The Footpaths

By elaa_rin

761 105 184

Seperti sebuah jalan setapak yang kita lalui selalu ada kisah masing-masih di setiap jalan setapak. Begitu ju... More

Tertatih
Tertatih 2
Tertatih 4
Tertatih 5
Tertatih 6 (END)
Interval

Tertatih 3

79 16 24
By elaa_rin

"Mbak Naura, nanti tak jemput ya! Luna sampai nangis nih," ucap Devanka dari seberang. Aku hanya mengiyakan seraya menahan tawa.

Sejak Luna hamil, sahabatku itu selalu memintaku kerumahnya. Entah memasak buat si Luna atau bahkan sampai disuruh menginap. Kalau sampai menginap sih si Mas Fatih juga ngikut. Si Devanka sih seneng bisa ngobrol semalam suntuk sama teman seperjuangannya itu tapi si Mas Fatih bakal sewot sampai seharian.

"Abang juga telepon Mas Fatih ya! Kemaren dia sewot tuh!"

"Siap ibu Faezya!" Aku hanya tertawa jika ia memanggilku dengan nama suami. Ia pun menutup panggilannya.

Saat tengah menulis pesan ke Mas Fatih seseorang mencolek bahuku.

"Eh iya?" Setelah menoleh, ternyata rekanku, Mbak Rina yang memanggilku.

"Kenapa Luna?" tanya Mbak Rina.

"Biasa, dia lagi manja. Suaminya sampai stress!" terangku. Mbak Rina pun tertawa setelah kuceritakan kegaduhan yang dibuat si Utunnya Luna Devanka itu.

Aku melihat chat terakhir Mas Fatih, sudah 15 menit yang lalu. Kalau diperkirakan harusnya si Mas suami  sudah sampai. Tapi sedari tadi aku duduk di taman depan, kendaraan Mas Fatih belum muncul juga. Semoga nggak pakai motor ninjanya deh jemputnya. Enak dia Mas Fatih nggak enak di aku kalau motor nungging begitu.

Suara klakson mengejutkan ku, aku yang sibuk membaca komen para pembacaku di platform orange itu pun mendongak. Ternyata Mas suami sudah datang. Dia datang dengan motor matic-ku, sukurlah.

"Maaf ya, Yang, tadi dipanggil komandan sebentar pas mau berangkat jemput," terangnya saat aku menggunakan helmku.

"Oalah, pantes. Ndak papa, Mas, nggak molor banyak kok." Aku pun naik di belakangnya.

Belum benar aku menempatkan diri kedua tanganku ditarik untuk memeluk tubuh Mas Fatih. Aku hanya tersenyum, si Bapak satu ini sejak menikah selalu seperti itu. Ia pun juga pernah mengatakan kenapa sering jemput pakai motor.

"Enakkan pakai motor, Yang, ada yang meluk dari belakang."

"Mobil kan juga bisa pegangan tangan kali Mas."

"Kurang intim." Aku hanya memutar bola mataku. Kayaknya si Mas suami ini mulai tertular kemesuman Devanka. Keseringan bareng sih.

"Mas, uda ditelepon Bang Devanka?" tanyaku saat kami masi perjalanan ke rumah.

"Udah tadi. Katanya kamu nggak perlu nginap cuma masak bareng sama Mbak Luna bikin apa tadi diset?"

"Hah? Dessert kali Mas," koreksiku seraya tertawa.

"Yo lali, Dek (Ya, lupa, Dek)," jelasnya.

"Yaudah, jadi Mas nggak usah sewot lagi,"

"Lho, tadinya mau disuruh nginap kok."

"Lha? Kok nggak jadi?"

"Yo nek nginep kapan aku gawe anak'e, Dek!" Aku yang sedikit terkejut mendengar alasannya pun mencubit perutnya.

"Mesum!!"

"Lho kok malah dicubit? Bener kan, Dek, Devanka mah udah jadi lha aku mau bikin aja direcokin sama mereka terus. Mana belum bisa cuti bulan madu lagi!" Aku hanya menahan tawa mendengar omelan Mas Fatih. Curhat dia.

"Sabar sayang, gitu-gitu temen seperjuangannya Mas itu."

"Apes-nya sih itu. Untung rumah kita nggak sebelahan dek. Nggak bisa bayangin kalau rumah kita sebelahan. Bisa-bisa Devanka bikin conecting-door." Aku mengangguk setuju dan tertawa. Kadang ide pasangan itu out off the box. Orang yang nggak mengenal mereka ini mungkin akan terkejut dengan sifat asli mereka.

"Untung si Bang Devanka nggak barengan sama kita ya Mas."

"Berkah buat kita itu, Dek." Kami pun tertawa bersama. Ini mungkin Devanka sama Luna kupingnya sedang berdenging karena lagi kita omongin.

Sore ini rencananya Bang Devanka menjemputku untuk dibawa ke rumah. Tapi ternyata rencana berubah. Si Luna yang sedang kolokan itu ingin aku dan dia quality time berdua jalan ke Mall. Jadinya si Devanka dan Luna menjemputku lalu baru mengantar kami ke Mall, sedang Devanka dan Mas Fatih ini dilarang ikut sama si nyonya besar.

"Antar istriku dengan selamat lho, Dev!" pesan Mas Fatih.

"Nggak, nanti tak anter istrimu ke Yon sebelah buat ketemu sama Bang Roni," goda Devanka.

Aku ingat bulan lalu ada rekan Devanka dari satuan yang berbeda sering menanyakanku kadang titip salam. Sampai Mas Fatih belingsatan. Akhirnya Devanka pun baru sempat bilang pada lelaki itu bahwa aku telah menikah. Setelah itu pun rekan Devanka itu berhenti mengirimi pesan.

"Heh!! Turun, Yang! Nggak jadi, batal!!" Tuh kan senewen si bapak satu itu. Devanka pun tertawa.

"Sabar bro, tenang. Nggak bakalan. Udahlah ikut nganter aja. Duh Mbak Nau, ini kok Fatih jadi posesif begitu?" Aku yang mendengar hanya tertawa. Mas Fatih pun akhirnya ikut masuk mengantar. Aku hanya memutar bola mataku.

"Dasar Bapak bucin!" bisikku. Mas Fatih hanya diam dan menarik salah satu tanganku untuk masuk kedalam saku jaketnya, ia menautkan tangan kami lalu mengusap pelan. Aku hanya tersenyum serta menikmati debaran jantungku sendiri.

Setelah para suami meninggalkan kami di salah satu Mall, kami pun segera berkeliling. Aku hanya mengikuti si bumil yang dengan semangat menuju ke beberapa toko favoritnya di Mall ini. Tak hanya baju baby, bahkan atasan laki-laki pun tak absen dari mata Luna. Aku yang notabene jarang shopping hanya memilih pakaian yang kira-kira aku dan Mas Fatih butuhkan.

"Udah capek, Bu?" tanyaku saat Luna memilih duduk di salah satu kursi.

"Iya, Nau," ia pun mengusap pinggang dan betisnya.

"Makan aja yuk ke foodcourt sekalian istirahat!" ajakku, membantu mengusap bahunya. Ia pun mengangguk. Kami berjalan menuju foodcourt yang ada di lantai atas.

"Nanti habis makan mampir ke booth skincare buat bayi ya!" bujuk ibu hamil di sebelahku ini.

"No! Besok lagi ibu Devanka! Kamu uda kecapekan begitu, nggak mau nanti malem kamu ngeluh ini ngeluh itu!" larangku, ia pun hanya mengerucutkan bibirnya.

Setelah menyelesaikan makan, kami beranjak turun. Sebelumnya aku sudah menghubungi Mas Fatih dan Devanka. Tak satupun menjawab pesan kami ataupun telepon kami. Sudah kami duga akan seperti ini. Pasti ada panggilan mendadak. Selang beberapa menit, Bang Imam, rekan Mas Fatih menghubungiku, ia yang dimintai tolong oleh Mas Fatih untuk menjemput kami.

Saat kami akan memasukki lift tiba-tiba ada seorang perempuan berhijab tak sengaja menabrakku.

"Maaf, Mbak. Nggak sengaja!" Ucap gadis berpashmina coklat di depanku. Ia mengucapkan maaf seraya mengatupkan kedua tangannya.

"Iya, Mbak. Ndak papa. Hati-hati jalannya!" balasku. Ia pun pamit mendahului kami tapi belum beberapa langkah ia berhenti memerhatikan jalan, matanya seolah tengah mencari sesuatu, nampak bingung.

"Mbak tadi kenapa, Nau? Kayaknya bingung?"

"Coba kita samperin deh, dari logatnya kok ndak Semarangan yo?"

"Jangan patokan sama logat. Kamu aja logat Semarangan juga bukan orang asli Semarang!" sindir Luna, aku pun hanya tertawa.

"Ya tapi kan suami Semarang."

"Iya deh!"

Kami pun berjalan mendekati gadis yang masih terlihat bingung. Apa iya dia nyasar?

"Mbak, kenapa ya? Kok kayaknya bingung?"

"Oh, Mbak yang tadi. Keluarnya nanti lewat mana ya? Saya jadi bingung mau keluar," terangnya ia menggaruk kepala yang tertutup pashmina itu.

"Bareng kita aja yuk! Kita juga mau keluar," ajak Luna.

"Eh, boleh, Mbak," jawab gadis didepanku ini masih ragu.

"Ayo Mbak, kami juga mau pulang kok. Yang jemput udah mau sampai," ajakku juga. Akhirnya ia mengangguk mengiyakan ajakan kami. Kami pun berjalan beriringan.

"Oh iya, kita belum kenalan. Nama saya Naura dan temen saya yang lagi hamil ini Luna. Mbak namanya siapa?" tanyaku setelah sempat beberapa menit kami hening karena canggung.

"Saya Almas, Mbak."

"Mbak baru pertama kali ke Mall ini? Kok kayaknya disorientasi tadi," tanya Luna.

"Iya, Mbak. Saya malah baru ini ke Semarang," terangnya.

"Loh, self traveling?" tanyaku, kami berjalan beriringan menuju pintu keluar.

"Nggak, Mbak. Berkunjung ke saudara saya sih, Mbak. Cuma tadi saya bosan di rumah ditinggal kerja, jadi nekat main sendiri berandalkan google map sama baca-baca di travel blog."  Aku dan Luna menganggukkan kepala.

"Kayak kamu dulu ya, Nau. Suka ngilang sendiri self traveling."

"Dulu, sekarang mah ada yang kekepin, Lun." Luna pun menertawakan nasib hobi travelingku.

"Terus ini Mbak Almas pulang naik apa?" tanya Naura. Kini kami sampai di loby penjemputan. Tapi Bang Imam belum juga terlihat.

"BRT (Bus Rapid Transit / busway), Mbak. Tapi saya bingung naiknya gimana dan yang apa. Tadi sih dikasih tahu petugas di haltenya. Tapi, setelah aku amati pas nunggu bus tadi kok ternyata ada banyak jenis. Ada warna merah sama biru terus yang merah ternyata beda tulisan juga, satunya Trans Semarang satunya Trans Jateng . Mbak tahu?" tanya Mbak Almas.

"Oh, kalau naik BRT harusnya Mbak ke depan aja, jalan aja ke arah sana!" tunjukku ke arah depan menuju pintu keluar depan Mall. Kami sekarang sedang berada di loby belakang. "Lha ini Mbak Almas tujuannya ke mana?" lanjutku.

"Daerah Tembalang kok, Mbak. Nanti turun dari halte lanjut kompleks saudara pakai ojek online."

"Lho, bareng kita aja. Kita dijemput kok, nanti kita anterin sampai rumah," tawarku.

"Eh, nggak perlu, Mbak. Ngerepotin nanti. Naik BRT aja saya."

Sebuah mobil Xpander warna abu-abu berhenti depan kami, mobil Mas Fatih. Bang Imam pun repot-repot turun dan menyapa kami. Ia masih menggunakan seragam PDLnya komplit dengan sepatunya.

"Mohon ijin, Mbak Naura dan Bu Luna. Bang Fatih minta tolong saya untuk jemput, katanya Bang Fatih sama Bang Devanka ada keperluan," jelas Bang Imam padaku seperti biasa.

Aku bisa melihat ekspresi Mbak Almas, agak sedikit terkejut karena kami dijemput seorang om tentara tapi bukan ekspresi terpesona seperti gadis-gadis jaman sekarang.

"Iya, tadi Mas Fatih udah wa saya. Yok Lun, mari Mbak Almas masuk."

Kami meninggalkan Mall menuju tujuan kami. Si ibu hamil aku suruh duduk di depan. Sedang aku dan Mbak Almas di belakang.

"Bang, nanti ke Tembalang dulu ya. Nganter Mbak Almas."

"Siap ibu!" jawab Bang Imam.

"Emm, mohon ijin Mbak Naura. Mbak sama Mbak Luna ini ibu Persit?"

"Eh, kok jadi formal bahasanya? Iya Mbak, suami kami satu letting cuma beda satuan. Sebentar, dari bahasanya kok kayaknya Mbak faham?"

"Eng, calon suami saya Marinir," terangnya.

"Wah, ternyata tetep ndak jauh-jauh ya," celetuk Luna dan kamipun tertawa.

"Eh teman Bang Devanka kan ada yang Marinir ya Lun? Yang kapan itu pernah ketemu pas nikahan kalian itu," balasku.

"Oh iya itu, duh aku lupa namanya. Temen SMPnya Mas Devanka, suamiku," imbuh Luna

Sejak penjelasan Mbak Almas bahwa ia calon ibu Jala pembicaraan kami lebih mencair tak secanggung tadi. Bahkan lebih akrab.

"Ini rumahnya, Mbak?" tanyaku setelah kami tiba di depan sebuah rumah.

"Iya Mbak, senang bertemu dengan Mbak berdua. Semoga tetap menjalin silaturahmi ya!" pamit Mbak Almas seraya turun dari mobil.

"Tentu dong, kami langsung pulang ya," timpal Luna.

"Hati-hati Mbak!" Mbak Almas melambaikan tangannya. Semoga kami bisa menjalin silaturahmi setelah ini.

————
Hayo adakah yang notice ada salah satu anaknya Mbak Berlin6 pada cerita di atas?
So, tunggu surprise dari kami.. 😘😘😘

Jogja, 2/4/2021 jam 14.45

Continue Reading

You'll Also Like

178K 12.6K 27
Adhitama Malik Pasya pernah menikah dengan gadis belia. Satu bulan pernikahan, lelaki itu terpaksa bercerai dari istrinya. Tujuh tahun berlalu, ia t...
1.4M 121K 27
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...
995K 47.8K 47
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
5.5M 452K 63
"Allahuakbar! Cowok siapa itu tadi, Mar?!" "Abang gue itu." "Sumpah demi apa?!" "Demi puja kerang ajaib." "SIALAN KENAPA LO GAK BILANG-BILANG KALO PU...