Negeri Mentari | Seri 2 Turna...

By Karasmara

173K 44.7K 4.6K

Seri 2 dari Turnamen Mentari Selesai menyelamatkan para penonton Turnamen Mentari, Ree hanya ingin pergi menj... More

Lama Tak Jumpa
Sebelum Membaca
Prolog
Kenangan 1: Pembohong
Masih Berlari
Pertempuran di Jembatan Silmarilon (1)
Pertempuran di Jembatan Silmarilon (2)
Pelabuhan Ferride
Anak-Anak yang Dilupakan
Bayaran
Misteri Baru
[Tidak Ada] Perubahan
Langkah Pertama
Halo.
Arti Dewasa
Tanpa Kekuatan
[Tidak Pernah Ada] Perubahan
Kekasih Lama Kairav
Dua Prasangka
Satu Suara
Aliansi
Perkumpulan Akik
Melawan Dunia
Gelap/Tanpa Kegelapan.
Kebenaran Itu Membingungkan
Tidak Mudah
Petir, Pasir, dan Tanah
Dimulai Dari Satu Orang
Asal Mula (1)
28: Asal Mula (2)
29: Era Baru
30: Sup Merah
31: Ree yang Baru
32: Ree yang Dulu
Ep 33: Amarah Agrotis
34: Alam Menari Untuknya
35: Terus Melangkah
36: Dua Gadis, Dua Kerangkeng (1)
36: Dua Gadis, Dua Kerangkeng (2)
37: Alia Gininda pt. 1
37: Alia Gininda pt. 2
38: Akhirnya Berhenti Berlari
39: Mencoba Hidup
40: Gadis Mentari
41: Seluruh Kebenaran
42: Menerima Diri Sendiri
43: Korban Ketiga
44: Bom Berdetak
45: Bayaran Untuk Hidup
46: Tenang Sebelum Badai
47: Malam Terkelam

Teman Lama

6.3K 1.4K 243
By Karasmara

Lagu : The Forest Queen oleh Peter Gundry



Hitam. Abu-abu. Merah. 

Itulah warna yang selalu Ree lihat dalam perjalanan. Entah sudah berapa lama mereka berkendara. Ree bahkan tidak dapat mengikuti pergantian hari dan waktu. Tubuhnya serasa melayang, jiwanya serasa hampa. 

Ia sama sekali tidak berbicara. Tidak berinteraksi dengan satupun kru Penyihir Putih. 

Matanya sudah kehilangan ketajamannya. Pupil matanya hanya bergerak untuk memperhatikan jalan, menavigasi sekitarnya bila saja ada kemungkinan ia harus kabur dari kru itu.

Kalau dipikir-pikir kembali, keputusannya untuk mengikuti Penyihir Putih merupakan sebuah impulsivitas sewaktu saja. Dirinya baru saja kehilangan Andreas. Ia membutuhkan seseorang untuk membawanya pergi dari koloseum tempat tubuh Andreas menjadi abu. Pilihannya hanyalah antara kru Rangga dan kru Penyihir Putih.

Ia secara impulsif memilih kelompok orang asing daripada kru yang sudah beberapa bulan bersamanya. 

Meski... kru Penyihir Putih tidak bisa dibilang semuanya asing. Terutama pria yang selalu seperti memperhatikannya selama perjalanan. Kairav membiarkan Ree bersandar pada dadanya ketika mereka berkuda bersama. Pria abadi itu selalu memastikan Ree mendapatkan porsi makanan dan memiliki selimut untuk tidur di malam hari.

Ree menunggu saatnya Kai akan menggerutu dan mengatakan Ree sebagai beban... tapi hal itu tidak pernah terjadi. 

Hari itu, seperti biasa Ree duduk di atas kuda di depan Kairav. Kedua tangan kokoh pria itu melingkari tubuh Ree untuk memegang tali kekang kuda. Jalanan mereka sedikit curam hari itu. Parahnya, hari sebelumnya, hujan melanda kawasan hutan yang mereka lewati. Alhasil, tanah pijakan para kuda menjadi lembap dan tidak kokoh.

Kairav turun dari kuda. Begitu juga para kru Penyihir Putih yang lain. Mereka harus memandu kuda mereka secara manual. Terlalu riskan bagi mereka untuk berkendara di atas kuda dengan tanah selicin itu. 

Ree hendak ikut turun dari kuda ketika Kairav menahannya. "Duduk saja," katanya, "Aku akan pastikan kau tidak terjatuh."

"Tapi..." Itu adalah pertama kalinya Ree berbicara semenjak mereka meninggalkan Turnamen Mentari lima hari yang lalu. Suaranya terdengar jauh lebih serak dari yang ia perkirakan. Dan karena itu adalah pertama kalinya mereka mendengar suara Ree, semua kru Penyihir Putih memberhentikan semua yang mereka lakukan dan menatap Ree.

Mata Ree menangkap satu per satu para kru Penyihir Putih. Begitu juga sang penyihir sendiri. Ree merasa seperti hewan eksotik di sebuah pertunjukan.

"Percayalah, Tuan Putri," Kai berkata dengan senyuman lembut, "Aku akan memastikan kau aman. Rilekskan saja dirim–"

Sebelum Kai selesai berkata, Ree sudah meloncat turun dari kuda. Rahangnya mengatup keras begitu kakinya menapak tanah. Ia langsung melangkah cepat menaiki tanah curam. "Jangan panggil aku itu," katanya lirih.

Ree sempat melihat wajah Kai yang seakan merasa bersalah. Pria itu cepat-cepat menyusul Ree. "Maaf, Ree," katanya, "Aku tidak bermaksud..."

Dengan rahang terkatup lebih kencang, Ree memacu kakinya lebih cepat menaiki curam. Ia tidak mau mendengar apapun lagi. Julukan itu hanya membawa luka dan kenangan buruk baginya. Tanpa sadar, ia melirik bagian dalam pergelangannya. 

Hitam.

Matanya sudah berair dan terasa panas ketika ia memfokuskan ke depan kembali.

Dua titik hitam tertera di bagian dalam lengannya.

Bibirnya bergetar tatkala ia memaksa kakinya menanjak bukit. Dengan punggung membelakangi yang lain, ia berusaha mengatur napasnya yang menderu. Ia kedipkan matanya dengan cepat, berusaha menghapus linangan air matanya. 

Tidak. Ia tidak akan menangis.

Ia tidak pantas menangis.

Tidak ketika dua titik hitam di lengannya sudah memakan begitu banyak nyawa.

***

Menyadari bahwa Ree sudah kembali membisu diri, Kai menghela napas panjang. Rasanya perih di dada melihat Ree seperti itu. Kai pikir ia lebih suka melihat Ree yang selalu membalas ejekannya, Ree yang tidak takut sparring bersamanya, daripada melihat Ree menutup diri seperti ini. 

Gadis itu berjalan dengan punggung sedikit bungkuk. Seakan bebannya sangat banyak. Kai juga memperhatikan guratan hitam di bawah matanya bertambah banyak. Pria itu tahu sendiri bahwa Ree masih tidak dapat tidur dengan tenang. Mimpi buruk masih menghantui gadis itu. Dan tubuhnya... ia mengecil. Kai sudah memastikan Ree selalu mendapatkan porsi makanan tetapi gadis itu selalu saja menyisakan makanannya. 

Urgh! gerutunya dalam hati. Seumur-umur, ia tidak pernah begitu serba salah menghadapi seseorang. Dan ia sudah hidup begitu lama.

Mata Kai menangkap tatapan Penyihir Putih untuk sekilas. Meski memakai topeng, Kai dapat melihat mata hitamnya yang kelam. Sang Penyihir seakan berkata, 'Berilah ia waktu.'

Kai hanya dapat menghela napas. Ia tidak suka keadaan ini. Sangat tidak suka.

***

Setelah hampir seharian menaiki bukit yang curam, kru Penyihir Putih memutuskan untuk beristirahat ketika malam tiba. Mereka membuat api unggun untuk menghangatkan diri dan memasak air serta makanan.

Seperti biasa, Ree duduk agak menjauh dari kru Penyihir Putih. Ia selalu memastikan ada jarak antara dirinya dan mereka. 

Di hari-hari pertama, mereka masih mencoba untuk menginklusi Ree dalam percakapan dan senda gurau mereka. Namun ketika Ree hampir tidak pernah merespon, mereka akhirnya menyerah. 

Sudah seharusnya seperti itu, pikir Ree.

Duduk menjauh dari yang lain, Ree memperhatikan bayangan di bawah kakinya. Cahaya api unggun membuat bayangan di bawahnya menari di atas tanah. Ree menelengkan kepalanya. Tanpa sadar, ia membayangkan suara para bayangan yang biasanya selalu memiliki komentar untuk segala hal. 

Setelah beberapa hari dalam kesunyian, Ree harus mengakui dirinya cukup rindu akan para bayangan... Mungkin karena dirinya sudah terbiasa dengan suara-suara yang banyak namun satu itu. Suara-suara yang menemaninya setiap saat.

Tanpa sadar, Ree memutar jemarinya. Menggerakannya dengan ekspektasi para bayangan itu akan muncul. Ketika tidak ada sulur hitam yang menyambut jemarinya, ia perlu berkedip beberapa kali. 

Semenjak Turnamen Mentari, ia tidak bisa memanggil para bayangan. Dan kendati ia menyerap bola-bola api serta magis seluruh koloseum di punggungnya, ketika ia berusaha mengeluarkan magis itu... nihil. 

Ya... ia hanya pernah mencoba sekali. Ketika Kinara susah payah membuat api sendiri dan ketika para anggota kru yang lain sedang sibuk entah berburu hewan atau mengurusi kuda. Ree sempat berusaha memanggil magisnya untuk membuat api. Logika saja, ia menyerap bola-bola api itu... berarti seharusnya dia dapat membuat api, bukan?

Namun ia gagal. Berkali-kali ia berkonsentrasi untuk membuat percikan saja gagal. Kinara pada akhirnya dapat membuat api sendiri. Dan Ree berlaga seperti ia tidak melakukan apapun.

Terkadang, tanpa sepengetahuan siapapun, ia mengayunkan tangannya. Berusaha memanggil apapun dari jemarinya. Begitu juga malam itu. Ia mencoba lagi. 

Ingatannya memutar momen ketika Wiseman mengajarinya untuk merasakan magis-magis kuno dari sekitarnya. 

Ah, mengingat Wiseman... di mana pria tua itu?

Tubuhnya menghilang begitu saja dari koloseum. Tebakan yang paling logis adalah pria itu meninggal bersama dengan kehancuran koloseum.

Namun entah kenapa... Ree merasa makhluk seperti Madoff tidak mungkin meninggalkan dunia begitu saja. Makhluk yang selama lima ratus tahun sudah menantikaan Ree di turnamen untuk memenuhi ramalan. 

Tidak mungkin pria itu hilang begitu saja tanpa jejak.

Penjelasan lain yang mungkin adalah karena Wiseman merupakan makhluk yang terikat pada koloseum, ketika Ree menyerap magis kuno koloseum, bukankah ada kemungkinan Ree juga menyerap Wiseman pula?

Memikirkan hal itu, Ree secara tak sadar meraih punggungnya. Jemarinya hanya menemukan kulitnya yang mulus. 

"Apa kau ingin melihatnya?" 

Ree memutar kepala ke arah suara. Seorang wanita berambut putih panjang yang mengenakan topeng sudah berdiri di sampingnya. Ree langsung berpikir, bila saja bayangan masih bersamanya, ia pasti sudah dapat menyadari kehadiran wanita itu.

"Tidak," jawab Ree singkat. Nadanya sedikit ketus.

Penyihir Putih melangkah mendekati Ree kembali. Ia duduk di samping Ree, membuat kening Ree mengerut berusaha menerka kemauan penyihir ini. Beberapa langkah dari mereka, Ree dapat melihat bahwa para anggota kru yang lain memperhatikan mereka dengan satu mata sementara mereka masih menyibukkan diri untuk memasak atau makan malam.

Ree mendecakkan lidahnya tanda tidak suka.

"Bagaimana kabarmu, Ree?" tanya Penyihir Putih. 

Ree bisa saja memberikan jawaban yang semua orang inginkan, bahwa ia baik-baik saja. Atau ia bisa saja memberikan jawaban yang semua orang tahu, bahwa ia tidak baik-baik saja. Namun ketika Penyihir Putih menanyakan hal itu, Ree justru mengencangkan kepalan tangannya. Di sela-sela gemertak giginya, ia mendesis, "Apa kau pikir kau berhak menanyakan hal itu padaku?"

Bola matanya melirik tajam sang penyihir. Penyihir Putih tidak mengelak ataupun bertanya alasan Ree berkata seperti itu. Ia langsung mengerti maksud Ree. Dan respon yang penyihir itu dapat berikan hanyalah keheningan. Ekspresi wajahnya disembunyikan di balik topeng putihnya.

Gemerisik angin malam membuai kain putih panjang milik penyihir itu dan membawa hawa dingin pada tubuh Ree yang hanya terbalut tunik dan celana cokelat sederhana. 

"Kupikir kau masih belum mengetahui siapa diriku," kata Penyihir Putih akhirnya. Ia menghela napas berat. "Halo, teman lama."

Ree meludah ke tanah dekat kaki Penyihir Putih. Telinganya panas mendengar sebutan itu.

"Kapan kau mengetahui siapa diriku?" tanya Penyihir Putih.

"Aku terus berpikir selama lima hari ini," lanjut Ree, "Bagaimana kau dapat mengetahui informasi-informasi mengenai permainan turnamen lebih cepat. Bagaimana kau tidak panik ketika satu Andalas hampir saja terbakar."

Mengecilkan suaranya, Ree melanjutkan, "Kemudian aku teringat bahwa ada satu orang yang sudah mengetahui mengenai ramalan itu dan membodohiku ketika aku kecil. Seorang dewi yang mengunjungiku dalam mimpi dan berlagak menjadi temanku tanpa merasa perlu untuk memberitahuku bahwa keluargaku akan dikorbankan."

"Itu tidak benar," sanggah Penyihir Putih, "Aku tidak pernah–"

"Cukup, Anielle." Ree memotong perkataannya. Ia telah memanggil nama Penyihir Putih. "Teman lama?" Ree mendecih. "Aku tidak tahu apa yang kau rencanakan kali ini. Tapi selama aku di sini, aku tidak akan membiarkanmu melakukan hal semena-mena pada mereka." 

Mereka, maksud Ree, adalah para kru Penyihir Putih.

"Kau bisa saja membodohi mereka tapi tidak diriku. Terutama tidak dengan sikap sok peduli ini."

"Aku tidak pernah bermaksud macam-macam untuk mereka," kata Anielle. "Dan aku tidak sok peduli. Aku benar-benar khawatir denganmu–"

"Setelah semua yang kau lakukan– Oh, tidak. Setelah semua yang tidak kau lakukan, kau tidak berhak menanyakan keadaanku," kata Ree dengan nada rendah. Matanya menusuk tajam mata Penyihir Putih.

"Ree–"

Ree sudah tidak peduli. Ia langsung berdiri dan menjauh dari Penyihir Putih. Hal terakhir yang ia inginkan saat itu adalah bercengkerama dengan Anielle. Kakinya memacu cepat memasuki hutan. Ia berjalan tanpa arah dan sejujurnya ia tidak peduli.

Baru ketika sebuah tangan menggenggam lengannya dan memutar tubuhnya kuat, ia sadar bahwa ia telah berjalan cukup jauh. Matanya menangkap mata Kairav yang khawatir. 

Ree berkedip. Mereka sudah cukup jauh dari perkemahan. Asap api unggun mereka saja tidak terlihat. 

"Aku memanggilmu dari tadi," kata Kairav dengan gusar.

"Ah, maaf...," 

Tiba-tiba kedua pipi Ree ditangkup oleh Kairav. Pria itu mendongakkan wajah Ree untuk menangkap sorot matanya. Entah sejak kapan kedua tubuh mereka menjadi begitu dekat.

"Bicaralah padaku," pinta Kairav. Jemarinya membawa kesejukan pada kulit Ree. Ia sadar Kairav memainkan molekul air untuk menyegarkan wajah Ree. "Apa yang Penyihir Putih katakan?"

Ree berkedip. Satu, tatapan Kairav begitu lembut. Dua, suaranya pun sangat lembut. 

Anehnya, mendapatkan seseorang bersikap lembut justru membuat Ree merasa lemah di lutut. Matanya tiba-tiba menjadi panas. 

"Ree, aku berada di pihakmu," kata Kai, "Bukan Penyihir Putih."

Ree menelan ludahnya kasar. Entah mengapa, ia ingin sekali berbicara pada Kai. Mungkin tidak ada salahnya bila ia bercerita. 

Bila yang mendengarkan adalah Kai... entah mengapa, Ree merasa nyaman.

Jadi ia mengambil napas dalam dan menghembuskannya. Kedua alisnya bertaut meski matanya masih menatap Kai di bawah kegelapan malam. Secara tak sadar, ia mencondongkan pipinya agar dapat merasakan kehangatan tangan Kai. Mungkin Kai memainkan temperatur air pula untuk membawa kehangatan kepada kulit Ree.

"Penyihir Putih adalah seorang teman lama," katanya, "Ia dulu sering mengunjungi mimpiku."





–Bersambung–


ᴋᴀᴍɪ ᴍᴇᴍᴀɴɢ ꜱᴜᴅᴀʜ ᴛɪᴅᴀᴋ ᴍᴇɴᴇᴍᴀɴɪ ʀᴇᴇ.

ᴛᴀᴘɪ ᴋᴀᴍɪ ᴍᴀꜱɪʜ ᴀᴋᴀɴ ᴍᴇɴᴇᴍᴀɴɪ ᴀɴᴅᴀ.

ᴀᴘᴀ ᴋᴀʟɪᴀɴ ᴋᴀɢᴇᴛ ᴍᴇɴɢᴇᴛᴀʜᴜɪ ᴘᴇɴʏɪʜɪʀ ᴘᴜᴛɪʜ ᴍᴇʀᴜᴘᴀᴋᴀɴ ꜱᴇꜱᴇᴏʀᴀɴɢ ᴅᴀʀɪ ᴍᴀꜱᴀ ʟᴀʟᴜ ʀᴇᴇ?

ʙɪᴀʀ ᴋᴀᴍɪ ʙᴇʀɪᴛᴀʜᴜ...

ᴊᴀɴɢᴀɴ ᴛᴇʀᴋᴇᴊᴜᴛ ʙɪʟᴀ ᴋᴀʟɪᴀɴ ᴀᴋᴀɴ ʙᴀɴʏᴀᴋ ᴛᴇʀᴋᴇᴊᴜᴛ ᴅɪ ᴄᴇʀɪᴛᴀ ɪɴɪ

(ꜱᴇɴʏᴜᴍ ʟᴇʙᴀʀ)

ɴᴀʜ, ꜱᴇʟᴀᴍᴀ ᴋᴀʟɪᴀɴ ᴍᴇɴᴜɴɢɢᴜ ꜱᴇᴍɪɴɢɢᴜ, ᴋᴀᴍɪ ɪɴɢɪɴ ᴍᴇɴʏᴀʀᴀɴᴋᴀɴ ꜱᴀᴛᴜ ʙᴀᴄᴀᴀɴ ʏᴀɴɢ ᴍᴇɴᴜʀᴜᴛ ᴋᴀᴍɪ ʟᴀʏᴀᴋ ᴍᴇɴᴅᴀᴘᴀᴛᴋᴀɴ ʙᴀɴʏᴀᴋ ᴘᴇᴍʙᴀᴄᴀ. ᴘʀᴏʟᴏɢɴʏᴀ ꜱᴀᴊᴀ ʙɪᴋɪɴ ᴋᴀᴍɪ ᴍᴇʀɪɴᴅɪɴɢ.


https://www.wattpad.com/story/248672814-senandung-jazirah 

Senanadung Jazirah oleh pencilpatronus



ꜱᴀʟᴀᴍ,

ᴘᴀʀᴀ ʙᴀʏᴀɴɢᴀɴ ᴅɪ ʙᴀʟɪᴋ ᴄʜᴀʀɢᴇʀᴍᴜ.


Bagi yang tidak bisa membaca pesan para bayangan karena membaca di HP --> 





Continue Reading

You'll Also Like

1.5M 78.1K 76
[𝐇𝐚ðŦ𝐚ðĐ 𝐟ðĻðĨðĨðĻ𝐰 𝐎𝐞𝐛𝐞ðĨðŪðĶ ðĶ𝐞ðĶ𝐛𝐚𝐜𝐚] [𝐂𝐞ðŦðĒ𝐭𝐚 𝐭ðĒ𝐝𝐚ðĪ ðĶ𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧𝐝ðŪ𝐧𝐠 𝐛ðĒ𝐛ðĒ𝐭-𝐛ðĒ𝐛ðĒ𝐭 ðĐ𝐞ðĨ𝐚ðĪðĻðŦ] [𝐓𝐞ðŦ𝐝...
525K 45.5K 55
|FOLLOW DULU SEBELUM BACA, TITIK!!| Transmigrasi jadi tokoh utama? Sering! Transmigrasi jadi tokoh jahat? Biasa! Transmigrasi jadi tokoh figuran? Bas...
1M 97.1K 31
Kaylan Saputra anak polos berumur 12 tahun yang tidak mengerti arti kasih sayang. Anak yang selalu menerima perlakuan kasar dari orangtuanya. Ia sel...
218K 13.7K 22
KAILA SAFIRA gadis cerdas berusia 21 tahun yang tewas usai tertabrak mobil saat akan membeli martabak selepas menghadiri rapat perusahaan milik mendi...