OUR HEART

By ONY_Dream

485K 64.2K 36.8K

Note: lanjutan book "Our Love", jangan coba-coba baca kalau gk kuat :") takut nanti nyesel :"), tapi makasih... More

Chapter 1: Musim gugur
Chapter 2: Han Daegang
Chapter 3: Bertemu
Chapter 4: Na Jaemin
Chapter 5: Salju pertama
Chapter 6: keinginan
Chapter 7: permulaan
Chapter 8: pilihan
Chapter 9: Fakta
Chapter 10: Rahasia masa lalu
Chapter 11: Perayaan Akhir Tahun [1]
Chapter 12: Perayaan akhir tahun [2]
Chapter 13: Hadiah tahun baru
Chapter 14: Hadiah Tahun Baru [2]
Chapter 15: Menunggu
Chapter 16: Kilasan masa lalu
Chapter 17: Pembenaran
Chapter 19: Nana & Donghyuck
Chapter 20: Sidang [1] [Republish]
Chapter 21: Sidang [2]
Chapter 22: Sidang [3] [Republish]
Chapter 23: Sidang terakhir
Chapter 24: Musim Semi [Republish]
Chapter 25: Musim Semi [2]
Chapter 26: Musim semi [3] [Republish]
Chapter 27: Bagian yang hilang [New Chapter]
Chapter 28: Bagian yang Hilang [2]
Chapter 29: Lee Jeno [1]
Chapter 30 : Lee Jeno [2]
Chapter 31: Lee Jeno [3]
Chapter 32: 'dia'
Chapter 33: Akhirnya
Chapter 34: Kembali
Chapter 35: Luka lama
Chapter 36: Jaemin - Daegang [1]
Chapter 37: Jaemin - Daegang [2]
Chapter 38: Jaemin - Daegang [3]

Chapter 18 [Republish]

7.5K 1K 190
By ONY_Dream

Chapter yang hilang!
Kesamaan dengan Chapter yang hilang 90%. Hanya ada sedikit revisi.

Sebelum membaca, diingatkan kembali buat para readers, untuk tidak membawa perasaan kepada tokoh asli di Real Life. Terima kasih 🙏.

❄️❄️❄️

Renjun berjalan tak menentu sembari memainkan ponselnya sendiri. Ia berharap akan ada panggilan dari keluarga yang ada di china, namun nihil.

Renjun bahkan tidak mau makan dan tidak mau minum sedikitpun. Setelah paginya bergegas untuk ke bandara namun dihalangi oleh detektif yang mengikutinya. Ia belum boleh melakulan perjalanan ke luar jika kasus Na Jaemin belum selesai.

Dan itulah yang menyebabkan Renjun semakin tertekan hingga saat ini. Pria itu mengabaikan panggilan dari orang-orang sekitarnya.

Jeno menghelakan nafas melihat betapa gusarnya sang istri saat ini. Ia akan kembali membujuk Renjun namun ponsel Renjun berdering.

"Ya? Apa ini paman? Bagaimana kabar ibuku?" Renjun beralih menggunakan bahasa China. Jeno paham bahwa itu adalah keluarga Renjun yang tengah menelpon.

"Paman?!" Renjun merasa semakin tertekan ketika pamannya hanya diam tak bergeming meskipun telah mendengar betapa frsutasinya ia menunggu balasan panggilan ini.

"Aku lebih baik mati dari pada harus membiarkan anakku mencari uang dengan cara yang salah."

"Ibu? Apa ibu baik-baik saja?"

"Kau masih bertanya apa aku baik-baik saja setelah mengetahui semuanya? Bagaimana kau masih bisa menyebutku ibu ketika kau melakukan apa yang tidak pernah ku ajarkan?!!"

"Tolong dengarkan penjelasanku dulu.."

"Tidak ada yang harus dijelaskan lagi. Semua sudah sangat jelas."

Renjun bisa mendengar suara isak tangis disana. Suara isak tangis yang semakin jauh.

"Ibu? Ibu?! Tolong maafkan aku.. maafkan Renjun!"

"Renjun, ibumu menolak semua perawatannya lagi. Ketika dia tau tentang apa yang terjadi di korea saat ini, dia jatuh sakit. Ibumu bahkan menolak diperiksa atau memakan obat yang diberikan untuknya. Dia terus mengatakan bahwa ia layak mati karena hal ini. Ia menganggap bahwa dengan kepergiannya, itu bisa membayar kesalahan yang telah kau lakukan.."

"Paman! Tidak.. tolong katakan pada ibu! Ibu tidak perlu melakukan hal ini. Ini salahku.. aku melakukannya karena aku juga mencintai Jeno.. aku mencintai bossku sendiri.. tolong biarkan aku menjelaskan.." Dan panggilan langsung dimatikan secara sepihak. "Tolong biarkan aku menjelaskan.."

Dan suaranya terdengar begitu lirih ketika tidak ada sahutan apapun lagi. Renjun langsung merosot ke lantai sembari menangis. Jeno langsung mendekati Renjun dan menatapnya dengan cemas. Pria itu langsung memeluk istrinya dan berusaha menenangkannya.

❄️❄️❄️

Mark tengah duduk berhadapan dengan pria yang masih memiliki status sebagai pasangan hidupnya. Haechan tersenyum kecil memandang paras dingin yang ditunjukan oleh suaminya. Pria itu bahkan engga memandangnya sekalipun.

"Apa kau sudah makan? Kau sudah lama tidak pulang dan kembali ke rumah. Minhyuck mencarimu."

"Dimana Minhyuck?"

"Dia di rumah bersama bibi." Haechan tersenyum lembut. Ia menggenggam tangan Mark namun pria itu langsung menarik tangannya sendiri dengan kasar.

"Jangan menyentuhku. Apa kau sudah lupa dengan apa yang tangan itu lakukan 5 atau 6 tahun yang lalu? Beraninya kau membiarkan tangan itu menyentuh tubuhku."

Haechan tertohok bukan main dengan jawaban sarkas dari Mark.

"Kenapa kau harus bertindak sejauh ini? Hanya karena Na Jaemin kau memperlakukanku hingga seperti ini!" Haechan menatap Mark dengan nanar. Pria itu menitihkan air matanya meskipun Mark masih enggan untuk menatapnya.

"Aku sudah mengatakan padamu, ayo bercerai."

"Hiks.. Mark.. maafkan aku Mark.. kau tidak bisa meninggalkanku seperti ini. Aku mencintaimu Mark. Apa yang salah huh? Aku melakukannya karena aku takut kehilanganmu. Aku takut kau akan seperti Jeno.. bagaimana jika kau kembali pada Na Jaemin dan meninggalkanku." Haechan langsung bersimpuh di lantai tepat di depan Mark. Menjadi pusat perhatian orang-orang yang ada di cafe itu.

"Apa kau benar-benar mencintaiku Lee Haechan?".

"Ya! Aku mencintaimu Mark! Aku benar-benar mencintaimu! Apa yang harus ku buktikan agar kau percaya padaku? Akan ku lakukan apapun asalkan kau bisa kembali seperti dulu!"

Haechan memohon dihadapan Mark dengan histeris. Air matanya berjatuhan dengan deras dan Mark hanya tersenyum getir.

"Jika kau mencintaiku, mengapa kau tidak percaya padaku? Itu satu bukti yang menegaskan bahwa kau tidak mencintaiku Lee Haechan."

"Tidak Mark.. tidak.. aku mencintaimu.. aku bersumpah bahwa aku mencintaimu. Aku hanya takut jika Na Jaemin akan mengambilmu dariku."

Mark memilih mendongakan kepalanya untuk menahan air mata yang akan jatuh. Rasanya sungguh sesak ketika berbicara tentang kepercayaan. Meskipun awalnya perumpamaan tentang kepercayaan dan pembuktian cinta hanyalah asalan belaka, namun Mark sekarang sadar itu justru menjadi senjata tajam yang kembali menusuknya.

Lagi-lagi ia mengingat tentang Jaemin. Pria itu tak sanggup menahan tangisnya dan ia memilih menutup wajahnya dengan tangan.

Ia tersakiti dengan fakta bahwa Haechan dan cintanya, kini adalah hal yang harus diragukan.

Ia juga merasa bahwa dunia ini pun terasa tidak adil. Ketika Lee Jeno mendapatkan cinta dari seseorang dengan sepenuhnya tanpa syarat apapun. Na Jaemin dan cintanya, bukanlah hal yang bisa diragukan lagi. Dulu Jaemin mencintai Jeno tanpa sedikitpun meragukan kepercayaannya. Pria dengan marga Na itu terus memberikan kepercayaan pada sang suami. Pria itu terus membohongi dirinya sendiri dan tetap kukuh dan percaya pada pria yang telah menjadi suaminya saat itu. Meskipun faktanya tepat di depan mata dan kedua telinganya, Jeno secara jelas telah berpaling hati. Namun Jaemin masih tetap kukuh dan percaya bahwa Jenonya akan tetap kembali. Jaemin dan cinta nya yang tak pantas untuk diragukan.

"Kau benar-benar tidak mencintaiku Lee Haechan." mark terisak seketika dan merasa sangat sesak dengan hal tersebut. "Kau benar-benar tidak mencintaiku."

Haechan merasa hatinya terasa begitu sakit ketika Mark menangis di hadapannya. Menangis karenanya.

"Tidak Mark." Ia Berusaha menggenggam tangan yang kini bergetar. "Percaya padaku."

Namun Mark memilih beranjak dan pergi meninggalkan Haechan yang menangis frustasi karena ditinggalkan lagi dan lagi.

❄️❄️❄️

"Han Daegang!"

Renjun berulang kali menekan tombol bel dan itu menimbulkan keributan di ruang apartemen Daegang. Pria itu berjalan dengan santai menuju pintu dan melihat ke layar yang ada di dinding.

"Siapa?" Felix bertanya pada Daegang. Pria bersurai hitam legam itu hanya menoleh ke arahnya dengan santai.

"Renjun."

Tepat setelah itu Daegang membuka pintu dan keluar tanpa mengatakan apapun lagi. Minjae yang tengah menonton disamping Felix pun bertanya.

"Paman, siapa yang mencari paman Daegang semalam ini?"

"Tidak perlu dipikirkan Minjae-yaa. Itu teman kerja paman Daegang."

Minjae hanya diam setelah Felix menjawab. Tidak menggangguk ataupun menyahut, anak kecil itu beralih memandang televisi tanpa mengatakan apapun lagi.

"Apa yang kau lakukan selarut ini?" Daegang menghempaskan tangan Renjun setelah menarik paksa pria mungil itu menuju atap gedung apartemen. "Apa ini tentang ibumu atau tentang aku yang bermalam dengan suamimu?"

"HAN DAEGANG!" Renjun akan menampar Daegang, namun pria tinggi itu mencengkram tangan Renjun dengan kuat.

"Apa kau tidak takut? Bagaimana jika sesuatu terjadi padaku? Tentunya kau yang akan menjadi pelaku utama disini." Daegang tertawa dan memilih melepaskan cengkramannya pada tangan Renjun "Kemana suamimu? Apa kalian bertengkar? Ku harap kau suka dengan foto yang ku kirimkan padamu. Berterima kasihlah padaku untuk itu."

Renjun langsung mendorong Daegang ketika pria bersurai hitam legam itu tengah lengah. Tubuhnya jatuh dengan telak tersungkur menghantam lantai. Daegang langsung berguling ke samping ketika Renjun akan memukulnya dengan sesuatu. Pria itu bahkan langsung menarik kaki Renjun hingga ikut terjatuh. Daegan menyeret kaki dan menarik pakaian Renjun untuk mendorongnya tepat ke arah tumpukan kotak besar yang ada disana.

Renjun langsung melempar beberapa barang yang ada disana ke arah Daegang dan lagi-lagi ketika Daegang lengah karena sibuk menghindar, Renjun kembali mendorong pria bersurai hitam itu dan mencekik leher Daegang dengan sepasang netra yang merah dan berair. Pria manis itu tampak kacau dengan tubuh gemetar dan suara yang parau.

"Apa yang kau inginkan huh? Kenapa kau datang ke korea? Kenapa kau datang mengusik ketenangan dan kebahagiaanku?!"

Daegang berusaha menjaga kedua tangan Renjun agar tidak terlalu mencekik lehernya.

"Apa aku tidak boleh bahagia? Huh? Apa salahnya mencintai seseorang?!"

Daegang langsung menarik tubuh Renjun sekuat tenaga untuk membalikan posisi keduanya. Daegang merobek sedikit bagian bawah kemejanya dan mengikat tangan Renjun tepat di belakang punggung.

"Kau benar-benar menyebalkan." Suara nafas Daegang terdengar jauh lebih cepat. Ia melepaskan Renjun dengan mudahnya hingga pria bersurai abu-abu itu terjatuh ke lantai sembari meringis.

Daegang melepas jas yang ia kenakan dan mendudukan diri di salah satu kotak besar yang ada disana. Netranya memandang Renjun dengan lekat. Pria dengan surai abu itu tampaknya mulai putus asa sembari menangis histeris.

"Ibuku.. ibuku bahkan tidak mau menemuiku. Dia menolak semua perawatan dan hanya berdiam diri sampai akhirnya kembali sekarat! Betapa kejinya kau Han Daegang! Mengapa kau melakukan ini padaku?!"

Keadaan kedua pria itu nampak sama-sama jauh dari kata baik. Entah Daegang ataupun Renjun, rambut dan pakaian mereka benar-benar jauh dari kata rapi dan bersih. Luka dan lebam terlihat di beberapa sisi tubuh yang berbeda dari kedua orang tersebut.

"Kenapa ibumu tidak mau menemuimu?"

"Karena kau membeberkan semuanya! Karena kau mengatakan hal-hal yang akan menyakiti ibuku!"

Daegang tertawa. Melihat respons Renjun memang membuat darahnya mendidih tapi harus ia tahan sebaik mungkin.

"Apa yang ku katakan? Apa yang ku beritahukan pada ibumu?"

"Tentang apa yang terjadi sebelumnya di antara ku dan Jeno!"

"Lalu siapa yang menyuruhmu untuk membuat kesepakatan dengan Jeno di masa lalu tanpa sepengetahuan ibumu? Apa itu aku? Apa aku menyarankanmu untuk mengandung anak itu dan menjadi pasangan dari Lee Jeno, apa itu aku?"

Renjun mengepalkan tangannya. Sepasang matanya memandang Daegang dengan tajam. Lawan bicaranya itu bahkan meledek hanya melalui senyum dan tatapannya.

"Kau tidak akan mengerti bagaimana sulitnya perasaanku! Kau tidak akan paham karena kau adalah orang yang tidur di atas kain sutra sejak kecil! Apa yang diketahui oleh putra keluarga kaya sepertimu?!"

Daegang memandang Renjun dengan tatapan kasihan, namun kedua tangannya terkepal erat karena merasa kesal. Daegang merasa kasihan pada Renjun, seberapa usahapun pria itu berusaha terlihat kuat dan seolah bisa menangani dirinya namun tetap saja Renjun kalah telak dari Daegang yang telah terbiasa menghadapi hal seperti ini.

"Apa kau sedang mengajakku untuk berbicara tentang peliknya kehidupan?" Daegang berdiri dan memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana. Pria manis itu berjalan mengelilingi Renjun secara perlahan sembari memandang langit malam.

"Setiap orang tentunya pasti merasa bahwa ia tidak salah. Kebahagiaan yang ia dapatkan setelah rasa sakit itu adalah hal yang seharusnya.. bukankah begitu maksudmu?" Ia tetap berbicara sembari memandang germelap bintang di langit malam.

"Ayahmu yang pergi meninggalkan ibumu. Saat itu ibumu sedang sakit parah sembari memenuhi kehidupanmu. Kau memiliki impian menjadi orang sukses di masa depan. Namun kisah percintaanmu tak pernah berakhir bahagia, hingga kau bertemu dengan Jeno Lee. Kau menyukainya, tapi kabar lain muncul ketika kau mendengar bahwa orang yang diam-diam kau sukai ternyata sudah memiliki orang lain. Tapi perasaan itu terus berlanjut karena kau sendiri tidak bisa mengendalikannya. Hingga hari itu tiba, hari dimana ibu dari suamimu datang dan meminta mu untuk meminjamkan hal abnormal atau mungkin yang disebut anugerah. Dia menawarkan uang padamu. Dan kau berpikir bahwa semuanya akan baik-baik saja.. seperti.. aku hanya perlu melahirkan anak ini dan uangnya bisa ku gunakan untuk menyelamatkan ibuku. Itu yang kau pikirkan, benarkan?"

Daegang kini menghentikan langkahnya setelah puas memutari Renjun.

"Tapi kau mengingkari tujuan awalmu. Entah iblis mana yang menutup mata dan juga kedua telingamu. Harusnya kau sudah memikirkan hal itu sejak awal. Ibu mana yang rela anaknya diambil oleh orang lain? Ibu mana yang bersedia meninggalkan anaknya pada orang lain? Pada akhirnya kau memikirkan hal itu bukan?"

Tatapan yang tertuju pada Renjun terlihat nanar.

"Kau paham bukan rasanya hidup sulit? Maka Na Jaemin juga paham rasanya hidup sulit sejak kecil. Kau memiliki ibumu, namun dia hanya memiliki dirinya sendiri. Kau mencintai Jeno, dia juga mencintai Jeno! Kau mengandung anak Jeno dan dia juga mengandung anak Jeno! Kau memikirkan anak yang ada di dalam kandunganmu, begitu juga dia memikirkan anak yang ada di dalam kandungannya!! Apa lagi yang ingin kau bandingkan?!!"

Nafas Daegang memburu, ia terbawa emosi ketika menjelaskan kepada orang yang pada dasarnya tidak ingin memahami apapun. Renjun sendiri langsung bungkam dan enggan memandang lawan bicaranya.

"Kau bahagia dengan Lee Jeno dan Na Jaemin pergi tanpa tujuan. Dia bahkan tidak memiliki siapapun sejak kecil. Kau mengerti hangatnya pelukan ibumu, namun dia sedikitpun tidak pernah merasakan hangatnya pelukan kedua orangnya, terutama sosok ibu. Dan beraninya kau mengambil satu-satunya rumah yang ia miliki? Beraninya kau mengambil sosok yang menjadi alasan kebahagiaan di masa itu?"

Daegang masih menatap Renjun dengan lekat. Kini raut mukanya lebih ke arah tertohok. "Apa kau yakin bahwa itu cinta?"

Kalimat remeh yang Daegang lontarkan membuat Renjun beralih kembali memandang Daegang dengan tatapan tajam.

"Tch, kurasa percuma berbicara dengan seseorang yang egois sepertimu. Entah bagaimana caranya agar kau bisa mengerti." Daegang mengalihkan pandangannya dengan senyum mengejek. "Aa.. bagaimana jika ku bunuh saja anakmu dan ku bawa anak Jaemin kehadapan keluarga Lee. Mertuamu itu gila keturunan bukan? Jika dia ingin mendapatkan Minjae maka dia harus membuat Jeno membuangmu dan menikah denganku."

"Jangan sentuh anakku!"

Renjun berusaha mendekati Daegang yang kini duduk dengan anggun.

Daegang masih diam tak bergeming, pria itu duduk dengan anggun di atas kotak besar. Kedua kakinya menggantung indah dan sepasang netranya menatap bintang dan bulan yang bersinar terang tanpa di tutup arakan awan. Sepasang obsidiannya terlihat berbinar.

"Ketika kau sedang menyukai seseorang, pasti kau akan melihat semua bagian dari dirinya adalah hal yang sangat indah. Bahkan bagian terburuk darinya sekalipun akan terlihat baik-baik saja untukmu. Tapi untuk orang lain yang membencimu, semua keindahan itu dipandang sebagai suatu keburukan.. benarkan?"

Daegang menyeringai ketika kembali menatap Renjun.

"Kau dikenal sebagai istri dari salah satu putra keluarga Lee yang terkenal memiliki paras cantik nan lembut, perilaku hangat dan baik, kah begitu di agunkan oleh orang-orang yang berpikir bahwa kau malaikat dengan bantuanmu. Mereka mendukungmu.. mereka mengelu kan namamu, mengatakan berulang kali bahwa kau dan Jeno adalah pasangan serasi yang memang ditakdirkan bersama. Daegang memejamkan mata sejenak ketika menyisir surai rambutnya kebelakang dengan senyum tipis. "Berbeda dengan Na Jaemin yang bahkan tidak dikenal oleh banyak orang. Statusnya sebagai istri pertama suamimu tidak terlalu menjadi pusat perhatian orang-orang. Ketika kau menikah dengan Lee Jeno, pernikahan kalian diadakan begitu meriah. Orang-orang bergumam memuji betapa indah dan cantiknya dirimu. Tapi Na Jaemin bahkan tak pernah diagungkan layak bangsawan keturunan raja sepertimu. Kehidupan sebelum ataupun sesudah menikah, tidak ada perubahan yang besar."

Renjun bisa melihat bagaimana Daegang menyeringai dengan tatapan angkuh padanya. Terpaan sinar rembulan membuat kulitnya bercahaya dan hembusan angin membelai surai rambutnya yang terlihat begitu lembut.

"Tapi sekarang..wajah ini." Daegang menyentuh wajahnya sendiri dengan tatapan kosong tertuju pada Renjun. "Wajah Na Jaemin.."

"Wajah yang sekarang menjadi pusat perhatian dunia. Wajah yang mendapatkan banyak pujian. Namaku di teriakan oleh banyak orang karena wajah ini." Tawa Daegang terdengar kecil.

"Kau dan suamimu.. kalian bahkan berada jauh dibawah. Kau tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Na Jaemin. Kau tidak akan bisa memiliki apa yang sudah menjadi takdir dari pria ini.." Daegang menepuk dadanya sendiri dengan pelan. Menekankan nama Na Jaemin kepada dirinya sendiri. "Pria ini adalah pria yang layak mendapatkan kehormatan tertinggi dari seluruh dunia. Dia pantas dipandang dan dipuji oleh semua orang."

"Pftt.." Daegang hanya tersenyum tertahan, sebelum akhirnya tertunduk dalam menahan tawa. "Woah, entah mengapa aku merasa sangat puas mengatakan hal ini padamu." Daegang terlihat takjub dengan apa yang telah ia katakan sebelumnya. Pria manis itu juga tampaknya tersanjung dengan apa yang ia miliki sekarang. Tatapan merendahkan ia tujukan pada sosok Renjun yang masih menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Apa kau bisa menjadi seperti Na Jaemin?" Suara Daegang terdengar jauh lebih pelan, pria manis kembali bertanya dengan seringai kecil.

"Jika Na Jaemin sekarang ada di posisiku, apa kau ingin mendapatkan posisinya juga? Orang yang memiliki akal tentunya tau siapa yang layak dicintai dan diagungkan. Seindah atau sebaik apapun dirimu, kau tetap tidak ada apa-apanya dengan Na Jaemin. Orang-orang yang memujamu mungkin akan membenci wajah ini, apa karena mereka iri?"

Renjun berdecih. "Kau sungguh mengerikan Han Daegang." Dengan penekanan dalam setiap kata dalam kalimatnya.

"Aku tidak butuh maafmu dan aku pun tidak akan mau meminta maaf padamu. Kita berdua sama-sama mengacau disini. Impas bukan? Kau menghancurkan pondasi kebahagiaan orang lain untuk membangun pondasi kebahagiaanmu sendiri." Daegang berjongkok di depan Renjun dengan senyum manis. "Dan sekarang giliran ku yang menghancurkan pondasi kebahagiaanmu untuk menambah pondasi kebahagiaanku sendiri. Aku sudah jauh lebih tinggi darimu."

"Kau juga tidak pantas marah akan hal ini. Mau sampai kapan kau akan terus lari dari fakta bahwa kau bertanggung jawab atas semua kisah rumit ini. Kenyataannya seseorang yang datang terlebih dahulu, adalah pemilik sebenarnya. Sungguh tidak etis jika kau dan para pengagummu mengatakan bahwa ini semua milikmu. Na Jaemin dan Lee Jeno yang bertemu terlebih dahulu, lalu kau datang dan menggantikan tempatnya. Apa kau masih layak mengatakan bahwa semua ini milikmu?" Daegang mendorong kepala Renjun dengan kasar dan raut wajahnya berubah datar dengan tatapan dingin. "Gunakan otakmu sebelum mengklaim sesuatu yang sejak awal bukan milikmu. Jika kau ingin marah, salahkan takdir mengapa kau dan Jeno tidak bertemu terlebih dahulu sebelum Na Jaemin."

Daegang mendengus dengan senyuman tipis. Ia kembali berdiri tegap dan melangkah mundur untuk menjaga jarak. "Sampai jumpa di persidangan. Ku harap mulut dan otakmu masih berfungsi ketika di pengadilan. Akan lebih bagus jika kau tidak menjadi diam dan tetap bersikeras seperti biasanya."

Setelah kalimat itu terucap, Daegang menjatuhkan sesuatu dengan sengaja. Renjun membelalakan matanya ketika melihat foto keluarganya. Disana ada dia, Jeno, dan juga anaknya. Nafasnya tercekat dan dadanya terasa begitu sesak ketika Daegang menempatkan sepatunya di atas foto tersebut. Merusak foto itu dengan kakinya hingga tak lagi terbentuk.

"Astaga Renjun-ssi." Daegang mengambil foto yang sudah hancur tersebut sembari menutup mulutnya sendiri. Bertingkah terkejut dengan raut muka yang sedih setelah melihat foto tersebut bahkan tak lagi menunjukan gambar ketiga orang tersebut.

"Aku sungguh tidak sengaja, bagaimana ini? Haruskah aku meminta maaf?"

Renjun tak sekalipun bersuara. Hanya wajah tertohok dan air mata begitu banyak yang mengalir membasahi pipinya.

"Apa kau lihat bagaimana hancurnya foto ini?" Daegang masih bersikap seolah-olah ia tidak sengaja dan merasa bersalah. "Aku tidaak bermaksud."

Daegang meletakan kembali foto itu disamping Renjun dengan perlahan. "Kau bisa memilikinya kembali. Aku pergi.." Pria itu tersenyum dan langsung pergi, meninggalkan Renjun yang mulai terisak sembari memandang foto keluarga kecilnya yang hancur.

Daegang melangkah pergi semakin jauh dengan senyum yang perlahan luntur. "Ini belum berakhir Renjun Lee."

❄️❄️❄️

"Paman!" Minjae langsung datang memeluk Jisung yang kini berkunjung ke apartement Daegang.

"Hallo, Minjae-ya." Jisung membawa Minjae ke dalam gendongannya. Ia melihst Felix hanya sendiri mengurus Minjae, tidak ada tanda-tanda bahwa Daegang ada disini.

"Dimana Daegang?"

"Dia pergi menemui Renjun."

"Apa?! Semalam ini? Bagaimana jika terjadi sesuatu?"

Felix menguap dengan lebar sembari meletakan makanan yang di bawa oleh Jisung ke atas meja.

"Tidak perlu khawatir. Jika keluarga Lee sudah tidak sewaras itu maka Daegang jauh lebih tidak waras. Kau harus membiasakan diri dengan Daegang. Dia pemuda yang suka tantangan."

"Tapi aku tetap tidak bisa.. kau tau maksudku.." Felix menghelakan nafas. Pria itu menoleh ke arah Jisung yang menatapnya dengan sendu.

"Ya, aku paham maksudmu. Aku—" Felix tersenyum getir dan memalingkan wajahnya. "—aku juga pernah merasakan hal yang sama. Itu sungguh tidak bagus, haha." Lalu Felix memilih menyiapkan makanan yang Jisung bawa untuk dimakan bersama. Membiarkan Jisung termanggu di tempat memandang Felix yang sibuk sendiri dengan sorot sendu.

"Paman sedang membicarakan apa? Minjae sungguh tidak paham." Jisung mengalihkan atensinya pada Minjae. Anak kecil itu memandang Jisung dengan mata lugunya. Mengundang senyum dari pria tampan tersebut.

"Tidak. Kami hanya sedang membahas paman Daegang mu yang pergi selarut ini."

Minjae menggangguk dan ia memandang ke pintu. "Itu paman!" Minjae tersenyum lebar sembari menunjuk pintu masuk yang baru terbuka. Tepat saat itu Daegang masuk dengan keadaan yang jauh dari kata rapi dan bersih. Jisung terbelalak di tempat dan memandang dengan teliti sosok Daegang dari atas sampai ke bawah.

"Apa yang terjadi? Kenapa kau pulang seperti ini?" Jisung meraih tangan Daegang dan menatapnya dengan penuh cemas. Daegang hanya tersenyum dan memandang Minjae yang juga menatapnya tak kalah lekat.

"Minjae-yaa, kenapa belum tidur hmm? Sudah malam, tidak baik jagoan kecil belum tidur."

"Paman belum pulang, Minjae tidak bisa tidur." Minjae mengulurkan tangannya dan menyentuh wajah yang dihiasi beberapa lebam tersebut. "Sakit?"

Daegang tersenyum lebar. Ia menggenggam tangan mungil Minjae dengsn tangan lainnya yang bebas. Mengecup tangan mungil tersebut sembari berkata. "Aku baik-baik saja, nak."

"Kau tidak bisa membohongi anak kecil."

Daegang masih tetap mempertahankan senyumnya dan beralih mengambil Minjae untuk masuk ke dalam gendongannya. "Minjae mengantuk kan? Ayo sekarang tidur. Dan kau diam disini. Aku tau kau ingin menanyakan banyak hal."

Daegang melepaskan genggaman tangannya pada Jisung dengan lembut. Lalu peegi memasuki kamarnya untuk menemani Minjae tidur. Meninggalkan Jisung yang lagi-lagi merasa hangat dengan perlakuan Daegang.

❄️❄️❄️

Daegang keluar dari kamar dengan pakaian baru. Pria manis itu mendudukan diri disamping Jisung. Felix yang sedang menonton pun menoleh ke arah sosok yang baru datang, untuk berakhir terperangah bukan main dengan penampilan Daegang.

"Woah apa kau berkelahi? Sudah lama kau tidak memukul orang, apa otot-ototmu itu tidak kaku?"

Daegang memandang jengah ke arah Felix. Pria blasteran itu hanya terkekeh dan memilih beranjak untuk mencari P3K.

Namun suara bel apartemen kembali berbunyi. Daegang akan beranjak untuk membuka, namun Felix sudah berlari terlebih dahulu ke pintu bahkan sebelum Jisung bisa menawarkan diri. Ia mengecek di layar dan terdiam seketika.

"Siapa?"

Felix menoleh ke arah Daegang. "Kurasa akan lebih baik jika kita berpura-pura tidsk melihat bahwa dia datang di jam seperti ini."

"Felix.." Daegang kembali berbicara dengan nada memperingatkan. Felix menghelakan nafas dan memilih untuk menjawab.

"Lee Haechan. Aku tidak tau kenapa dia kemari tapi kurasa dia juga akan menyerangmu seperti Renjun."

Daegang mengerjab sesaat sebelum akhirnya memilih beranjak dan mendekat. Tapi Jisung menghalagi Daegang untuk mendekati pintu.

"Kau tidak bisa menghadapi orang lain dengan keadaan seperti ini. Bagaimana jika dia menyerangmu secara tiba-tiba?"

"Aku tidak peduli, kau bisa memanggil Mark disini jika terjadi sesuatu." Daegang mendorong bahu Jisung ke samping dengan lembut untuk tidak menghalangi jalannya. Ia langsung membuka pintu dan melihat Haechan dengan dingin.

"Apa yang sedang kau lakukan?"
















❄️❄️❄️

















"Kapan persidangan keluarga Lee dan Daegang akan dilakukan?" Seorang pria manis duduk dengan anggun di kursi kerjanya sembari menyesap segelas anggur dengan perlahan.

"Seminggu lagi Tuan Muda."

Air berwarna merah itu terlihat berguncang ketika ia memainkan gelasnya dengan perlahan. Sepasang netranya memandang kerlap-kerlip cahaya kota dari gedung apartemennya yang tinggi.

"Ingatkan aku tentang persidangan itu. Ada paket yang harus ku berikan untuk keluarga Lee." Pria itu memberikan sebuah amplop di meja untuk pria yang merupakan suruhannya tersebut.

"Apa anda benar-benar akan melakukan hal ini Tuan?"

Pria itu lantas tersenyum getir. "Aku harus, meskipun itu akan sedikit menghancurkan rencana adikku sendiri."

"Tuan muda tidak tau hal ini?"

Pria itu menggelengkan kepalanya dengan santai. "Daegang tidak pernah tau tentang hal ini."Sembari sepasang netranya memandang sebuah kotak besar yang kosong tersebut dengan tatapan yang sulit diartikan.

To Be countinue

Publish: Sabtu, 16 oktober 2021
Repub:  Senin, 14 Februari 2022

ONY_Dream

Continue Reading

You'll Also Like

69.4K 6.3K 39
° WELLCOME TO OUR NEW STORYBOOK! ° • Brothership • Friendship • Family Life • Warning! Sorry for typo & H...
827K 39.6K 40
Alzan Anendra. Pemuda SMA imut nan nakal yang harus menikah dengan seorang CEO karena paksaan orang tuanya. Alzan kira yang akan menikah adalah kakek...
44.4K 4.7K 17
Romance story🤍 Ada moment ada cerita GxG
87K 15K 23
Kecelakaan pesawat membuat Jennie dan Lisa harus bertahan hidup di hutan antah berantah dengan segala keterbatasan yang ada, keduanya berpikir, merek...