SAHABAT SATU ATAP ✓

By wawawisky

482K 15.2K 1.7K

SAHABAT SATU ATAP (18+) "Mungkinkah kita saling mencinta?" *** Sial, Kanaya benar-benar terpaksa menikah deng... More

B L U R B
SSA : 1. Pengin Nikah
SSA : 2. Bikin Cucu
SSA : 4. Cuti Nikah?
SSA: 5. Jadi Tambah Sayang
SSA: 6. Sahabat Rasa Pacar
SSA: 7. Malam Pertama
SSA: 8. Adu Desah
SSA: 9. Gigit, Nih!
SSA: 10. Tidur Satu Ranjang
SSA: Kesayangan Aku
SSA: Harus Peluk Satria & Kanaya
SSA : Tersedia di Karyakarsa

SSA : 3. Belajar Ciuman

22.4K 1.4K 246
By wawawisky

Sebelum baca, aku pengin tahu kalian (pengin) nikah di usia berapa? Wkwk.

Jangan lupa, ramein komen dan tandain typo juga yaaa :)

🏠

Setelah memastikan tidak ada seorang pun mengikuti mereka, Kanaya berhenti di depan kamarnya. Satria mengernyit bingung melihat Kanaya juga melepas dan tak lagi menarik tangannya.

"Kok berhenti? Katanya mau bikin cucu?" tanya Satria.

Kanaya mendelik marah. "Ish! Kamu, tuh!"

Satria tertawa seraya menghindari Kanaya yang ancang-ancang mau memukul kepalanya.

"Kita ngobrol di sini aja," putus Kanaya.

Sebelah alis Satria meninggi. Senyum miringnya muncul sesaat. Kedua tangannya menyentuh bahu Kanaya dan mendorong gadis itu berjalan mundur memasuki kamar. "Di dalam saja. Ngapain ngobrol sambil berdiri di depan kamar?"

"Nggak!" Kanaya menepis tangan Satria dan balas mendorong dada pria itu hingga mereka kembali ke luar kamar. "Aku nggak akan pernah izinin kamu masuk-masuk ke kamarku lagi!"

"Kenapa, sih?"

"Pikiran kamu nggak sesuci yang aku sangka selama ini. Gila kamu, Sat! Ternyata selama ini, kamu jadiin aku fantasi liar kamu. Kok kamu tega, sih? Aku kan, sahabat kamu!" omel Kanaya.

Satria kembali tertawa. "Heh, aku juga mikir-mikir kali mau jadiin kamu objek fantasi aku. Apa yang mau dibanggain dari kamu, coba? Depan belakang rata semua kayak triplek gitu—akhhh!"

Mulut sialan! decak Kanaya dalam hati sambil terus memelintir daging pinggang Satria yang berhasil dia cubit. Seenaknya saja Satria bilang aset depan belakang milik Kanaya rata seperti triplek. Sesekali sahabatnya ini memang perlu diberi pelajaran. Apa perlu Kanaya tunjukkan seberapa seksi dan montok tubuhnya ini pada Satria?

"A-ampun, Nay," rintih Satria sambil memegangi tangan Kanaya yang mencubit pinggangnya.

Kanaya mengehela napas kesal. Dengan berat hati, dia melepaskan Satria yang kini sibuk mengusap pinggangnya. Pria itu sampai membungkuk dan bergerak tak tentu arah mirip cacing kepanasan menahan sakit.

"Eh, eh, eh! Siapa yang suruh kamu masuk?" histeris Kanaya. Sial, dia kecolongan. Satria hanya berpura-pura merintih kesakitan, lalu bergerak mundur agar bisa masuk ke kamarnya.

Satria tampak cengengesan, lalu mengempaskan diri ke sofa yang ada di kamar Kanaya. "Sini, Nay. Kita ngobrol di sofa."

"Nggak mau! Kamu duduk di sofa, aku di sini." Kanaya duduk di ujung ranjang yang menghadap ke sofa sambil melipat kedua tangan di depan dada.

Satria berdecak. "Apaan sih, Nay? Aneh banget kita ngobrol, tapi duduknya jauh-jauhan gini. Biasanya malah ngobrol sambil tiduran bareng di kasur, kamu nggak heboh."

"Ya, sekarang aku harus waspada sama kamu. Aku lupa kalau selama ini aku sahabatan sama laki-laki dewasa, yang ternyata diam-diam suka jadiin aku sebagai objek fantasinya," sinis Kanaya.

Satria tersenyum miring. "Itu artinya aku cowok normal, Nay."

Kanaya terbelalak. "Jadi, beneran? Kamu suka berfantasi sama aku, Sat? Dasar mesum!"

Satria tertawa keras sambil terus menangkis bantal yang Kanaya pukul ke arahnya. Dia segera menangkap bantal itu dan menahannya. "Katanya kamu mau ngomong sama aku? Mending ngomong sekarang, deh. Aku ngantuk, nih. Pengin buru-buru pulang terus tidur."

Kanaya menghela napas dan berhenti memukuli Satria. Ia kembali teringat dengan obrolan tidak berfaedah bersama para orang tua di lantai bawah beberapa menit lalu. Perlahan, ia duduk di sebelah Satria sambil memeluk bantalnya.

"Sat, masa kita disuruh nikah?" keluh Kanaya.

"Bukannya itu mau kamu tadi?"

Kanaya kebingungan. "Sejak kapan aku bilang mau nikah sama kamu?"

"Kamu nggak bilang gitu, sih. Tapi kamu bilang tadi pengin nikah aja, capek sama kerjaan," cibir Satria mengingatkan ucapan Kanaya dua jam lalu.

"Ish! Aku emang bilang pengin nikah, tapi nggak secepat ini juga," rengek Kanaya.

"Ya, tinggal bilang sama mama kamu kalau nikahnya beberapa bulan lagi aja. Sambil kamu urus jadwal cuti dan resign sekalian."

"Terus aku nikah sama siapa setelah repot ngurusin semua itu? Sama kamu?"

"Ya, iyalah. Kan, kamu disuruh nikahnya sama aku. Masa sama Damara? Dia kan, udah ninggalin kamu nikah sama dedek gemes," timpal Satria.

Kanaya geram karena semua orang tidak berhenti mengungkit nama Damara malam ini. Tangannya langsung menjambak kuat-kuat rambut Satria. "Amit-amit, ya, Sat. Males banget aku punya suami kayak kamu. Tukang narsis, suka tebar pesona, tukang ngeyel, susah diatur."

"Aaakh! Sakit, sakit, sakit," cemberut Satria sambil memegangi kepalanya.

"Nih, buktinya!" Kanaya mencengkeram asal helai-helai poni rambut Satria yang berantakan menutupi sebagian mata pria itu, lalu menghempasnya kasar. "Rambut gondrong acak-acakan kayak gini masih dipelihara, nggak dicukur-cukur. Sampai capek aku ngingetin kalau rambut kamu udah kepanjangan."

"Kalau poniku dipotong, pesonaku hilang, Nay," sahut Satria tanpa beban.

"Bisa darah tinggi aku kalau setiap hari ngadepin suami kayak kamu, Sat. Kok bisa, ya, Bunda sabar banget ngurusin kamu?" sungut Kanaya.

Satria mencondongkan wajahnya ke arah Kanaya sambil tersenyum menggoda. Telunjuknya menjawil ujung hidung Kanaya. "Jangan sembarangan kalau ngomong. Nanti dicatet Tuhan, loh. Kamu jodohnya sama aku."

Kanaya memutar bola matanya, berlagak mual ingin muntah. "Amit-amit!"

"Dih, segitunya. Ya sudah, aku pulang sajalah. Pembicaraan ini selesai. Kan, kamu nggak mau nikah sama aku," putus Satria seraya bangkit dari duduknya.

Kanaya menangkap pergelangan tangan Satria, menahan lelaki itu pergi. Begitu Satria menoleh, Kanaya bertanya, "Terus liburan kita gimana?"

"Batal, lah."

"Nggak mau. Aku pengin liburan, Sat," rengek Kanaya.

Satria menghela napas. Tangan kirinya yang bebas menggaruk kepala gelisah. "Pergi liburan sama temen-temen kamu saja, deh. Sama Maya."

"Ih, Maya kan lagi hamil muda. Suaminya nggak bakal kasih izin liburan."

"Ajak Nita kalau Maya nggak bisa."

"Duh, Nita lagi. Dia kan ngajar di kampus hampir setiap hari. Susah kalau mau diajak liburan," cicit Kanaya putus asa.

Satria berlutut di depan Kanaya duduk. Ia meraih kedua tangan Kanaya dan menggenggamnya. "Ya sudah, kamu nikah sama aku. Biar aku bisa temenin kamu liburan."

"Nggak mau. Kita kan sahabatan, Satria," ngotot Kanaya.

"Terus kenapa? Memangnya kalau sahabatan, nggak boleh nikah?"

"Memangnya kamu mau nikah sama aku?"

Satria mengangguk. "Mau-mau aja. Kenapa nggak?"

Kanaya menganga lebar. "Jadi benar? Kamu cinta sama aku, Sat?"

"Ini bukan soal cinta atau nggak, Nay. Tapi, aku pikir omongan Bunda tadi ada benarnya juga."

"Maksudnya?"

Satria menghela napas sebentar, lalu kembali duduk di sebelah Kanaya. Tatapan jahilnya menghilang, berubah lebih serius menatap Kanaya. Sampai-sampai Kanaya tertegun menatapnya.

"Bunda benar, aku udah nggak punya waktu buat cari pacar sekarang. Selain karena sibuk kerja, aku juga pengin fokus sama YouTube. Daripada aku repot-repot cari cewek yang belum pasti, lebih baik aku nikah sama kamu yang udah jelas bibit, bebet, bobot-nya. Kamu itu sudah pasti tipe menantu idaman Bunda, sudah pasti dapat restu. Kalau cewek lain, belum tentu."

Kanaya mengerjap. Ia memandang lurus wajah Satria, menerobos masuk ke dalam manik coklat pria itu. Bukankah ini konyol? Mengapa Satria tampak begitu tenang menyetujui rencana pernikahan konyol ini, bukan malah protes menentang?

Saat kegelisahan itu semakin menyerang, Kanaya segera memutus kontak mata dengan Satria. Mendadak hawa udara di sekitarnya terasa memanas. Mungkin karena suhu AC terlalu tinggi. Padahal di luar sedang hujan, seharusnya suhu ruang tidak segerah ini hanya karena mendengar ucapan Satria yang cukup menyentuh.

"Jadi, menurut kamu, kita bisa nikah meski nggak saling cinta?" tanya Kanaya.

Satria mengangguk. "Terkadang pernikahan nggak melulu soal cinta, sih. Selama kita punya tujuan yang sama, aku percaya kita juga bisa nikah kok. Bahkan pernikahan ini sama-sama menguntungkan buat kita, loh, Nay."

Kanaya tertawa remeh. "Menguntungkan dari mananya? Jelas-jelas kita nggak saling cinta dan pernikahan ini bukan kemauan kita."

Satria tersenyum simpul. "Daripada pusing mikirin pentingnya cinta dalam pernikahan ini, mending kita renungin beberapa keuntungan yang bisa kita dapat kalau kita menikah."

"Keuntungan?" heran Kanaya. Satria mengangguk antusias.

"Satu, mama kamu bakal berhenti singgung soal Damara kalau kamu nikah sama aku. Secara, ya. Aku kan memang menantu idaman Tante Sinta, dijamin topik soal Damara akan berganti dengan betapa bangganya mama kamu punya menantu kayak aku."

"Narsis!"

"Dan di sisi lain, Bunda juga akan berhenti curiga kalau aku suka sesama jenis. Sumpah, risi banget dengarnya, Nay. Jadi, tolong saling bantulah biar namaku nggak tercemar lagi."

Kanaya ngakak seketika. "Percuma ganteng kalau jomlo, Sat. Ujung-ujungnya disangka homo. Keseringan main sama Dimas, sih. Bunda jadi curiga kamu belok."

"Ck. Malah diketawain," gerutu Satria sambil mengacak rambut Kanaya. "Lanjut, nih. Kita ... bisa liburan berdua terus, Nay. Bener-bener cuma ber-du-a."

"Tanpa Mama dan Bunda?"

Satria mengangguk. "Mereka pasti mikir kita mau bulan madu dan sungkan buat ikut karena nggak mau ganggu pengantin baru."

"Ide kamu cemerlang juga, ya?"

Loh, iya dong! Biar cepet kamu iyain pernikahan ini, Nay.

"Aku jamin kamu nggak bakal nyesel ikut liburan ke semua tempat yang aku kunjungi untuk bikin konten, Nay. Nanti aku yang bayarin tiket kamu, deh."

"Serius?" Kanaya memekik senang. Mendadak ia merasa bersemangat mengetahui banyak keuntungan yang menggiurkan jika menikah dengan Satria.

"Serius. Bahkan ada satu keuntungan yang paling wow dari yang lain."

"Oh, ya? Apa? Apa?" Kanaya menepuk paha Satria beberapa kali dengan antusias karena sangat penasaran.

"Kita punya anak kalau khilaf." Satria tersenyum lebar.

"Satria!" teriak Kanaya kesal. Tangannya pun tak tinggal diam, memukuli bahu Satria sekuat tenaga.

"Loh, omonganku nggak salah, kan? Kalau kita khilaf, ya bisa punya anak. Syukur-syukur punya lima biar kayak maunya Tante Sinta sama Bunda."

Kanaya memejamkan mata dan menggeram tertahan. Ingin marah dan menendang Satria sejauh mungkin sekarang juga, tetapi Satria adalah satu-satunya solusi untuk mewujudkan liburan impiannya.

"Kamu jangan kebanyakan ngarep, deh. Kamu pikir aku mau gituan sama kamu? Ih, bayanginnya aja aku udah geli duluan," jijik Kanaya sambil bergidik geli.

Satria mencebik. "Awas kamu. Aku bikin khilaf nanti, sampai kamu nagih nggak mau berhenti."

Telinga Kanaya panas dan terbakar sudah. Ucapan Satria benar-benar sudah mencemari kepolosannya malam ini. "Argh, astaga, Satriaaa!"

Satria menjawil lengan Kanaya. "Nay, jangan lupa. Kalau kita udah nikah, kamu pakai daster seksi pas mau tidur sama aku."

"Ih, kamu tuh, mesum banget, sih! Keluar sana!"

"Mau di mana? Di luar atau di dalem?" timpal Satria dengan senyum berkilat.

"Hihhh! Mamaaa!" teriak Kanaya mengadu. Kesal bukan main rasanya. Meski tidak semesum Satria, tetapi Kanaya tidak polos-polos amat untuk memahami maksud ucapan Satria barusan. Dan, itu benar-benar menganggu.

"Dih, udah tua masih ngaduan!" cibir Satria.

"Bodo amat! Pokoknya aku nggak bakal mau nikah sama kamu, apalagi tidur satu kamar sama kamu!" ketus Kanaya.

"Terserah. Toh, kamu yang rugi. Kan, yang pengin liburan itu kamu, bukan aku. Weeek," ledek Satria. Kanaya bersungut menatapnya. "Udah sana, lemburan lagi. Sampe butek!"

"Saaat...," rengek Kanaya. Bibirnya melengkung ke bawah seperti balita yang hendak menangis karena tidak dituruti keinginannya.

"Apa? Weeek."

Ck, calon suamiku Satria banget, nih? Dia tuh nyebelin banget, astaga. Yakin akur, nih, kalau kita berdua nikah? Tiap hari aja kita adu mulut terus, apalagi nikah nggak pakai cinta? batin Kanaya.

"Kok diem? Mikirin apa kamu sambil ngelihatin aku kayak gitu? Aku tahu aku ganteng, biasa aja lihatnya," singgung Satria.

Kanaya tak menyahut. Suara hatinya masih berperang, Ya, kali, baru sehari nikah terus cerai sama Satria gara-gara berantem mulu? Aku beneran bisa hipertensi deh, kalau harus nikah sama dia. Tapi, kalau nggak sama Satria, aku nikah sama siapa? Cuma Satria yang bisa bawa kabur aku liburan.

Kanaya menghela napas pasrah. "Mama sama Bunda kenapa ya, Sat? Kok bisa-bisanya mikir kita bakal khilaf kalau liburan berdua doang. Sampai-sampai, Mama ngotot banget mau nikahin aku sama kamu. Kesannya aku susah jodoh banget sampai pilihannya cuma kamu," cebik Kanaya.

"Setidaknya ambil sisi positifnya, Nay. Aku adalah seseorang diutus untuk melenyapkan kutukan susah jodoh kamu," bangga Satria dengan senyum Pepsodent.

"Dih, bangga amat merasa jadi pahlawan kayak Spiderman?"

Satria mencebik. "Spiderman mah enak, ya. Jodohnya sama cewek cantik, seksi, dan hot kayak Marie Jane. Lah, kamu? Duh, depan belakang —"

"Mulut kamu minta dijejelin racun tikus banget, sih, Sat!" marah Kanaya sambil menendang-nendang betis dan paha Satria. Sialnya, pria itu malah tertawa-tawa. "Marie Jane juga mikir-mikir kali kalau Spiderman-nya modelan kayak kamu. Pengalaman ciuman aja baru sekali. Itu pun belajarnya sama aku. Hahaha!"

Tawa Kanaya menggema sesaat, kemudian perlahan hening. Menyadari ada yang salah dengan kalimat terakhirnya, Kanaya berhenti tertawa. Ucapannya tadi begitu sensitif jika diungkit saat ini. Satria juga sempat berdeham kecil beberapa kali. Keduanya saling melengos ke arah berlawanan. Berusaha saling menghindari tatapan.

"Seingat aku, kamu tuh yang minta aku buat jadi partner belajar ciuman waktu itu," timpal Satria.

Kanaya memejamkan mata penuh sesal. Dasar lidah tak bertulang, seenaknya kalau bicara. Sekarang, dia sendiri yang terjebak dalam suasana awkward ini.

Kanaya tidak akan pernah melupakan peristiwa bersajarah saat SMP dulu. Kepolosan membuatnya tidak berpikir panjang. Kanaya pikir, dia harus belajar ciuman dulu sebelum akhirnya benar-benar mempraktikkannya dengan seseorang yang akan jadi pacar pertamanya. Kebetulan, hanya Satria yang Kanaya percaya untuk bisa menjadi teman berlatih ciuman waktu itu.

"Nay."

Kanaya tersentak, saat tiba-tiba Satria menggapai pergelangan tangannya. Membuat Kanaya menoleh kebingungan karena Satria mendadak mengunci tatapannya.

"Ke-kenapa deh, Sat? Ya-ya sudah, sih. Tanpa perlu kamu ingetin, a-aku juga masih inget kalau dulu aku yang minta tolong sama kamu buat latihan—"

Satria menyela, "Seingatku setelah belajarn ciuman sama aku, kamu kan gagal jadian sama kakak kelas pas SMP dulu."

Kanaya berdecak sebal. Harus banget diingetin lagi? "Mohon maaf, Bapak Satria Yang Terhormat. Calon pacar saya waktu itu nggak jadi nembak dan pacaran sama saya kan, gara-gara Bapak juga! Dari dulu, kamu tuh selalu ngikutin aku sampai nggak ada cowok-cowok yang berhasil pedekate terus pacaran sama aku. Kamu apain mereka, sih? Kamu ancam-ancam, ya?"

"Nggak. Kurang kerjaan amat."

"Nggak mungkin. Pasti kamu melakukan sesuatu sampai mereka mundur nggak jadi nembak aku. Selalu begitu dari SMP sampai SMA. Satu sekolah sama kamu tuh, bikin kisah percintaanku nggak ada manis-manisnya, Sat!"

"Aku cuma bilang sama mereka kalau aku pacar kamu," aku Satria enteng.

Kanaya terbelalak. "Hah? A-aku nggak salah dengar, nih?" Setelah bertahun-tahun meninggalkan dunia sekolah, Kanaya baru dengar pengakuan terkutuk ini.

"Tanpa aku bilang pun, orang-orang mikir kalau aku itu pacar kamu, Nay. Lah, kita saja tiap hari berangkat pulang sekolah barengan. Gimana orang-orang nggak mikir kita pacaran?"

Kanaya menggeram tertahan sambil meremas udara persis di depan wajah Satria. Ternyata benar. Satria memang penghalang semua calon pacar datang menghampirinya. "Kamu tuh .... Ugh!"

Satria cengengesan. Mana rela aku biarin kamu ciuman sama yang lain, Nay?

"Sekarang aku tanya. Sama Damara pernah ciuman nggak?" tanya Satria tanpa basa-basi. Wajahnya serius menatap Kanaya yang kaget bukan main mendengar pertanyaannya.

"Kenapa harus sebut-sebut nama dia lagi, sih?" Kanaya gelagapan.

Satria merapatkan duduknya dengan Kanaya. Menghadapkan tubuh sahabatnya ke arahnya. "Selama kuliah, aku nggak pernah bisa sering-sering bareng kamu karena kita beda kampus. Kamu lebih sering bareng si Voldemort, bahkan kamu berangkat dan pulang kuliah juga sama dia. Aku sampai susah cari waktu ketemu kamu karena kamu sibuk kasmaran sama dia."

"Sat—"

"Tapi sekarang, aku perlu tahu. Dari dulu aku selalu pengin tanya ini, tapi nggak tega bikin kamu yang baru ditinggal Damara nikah, makin patah hati."

Kanaya tertawa jengkel. Ia menepis kasar tangan Satria dan bangkit. Namun, Satria langsung menariknya kembali duduk di sofa. Astaga! Satria benar-benar, deh!

"Jawab dulu, Nay."

"Pentingnya buat kamu apa?" balas Kanaya dengan ketus.

"Ya ..., ya karena aku sahabat kamu. Aku perlu tahu, apalagi ternyata sekarang cowok itu dengan seenaknya nyakitin hati kamu."

"Kenapa harus bahas dia lagi? Bukannya kamu males ngomongin dia?"

"Aku tebak, kamu pernah ciuman sama Damara."

Kanaya menghela napas melihat Satria justru mengabaikan pertanyaannya. Dia benar-benar ingin marah sekarang. Seenaknya Satria membuat kesimpulan sendiri. "Bukan urusan kamulah!"

"Seberapa sering, Nay?"

Kanaya menganga tak percaya Satria jadi mengiterogasinya seperti maling yang baru ketahuan mencuri. "Apaan, sih!"

"Berarti sering," terka Satria semena-mena. "Pantas kamu patah hati dan susah move on dari dia. Habis manis, sepah dibuang. Sering ciuman, tapi nggak jadian. Iya, kan?"

Kanaya hilang semangat. Satria sudah membuat mood-nya yang kurang baik gara-gara rencana pernikahan konyol, menjadi semakin terjun bebas. Ia segera berdiri dan siap melangkah pergi, tetapi tiba-tiba Satria menahannya lagi.

Keduanya saling bertemu pandang. Satria ikut berdiri. Tiba-tiba kedua tangannya terulur menangkup pipi Kanaya, lalu mendaratkan satu kecupan di bibir gadis itu. Sementara Kanaya hanya bisa memelotot terkesiap, tanpa bisa berbuat apa-apa ketika merasakan bibir Satria menempel di bibirnya. Hanya beberapa detik, tetapi seperti mampu membawanya kembali ke masa lalu—saat pertama kali merasakan ciuman pertamanya dengan Satria.

Dalam jarak yang sangat tipis, keduanya saling memandang. Kanaya mengerjap, menyadari debaran jantung yang masih sama heboh seperti dulu. Entah karena tiba-tiba mendapatkan satu kecupan atau ... karena Satria yang melakukannya?

"Aduh!" pekik Satria ketika tangan Kanaya menepuk keras bibirnya. "Astaga, sakit, Nay!"

"Ngapain kamu cium bibir aku?" Kanaya sadar dia sudah terlambat jika baru protes sekarang. Satria memang suka usil menciumnya tiba-tiba sejak jaman SD, tetapi di pipi, bukan bibir seperti tadi. Katanya sih karena pipinya menggemaskan bagi sahabatnya itu.

"Iseng, bosen cium pipi kamu mulu," sahut Satria di sela cengiran lebarnya. "Hitung-hitung, DP dulu sebelum nikah, Nay. Siapa tahu kamu mau latihan lagi, biar lebih jago kalau udah nikah nanti."

"Arghhh, Mamaaa! Satria nak—"

Satria membekap mulut Kanaya. "Sssttt, ah. Kamu tuh, teriak-teriak mulu. Nggak lucu kali, Nay, besok kamu teriak-teriak ngadu sama mama kamu pas kita malam pertama."

Astaga, cukup sudah! "Keluar!" usir Kanaya. Dia pasti sudah gila jika benar-benar setuju menikahi lelaki tengik seperti sahabatnya ini.

"Oke, oke. Aku keluar sekarang. Lumayan, sudah dapet kiss sebelum pulang," tutur Satria sambil tertawa-tawa dan berjalan mundur.

Kanaya langsung menghujani Satria dengan bantal, guling, boneka, apa pun yang bisa dia lempar. Bersamaan dengan lemparan terakhirnya, Satria berhenti di pintu kamar dan bicara sebelum benar-benar pergi.

"Inget nggak, Nay, aku pernah bilang sesuatu sama kamu waktu SMP? Tepat seminggu setelah kita belajar ciuman, pas kamu nangis-nangis gara-gara ditolak sama kakak kelas yang kamu suka."

Kanaya tidak menyahut. Lebih tepatnya dia menanti apa lagi yang akan Satria katakan. Di pintu kamarnya, Satria tersenyum, yang entah bagaimana terlihat manis di matanya.

"Dulu, aku pernah bilang sama kamu. Kalau nanti kamu dewasa, kamu nikahnya sama aku. Sebab di luar sana, nggak ada laki-laki yang lebih mengenal kamu daripada aku."

Kanaya bergeming. Jantungnya—entah mengapa—berdebar lagi. Jantungku kenapa, sih?

"Kita akan tetap jadi sahabat selamanya kalau kita menikah, Nay. Entahlah, menurutku kayaknya bakal seru kalau bisa nikah sama sahabat kayak kamu. Jadi besok, kita berangkat jam sepuluh, ya."

Alis Kanaya naik sebelah. "Berangkat ke mana?"

"Beli cincin nikah."

(*) Bersambung

Hayooo, tebak-tebakan. Kira-kira siapa yang bakal ngaku jatuh cinta duluan kalau interaksi mereka macam ini? Haha!

Ini 2800++ kata. Jadi, wajib kudu harus vote ya! Wkwk. Makasih sudah setia membaca cerita ini. Jangan pernah bosan menunggu update bab terbarunya, ya.

See you next chapter 💙 Kalau nggak ada yang aneh-aneh, SSA update tiap Kamis yooo. Bye-bye~~

*Republish 31 Mei 2022

Continue Reading

You'll Also Like

1.4M 15.8K 17
penyesalan memang datang terlambat.. seperti aku yang menyadari perasaanku setelah kamu pergi..... semuanya sudah terlambat... Reinaldo Xaviero
533K 77K 35
Mili sangat membenci kondisi ini. Dikejar-kejar oleh Mamanya sendiri yang mau menjodohkannya. Bahkan, titah untuk menikah sebelum usia 24 tahun terus...
10.6M 51.7K 9
18++ Mungkin sedikit ada unsur dewasanya. Mohon yang masih dibawah umur bijak dalam membaca ya.. Tq... Kinan seorang Mc ulang tahun dari sebuah Resto...
5.7M 235K 24
Hanya karena kesalahan yang bahkan tak Prilly sadari membuat Prilly terpaksa menandatangani perjanjian tertulis meski sebenarnya hatinya tak yakin. T...