita L, mahasiswa semester tiga... More

00
01. pagi yang buruk
02. pak dosen idola?
03. kecelakaan
04. diperiksa pak dokter
05. modal pdkt
06. temu kangen
07. masalah baru
08. malaikat tanpa sayap
09. phone
10. no more excuses
11. happiness
12. kembali ngampus
13. mall
14. poor Arumi
15. cat cafe
16. mba Riri
17. akhir (tak) bahagia
18. nasi goreng
19. kebodohan yang haqiqi
20. hey siapa dia
21. Bisma sialan
22. tanpa judul
23. sugar baby
24. dapat(kan) ijin papah
25. malam berbintang
27. aku yang salah
28. best vren
29. andai aku bisa
30. video call
31. pak Linggar sakit
32. agresif
33. spesial undangan
34. cemburu tanda cinta
35. birthday party
36. tembok transparan
37. jodoh orang
38. semakin rumit
39. hancur
40. perjanjian tanpa sadar
41. chill dren
42. titik terang bukan
43. pecah
44. doi ngambek
45. ditelpon Mamah
46. di waktu yang singkat ini
47. kita kembali
48. hanya mimpi
49. perundingan meja makan
50. the end
51. hari yang cerah
52. sisi buruk pak Linggar
53. hadiah indah
54. katanya mau pergi
55. pesan terakhir
the last
extra part
extra part lagi
extra part dulu
extra part terus
yuk yuk extra part nih
extra part lagi astogel
mabok extra part:")

26. kembang api

22.2K 2.2K 38
By rammdinn

udh brp hari aku ga up?🙂

happy reading !!

***

RHETA POV

"Anjengg sohib gue datengg jugaa! Apa kabar broo?? Liat, gue udah kawin coyy! Kapan lo nyusul? Biar besok kita bisa honeymoon bareng! Haha. Pasti seru, tuh!"

Aku tersenyum geli melihat interaksi pak Linggar dengan temannya ini.

Mas Dewa(?) Hem. Ya teman pak Linggar yang punya acara itu, keliatan heboh banget. Sementara pak Linggar cuma lempeng doang.

Asli ngakak liatnya.

"Ck. Percuma ngomong sama patung. Ga guna."

Aku menahan tawa. Istrinya mas Dewa malah udah terkekeh.

"Selamat ya mas, mba. Semoga langgeng sampai maut memisahkan," kataku saat menyalami mereka.

"Terimakasih...?"

"Rheta, mba."

"Ah Rheta, terimakasih ya udah sudi datang ke acara kami. Semoga kamu cepet nyusul sama Linggar."

Aku hanya terkekeh saja menanggapi ucapan mba Berlin barusan.

"Ini beneran cewek lo Nggar? Sialan. Bening banget aswu! Dapet di man--awsh! Sakit Yang!"

"Mulutnya sopan dikit bisa ga sih?" cecar mba Berlin tiba-tiba. "Kasian itu Rhetanya nanti risih!"

"Eh gapapa mba, sama aku mah santai," ralatku cepat-cepat.

Aku tak enak hati. Takut entar ada perselisihan diantara mereka. Kan kasian mas Dewa, malem pertama masa tidurnya di sofa. Huu.

"Maaf ya Rheta. Mulut Dewa emang lamis banget. Aku aja pusing ngadepinnya."

"Yang...." rengek mas Dewa manja.

"Jijik," sahut pak Linggar ketus.

Spontan aku tertawa melihat itu. Ngakak. Mereka udah pada tua tapi tetep aja pada kaya bocah. Haha.

"Sialan cewek lo bahagia banget liat gue ternistakan, Nggar."

"Ehehe sorri Mas. Ngakakin banget abisan," aku sekedar bergumam di akhir kalimat. Lalu menyengir kuda.

"Gue cabut dulu."

"Eh mau kemana lo?!"

"Ayo Rheta."

Pak Linggar menarikku menjauh dari mba Berlin dan mas Dewa. Ihh padahal aku masih mau ngobrol sama mereka.

Dia mengabaikan mas Dewa yang misuh-misuh di belakang, meminta kami untuk kembali.

Aku segera melambaikan tangan ke mereka tanda pamit.

"Kita mau kemana sih pak??"

"Cari baju buat tidur."

"Hah? Kita nginep di kapal ini?" tanyaku terkejut. Aku kira nanti tengah malem kapal ini bakalan menepi.

"Besok siang baru kita pulang."

Huh. Aku menghela nafas gusar. Tidak, aku bukannya tidak suka. Di sini justru seru dan meriah sekali acaranya. Semakin malem, semakin mengglegar acaranya.

Tapi aku cuma takut kalo Alya atau terutama Arumi, mencariku tiba-tiba. Kan gawat.

"Kita cari di toko ini dulu ya," ajak pak Linggar memasuki sebuah toko baju bermerek yang ada di kapal ini.

Gileeee baru nyadar ternyata ga cuma ada kolam renang dan bar aja. Toko-toko pakaian, perhiasan, bahkan cafe ada semua lengkap di sini.

Ini kapal atau kota terpencil anjim.

Aku memutari seisi toko. Pak Linggar buntutin aku di belakang.

Tak perlu lama-lama sekedar nyari baju untuk tidur, aku pun menunjukan atasan dan bawahan ke pak Linggar.

"Pak saya mau baju ini."

Pak Linggar bergeming menatap baju dan celana yang aku bawa.

"Kenapa pak?"

Dia tiba-tiba menggaruk pangkal hidungnya lalu bertanya, "Kamu yakin mau pakai itu?"

Aku mengangguk yakin. Tentu saja.

"Kita nanti tidurnya sekamar, kamu yakin?"

"Apa?! Ki-kita bakal sekamar?"

Pak Linggar kembali menggaruk pangkal hidungnya. Aku yakin itu bukan karna gatel! Pasti pak Linggar kikuk sekarang.

Aku jadi ikutan kikuk. Rada gamang juga. Ingin menolak satu kamar karna sadar diri, pak Linggar tetep dosenku. Tapi di sisi lain pasti kamar sesuai jatah undangan.

Lah gue? Nerima undangan mas Dewa dan mba Berlin aja kagak!

"Engg... Yaudah entar saya tidur di atap kapal aja pak--"

"Ga usah aneh-aneh Rheta," sela pak Linggar dengan raut tak sukanya.

Aku meringis. "Terus mau gimana? Daripada saya nyemplung ke laut? Mending tidur di atas kapal lah!"

"Kamu tetap sekamar sama saya."

"Tapinya..."

"Saya tidak keberatan."

"Tapi saya yang sungkan!" sewotku langsung. Sangking tak abis pikir dengan orang yang satu ini.

Aku percaya dia ga bakal jahat sama aku, tapi kan tetep aja ya... Gila namanya kalo aku sekamar sama dosen sendiri. Mending kalo diantara kita ada status spesial. Kaya misal pacar gitu.

Ish. Aku jadi merutuk dalam hati.

"Saat ini kita bukan di kampus. Saya bukan dosen kamu. Jadi kamu ga perlu sungkan oke?" kata pak Linggar berusaha menyakinkanku.

Aku pun menghela napas, pasrah. Ogah juga sih kalo harus tidur di atap kapal, dingin cong! Mana ini lagi berlayar di laut lagi.

"Okedeh pak!" seruku tanpa sungkan. Sesuai katanya tadi. Hem.

"Terus saya harus cari baju tidur yang lain dong pak?"

"Terserah kamu. Tapi apa ga kedinginan kamu pake baju begitu?"

Aku cepat-cepat menggeleng. "Engga. Saya di rumah biasa kaya gini."

"Yasudah beli kalo kamu merasa nyaman."

Sontak aku tersenyum cerah. "Bapak yang bayarin kan?" candaku yang justru dibalasya serius.

"Semua keperluan kamu di sini saya yang tanggung."

"Seriusan pak?!" jiwa matreku mulai keluar.

Pak Linggar tersenyum geli lalu menepuk puncak kepalaku dua kali.

"Saya selalu serius sama kamu," jawabnya.

Manteppppp. Jalan-jalan sama om-om tajir, gini nih. Nikmat Tuhan mana lagi yang engkau dustakan Rhetaaa.

Anjeyy.

***

Di akhir sesi belanja, ternyata aku ga cuma dibeliin baju untuk tidur doang. Tapi juga baju untuk pulang besok, daleman-daleman segala, sama sneakers pengganti heels yang sekarang aku pakai.

Mantappp.

Mantappp.

Terimakasih banyk Tuhann...

Aku ga berhenti-berhentinya tersenyum senang. Berjalan sambil terus meluk lengan pak Linggar yang sibuk bawa paper bag belanjaan kita.

Sarap. Udah kaya sugar baby beneran gue.

Eh njing engga!

Yang bener udah kaya istrinya pak Linggar lah... Dinafkahin baju.

Eakk.

"Pak saya kok kebelet pipis ya?" aduku mendongak ke arahnya. Barusan kita ngelewatin toilet. Makanya aku jadi pengen pipis.

Pak Linggar menunduk lalu menjawab, "yaudah ke toilet dulu. Ayo saya antar."

"Ih ngapain pake dianter! Saya bisa sendiri atuh. Bapak tunggu di situ aja ya?" tunjukku pada cafe yang pengunjungnya cuma beberapa orang saja.

Pak Linggar nampak ragu. "Beneran?"

"Iya beneran bapak Linggarrr."

"Ck. Saya sebenernya risih denger kamu panggil pak-pak terus. Berasa tua banget saya dimata kamu," dumelnya membuatku tergelak.

"Terus maunya dipanggil apa?"

"Sayang boleh."

"Dih ngareppppp," ledekku. Muka pak Linggar yang awalnya tengil jadi masam.

"Udah ah saya kebelet ini pak, malah diajak bercanda mulu. Saya tinggal dulu ya."

"Hm."

"Cieee ngambekk... Bodo amat juga sih. Haha!"

Aku segera melarikan dari hadapan pak Linggar. Barusan kurang ajar banget. Haha. Tapi gapapa pak Linggar kan dosen super baik dan santuy yang pernah aku kenal.

Selesai menuntaskan desakan alam tadi, aku berkaca dulu. Menatapi wajahku yang dipoles makeup soft-glam. Rambutku yang dari awal digerai sekarang dijempitnya pake jedai.

Bodo amat, pak Linggar udah ngajak ke kamar ini.

Bazeng. Geliin banget kalimatnya.

Ahaha.

Aku beranjak dari toilet untuk menghampiri my price. Kesian dia kerjaannya nunggu aku mulu.

Tapi waktu aku mau berbelok keluar, tiba-tiba ada seseorang yang menghadang Sontak aku mendongak. Ternyata Bisma.

Ck. Males gue ngomong sama anjing yang sukanya menggonggong.

Aku bergeser, hendak melangkah lagi tapi dia ikutan bergeser. Dan terus begitu sampe aku berhenti, menatapnya jengkel.

"Mau lo apa sih?!"

Bisma malah meraih tanganku. Aku berusaha menepis tapi kekuatan dia jauh lebih kuat.

Aku liat kini di telapak tanganku yang terbuka sudah ada kunci. Pasti ini salah satu kunci kamar yang ada.

"Pake. Jangan sekamar sama om-om itu."

Aku mendelik ke arahnya tak suka.

"Ga perlu," tolakku.

Tapi kunci yang aku kembalikan, tidak dia terima. Di kekeuh ingin aku mengambilnya. Sementara aku najis banget nerima pemberian dia.

"Terima Rheta," desak Bisma semakin buat aku ga suka. Aku pun melempar kunci itu asal, entah ngilang ke mana.

"Gue bilang ga perlu. Punya telinga kan lo!"

Bisma nampak menggeram. Tapi aku tidak peduli. Aku melenggang pergi. Meninggalkan Bisma yang terpaku di tempat.

Baru beberapa langkah maju, wujud pak Linggar nampak di sebrang sana.

"Ayo pak," ajakku menariknya menjauh.

Aku tau tatapan pak Linggar mengandung sesuatu pada Bisma. Tapi karena pembawaannya yang tenang, hal itu sulit ditebak.

Sampai kami di kamar yang telah ditentukan, aku langsung menghampas diri ke atas kasur. Lelah.

Bukan cuma karena perjalanan dan acaranya. Tapi terlalu banyak drama hari ini. Contohnya Bisma dan siapa tadi? Kinan? Ah ya itu. Aku punya firasat buruk tentangnya.

"Rheta coba sini."

Pak Linggar berdiri di balkon kamar yang pemandangannya langsung ke laut lepas dan langit malam. Aku buru-buru ikut bergabung.

"Huah... Seger banget pak." Aku memejamkan mata saat angin-angin itu menyerbuku.

"Kamu ga takut masuk angin pake baju begini Rheta?"

Aku tersenyum geli. Rasa gondokku seketika lenyap saat berada di sisi pak Linggar.

"Engga. Saya biasa pake ginian pak. Tapi gimana? Saya cantik kan malem ini? Bapak ga malu kan bawa saya?" tanyaku menggodanya.

Pak Linggar membuang muka sambil terkekeh geli. Telinganya memerah teman-teman! Haha.

Gemoi pisann. Jadi pengen cium deh. Eh?!

Haha.

SHUTT

DUAR!

"Anjing! Pakk apaan ituuu?!"

Aku yang kelewat kaget segera menutup telinga dan mataku rapat-rapat. Barusan suara naon?!! Tapi pak Linggar malah meledek.

"Ada bom Rheta, ayo kita sembunyi!"

"Ish yang bener pak! Itu apaann ihhh," rengekku bener-bener kacau. Suara ledakan itu semakin menjadi-jadi saja. Sialan. Aku menutup diri rapat-rapat.

"Pak jangan ninggalin saya ih!"

Suara Pak Linggar kembali terdengar. Aku menghela napas lega.

"Sini. Buka kedua mata kamu pelan-pelan."

Aku menggeleng. "Gamauuuu!"

"Percaya sama saya. Kamu menyesal nanti kalau tidak melihatnya."

Mendadak aku diam. Mengintip sedikit ke arahnya dengan satu mata. Muka pak Linggar nampak ngeyakinin bangett.

Alhasil pelan-pelan aku membuka kedua mataku.

SHUTTT

DUAR!

DUAR!

KRETEK KRETEK KRETEK

"Bagus kan?"

Aku tidak menjawab. Masih terperangah dengan pemandangan di depanku ini. Daebak... Cantik banget ini cuyyyy.

Langit malam yang semakin pekat kini dihiasi oleh terangnya letusan kembang api.

Edunnnn....

"Bagus pak!"

"Apa saya bilang."

Aku sibuk menyaksikan pesta kembang api itu. Bener-bener bukan acara resepsi biasa. Pasti mas Dewa ngeluarin banyak uang. Kata pak Linggar sih mas Dewa anak tunggal dan cucu pertama di keluarganya.

Pastes ajaa.

"Kamu suka?"

Aku mengangguk. "Sukalah pak. Cantik gitu masa ga suka."

"Tadi takut..."

"Gausah ngeledek deh."

Pak Linggar terkekeh. Tiba-tiba dia merapatkan tubuhnya di sampingku.

"Suka banget mepet-mepet saya sih pak. Heran," komentarku tapi tak mendorongnya menjauh.

Justru aku suka. Dari jarak sedekat ini aku bisa cium banyak-banyak wangi parfum bercampur keringatnya pak Linggar. Bikin betah.

Aneh banget yak. Masa doyan sama wangi keringet. Haha.

"Kamu sebenernya benar-benar tidak peka atau hanya menghindari saya Rheta?"

"Maksud bapak?"

"Selama ini kamu tidak sadar?"

Aku pun berputar, menghadapnya.

"Ngomong jangan setengah-setengah pak. Jangan bikin saya bingung."

Pak Linggar mendesahkan napasnya yang terdengar berat. Aku masih memperhatikan dia. Bahkan mengabaikan petasan-petasan cantik tadi.

"Saya sayang sama kamu Rheta. Saya rela ngelakuin apa aja untuk kamu. Dari awal kita bertemu, dalam hati saya sudah bertekad. Saya serius, ingin berkomitmen sama kamu."

"Kamu mau?"

Aku terbelakak. Ini ceritanya pak Linggar lagi nembak aku???

"Pak jangan bercanda," kekehku garing karna jujur aku ga siap sakit hati kalo semua ini cuma prank.

Dia menggeleng. Tatapannya dalam sekali. Aku melihat kesungguhan dan ketulusan di sana.

"Saya tidak ingin kehilangan kamu lagi."

Aku mengigit bibir bawahku. Menahan mataku yang kini memanas.

Andai aku bisa langsung bilang, ya saya mau! Tapi tidak bisaaa. Untuk saat ini belum bisa.

"Pak..." ucapanku menggantung.

Dia menyelipkan anak rambutku yang jatuh, kebelakang telinga. Aku mati-matian menahan segala gejolak yang ada.

"Tapi saya udah nyaman sama kita yang gini. Sa-saya takut kalau hubungan ini semakin jauh, akan berubah. Pasti akan banyak cobaan di depan sana."

"Saya juga ga mau kehilangan bapak."

Tes.

Sial. Air mataku ga bisa diajak kerja sama. Aku mulai menangis tanpa suara di depannya.

Dia pun membawa aku masuk ke dalam pelukannya. Dia mengusap lembut punggungku yang terekspos.

"Jadi saya ditolak?" Terselip nada guyonan tapi aku tau dia kecewa sama aku.

"Maaf. Hiks."

Aku mengeratkan pelukanku. Masih banyak hal yang harus aku pertimbangkan. Aku ga boleh gegabah. Salah satunya jujur sama Arumi dan Alya.

"Masuk yuk, anginnya semakin dingin. Saya takut kamu sakit."

Aku mengendurkan pelukanku tanpa melepasnya. Aku mendongak. Menatapi wajah pak Linggar dari bawah sini.

"Saya sedih," aduku tanpa menutupi apapun. Aku selalu terbuka padanya.

Pak Linggar tersenyum lembut. Tangan kanannya menangkup pipiku dan ibu jarinya mulai mengusap bekas air mata yang di sana.

"Sama saya juga. Tapi saya yakin Tuhan punya rencana yang indah untuk kita."

Aku semakin cemberut. Dia malah terkekeh.

"Udah dong sedihnya. Tau gitu saya urung mengungkap perasaan sama kamu."

"Kita masih bisa kaya biasanya kan pak? Bapak tetep jadi pacar pura-pura saya di depan Bisma. Terus bapak bisa hubungin saya kapan aja."

Pak Linggar mengangguk. "Iya. Ga akan ada yang berubah di antara kita. Kita sama-sama terus ya?"

Kini gantian aku yang mengangguk. Aku kembali memeluknya. Ga akan aku lepasin pak Linggar untuk siapa pun. Cuma aku. Cuma aku yang boleh sama dia.

-------------

Pak Linggar be like: harus, aku tetap tersenyum... Padahal hatiku terluka 🎶

😭😭

.

2000 plus words anjeee 🙉🙉

jempol mana jempoll. haha

semoga kalian suka yaa 🌬✨

see you !!










Continue Reading

You'll Also Like

4.4K 2.1K 40
Silahkan mampir mampir dicerita ini. Yakin deh gak bakal nyesel,endingnya?wuush jangan ditanya seru buanget.Jangan lupa tinggalin jejak ya♡ DON'T COP...
8.7K 723 36
*Mohon kesediaannya buat follow ya, biar makin semangat update cerita. Thank you ☺️* Repotnya ketika santri jatuh cinta. Tak bisa melakukan apapun se...
1M 147K 49
Awalnya Cherry tidak berniat demikian. Tapi akhirnya, dia melakukannya. Menjebak Darren Alfa Angkasa, yang semula hanya Cherry niat untuk menolong sa...
659K 34.1K 50
"Dia..." "Dia suamiku." Setelah mengucapkan itu Kiara segera tertunduk. "Apa?!" "Kita pulang sekarang." Tanpa kelembutan sama sekali, Azka menarik...