Ketos Galak

By cappuc_cino

3.5M 392K 131K

[TSDP #1] Siapa sih yang nggak mau jadi pengurus inti OSIS? Satu sekolah bakal kenal, "Oh, dia Shahia Jenaya... More

Ketos Galak : Tokoh
Ketos Galak : Prolog
Ketos Galak : 1 | Kabar Putus
Ketos Galak : 2 | Tokoh Antagonis
Ketos Galak : 3 | Tertangkap Basah
Ketos Galak : 4 | Kak Aru
Ketos Galak : 5 | Rapat OSIS
Ketos Galak : 6 | Pillow Talk
Ketos Galak : 7 | Interogasi Dadakan
Ketos Galak : 8 | Roti dan Air Mineral
Ketos Galak : 9 | Tikungan
Ketos Galak : 10 | Magenta
Ketos Galak : 11 | Hiya Hiya Hiya
Ketos Galak : 12 | Pernah ingat?
Ketos Galak : 13 | Ujung Sepatu?
Ketos Galak : 14 | Hapus!
Ketos Galak : 15 | Yang Pertama
Ketos Galak : 16 | Zoom
Ketos Galak : 17 | Curi Balik
Ketos Galak : 18 | Istirahat Dulu
Ketos Galak : 19 | Apa pun
Ketos Galak : 21 | Sebentar
Ketos Galak : 22 | Bilang
Ketos Galak : 23 | Kok, bisa?
Ketos Galak : 24 | Chat Doang
Ketos Galak : 25 | You Deleted this Message
Ketos Galak : 26 | Jadi gimana?
Ketos Galak : 27 | Lebih Dekat
Ketos Galak : 28 | Caption
Ketos Galak : 29 | Nggak gitu!
Ketos Galak : 30 | Pernah Muda
Ketos Galak : 31 | Jari Kelingking
Ketos Galak : 32 | Eh?
Ketos Galak : 33 | Make-up
Ketos Galak : 34 | CCTV
Ketos Galak : 35 | Keputusan
Ketos Galak : 36 | Pertemuan Masa Lalu
Ketos Galak : 37 | Kebetulan
Ketos Galak : 38 | Di Balik Dinding
Ketos Galak : 39 | Perjalanan Pulang
Ketos Galak : 40 | Jadi gini, ya?
Ketos Galak : 41 | Takut Kehilangan
Ketos Galak : 43 | Terakhir
Ketos Galak : 44 | Pengakuan yang Terlambat
Ketos Galak : Vote Cover
Ketos Galak : PO Novel
Ketos Galak : 46 | Pertunjukan Sirkus
Ketos Galak : 47 | Belahan Bumi Lain
Ketos Galak : Epilog & Extra Part
Ketos Galak : Special Part
Ketos Galak : Special Part 2
Ketos Galak : Special Part 3
Ketos Galak : Special Part 4
Ketos Galak : Special Part 5
Ketos galak : Special Part 6
Ketos Galak : Special Part 7
Ketos Galak : Special Part 8 & 9
Ketos Galak : Special Part 10

Ketos Galak : 20 | Percakapan Singkat

65.6K 9.5K 3.4K
By cappuc_cino

Ketos Galak | [Percakapan Singkat]

Haiii. Terima kasih untuk vote dan komen di part kemarin. :") Apalah dayaku yang gampang meleleh melihat semua ini. Terima kasih atas kebaikannya untuk selalu vote dan komen yaaa.

Sekarang .... Mari kita nyalakan apinyaaa ayok ayok 🔥🔥🔥

Kasih tiga emot dulu sebelum baca dong xD

Tolong tandai typo yaaa. Selamat membaca.
***

JENA
Aku pikir, semakin dekat dengan hari H, tugasku akan semakin ringan, tapi nyatanya, aku tetap menjadi partner—alias pesuruh—Kalina yang mesti bersedia setiap saat. Selama satu minggu ini, aku melakukan hal yang sama setiap harinya, dan berulang. Itu menjenuhkan sekali.

Belajar di sekolah, melakukan apa pun di ruang OSIS, membantu menyiapkan hal-hal yang dibutuhkan oleh hampir setiap sekbid, sampai tiba-tiba sudah sore dan pulang ke rumah selalu tidak kurang dari pukul tujuh malam.

Besok adalah hari H, perayaan pentas seni yang digadang-gadang akan menyedot banyak tamu ke sekolah itu akan dilaksanakan. Bahkan menurut Hakim dan Sungkara, tiket masuk yang kami jual sudah habis sejak kemarin, dan beberapa sekolah masih ada yang tidak kebagian.

"Terus gimana?" tanyaku. Aku baru saja meraih kursi dan duduk di samping Chiasa, memperhatikan duo Hakim-Sungkara yang tengah sibuk membereskan dokumen-dokumen publikasi yang tersisa setelah menyebarkannya beberapa pekan kemarin.

"Ya, nggak bisa nambah tiket, kuota udah penuh," jawab Sungkara.

Hakim menyetujui. "Bakal overload tuh tribun lapangan basket kalau kita terus nambah tiket, bisa-bisa gue kena gampar Kae."

"Kaezar lagi," gumamku sambil tertawa. "Padahal majikan lo sekarang Kalil, ya!"

"Majikan gue memang Kalil, tapi majikan dari segala majikan tetap Kaezar." Hakim mengembuskan napas kencang setelah selesai membereskan dokumen-dokumennya di meja. "Ini kita masih di sini aja, kayaknga nginap deh," ujarnya seraya duduk di kursi dengan mata terpejam, kentara sekali kelelahan di wajahnya.

"Lo berdua belum balik?" tanya Sungkara pada aku dan Chiasa.

Sekarang sudah pukul delapan malam, tapi kegiatan di sekolah masih sibuk dengan puluhan orang panitia, ditambah lagi panitia yang membantu dari sekolah lain yang juga sudah datang sejak siang. Kesibukan di ruang OSIS kini berpindah ke tribun lapangan basket, seksi dekorasi yang dibantu oleh hampir semua panitia pensi sudah menyulap tempat itu menjadi panggung PENSI.

"Gue udah pengin balik." Chiasa menoleh padaku. "Izin sama Kaezar sana, Je."

Aku mengernyit, tidak terima. "Kenapa kalau urusan sama Kaezar harus selalu gue?" protesku, tapi aku tetap bangkit dari kursi dan melangkah ke luar ruangan.

Aku membelah koridor yang mungkin ketika malam biasanya gelap dan sepi. Namun, malam ini, semua lampu di sepanjang koridor menyala, terlihat beberapa panitia berlalu lalang untuk mengangkut ini dan itu.

Sesampainya di lapangan basket, aku bisa melihat Kaezar tengah berdiri di tengah lapangan di antara puluhan panitia lain. Dia menyampirkan kemeja putih di pundak dan hanya mengenakan selembar kaus putih di tubuhnya. Wajahnya tampak lelah, rambutnya yang berkeringat disugarnya sebelum kembali berbicara pada Kalil, Arjune, dan Janari. Tangannya menunjuk ke arah ring basket, sesekali menatap ketiga temannya yang disambut dengan anggukkan.

Ada layar proyektor besar dengan cahaya samar yang menyorot ke sana. Tulisan 'Corak Bhineka dalam Adiwangsa' terpampang di sana, tema acara untuk PENSI yang kami adakan.

Sebenarnya, aku bisa saja pulang tanpa perlu memberi tahu Kaezar, toh dia tidak akan menyadarinya. Namun, aku tidak ingin ketar-ketir ketika sampai di rumah dan mendapatkan pesan semacam, Lo udah balik, Je? Kok, nggak bilang gue dulu?

Dia sering melakukan hal itu beberapa hari terakhir ini ketika aku pulang malam. Rugi sekali sepertinya kalau aku pulang tanpa sepengetahuannya, dia jadi nggak bisa menyuruhku ini dan itu dulu.

Langkahku terayun menuruni tangga tribun. Saat berpapasan dengan beberapa siswa cowok dengan seragam berbeda, aku tersenyum. Mereka pasti panitia yang membantu kami dari sekolah lain.

Dan, "Jena?"

Suara itu membuatku menoleh, menatap cowok berseragam putih polet hijau di ujung lengannya, seragam yang kukenali adalah seragam SMA Adiyaksa. "Eh? Ezra, ya?" tanyaku. Lalu, setelah itu aku melihat Adam—Ketua OSIS SMA Adiyaksa—berjalan melewatiku. "Bantuin juga?" tanyaku.

Ezra mengangguk. "Iya."

"Kok, kemarin-kemarin gue nggak lihat lo?" Maksudnya, setiap minggu kami ada rapat seluruh panitia, termasuk panitia dari sekolah lain, dan aku tidak pernah melihat Ezra.

"Baru hari ini sih, ke sini," jawabnya. "Salah satu panitia dari sekolah ada yang sakit, terus gue gantiin."

"Oh, gitu." Aku mengangguk-angguk. "Terus sekarang, mau balik?"

"Nggak. Mau istirahat dulu di ruang OSIS."

"Oh. Oke."

"Lo sekolah di sini ternyata?" tanyanya. "Baru ketemu lagi ya, kita?" Ezra adalah teman SMP-ku, kami memang tidak pernah berada di kelas yang sama saat itu, tapi kenal dekat saat berada di kepengurusan OSIS.

"Iya. Nggak pernah ketemu lagi setelah lulus SMP, deh."

"Lo masih suka ketemu sama anak-anak lain?"

Aku menggeleng. "Nggak, sih. Cuma kalau Chiasa, gue ketemu tiap hari!"

Ezra tertawa. "Lho, sekolah di sini juga Chia?"

"Iya. Satu kelas pula, eneg banget nggak tuh?" Ucapanku disambut oleh tawanya.

"Nggak terpisahkan banget, ya?" Ezra mengeluarkan ponselnya dari saku celana. "Bagi nomor lo boleh nggak? Siapa tahu nanti bisa kumpul lagi sama yang lain."

Aku baru saja mau menyetujui. Namun, tatapanku tiba-tiba menangkap sosok Kaezar yang tengah berdiri di ujung tangga paling bawah, dengan kemeja yang masih tersampir di pundak, menatap horor ke arahku seraya melipat lengan di dada. "Zra?"

"Ya?"

"Lo mau ke ruang OSIS, kan?"

"Iya."

"Di ruang OSIS ada Chiasa, lo minta aja ke Chiasa, ya? Biar sekalian minta nomor dia juga."

Ezra mengangguk-angguk. "Oh, oke. Gue ke ruang OSIS aja kalau gitu. Sampai ketemu ya, Je!" Dia tersenyum sebelum melangkah naik, meninggalkanku.

Kaezar masih berdiri di ujung tangga itu, dengan tatapan seperti anak panah yang siap menyasar kepalaku.

Aku berjalan pelan, menuruni anak tangga satu per satu, menghampirinya. Kini, aku berhenti di dua tangga yang lebih tinggi dari tempat Kaezar berdiri, membuat tinggi tubuh tubuhku sejajar dengannya. "Kae ...."

"Tadi siapa?" Tatapan Kaezar terarah ke gerbang keluar, membuatku ikut-ikutan menoleh ke arah sana.

"Hah?" Aku menatapnya lagi.

Dagu Kaezar menggedik ke arah gerbang. "Itu, yang dari SMA Adiyaksa."

"Oh, Ezra?"

"Lo kenal?" tanyanya. Kini tatapannya sepenuhnya terarah padaku.

"Teman SMP, dulu. Baru ketemu lagi di sini."

"Oh." Sekarang wajahnya terlihat tidak peduli, tapi dia lanjut bertanya. "Kayak akrab banget?"

"Biasa ... aja, deh." Aku mengernyit. Akrab gimana, sih? Cuma ngobrol doang, nggak sampai ketawa-ketawa sampai tepuk-tepukkan yang heboh gitu.

"Kae, nih." Mugni, yang dalam acara ini mengemban tugas sebagai seksi acara, datang membawa selembar kertas. "Alternatif solusinya kayak gini. Coba lo periksa, nanti kasih tahu gue, ya?"

"Oke." Kaezar menarik kemeja dari pundaknya, mengulurkannya padaku, yang membuatku ototmatis menerima kemeja itu dan memegangnya.

Aku ini asistennya banget, ya?

Cowok itu duduk di kursi kedua tribun, menyisakan satu kursi di paling sisi, seolah-olah menyisakannya untukku.

Aku duduk di sisinya, menaruh kemejanya di pangkuan, sedangkan Mugni sudah kembali ke tengah lapangan. Saat Kaezar tengah menunduk, membaca kertas di tangannya, aku kembali mengingat tujuanku datang ke sini. Untuk minta izin pulang. Bukan untuk membahas Ezra, ya!

"Kae ...."

"Biasanya tuh, kebanyakan cowok kalau ketemu teman lamanya suka minta nomor HP, atau kontak gitu," ujar Kaezar. Dia senang sekali memperpanjang masalah kalau melihatku didekati cowok dari sekolah lain, ya? "Terus ujung-ujungnya dia bakal nanya, 'Lo udah punya cowok belum?'"

Aku memutar bola mata, kesal. Baiklah, mari kita ladeni omong kosong Kaezar ini! "Kok, lo bisa tahu, sih?" ujarku antusias. Padahal ya, Ezra sama sekali tidak melakukan hal itu. Aku hanya senang saja membuat Kaezar sewot. "Jangan-jangan lo juga gitu ya, kalau ketemu teman lama cewek?"

Namun, Kaezar tidak membalas ucapanku. "Terus? Lo kasih?"

"Apanya?" Aku benar-benar tidak mengerti kenapa percakapan ini penting sekali untuknya.

"Nomor lo."

"Memang kenapa kalau gue kasih? Bagus, kan?" tanyaku seraya menepukkan tangan, sementara Kaezar hanya mendecih seraya tetap memperhatikan kertas di tangannnya. "Ezra kan, tahu kalau gue belum punya cowok. Ya, siapa tahu dia bisa kenalin gue ke salah satu teman di sekolahnya. Bener, nggak?"

Kaezar menatapku dengan kernyitan sinis. "Centil," gumamnya.

"Kok, centil? Usaha itu namanya."

"Usaha? Ternyata lo ngerti yang namanya usaha?" Kaezar hanya bergumam, tapi bisa kudengar. "Usaha gue nggak pernah lo lihat."

"Usaha apaan?" tanyaku.

Kaezar menatapku dengan tatapan tidak percaya, dan aku membalasnya dengan kernyitan di kening.

"Apa, sih?" gumamku, tidak mengerti. Karena Kaezar hanya berdecak dan tidak berkata apa-apa lagi, aku langsung bicara lagi, "Gue izin balik ya, Kae? Udah malam."

"Sama siapa?"

"Apa?"

"Baliknya. Sama siapa?" ulang Kaezar.

"Oh, paling—"

"Ezra?" sela Kaezar. Wajahnya minta banget aku celupin ke ember cat kayu yang ada di tengah lapangan basket, yang kini tengah dipakai oleh anak teater untuk mengecat properti.

"Lo tuh, kenapa sih senang banget berantem sama gue?"

"Tunggu sepuluh menit." Kaezar tidak menanggapi ucapanku. "Gue antar."

"Lo kan, sibuk. Terus, pasti banyak yang nyariin lo nanti kalau lo nggak ada."

"Nganterin lo doang. Nanti gue balik lagi ke sini."

Aku ingin membantah, tapi percakapan kami lagi-lagi terhenti karena Kalina tiba-tiba hadir di hadapan kami. Cewek itu berdiri di depan Kaezar seraya menyerahkan selembar kertas juga. "Ini fix-nya, Kae. Udah gue diskusiin sama Mugni juga."

Ucapan Kalina membuat Kaezar mendongak. Seraya meraih kertas dari tangan Kalina, Kaezar bergumam. "Kalau sakit nggak usah maksain, Na. Lo bisa balik."

HAH? GUE MAU BALIK LO TAHAN-TAHAN. KALINA AJA LO SURUH BALIKKK!

Rasanya aku ingin sekali mengguncang leher Kaezar sekarang, deh! Namun, ucapan Kaezar tanpa sadar membuatku mendongak, ikut melihat wajah Kalina. Dan benar, wajahnya terlihat pucat sekali, ada titik-titik keringat di sekitar keningnya yang ... membuatnya terlihat tidak baik-baik saja.

"Acara membatik bersama bakal tetap kita adain, tapi kayaknya bakal diundur, mungkin setelah jam makan siang." Kalina mengabaikan kekhawatiran Kaezar dan terus bicara. "Anak Seni Tari bakal nambahin penampilan Tari Saman. Terus ... Feast juga udah gue konfirmasi bakal aransemen lagu pakai tambahan angklung. Dan Parade kostum daerah bakal diiringi sama musik perkusi alat musik tradisional," jelasnya.

Kaezar mengangguk-angguk, terlihat takjub. Aku juga, sih. Aku kalau jadi Kaezar juga bakal setuju seandainya Kalina menggantikan posisiku setelah selesai PENSI nanti.

Namun, kok aku mendadak sedih ya, kalau ingat kesepakatan itu?

"Semuanya udah sesuai sama tema acaranya, kan? Sesuai dengan apa yang lo saranin." Kalina menunduk. Lalu tangannya memegang kening.

Aku khawatir melihat keadaannya, dan tampakmya Kaezar juga begitu.

"Na?" Kaezar menaruh kertas-kertas di tangannya ke kursi.

"Duh, bentar. Gue pusing," keluh Kalina dengan tubuh yang semakin membungkuk. Dan tidak lama setelah itu, tubuh Kalina ambruk di sisi lapangan basket.

Kaezar yang melihat itu langsung berjongkok. Satu tangannya meraih bagian belakang kepala Kalina, melindunginya dari dinginnya lantai lapangan. Wajah cowok itu terlihat panik saat tepukkan-tepukkan pelan tangannya di pipi Kalina tidak menghasilkan respons apa-apa.

Sampai akhirnya, lama-lama terjadi kerumunan di sana. "Bawa ke UKS aja," ujar Janari sembari ikut mengangkat tubuh Kalina.

"Je, ambil kertasnya, ya? Tolong simpan," ujar Kaezar.

Aku mengangguk, lupa pada kemeja Kaezar yang masih kupegang. Lalu, setelah itu aku menyaksikan Kaezar dan Janari membawa tubuh Kalina menaiki anak tangga tribun, keluar dari pintu gerbang lapangan basket. Orang-orang dengan wajah panik yang tadi berada di sekelilingku perlahan terurai, menyisakan aku yang masih berdiri di sana.

Sebelum pergi, aku meraih selembar kertas milik Kaezar yang tersimpan di kursi, sedangkan kertas satunya sudah jatuh ke lantai. Aku berjongkok, mengambil kertas itu, kertas yang tadi Kalina berikan pada Kaezar. Aku membacanya sekilas, daftar tulisan kalina yang diberi nomor dengan tinta hitam, lalu ada beberapa coretan tinta biru—yang seolah bertugas untuk merevisinya—yang langsung bisa kutebak adalah tulisan tangan Kaezar.

Tidak ada yang menarik dari catatan itu, sampai akhirnya aku membalik bagian belakang dan tampak percapakan singkat yang ... kupikir di luar dari pembahasan tentang PENSI.

Tinta Hitam : Ada roti sama Aqua di tas lo.

Tinta Biru : Oke. Thx.

***

Chiasa meminta Om Chandra menjemputnya ke sekolah, jadi aku bisa ikut pulang bersamanya. Aku diantarkan sampai rumah dengan aman walau sampai dua jam kemudian karena macet. Beberapa kali Papi menelepon, memastikan aku baik-baik saja dan pulang dengan selamat.

Aku selamat kok, hanya saja perasaanku yang tidak selamat dan berantakan.

Aku melewati ruang tengah, melewati Mami dan Gio yang tengah berdebat, entah tentang apa.

"Kak, masa Mami nggak percaya kalau aku—" Suara Gio terhenti karena aku segera menghadapkan telapak tangan padanya.

"Aku lagi kesal, nggak mau ngomong," ujarku. Aku meraih tangan Mami, menyalaminya sebelum melangkah menaiki anak tangga menuju kamarku.

"Papi bilang, kamu pulang sama Chiasa?" tanya Mami.

"Iya," jawabku sembari terus bergerak naik. Beruntung Papi belum pulang, masih sibuk di Blackbeans sehingga aku tidak perlu mendengar ceramah panjang yang akan diucapkannya berkali-kali di telepon tadi karena pulang terlalu larut. Jelas-jelas aku pulang bersama Chiasa, tapi itu masih belum cukup membuktikan bahwa aku ini nggak melakukan hal yang aneh-aneh.

Aku sampai di kamar, menutup pintu di belakangku dan melemparkan tas ke tempat tidur. Aku berdecak, kesal sekali mengingat bahwa kemeja Kaezar masih ada di dalam tasku. Belum lagi, kertas milik Kaezar yang dititipkannya padaku masih kubawa-bawa. Iya, aku membawa kertas berisi percakapan singkat yang manisnya bikin gula darahku mendadak naik itu.

Besok, dua benda itu harus kukembalikan. Padahal ya, aku memutuskan untuk tidak ingin lagi memiliki urusan dengannya. Aku marah. Nggak tahu kenapa pokoknya aku ingin marah.

Aku baru saja duduk di tepi tempat tidur, tengah membuka kaus kaki saat ponselku berdenting singkat, menampilkan satu notifikasi pesan masuk di Grup 'Empat Sehat Lima Ghibahin Kae'.

Tuh kan, tiba-tiba aku kesal kalau diingatkan tentang Kaezar. hal yang menyangkut Kaezar mendadak membawa pengaruh buruk untukku.

Empat Sehat Lima Ghibahin Kae

Hakim Hamami
Ada info penting banget, nih.

Asal kalian tahu, Kae masih di UKS. Nungguin Kalina dijemput bokapnya.

Chiasa Kaliana
Wah, penting sekali informasinya. Membuat gue ingin keliling kelurahan untuk memberi tahu semua orang tentang berita ini.

Janitra Sungkara
Nggak usah berlebihan. Di dalem UKS nggak cuma ada Kae yang nungguin, ada Janari juga.

Hakim Hamami
Janari nggak dihitung manusia.

Dia mah cuma patung McD.

Janitra Sungkara
Terus Arjune yang nungguin di luar apaan?

Eceng sawah?

Davi Renjani
Gue ngakak banget. Gue lupa apa makan itu apa kenapa sih soalnya begitu apa-apan gitu, ya? Kenapa nggak apa kayak gitu?

Janitra Sungkara
Vi ..., sawan lo, ya?

Hakim Hamami
Serius, serius.

Ini grup bisa nggak dibikin berfaedah.

Chiasa Kaliani
Faedah dari ghibahin orang memangnya apaan selain menumpuk dosaku yang sudah sebesar Gunung Krakatau ini?

Hakim Hamami
Ya ..., bikin taruhan. Kalina balikan nggak sama Kae?

Kan, berfaedah, tuh. Yang kalah traktir.

Davi Renjani
Itu mah, dosa yang segede Gunung Krakataunya jadi dipangkat tujuh.

Faedah dari mana?

Makin dosa iya.

Hakim Hamami
Ya udah, ganti aja jangan taruhan. Arisan.

Chiasa Kaliani
Menurut gue sih bakal balik lagi.

Kalina kayak masih ada usaha gitu nggak, sih?

Davi Renjani
Iya, sih. Kalau gue lihat-lihat, Kalina masih pen balik.

Padahal dia yang mutusin, ya. Labil bat Kalina.

Janitra Sungkara
Mungkin Kalina nyesel kali.

Hakim Hamami
Jadi menurut kalian, mereka bakal balik?

Lah, ini yang taruhan nggak balik siapa dong?

Shahiya hiya hiya Jenaya? Menurut lo balik nggak?

Shahiya Jenaya
BISA NGGAK, NGGAK USAH BAHAS-BAHAS SI ALKAEZAR CROCODILE PILAR ITU LAGI?

***


















Pengaruh Burukku
Je, udah balik?
Balik sama siapa?
Kok, nggak ngasih tahu gue?

***









Bukankah Jena perlu disadarkan? Wkwkwk.

Mari, tulis pendapat kamu. Apa yang mesti dilakukan Kaezar agar Jena peka?

Jangan lupa follow ig:
citra.novy
alkaezar_pilar
shahiya_Jenaya

Tetap bantu vote ya. Komen juga. Share juga boleeeh banget. ❤️
Terima kasih banyak untuk kamu yang sudah memberikan banyak dukungan di cerita ini.

Bahagia selalu
Citra❤️

Continue Reading

You'll Also Like

2.2M 233K 28
Follow dulu dong biar jadi cees:v PART MASIH LENGKAP *** "Saya bisa loh banting bapak sekarang juga." "Saya juga bisa loh pecat kamu sekarang juga." ...
238K 10.6K 32
"Jawab dengan jujur kenapa lo kayak gini." "Kak Dimas mau tau alasannya?"ucap Dara menarik napasnya dalam-dalam."Karna kak Syifa suka sama Kak Dimas...
398K 19.3K 62
"𝐆𝐮𝐞 𝐬𝐚𝐦𝐚 𝐂𝐡𝐞𝐥𝐬𝐞𝐚 𝐢𝐭𝐮 𝐜𝐮𝐦𝐚 𝐭𝐞𝐦𝐞𝐧, 𝐠𝐚𝐤 𝐥𝐞𝐛𝐢𝐡." -𝐀𝐫𝐯𝐢𝐧 𝐏𝐫𝐚𝐝𝐢𝐩𝐭𝐚𝐤𝐮𝐬𝐮𝐦𝐚 "𝐒𝐞𝐛𝐞𝐧𝐞𝐫𝐧𝐲𝐚 𝐬𝐚𝐥...
41K 4.4K 48
[C o m p l e t e] "Halo nama gue, Dimas. Gue divonis menderita ataxia di parkiran kampus sekitar enam bulan lalu." || another side story of another s...