The Differences Between Us (C...

By Ayas_Ayuningtias

461K 48.9K 1.2K

[Pemenang Wattys 2023] [Pilihan Editor Wattpad pada Juni 2022] Waktu Cassandra dapat tawaran untuk membimbing... More

Cuap-cuap
Satu - Kesempatan dalam Kesempitan
Dua - Air Tenang Menghanyutkan
Tiga - Badai Pasti Berlalu?
Empat - Mulutmu, Harimaumu
Lima - Bagai Kena Buah Malaka
Enam - Bagai Orang Kena Miang
Tujuh - Bumi Berputar, Zaman Beredar
Delapan - Bermain Air Basah, Bermain Api Lecur
Sembilan - Nasi Telah Jadi Bubur
Sepuluh - Diam Seribu Bahasa
Sebelas - Seperti Pikat Kehilangan Mata
Tiga Belas - Ada Nasi Di Balik Kerak
Empat Belas - Air Dalam Terenang
Lima Belas - Belum Mengajun Sudah Tertarung
Enam Belas - Angin Bersiru, Ombak Bersabung
Tujuh Belas - Duduk Sama Rendah, Tegak (berdiri) Sama Tinggi
Delapan Belas - Rambut Sama Hitam, Hati Masing-masing
Sembilan Belas - Akal Tak Sekali Tiba
Dua Puluh - Cencaru Makan Pedang
Dua Puluh Satu - Terkalang Di Mata, Terasa Di Hati
Dua Puluh Dua - Pandang Jauh Dilayangkan, Pandang Dekat Ditukikkan
Dua Puluh Tiga - Malang Tak Boleh Ditolak, Mujur Tak Bisa Diraih
Dua Puluh Empat - Pikir Itu Pelita Hati
Dua Puluh Lima - Kaki Naik Kepala Turun
Dua Puluh Enam - Elok Lenggang Di Tempat Datar
Dua Puluh Tujuh - Seperti Cacing Kepanasan
Dua Puluh Delapan - Angguk Bukan, Geleng Ia
Dua Puluh Sembilan - Tak Boleh Bertemu Roma
Tiga Puluh - Usang Dibarui, Lapuk Dikajangi
Tiga Puluh Satu - Ikhtiar Menjalani Untung Menyudahi

Dua Belas - Berat Sama Dipikul, Ringan Sama Dijinjing

9.9K 1.4K 39
By Ayas_Ayuningtias

"Mungkin berdamai tidak akan buruk-buruk banget." Pembimbing Anak Magang yang memutuskan untuk hidup damai.

Akhir pekan bersama para anak magang ternyata cukup menyenangkan. Mereka lebih santai dan sepertinya aku mulai terbiasa dengan gaya senda gurau mereka. Kami menghabiskan akhir pekan untuk karaoke, makan gelato dan minum kopi setelah makan siang.

"Bulan depan, aku akan tugas ke Surabaya. Kalian harus jaga supaya kejadian kemarin-kemarin nggak terulang, ya? Aku nggak mau dengar laporan kalau kalian berisik, melempar-lempar barang atau salah menghancurkan dokumen."

DJ tertawa lepas sementara Mamet cemberut. Dia harus mengulang pencatatan logbook hasil laporan karena belum sempat memindahkannya ke soft file. Ai menceramahinya soal itu. Gadis itu berpendapat bahwa semua yang manual haruslah diubah ke digital.

"Apa?" tanyaku pada Ai yang melihat terang-terangan.

"Kakak kalau di luar jam kerja, jadi menyebut diri sendiri "aku" tapi kalau di kantor jadi resmi lagi."

Aku tertawa mendengar ucapan Ai. Sebenarnya suasana yang santai ini membuatku lebih nyaman. Sesuatu hal yang kupikir tidak akan pernah kurasakan sebagai pembimbing anak magang.

"Paling kalau di kantor, berubah lagi," cibir Mamet.

"Oh, ya! Kalau di kantor, aku harus galak. Soalnya kalian amit-amit bandelnya. Coba, siapa yang waktu itu bawa headset buat gaming terus berisik pas istirahat karena main mobile legends? Kalau kelakuan kalian lebih bar-bar pas aku nggak ada, pantesan divisi lain ngeluh." Aku menghirup green tea latte perlahan, menyesapi rasa pahit khasnya. Ketiganya pura-pura tidak mendengar. Mamet bahkan langsung menghirup latte panas sampai dia mengibas-ibas tangan karena lidahnya nyaris terbakar. Tingkah mereka membuatku tertawa.

"Omong-omong, ke Surabaya itu dalam rangka kencan terselubung, Kak? Ini Kak Baron juga info kalau dia ditugasin ke Surabaya," ucap Mamet beberapa menit kemudian, berusaha mengalihkan pembicaraan. Anak itu baru saja memegang ponsel dan sepertinya sedang berkirim pesan dengan Baron.

Sementara anak-anak lain terbelalak menatap Mamet, aku mencoba mengingat-ingat. Pak Anwar memang berkata akan meminta salah satu anak tim strategi untuk ikut ke Surabaya tapi belum tahu siapa yang akan diturunkan.

"Kamu tahu dari mana? Pak Anwar belum bilang apa-apa." Kuputuskan untuk bicara dengan Pak Anwar untuk mencoba mengganti Baron. Hubungan kami yang aneh itu bisa berpengaruh pada kinerja di lapangan. Lagipula gosip kami juga sangat mengganggu.

"Barusan ngobrol. Kak Baron ajakin mabar, tapi aku info kalau kita lagi nongkrong di sini." Mamet meletakkan ponselnya sedangkan aku mencerna ucapan laki-laki cerewet.

"Mabar itu main bareng, Kak. Aku tahu apa yang mau Kakak tanyain," sahut Ai. Kemudian gadis itu mencondongkan tubuhnya ke arahku.

"Jadi, gimana hubungan Kakak sama Kak Baron?" tanya Ai lagi. Bola mata cokelatnya membesar, mengingatkanku dengan warna bola mata Baron yang serupa hershey.

"Hubungan kerja, Ai. Aku, kan udah bilang berkali-kali."

Ketiga anak magang di hadapanku terlihat kecewa. Mereka tidak jadi dapat bahan gosip paling dulu. Aku melirik jam tangan dan memutuskan untuk pulang meskipun malam belum terlalu larut. Sejak papa tiada, aku jadi terbiasa memberlakukan jam malam untuk diri sendiri. Pukul sepuluh untuk hari jumat dan sabtu, sementara di hari lain pukul delapan aku sudah di rumah kecuali saat lembur.

"Kak, masih jam sembilan ini. Tanggung kan satu jam lagi," kata Ai.

"Nggak bisa, Ai. Mamaku sendiri di rumah."

Mama tidak terbiasa menggunakan jasa asisten rumah tangga yang menginap. Dulu sebelum mama pensiun dini, kami menggunakan jasa asisten rumah tangga pulang hari. Ketika mama pensiun, semua urusan domestik dipegang oleh mama.

"Tapi kalau kamu mau, temenin aku, yuk. Aku mau beli donat buat mama." Aku mengajak Ai yang menyanggupi dengan segera. Kedua anak laki-laki mengekori kami.

Salah satu makanan kesukaan mama itu donat red velvet-nya Union. Jadi kalau aku ada kesempatan ke mall, pasti kubelikan donat untuk mama. Melihatku membeli donat, Ai jadi ikut-ikutan beli untuk orang tuanya.

Seperti dugaan, kedatanganku disambut binar gembira oleh mama. Apalagi kalau bukan karena donat. Sebenarnya mama tidak masalah aku pulang jam berapa tapi bayangan mama sendirian di rumah yang sepi itu sangat menggangguku.

"Cass, tadi Baron telepon Mama. Katanya dia nyoba telepon kamu nggak diangkat," ucap Mama sambil melahap satu donat.

"Kenapa dia nelepon aku?" tanyaku heran. Apalagi dia sampai menghubungi Mama. Sejak kapan dia punya nomor ponsel Mama.

"Mau ngomongin urusan kerja katanya. Heran, malam minggu gini kok ngomongin kerjaan? Harusnya, kan, ngomongin pacaran, kek. Apa, kek," Mama geleng-geleng, aku lebih heran lagi saat melihat berapa banyak missed call yang masuk ke ponselku.

Kukecup pipi mama yang mulai berkeriput lalu bergegas membersihkan diri. Setengah jam kemudian, aku baru mengirimkan pesan untuk Baron.

[Cassandra]: Kenapa?

[Baron]: Ya ampun, galak banget, deh. Gue mau ngomongin masalah tugas ke Surabaya.

[Cassandra]: Gue capek, Ron. Senin ajalah, ya?

[Baron]: Besok gue ke rumah lo, deh.

[Cassandra]: Nggak usah. Senin aja. Omong-omong, kok lo bisa tahu nomor ponsel nyokap gue?

Sepuluh menit ke depan, pesanku tidak juga dibalas. Ini Baron lama-lama makin aneh, deh. Dia suka seenaknya sendiri. Kutaruh ponsel di nakas lalu bersiap tidur. Lebih baik tidur daripada memikirkan anak aneh itu. Lagipula paling dia omong kosong aja mau datang ke rumahku besok.

Hari minggu yang sedikit mendung membuatku malas turun dari tempat tidur. Kak Ola sudah datang sepertinya karena di dapur terdengar suara orang mengobrol. Aku menguap lalu berguling untuk bangun dari tempat tidur dan langsung turun menuju dapur.

"Nah, tuh dia baru bangun. Kebiasaan Cassandra gitu tuh kalau hari minggu. Tidur lagi terus bangun siang." Suara mama terdengar ceria, tapi yang membuatku ternganga adalah ada Baron duduk dengan santai di kursi island dapur mama.

"Ngapain lo di sini?" tanyaku cepat.

"Kan, tadi malam gue udah bilang kalau mau ke sini," ujar laki-laki itu santai sambil menghirup teh buatan Kak Ola.

"Udah sana mandi dulu, Dek. Malu, ih, ada tamu belum mandi." Kak Ola mendorongku ke arah tangga.

"Dia bukan tamu, Kak. Penyusup!" seruku pelan karena kesal. Kak Ola hanya mengacak rambutku sambil tertawa.

Satu jam kemudian aku baru turun lagi. Itu juga setelah pintu kamar mandi digedor sama Kak Ola yang mengira aku ketiduran. Aku hanya berlama-lama karena malas bertemu dengan Baron.

"Ada apa, sih? Eh, sebelumnya gue mau nanya. Kok lo bisa tahu nomor ponsel Mama?" tanyaku saat menemui Baron setelah mandi. Laki-laki itu lagi duduk di beranda samping rumah, menikmati semilir angin.

"Waktu gue nganter lo pertama kali, kan lo masuk duluan. Terus nyokap lo minta nomor ponsel gue. Jadilah kita kadang-kadang ngobrol," jelas Baron. Cukup masuk akal sih penjelasannya, tapi buat apa mereka mengobrol?

"Nyokap lo asyik loh, Cass. Selera humornya oke. Gue ada rencana buat ngenalin ke nyokap gue."

Alisku naik karena heran dengan perkataan Baron. Ini jadi kaya acara saling berkenalan dengan besan alias keluarga menantu.

"Hah? Buat apa?"

"Nyokap gue perawat dan baru saja pensiun. Sepertinya nyokap sedikit kesepian. Adik-adik kembar gue kan udah besar, jadi mereka lebih sering ada di luar rumah buat main sama teman-temannya ketimbang di rumah. Sementara gue kan harus kerja."

Oh, tidak! Terlalu banyak informasi! Ini membuatku jadi merasa memiliki hubungan yang dekat dengan Baron. Tidak, tidak! Hal ini harus segera disudahi.

"Oke, kita lihat saja nanti. Terus lo mau ngomongin apa sama gue?" tanyaku langsung.

Baron masih menatapku tajam sebelum akhirnya menghela napas. Mungkin dia merasa aku terlalu judes.

"Gue mau ngomong masalah Surabaya. Gue tahu lo pasti bakal langsung ngomong sama Pak Anwar buat nolak penugasan itu kalau tahu gue ikut. Makanya gue datang hari ini. Daripada besok kita berantem di kantor, kan?" Raut wajah Baron terlihat sedikit waspada.

Aku mengangguk, masih belum paham ke mana arah pembicaraan kami.

"Gue nggak mau lo batalin penugasan dan gue juga nggak mau ngebatalin penugasan. Gue mau ngusulin kita gencatan senjata. Lebih dari sebelumnya." Baron buru-buru melanjutkan ketika aku mengernyitkan dahi di kata-kata gencatan senjata.

Belakangan ini, aku dan Baron memang jarang bertengkar di kantor. Kami sepakat untuk gencatan senjata karena akan terlihat tidak profesional jika kami bertengkar di kantor. Salah-salah nanti Pak Anwar akan memberikan posisi asisten manajer ke orang lain kalau kami terus menerus bertengkar.

"Maksud lo apa?" tanyaku akhirnya. Baron terlihat lega karena aku menanyakan hal tersebut.

"Di Surabaya itu akan ada dua event. Seminar dan workshop. Gimana kalau kita buktikan kemampuan kita masing-masing. Kita bersaing secara sehat. Deal?"

Aku tahu kalau akan ada dua event, itu sebabnya persiapan yang dilakukan tidak main-main. Dua hari belakangan, aku sering mengobrol dengan tim marketing dan promo untuk persiapan awal. Omongan Baron cukup masuk akal. Lagipula tugas di Surabaya hanya satu minggu.

"Oke! Deal!" Kusambut uluran tangan Baron. Menurutku tidak akan ada banyak hal yang terjadi dalam satu minggu. Benar, kan?

***

Catatan peribahasa:

Berat Sama Dipikul, Ringan Sama Dijinjing = senang dan susah dialami bersama.

***

Yuhuuu ... Bab 12 nih. Sementara ini aku masih kejar-kejaran sama naskah karenaaaa ... outline-ku berubah. 😆😆

Doakan ya lancar. Jadi aku bisa terus update teratur.

Love, 😘😘
Ayas

Continue Reading

You'll Also Like

1.5M 150K 39
Bianca Dhanakitri tidak banyak bermimpi untuk menemukan pasangan yang sempurna di umurnya yang ketiga puluh empat. Apalagi menjadi pasangan seorang p...
200K 11.3K 30
"Daripada sama dia, aku lebih baik jadi janda seumur hidup!" Sepenggal kalimat penolakan mutlak yang Rena katakan. Tapi, bagaimana bisa satu bulan ke...
29.3K 5.8K 30
「"Mawar peach artinya ketulusan, ranunculus berarti menarik, dan lisianthus putih bermakna seumur hidup. Jadi, kira-kira siapa Ibu Lis ini?"」 Seorang...
CRUSH By Asty K

Teen Fiction

210K 19.9K 24
[Complete] Buat seorang Sandy, menyukai Fandy adalah rutinitasnya. Ya, Sandy terbiasa menyukai updatean statusnya, postingan instagramnya, sampai mom...