Butterfly

By juliarslaa

990 685 362

Aku dan Glen seperti angka satu yang tidak bercabang. Seperti kue donat yang tidak memiliki akhir. Seperti ai... More

Butterfly
BAB 1: Surabaya
BAB 3: Kelas Dua Belas
BAB 4: I Will Wait
BAB 5: Meledak!
BAB 6: A Superior
BAB 7: Nasi Bebek Madura
BAB 8: Pacar

BAB 2: Sampai Jumpa Lagi, Glen

117 93 50
By juliarslaa

Event kejuaraan tahunan itu resmi berakhir. Akhir yang memuaskan. Karena untuk pertama kalinya, aku mendengar Kak Ari memuji hasil kerja keras kami. Good job, amazing, the best. Begitu katanya. Ia juga terang-terangan menyematkan namaku di sela-sela pidato penutupannya. Special thanks to the greatest event coordinator, Anya. Kak Ari lantang sekali mengucapkannya di depan Bapak Kepala Sekolah, di depan Bapak Walikota Surabaya, di depan dewan-dewan guru, di depan ribuan penonton, juga di depan dia—Glen. Otak dari seluruh ide cemerlang yang kemudian dititipkan padaku. Sebetulnya Kak Ari bahkan lebih pantas menyematkan namanya di sela-sela pidato penutupan. Posisiku sungguh cuma topeng. Topeng dari Glen yang berdiri di belakangku memikirkan segalanya.

"Serius lo Nya?!" mata Kalu membelalak tajam. Ia berteriak kencang sekali. Kantin yang selalu lebih ramai pada jam istirahat kedua—jam yang seharusnya digunakan untuk sholat Dzuhur—masih kalah heboh dengan suara Kalu yang setengah terkejut setengah membentakku.

Tiga minggu setelah acara penutupan kegiatan kejuaraan tahunan. Artinya, sudah tiga minggu pula aku tidak bertemu Glen lagi. Atau mungkin selamanya kami tidak akan pernah bertemu kembali. Ia entah ada dimana sekarang. Ia tidak mencariku, apalagi aku mencarinya. Tidak ada usaha sama sekali. Karena dulu aku tidak pernah tahu, ia akan menjadi begitu penting dalam hidupku. Karena dulu aku tidak pernah tahu, waktu bersamanya akan berjalan begitu singkat.

"Serius lo nggak tahu siapa dia?!" Kalu lagi-lagi menghujatku dengan pertanyaan yang sama.

Aku mengedikkan bahu tidak selera, "Dia kakak kelas. Dua belas IPS 3. Mantan ketua pelaksana championship tahun lalu. Memangnya apa lagi?"

Tapi rupanya aku masih tidak tahu siapa Glen. Identitasnya yang kubaca dalam proposal itu tidak berarti apa-apa. Aku masih tidak mengenal siapa ia sesungguhnya. Kukira, saat pertama kali menyebut namanya di depan Kalu, Kalu akan bertanya bingung. Kukira Kalu tidak tahu siapa Glen. Kukira Kalu akan memintaku menunjukkan fotonya atau mengajakku mendatangi kelasnya. Kukira lagi, Kalu juga akan terpana saat pertama kali melihat wajah Glen yang amat tampan. Kenyataannya, ia memang terpana. Nyaris tidak berkedip selama tiga puluh detik malah. Tetapi itu sudah sejak lama.

Apalagi saat melihat reaksi Kalu di menit-menit berikutnya. Wajahnya yang tiba-tiba memekik terkejut begitu kusebut nama Glen. Pipinya yang sekarang semerah udang rebus. Nada bicaranya yang mulai terdengar ngegas setiap kali menimpali ceritaku tentang Glen. Aku merasa telah menjadi orang paling kuno, manusia paling tidak up to date di sekolah ini.

"Anya! Lo kemana aja sih selama ini?! Aduh... Apa gue bilang? Lo harus sering-sering ikut kegiatan biar nggak katrok begini!"

Aku menghentikan aktivitas menyeruput es tehku. Melotot ke arah Kalu, "Enak aja! Gue tuh cuma nggak pernah dengar nama 'Glen' di sekolah ini. Cuma itu! Bukan berarti gue katrok dong?"

"Ya, itu masalahnya! Yang lo nggak pernah dengar namanya itu Kak Glen. Kak Glen, Anya! Bukan Kak Ari apalagi Raihan!" cercanya dengan nada ngegas menyebalkan itu.

"Biasa aja deh, Lu! Selalu gini lo tuh kalau dengar nama cowok ganteng!" aku menggeser tempat duduk menjauh dari Kalu. Mulai merasa risih dengan sikapnya yang amat berlebihan.

"Tuh kan! Lo aja ngaku kalau dia ganteng. Apalagi semua cewek di sekolah ini, Nya!"

Aku tidak mendengarkan lagi. Kalu itu memang begitu orangnya. Hobinya nge-stalk cowok-cowok yang ia anggap tampan. Paling suka kalau diajak nonton pertandingan tim basket di pinggir lapangan. Surga dunia, katanya. Atau nonton latihan Paskibraka sekolah kami setiap sore. Yang komandan peletonnya lagi-lagi berhasil membuat ia kepincut. Atau jalan-jalan ke gedung kelas dua belas. Ngapelin mantan ketua osis tahun lalu. Kak Sena namanya. Kalau yang satu ini, kuakui Kak Sena memang sedikit manis. Sedikit. Meski setelah bertemu Glen, semua predikat manis tentang Kak Sena berpindah seketika. Kak Sena bertubuh tinggi. Kulitnya bersih. Senyumannya menawan, apalagi kalau kalian beruntung bisa melihat lesung pipinya. Rambut undercut. Datang ke sekolah pakai motor gede pula. Siapa sih yang tidak mau jadi pacar Kak Sena? Dan tentu saja bukan cuma Kalu yang kepincut. Tapi semua cewek di sekolah kami. Semua, kecuali aku.

Mereka bahkan punya grup khusus penggemar Kak Sena. Apa gunanya sih? Isinya pasti tidak akan jauh-jauh dari saling bertukar foto Kak Sena, memotret Kak Sena dari kejauhan, berlomba-lomba menonton Kak Sena yang sedang ujian praktik olahraga. Atau ketika salah satu dari mereka tidak sengaja melihat Kak Sena di suatu tempat, ia akan cepat-cepat mengabari yang lainnya. Menyuruh bergegas menyusul di tempat yang sama. Kalu sudah pasti bergabung ke dalam grup itu.

Yang aku tidak tahu, di sekolah ini, di Kota Surabaya yang amat terik, ada grup khusus penggemar Glen. Dan Kalu tentu saja bergabung di dalamnya.

"Lo harus lihat ini, Nya!" Kalu menyodorkan notebook-nya. Layar itu terbuka memperlihatkan grup aplikasi chatting.

"Yang gabung grup penggemar Kak Glen lebih banyak daripada punya Kak Sena!"

Aku menelan ludah. Tuh kan!

"Nih, gue ceritain ya!" Kalu menegapkan posisi duduknya lebih mencondong ke arahku. Kalian tahu? Menyebalkan sekali melihat Kalu bertingkah seperti itu. Ia terlalu semangat dan sedikit lebai kalau sudah membahas tentang idola-idolanya di sekolah. Apalagi pipinya yang tembam pasti akan terlihat semakin mengembung karena ia terlalu rakus berbicara.

"Kak Glen itu seperti Dewa, Nya. Dia SESEMPURNA ITU. THE PERFECT ONE. Ganteng, baik, ramah. Dia tuh, bukan tipikal cowok yang malah ngelunjak kalau disapa cewek-cewek. Nggak kaya Kak Sena yang disapa cuma ngelirik, habis itu, pamer deh ke teman-temannya kalau dia punya banyak fans. Nggak! Kak Glen bukan orang seperti itu. Catat ini baik-baik, Nya!"

Aku sekali lagi menelan ludah. Topik ini entah kenapa terdengar menarik di telingaku.

"Kak Glen punya banyak teman. Itu jelas karena sifatnya yang loyal dan merakyat! Aduh... Lo harusnya sudah jadi panitia championship sejak tahun lalu, Nya! Lo pasti akan tahu orang seperti apa dia. Dia nggak pernah gonta-ganti cewek. Nggak ngerokok, apalagi minum. Pokoknya nggak ada kesan badboy-nya sama sekali deh. Ehm, beda jauh sama Kak Sena yang sok cool. Kak Sena sih, GANTENG DOANG! Berkualitas mah enggak!"

Kalu, kamu benar. Dia orang yang baik. Tabiatnya, prestasinya, caranya memperlakukan orang lain. Dia seperti malaikat. Tetapi saat mengatakannya, saat memujinya yang amat sempurna, kamu melupakan satu hal. Di dunia ini, sebaik apapun kelihatannya, tidak pernah ada yang ditakdirkan menjadi utuh dan sempurna. Tidak ada kecuali Tuhan pemilik semesta raya ini. Kalu, dia sempurna. Tapi tidak dengan hidupnya. Tidak dengan kami. Tidak sama sekali!

"Dia anak basket, anggota tim choir sekolah kita, jadi duta wisata Surabaya pula! Kurang apa coba dia Nya?"

Aku diam. Buru-buru menyeruput es teh manisku yang tinggal separuh. Tidak ingin terlihat seolah aku sedang.... kagum?

"Pokoknya ya, Kak Glen itu idaman banget deh!" Kalu masih menatap layar notebook-nya yang sekarang menampilkan foto-foto Glen. Aku melirik sekilas.

Apa ia sungguh sehebat itu? Aku kemudian seperti dirisak oleh isi kepalaku sendiri. Kumain-mainkan ujung sedotan hitamku tanpa selera. Cepat sekali mood baikku berubah.

Semasa SMA, dia seperti pangeran di sekolah kami. Diidolakan banyak orang. Disanjung seluruh gadis. Ia seseorang yang supel. A reliable that every woman could wish for. I swear. Dan aku bukan siapa-siapa. Maksudku, tiba-tiba saja aku berpikir betapa aku sungguh tidak sebanding dengan ia yang sekeren itu. Satu-satunya prestasi yang kumiliki hanyalah berhasil diterima di sekolah SMA ini, SMA negeri terbaik di kotaku, murni dengan jalur ujian tulis. Tidak seperti ia yang punya segudang prestasi. Aku juga tidak cantik-cantik amat. Standard-lah. Tubuhku tinggi, rambutku hitam panjang, hidungku kecil dan manis (itu kata Ibuku). Kulitku bersih. Setidaknya itu yang tersisa. Tidak seperti ia yang tampan dan memiliki banyak penggemar. Perangaiku bahkan tidak sebaik ia. Aku tidak pandai berbicara—mungkin lebih dinilai seperti introvert, teman dekatku hanya Kalu dan Raihan, atau aku juga jarang ikut kegiatan sekolah. Kecuali event kejuaraan tahunan yang kemarin, aku hampir tidak pernah terlibat kegiatan apapun. Tidak seperti ia yang rasanya semua orang ingin sekali menjadi temannya. Sungguh, hari itu, setelah mendengar semua cerita Kalu, aku betul-betul merasa ciut. Aku bagai bumi dan langit dengan Glen.

"Jadi Nya, mau gue masukin grup aja?"

***

Aku tetap tidak menghubunginya setelah itu, setalah mendengar semuanya dari Kalu. Setelah sekarang aku tahu aku harus pergi kemana untuk menemukannya, aku tetap tidak berani mendatanginya. Semua penjelasan Kalu justru membuatku tidak ingin mengharapkan apapun dari Tuhan kecuali bisa melihatnya setiap hari. Kecuali bisa memastikan ia baik-baik saja dan bahagia atas apapun pilihannya.

Jadi, tidak tahukah Glen?

Jatuh cinta memang selalu sepaket dengan gemar melakukan pekerjaan paling buang-buang waktu sedunia. Aku tidak pernah menemuinya, atau ia menemuiku, atau kami berpapasan di sudut mana pun di sekolah, atau aku juga tidak pernah melakukan sesuatu sehingga ia menyadari keberadaanku. Tidak pernah. Ia tidak tahu. Kalu dan Raihan juga tidak tahu. Semua orang tidak tahu, untuk apa setiap pagi aku berdiri di depan ruang BK, bertingkah seolah-olah sedang dengan sangat antusias membaca informasi beasiswa, padahal sepasang mataku tidak sedikit pun mencerna poster-poster yang tertempel di papan bercat putih itu. Aku sedang menunggu ia. Aku sedang menunggu Glen datang di sekolah. Aku tahu ia selalu datang lima menit sebelum bel masuk pertama berbunyi. Aku tahu ia berjalan melewati lorong itu setiap pagi. Tidak pernah absen satu hari pun, kecuali hari Minggu. Jaket bomber hitam. Rambut poni belah kiri. Sepatu sneakers berlubang. Aku selalu suka melihatnya berjalan di lorong itu.

Atau  pekerjaan paling buang-buang waktu lainnya seperti, berdiri di barisan kelas sebelas IPS setiap upacara bendera. Itu karena barisan mereka lebih dekat dengan kelas dua belas IPS. Lebih dekat dengan ia.

Termasuk kebiasaannya yang hanya ke kantin di hari Jumat. Maka esok-esok, kuubah jadwal pergi ke kantinku—setiap hari Jumat saja.

Aku hanya suka melihatnya, dahulu dan sekarang, aku selalu suka melihatnya. Aku selalu duduk di meja kantin paling jauh dari tempatnya dan kawan-kawannya bersinggah. Aku selalu berdiri sepuluh langkah di belakangnya saat memesan makanan. Berdiri tanpa pernah ia sadari. Kutatap punggung kokohnya yang berbalut jaket bomber warna hitam. Kudengarkan ia tertawa dan mengatakan lelucon. Ia terlihat amat bahagia dan itu sudah lebih dari cukup bagiku.

Atau aku juga tidak pernah terlewat satu kali pun pertandingan basketnya. Aku selalu duduk di antara ribuan penonton. Duduk sambil diam-diam ikut menyorakkan namanya kencang-kencang.

Lebih buang-buang waktu lagi, aku menulis buku untuknya. Aku menulis cerita untuk seseorang yang tidak pernah tahu jika dirinya sedang menjadi tokoh utama. Aku menulis cerita untuk seseorang yang mungkin tidak pernah suka membaca buku. Tapi apapun itu, Tuhan lebih pintar menyusun skenario dibanding diriku atau Glen.  Jika ia sungguh ditakdirkan untuk membaca cerita ini, then it meant to be.

"Kalu, tadi gue lihat Glen..." setengah mengantuk, kutelepon Kalu sekitar pukul setengah satu malam.

Kalu yang night people sih masih segar benar hanya untuk mendengar informasi-informasi tidak penting yang akan kuadukan padanya sampai satu jam ke depan.

"Elo bukannya tiap hari memang lihat dia ya Nya?"

Aku terkekeh membayangkan betapa bodohnya kelakuanku empat bulan terakhir.

"Tapi yang ini beda, Kalu. Ini nggak pernah gue rencanain... ini kayaknya memang hadiah dari Tuhan deh."

Kalu tertawa mencibir di seberang telepon, "Jangan bawa-bawa Tuhan dulu lah, Nya, kalau lo nggak berniat serius sama dia!"

Aku melenguh. Tiba-tiba kehilang mood baik untuk bercerita tentang pertemuanku dengan ia yang tidak disengaja sore tadi. Ralat! Aku yang tidak sengaja melihatnya di lampu merah sore tadi.

"Emang boleh ya gue serius sama dia?"

Hening sangat lama. Tidak ada jawaban dari seberang telepon. Kalu pasti hendak bilang: Tidak boleh! Tidak boleh, Anya! Itu impossible. Lebih baik buang perasaan itu jauh-jauh karena kenyataannya, sampai hari ini, ia tidak pernah mencarimu.

"Jadi?"

"Jadi?" Aku mengulang pertanyaan Kalu sambil kedua mataku sudah separuh terpejam.

"Elo ketemu Kak Glen di mana, Anya?"

"Di Jalan Dharmahusada... lampu merah ke Karang Menjangan..."

"Dia naik motor. Pakai jaket bomber hitam seperti biasa..."

Aku tersenyum seperti orang gila di seberang telepon. Kalu tidak pernah tahu. "Dia... dia bonceng Ibunya..."

"Dia ganteng banget, Kalu..." padahal aku tidak sampai melihat wajahnya. Tapi aku yakin sekali itu ia... jaket bomber hitam... helm putih yang ada stiker DBL-nya di belakang... demi apapun itu benar-benar Glen.

"Dia lihat lo nggak?"

Aku menarik selimut. Sudah ngantuk maksimal. "Halah... kalau lihat pun terus kenapa? Dia juga paling-paling sudah seratus persen lupa wajah gue..."

Kalu diam lagi.

"Kalau ternyata dia ingat?"

***

Dua bulan lagi berlalu, dan kabar burung itu sampai juga di telingaku.

Ia diterima universitas. Universitas terbaik di negeri ini. Ratusan kilometer di provinsi sebelah. Bukan di Unair. Apalagi di Kota Surabaya kami. Jauh melenceng dari apa yang kudengar darinya enam bulan lalu.

Satu minggu kemudian, aku juga datang di acara wisudanya. Datang tanpa pernah betul-betul menemui ia. Aku melihat ia berdiri di atas podium. Aku melihat bapak kepala sekolah mengalungkan samir di lehernya. Aku melihat ia berfoto bersama kawan-kawannya. Ia memakai celana panjang berwarna hitam. Jas hitam yang seolah membalut tubuhnya dengan amat proporsional. Kemeja hitam senada. Sudah kubilang kan? Ia suka warna hitam. Dan dasi ungu muda yang mengalung di kerah kemejanya. Tampan. Lebih dari sekedar tampan, kurasa ia sempurna hari itu.

Sekarang apa? Semua jalan cerita tentang kami tiba-tiba terasa buntu. Tidak ada lagi menunggu di lorong setiap pagi. Tidak ada lagi upacara di barisan kelas sebelas IPS. Tidak ada lagi ke kantin di hari Jumat. Tidak ada lagi menonton pertandingan basket. Tidak ada lagi ia di sekolah ini. Tidak ada lagi ia di kota kami.

Nanti di tengah perjalanan usia, aku mungkin mendengar kabar tentangnya. Aku akan mendengar ia bekerja. Aku akan mendengar ia menikah. Aku akan mendengar ia tumbuh dan menjadi pria dewasa. Atau aku mungkin bertemu ia kembali entah di belahan bumi mana. Entah di bab-bab kehidupan yang mana—atau tidak sama sekali. Atau justru cerita tentang ia ikut berakhir bersama dengan pesta wisuda itu. Kita tidak pernah tahu rencana Tuhan bukan?

Tapi hidup harus terus berlanjut.

Sampai jumpa lagi, Glen. Sampai jumpa lagi, si jaket bomber hitam.

***

Continue Reading

You'll Also Like

499K 53.9K 23
Louise Wang -- Bocah manja nan polos berusia 13 tahun. Si bungsu pecinta susu strawberry, dan akan mengaum layaknya bayi beruang saat ia sedang marah...
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

1.8M 82.7K 37
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
4.2M 319K 52
AGASKAR-ZEYA AFTER MARRIED [[teen romance rate 18+] ASKARAZEY •••••••••••• "Walaupun status kita nggak diungkap secara terang-terangan, tetep aja gue...
3.5M 180K 27
Sagara Leonathan pemain basket yang ditakuti seantero sekolah. Cowok yang memiliki tatapan tajam juga tak berperasaan. Sagara selalu menganggu bahkan...