entièrement contrôlé

By heyrzn

3K 67 12

Aku selalu berjalan dalam kegelapan. Dunia ini terlalu indah dan mudah untuk kebanyakan orang. Tapi mereka ta... More

entièrement contrôlé
The Problem is... It's Too Easy
The Rules
I Feel Bad But... Complete
Do I Make My Self Clear? -The Ultimatum-

The Wedding and The Terror

372 10 0
By heyrzn

Dan begitulah. Kami memutuskan untuk berteman terlebiih dahulu dan menjalani saja apa yang ditakdirkan untuk kami. Lagipula kalau kita menjalaninya dengan ikhlas, tentunya akan terasa lebih ringan. Apalagi kalau dijalani bersama-sama.

 Saat ini, aku sedang duduk di meja rias. Memandangi Alexa yang mengoleskan lagi lipstick merah pada bibirku sebelum menggumam puas. “Great! You look beautiful sister. Kau pengantin paling cantik abad ini. Sayang sekali kalian tidak mau mengundang semua teman kalian. Padahal Dad dan Mom memiliki lebih dari cukup uang untuk menjamu mereka semua. Kau tahu, mungkin teman-teman priamu akan langsung menarikmu dari altar dan membawamu kabur…”

“Atau menarik David keluar dan menggantikannya berdiri di sampingku.” Ujarku menanggapi gurauan Alexa.

Alexa tertawa. “Well, Aku sedikit penasaran bagaimana kalian berdua tidak saling mengenal sebelumnya dan tiba-tiba.. puff! Kalian berteman baik. Sangat baik sampai kupikir kalian sebenarnya telah menjadi kekasih.”

Aku tersenyum. Mengulurkan tanganku ke atas untuk memperbaiki tatanan rambutku kemudian meraih uluran tangan Alexa yang menuntunku keluar. Dalam hati aku tersenyum. Aku juga tak yakin bagaimana awalnya. Kupikir David memang benar-benar ‘badass’ tapi selama ini dia memperlakukanku dengan baik seperti puteri. Dan damn! Dia benar-benar mudah membuatku jatuh cinta.

Pernikahan kami ini diadakan besar-besaran. Meskipun tak mengundang siapapun teman kami, aku yakin besok semua orang tetap akan tahu bahwa aku dan David telah terikat secara sah. Itu sebenarnya tak perlu. Untuk apa membuang-buang uang untuk menikahkan dua orang yang belumsaling mencintai.

Mom bilang keluarga David juga sedang dalam masa kesulitan. Perusahaan mereka hampir bangkrut dan hutang mereka sangat banyak. Selain karena untuk menjaga persahabatan mereka agar tetap bertahan, Mom juga tak tega melihat sahabatnya dalam keadaan seperti itu. Akhirnya mereka memutuskan untuk menikahkan kedua anaknya. Simpel, klasik, dan membosankan.

Aku memperhatikan para tamu undangan yang berseliweran sambil membawa makanan di hadapanku dengan bosan. David entah menghilang ke mana saat ini. Beberapa dari mereka membawa anak-anaknya dan sekarang terlihat berlarian ke sana kemari memutari meja-meja berisi hidangan. Aku jadi membayangkan bagaimana seandainya nanti aku menuntun putra atau putriku sendiri.

Kemudian tanpa sengaja meataku menangkap sosoknya.

Seorang pria berambut coklat terlihat berdiri mematung di depan pintu ruangan yang besar. Matanya tertutup kacamata hitam dan tubuhnya juga terbungkus pakaian hitam yang tak terlalu mencolok. Aku bisa dengan cepat aku mengenalinya. Mungkin bagi mata orang awam, dia terlihat biasa-biasa saja. Apalagi sebagai status Dad yang merupakan seorang pemilik bank swasta terkenal di Amerika. Tentu saja Dad memiliki beberapa pengawal. Mereka juga berpakaian serba hitam dan tersebar untuk menjaga keamanan acara pernikahanku ini.

Astaga, apa belum jelas baginya saat aku mengatakan bahwa aku tak mengundangnya? Aku bahkan tak memberi tahunya di mana pernikahanku akan dilangsungkan. Tunggu dulu. Kalau dia tak tahu bahwa ini adalah pernikahanku, berarti dia datang dengan maksud lain. Jadi satu-satunya alasan mengapa ia berada di sini mungkin karena ia sedang menjalankan tugas.

Kalau itu memang benar, maka pernikahan membosankan ini sebentar lagi akan berubah menjadi tempat paling menakutkan sekaligus menyenangkan. Well, kupikir ini akan seru!

**

"Kami telah menyiapkan rumah untuk kalian. Kau tenang saja sayang. Rumah itu pasti cocok untukmu." Kata Mom saat aku menghampirinya.

Aunt Lisa juga tersenyum lembut padaku. "Tak apa, Sayang. Kau tahu David anak yang baik kan! Kalian memulainya dengan bagus. Walaupun saat ini mungki kalian hanya sebatas teman, tapi aku yakin suatu saat nanti, kalian tak akan terpisahkan." Ucap Mom Lisa sembari membelai lenganku dengan tangannya yang bebas.

Aku tersenyum tak mengerti. Tapi sejurus kemudian aku memutuskan untuk mengangguk. Lebih baik terlihat menuruti perkataan mereka daripada membuat Mom baruku ini gelisah dan khawatir akan kelanjutan pernikahan kami.

Baru saja aku hendak pergi meninggalkan mereka, seorang wanita berteriak. Teriakan itu benar-benar menyeramkan. Seakan menggema di ruang terbuka. Mom menatapku panik. Kemudian menarik tanganku mencari sumber suara.

Di depan kami, Darah berceceran di lantai dansa. Seorang pria gemuk tergeletak setengah telungkup tanpa nyawa di atas meja hidangan. Beberapa tamu memuntahkan kembali makanan yang telah masuk ke dalam mulut mereka karena merasa jijik. Salah seorang bodyguard Dad maju untuk membalikkan badan korban.  Orang yang membunuhnya benar-benar sadis. Dia menembak sang korban tepat di depan mukanya.

Bukan di dahi, atau di perut. Dan itu benar-benar mengerikan. Seakan pria itu tak memiliki wajah. Aku bisa membayangkan bagaimana reaksi ketakutan korban saat sang pembunuh menodongkan pistol di depan mukanya. Kemudian menembus kepalanya tanpa ampun.

**

-David Carter-

“Entahlah, kupikir mungkin sebenarnya, kau belum mati. Bagian dari diriku yakin sepenuhnya kau masih hidup, Zara. Atau mungkin akulah yang terlalu berharap.”

Aku memandang batu nisan di depanku dengan saksama. Beberapa ilalang telah tumbuh liar dan hampir menutupi kuburannya. Tempat ia disemayamkan. Orang yang kukasihi. Yang tak sempat kulihat untuk yang terakhir kalinya.

“Lagipula aku tak pernah melihat jasadmu. Kau tahu, hari ini aku menikah. Kau mungkin akan mentertawaiku karena aku mengambil keputusan yang begitu dini. Tapi ini semua bukan kehendakku. Saat aku melihat gadis itu, aku seperti melihatmu kembali, sayang. Sesaat aku malah berharap dia adalah kau.”

Sembari mencabut beberapa ilalang, aku meletakkan sebuket mawar putih di samping nisannya.

Pikiranku melayang kembali saat pertama kali bertemu dengan Zara. Gadis yang tertidur di dalam peti dan tak akan pernah terbangun lagi. Tanpa sadar aku tersenyum. Berawal dari insiden kecil, sampai akhirnya kita berteman dan melewati hari-hari kita bersama. Melalui segala masalah dan mencari solusinya bersama.

Dia cinta pertamaku. Hadir di saat aku tak percaya dengan yang namanya cinta. Semenjak Mom dan Dad bercerai. Dan Dad meninggalkan begitu banyak hutang sehingga membuat aku, Mom, dan adikku Peter harus hidup dengan bayang-bayang penagih hutang.

Awalnya aku menyalahkan keadaan hidup kami pada Dad. Sampai akhirnya aku tahu bahwa kesalahan sebenarnya adalah berasal dari Mom. Dad menemukan Mom bersama lelaki lain di sebuah hotel. Memang sebelumnya aku tak percaya. Mana mungkin Mom bertingkah seperti perempuan murahan seperti itu. Aku marah dan merasa dibohongi. Saat itu aku ingin sekali meninggalkan Mom. Tapi saat itu Peter baru berusia beberapa bulan. Aku tidak mungkin tega membiarkan Mom mengurus Peter seorang diri.

  Tanganku terulur menyentuh bagian atas batu nisan. Aku merindukanmu. Sangat merindukanmu sampai tak tahu bagaimana caranya bernapas saat aku menyadari kau tak mampu lagi menghirup udara dan memasukkannya ke dalam rongga paru-parumu. Aku ingin kau hadir di sampingku. Aku ingin kaulah pengantin wanitaku.

Setetes air mata jatuh mengalir di pipiku dan terasa hangat. Aku mengusapnya dengan segera. Tepat saat itu ponselku berbunyi.

Ziana.

Istriku.

“Hallo?”

“David?” Tunggu. Aku menatap layar ponselku lagi. Memastikan kalau penelpon memang benar Ziana. “Ini aku Alexa.”

Oh! Kakak perempuan Ziana. “Maaf, kupikir Ziana menelepon. Ada apa? Kenapa suaramu begitu panik?”

“Di mana kau?? Semua orang mencarimu!” Teriak Alexa.

“Aku…” Aku tak mungkin mengatakan aku sedang berada di tempat pemakaman. Mereka pasti akan bertanya-tanya mengapa aku meninggalkan acara terpenting dalam hidupku begitu saja. Tapi aku belum siap. Aku belum siap menjawab setiap pertanyaan yang akan membangkitkan memori lama yang telah kusimpan rapat.

“Seorang tamu undangan tewas tertembak di lantai dansa. Semua orang sedang panik! Di mana kau, hah?? Di saat genting seperti ini…”

Aku langsung menutup sambungan telepon dan berlari menuju mobil. Saat ini yang kupikirkan hanyalah Ziana. 

**

-Ziana Hunter-

Aku tersenyum tipis. Benar. Ini pasti dia. Batinku.

Sekali lagi aku mengedarkan pandanganku ke seluruh ruangan. Dan bayangan seorang yang amat sangat kukenal terlihat melenggang santai meninggalkan tempat ini. Tepat sebelum polisi datang dan memberikan ultimatum untuk menutup seluruh pintu masuk dan keluar ruangan.

Kalau aku, aku lebih suka melakukannya ditempat yang sepi. Aku akan langsung menatap korbanku tepat di kedua matanya sampai mereka merasa terintimidasi. Kemudian tanpa mereka sempat bereaksi akan apa yang kulakukan, nyawa mereka telah melayang. Menyelipkan selembar foto using di tangan korban agar para polisi dan pihak intelijen itu tahu akulah sosok di balik pembunuhan itu. Melihat mereka semakin gencar mencariku itu menyenangkan. Seperti bermain petak umpet, dan aku selalu menjadi pemenangnya.

Satu langkah di depan mereka.

Mom memegang lenganku semakin erat. Meskipun aku dapat melihat lututnya mulai goyah dan hampir limbung, ia tetap tak bergerak meninggalkan tempat ini. Aku melingkarkan lenganku ke pinggangnya dan berusaha menjadi sandaran agar ia tak terjatuh. Beberapa orang terlihat berlarian meninggalkan ruangan.

Tak ada lagi yang memperhatikan meskipun ini acara penting bagiku. Seperti dugaanku sebelumnya, pesta pernikahan ini membosankan. Dengan David yang tidak bertanggung jawab karena tiba-tiba menghilang begitu saja.  

Aku memperhatikan sekelilingku. Semua orang sibuk menatap sang pria sambil menitikkan air mata. Beberapa orang yang terlalu pengecut langsung meninggalkan area dan berdiri sejauh mungkin dari mayat. Seharusnya aku juga harus segera pergi dari tempat ini. Apalagi tiba-tiba aku merasakan cekalan tangan Mom terlepas dan ia telah pergi entah ke mana. Tapi melihat seorang wanita yang menangis histeris di samping meja hidangan. Di sampingnya, berdiri seorang gadis mungil yang menatap wanita di sebelahnya dengan pandangan tak mengerti.

Sesuatu yang hangat menyentuh tanganku lembut. Menggenggamnya sambil membelai menenangkan. David berdiri di sampingku. Sebelah tangannya memaksa wajahku menatap matanya. Agar aku tak perlu melihat hal mengerikan di sampingku. Yang ia tak tahu, aku sama sekali tak merasa takut. Justru aku dapat melihat pancaran ketakutan itu terlintas di sepasang matanya yang berwarna biru.

"Kau tak apa? Lebih baik kau segera masuk. Ini bukan pemandangan yang bagus untuk dilihat." Kata David.

Aku mengernyit. Tapi masih tak sanggup mengatakan satu patah kata. Benarkah ini David? Apa ini hanya perasaanku saja atau  barusan Davie menunjukkan sedikit rasa kepeduliannya?

Aku tahu dia brengsek. Tapi David bukanlah seorang playboy yang selalu memiliki wanita berbeda di pangkuannya setiap hari, namun tetap bermain mata dengan wanita lain. Hanya saja, dia benar-benartroublemaker. Tidak terhitung berapa kali ia menghadap kepala sekolah dan memasuki kelas hukuman.

  Sayangnya dia tak pernah berusaha membuat teman. Aku tak tahu mengapa. Padahal beberapa jerkdi kampus yang umumnya cowok-cowok playboy pemain baseball mungkin tertarik menjadi temannya.

Lebih dari itu, David sebenarnya orang baik. Aku bisa melihat kebaikan dan keramahan itu terpancar di kedua bola matanya saat berbicara denganku. Aku tidak bermaksud geer, tapi kupikir aku tak melihatnya saat dia berbicara dengan orang lain.

Ah shit! Kalau saja aku tidak terikat kontrak dan tidak pernah berjanji, aku akan jatuh cinta pada pria ini tanpa pikir panjang. Harus kuingat untuk lain kali, aku tak akan menjanjikan sesuatu yang tak bisa atau sangat sulit kutepati.

"Aku baik-baik saja. Hanya sedikit mual melihat darah-darah ini. Bisakah kau memastikan petugas kebersihan datang dan membersihkan setiap inci lantai tempat ini?" Ujarku berbohong. Kemudian melepaskan genggamannya dan melangkah menjauh.

David menggeleng tak percaya. “Akan kupastikan mereka melakukannya.” Ia menatap sekeliling kemudian memanggil salah seorang bodyguard Dad.

  “Hey! Tolong bantu aku membawa Zara pergi dari sini dan pastikan dia baik-baik saja. Berikan segelas air.”

Tunggu.

Apa tadi dia bilang?

Zara?

Apa aku tak salah dengar?

Kenapa?

Bagaimana ia bisa mengenal Zara?

Aku berjalan menjauh dari David. Tak mengacuhkan bodyguard yang kini berdiri di belakangku. Mempersilahkanku untuk berjalan di depan.

Tanpa pikir panjang, aku meraih ponsel dan menekan beberapa nomor pada keyboard. Menunggu seseorang di seberang untuk mengangkatnya. Tidak butuh waktu lama sampai aku mendengar suaranya menyapa.

“Hai. Selamat atas pernikahanmu. Maaf aku membuat kacau.”

Aku tersenyum tipis meskipun tahu ia tak akan bisa melihatnya. “Yeah, thanks. Dan jangan berpikir aku tidak akan melakukan sesuatu untuk membalas perbuatanmu yang mengacaukan pestaku ini.”

“Ayolah! Seharusnya kau mengundangku. Agar aku tahu itu acaramu.”

“Sudahlah. Hey, aku tidak bermaksud memerintahmu, tapi bisakah aku meminta bantuanmu?” Pintaku.

Dylan terdiam sebentar di seberang. “Apa aku dibayar?”

“Tidak. Anggap saja ini sebagai penebus kesalahanmu karena telah mengacaukan pesta pernikahanku.” Kataku sambil tertawa.

“Baiklah-baiklah. Apa yang bisa kulakukan untukmu, Ratu?”

“Bisakah kau mencari tahu masa lalu David. Keluarganya, teman-temannya, siapapun. Aku ingin tahu.. ada sesuatu yang mengganjal pikiranku.”

Continue Reading