Mantan Rasa Pacar (TAMAT)

By shantymilan

131K 14.6K 1.5K

Banyak yang bilang, mantan itu tempatnya di tong sampah. Sudahlah, buat apa dikenang lagi, mending move on da... More

Prolog
Bab 1. HTS
Bab 2. Don't Challenge Me
Bab 3. Gara-gara Vian
Bab 4. Mantan tapi Mesra
Bab 5. Nggak Mood!
Bab 8. Merasa Bersalah
Bab 7. Jalan Seharian
Bab 6. Sarah
Bab 8. Merasa Bersalah
Bab 9. Janji Rain pada Sarah
Bab 10. Menjauh
Bab 7. Jalan Seharian
Bab 12. Pertemuan tak Disengaja
Bab 13. Still Love You
Bab 14. Backstreet
Bab 15. Fall in love again
Bab 16. Someday
Bab 17. I'm Done
Epilog

Bab 11. Masih Posesif

5.6K 857 118
By shantymilan

Rain bersandar di depan kap mobilnya menunggu Cila. Dia benar-benar harus meluruskan semuanya pada Cila, sebab semalaman tidak bisa tidur gara-gara wanita itu mengabaikannya. Jangankan bisa bertemu, dia datang ke rumahnya saja Cila menolak keluar dari kamar. Ditelepon tidak pernah diangkat.

Sebuah mobil memasuki area parkiran, yang Rain kenal sebagai mobilnya Vian. Dia berlagak tidak melihat saat pria itu turun, namun menjadi sangat marah ketika melihat Cila juga turun dari mobil yang sama.

"Brengsek," desisnya.

Rain langsung mendatangi Cila dan mencekal tangannya. "Ngapain kamu sama dia? Jadi ini alasannya nggak mau berhubungan sama aku lagi?" tudingnya. Tak peduli Vian merupakan senior di kampus, sebab sejak awal dia sudah tidak menyukai pria itu.

"Apaan sih?!" Cila menarik tangannya. "Kamu nggak punya hak ya ngelarang aku jalan sama siapa pun," tegasnya.

Rain menatap Cila tajam. Dicekalnya kembali tangan wanita itu, kali ini lebih kuat. "Aku nggak suka, Cil!" bentaknya.

"Eh, apa urusannya sama lo?" Vian mendorong dada Rain. Tadinya dia tidak ingin ikut campur, tapi sikap Rain sudah berlebihan. "Lepasin tangan Cila," suruhnya.

Rain tersenyum sinis. "Mau berantem sama gue?" tanyanya serius. Dilepasnya Cila, dan bersiap untuk berkelahi.

"Rain, apaan sih?!" Cila langsung berdiri di hadapan Vian.

"Minggir Cil," desis Rain semakin marah.

"Cila, kamu menjauh aja. Bahaya kalau kena kamu," suruh Vian dengan lembut, sambil menggeser ttubuh Cila ke samping.

Emosi Rain memuncak kala mendengar Vian memanggil nama Cila, bukan Cyrilla lagi. "Bacot!" Dia melayangkan tinju dan sudah sangat dekat dengan wajah Vian, tapi tiba-tiba Cila menghadang di tengah. Tinjunya pun berhenti tepat di depan wajah Cila.

"Kenapa nggak jadi? Pukul, Rain. Ayo pukul aku," tantang Cila.

Rain menarik tangannya, namun masih terkepal kuat di sisi tubuh. "Aku nggak akan Lepasin kamu, untuk alasan apapun," ucapnya tak main-main.

Cila hanya bisa diam. Hatinya terasa sakit. Rasanya ingin menangis, tapi dia tahan sebisa mungkin. Sampai akhirnya Rain pergi dengan segala emosinya, membuat hati Cila semakin nyeri.

"Udah Cil, nggak usah kamu dengerin. Cowok kayak gitu ngapain dipikirin, udah putus masih aja posesif." Vian mendengkus.

Cila tidak menanggapi.

"Yuk masuk," ajak Vian dengan wajah berseri. Hari ini dia seperti mendapat lotre, tiba-tiba saja Cila mau dijemput, padahal cuma iseng nelepon sudah bisa menebak akan ditolak seperti biasa. Eh, ternyata emang rezeki tidak kemana."

Cila berjalan di samping Vian, namun pikirannya tidak di sana. Sehingga apa yang diobrolkan oleh pria itu, dia tidak mendengarnya.

"Aku tuh pengen ganti mobil yang lebih lega, biar bisa jalan rame-rame pake satu mobil aja. Kira-kira yang bagus apa ya, Cil? Kamu ngerti mobil nggak?" Vian masih terus bicara.

Tidak ada sahutan.

"Cila, kok diem?"

"Hah? Gimana, Kak?"

"Menurut kamu gimana?" tanya Vian lagi.

"Gimana ... apanya, ya?" Cila meringis.

"Lah, dari tadi kamu nggak dengerin aku ngomong?"

"Maaf, Kak."

"Ya udah nggak apa-apa. Kamu lagi banyak masalah kayaknya. Makanya jadi melamun terus."

Cila tersenyum. "Makasih ya, Kak." Dia sudah sampai di belokan menuju kelas. Lalu melambaikan tangan pada Vian. Tak sengaja matanya melihat Rain di kejauhan, sedang menatapnya tajam. Buru-buru dia membalikkan badan dan pergi.

Vian menggaruk kepalanya, padahal dia belum selesai bicara, Cila sudah pergi. Dia pun berputar arah, karena kelasnya berada di gedung berbeda.

***

Beberapa jam berikutnya, Rain sengaja menunggu Cila tepat di samping pintu kelas wanita itu, agar tidak kabur lagi. Dia dengan sabar berdiri di sana, meski sudah lebih dari satu jam. Hingga Dosen yang mengajar akhirnya keluar, menandakan kelas telah berakhir. Satu persatu teman Cila keluar.

Cila selalu keluar selalu paling terakhir, karena malas berdesakan di pintu. Saat wanita itu mulai terlihat, dia langsung memegang tangannya. "Pulang bareng aku, ada yang mau diomongin." Tanpa basa-basi.

"Aku nggak bisa." Cila menarik tangan dan melangkah.

Pantang bagi Rain untuk menyerah, dia kembali memegang tangan Cila dan memaksanya berhenti. "Kenapa sih nggak bisa nurut sekali aja? Kita harus bahas ini biar clear." Memaksa lagi.

"Aku nggak berminat bahas apapun!" tegas Cila.

"Terserah kamu mau bilang apa, aku tetap nggak akan biarin kamu menjauh kayak gini." Tanpa melepaskan tangan Cila, Rain mengeluarkan ponselnya yang sejak tadi berbuat.

Dari Sarah.

Cila melirik layar ponsel Rain, melihat nama Sarah tertera di sana hatinya kembali diserang penyakit. "Angkat aja kali, calon istri ini yang nelepon." Dengan nada ketus.

Rain mengabaikan telepon itu. "Pulang sama aku," ucapnya memerintah.

"Nggak mau!" sentak Cila. Tangan Rain berhasil terlepas.

"Jangan membantah, Cila!" Rain balas marah.

Terjadilah adegan tarik menarik dan kejar-kejaran. Rain selalu berhasil menangkap pergelangan tangan Cila, lalu memaksa wanita itu menurutinya. Mereka sampai menjadi pusat perhatian Mahasiswa lain yang sedang lewat.

"Apaan sih Rain, maksa banget!" teriak Cila, habis kesabarannya. "Mau kamu tuh apa sebenernya? Di satu sisi kamu mikirin Sarah, tapi di sini kamu malah mempersulit aku."

"Kamu jelas tau aku ke Sarah cuma untuk bertanggung jawab," terang Rain.

"Sampai harus janji nikahin segala? Sebesar itu tanggung jawab kamu sama dia?" cecar Cila.

"Saat itu aku cuma pengen dia tenang, Cil. Aku bahkan nggak ngerti dengan apa yang udah aku omongin, karena spontan gitu aja."

"Tapi janji tetaplah janji, Rain. Kamu nggak bisa tarik kembali. Tepati." Cila menunjuk dada Rain dengan telunjuk. "Itu baru namanya tanggung jawab."

Rain tidak lagi menghalangi Cila pergi, merasa sangat terpukul. "Gimana dengan janji aku ke kamu, Cil? Itu pun harus ditepati, kan?"

Cila menghentikan langkah.

"Cil, aku janji sama kamu suatu saat nanti aku akan melamar kamu. Setelah aku punya kerjaan, dan bisa bahagiain kamu."

Tiba-tiba ucapan Rain kala itu terngiang kembali di telinga Cila. Dia berbalik. "Kamu nggak bisa menikahi dua wanita sekaligus, kan, Rain? Jadi harus ada yang mengalah agar kamu bisa menepati salah satunya." Air matanya sudah berlinang.

"Aku pilih kamu," lirih Rain.

"Kalau gitu telepon Sarah sekarang, katakan kalau kamu nggak bisa tepati janji sama dia." Cila menantang.

Tepat di saat bersamaan, Sarah menelepon Rain kembali. Cila masih menunggu keputusan pria itu.

Tidak ada reaksi, Rain hanya menatap sedih ke arahnya.

"Udah jelas, kan, sekarang siapa yang harusnya mundur?" Air mata Cila pun menetes. Dia berbalik dan melangkah pergi.

Rain membeku di tempatnya berdiri, sambil menatap punggung Cila yang semakin menjauh. Sementara itu Sarah terus saja menelepon, yang terpaksa harus dia angkat.

"Halo," sapanya datar.

"Rain, kamu ke mana aja sih kok baru angkat telepon aku. Untung Mama masih di sini, jadi bisa bantuin pegang hapenya."

"Iya maaf, aku baru keluar dari kelas."

"Kamu langsung ke rumah sakit, kan?"

"Iya."

"Ya udah, aku tunggu ya!"

Rain menutup telepon. Cila benar, dia tidak bisa begitu saja mengingkari janji yang sudah dibuat pada Sarah. Apalagi Sarah kini mulai bergantung padanya.

***

"Akhirnya kamu datang, Rain. Tante mau pulang dulu ya ke rumah. Tolong bantu jagain Sarah. Dia nggak mau sama orang lain," ujar Tante Uyun begitu Rain datang.

"Iya Tante." Rain mengangguk.

"Ya udah, Tante mau pergi sekarang." Tante Uyun lebih dulu mencium pipi Sarah, "Mama pulang ya, sayang."

"Hati-hati, Ma."

Tante Uyun pun pergi.

Sarah terlihat sangat senang dengan kehadiran Rain, matanya bersinar. Senyumnya merekah. Dengan sedikit helaan nafas Rain mendekat. "Kamu udah makan?" tanyanya.

Sarah menggeleng.

"Kenapa belum?"

"Nungguin kamu. Kan, aku udah bilang kalau cuma kamu yang boleh siapin aku."

Rain bingung, kenapa Sarah menjadi sangat manja setelah sakit. "Ya udah, makanan kamu ditaruh di mana?" Dia celingukan mencari.

"Itu di meja." Sarah menunjuk dengan bibirnya.

Rain mendekati meja itu, menarus tas ranselnya ke sofa. Dia mengambil piring berisi makanan Sarah yang sama sekali belum disentuh. "Kamu harusnya nggak udah nungguin aku. Jadi telat, kan, makannya? Ini udah jam dua loh."

"Aku nggak nafsu makan kalau bukan kamu yang suapin." Sarah berkata manja.

Rain tersenyum tipis. Dia duduk di tepi ranjang dan menyiapkan makanan itu. "Dokter bilang apa hari ini?" tanyanya sambil menyuapi.

"Masih sama kayak kemaren," jawab Sarah.

Rain menatap tangan Sarah yang masih terkulai lemas, tidak bisa digerakkan sama sekali. "Maafin aku udah bikin kamu kayak gini," ucapnya sedih.

"Kamu kenapa sih selalu minta maaf? Dengan kamu selalu menjaga aku, dan ada setiap kali dibutuhkan. Itu cukup, Rain. Aku nggak akan mengeluh lagi. Kehadiran kamu bikin aku lebih baik," balas Sarah.

Rain kembali tersenyum.

"Jangan tinggalin aku ya, Rain. Kalau kamu nggak ada, aku nggak tau gimana jalani hidup ini tanpa kedua tangan."

Rain menatap Sarah lekat, perkataan wanita itu menjadi beban berat untuknya. Dia tidak bisa mengangguk, sebab lebih terasa menyakitkan. Hanya seulas senyum simpul yang bisa dia berikan.

"Bisa peluk aku nggak?" minta Sarah.

Rain pun menaruh piring itu lebih dulu, lalu memeluk Sarah.

Tanpa keduanya ketahui, Cila ada di ambang pintu menyaksikan itu semua. Tadinya dia berniat membesuk Sarah sebagai seorang teman, karena tidak enak bila sekali pun tidak membesuk. Tapi sepertinya niat itu tidak terlaksana, hatinya terlalu rapuh untuk tetap di sana sekarang. Dia pun menaruh keranjang buah yang dibawa ke depan pintu, lalu pergi.

Rain menoleh ke pintu, merasa ada Cila di sana. Tapi tidak ada siapa-siapa. Aku terlalu merindukan kamu, sampai mikir kamu ada di sini.

***

Happy reading...

Kalau ditanya kenapa Momi update-nya lama, itu sebenernya tergantung jumlah vote kalian. Jadi Momi selalu intip view dan vote lebih dulu, kalau udah oke baru update next part.

6 April 2021

Continue Reading

You'll Also Like

329K 10.1K 9
(Judul awal AZKARISATYA) Menurut Mayka, Izam itu manja, tukang gombal, romantis, manis dan ramah. Tapi diluar pengetahuan Mayka, bahkan tidak ada sat...
341 239 25
"Manusia itu bukan Matematika yang didalamnya lebih dari satu rumus, yang bisa dengan gampang dijelaskan dengan logika." Gwenda Aquella Sachi. "Bah...
6.7K 619 12
"Jauhi saya, Alina." "Gue suka Lo Gara Mahendra!" "Atas dasar apa kamu suka sama saya?" "Gue butuh cowok kaya raya biar makan enak terus!" Cowok bern...
61.2K 1.5K 81
Antologi puisi. Tentang rasa yang tak terkata. Dengan sepatah kata aku berbahasa Mengenai secuil kata hati Dan mengenai sepotong manah Yang tak terku...