Ketos Galak

By cappuc_cino

3.7M 401K 131K

[TSDP #1] Siapa sih yang nggak mau jadi pengurus inti OSIS? Satu sekolah bakal kenal, "Oh, dia Shahia Jenaya... More

Ketos Galak : Tokoh
Ketos Galak : Prolog
Ketos Galak : 1 | Kabar Putus
Ketos Galak : 2 | Tokoh Antagonis
Ketos Galak : 3 | Tertangkap Basah
Ketos Galak : 4 | Kak Aru
Ketos Galak : 5 | Rapat OSIS
Ketos Galak : 6 | Pillow Talk
Ketos Galak : 7 | Interogasi Dadakan
Ketos Galak : 8 | Roti dan Air Mineral
Ketos Galak : 10 | Magenta
Ketos Galak : 11 | Hiya Hiya Hiya
Ketos Galak : 12 | Pernah ingat?
Ketos Galak : 13 | Ujung Sepatu?
Ketos Galak : 14 | Hapus!
Ketos Galak : 15 | Yang Pertama
Ketos Galak : 16 | Zoom
Ketos Galak : 17 | Curi Balik
Ketos Galak : 18 | Istirahat Dulu
Ketos Galak : 19 | Apa pun
Ketos Galak : 20 | Percakapan Singkat
Ketos Galak : 21 | Sebentar
Ketos Galak : 22 | Bilang
Ketos Galak : 23 | Kok, bisa?
Ketos Galak : 24 | Chat Doang
Ketos Galak : 25 | You Deleted this Message
Ketos Galak : 26 | Jadi gimana?
Ketos Galak : 27 | Lebih Dekat
Ketos Galak : 28 | Caption
Ketos Galak : 29 | Nggak gitu!
Ketos Galak : 30 | Pernah Muda
Ketos Galak : 31 | Jari Kelingking
Ketos Galak : 32 | Eh?
Ketos Galak : 33 | Make-up
Ketos Galak : 34 | CCTV
Ketos Galak : 35 | Keputusan
Ketos Galak : 36 | Pertemuan Masa Lalu
Ketos Galak : 37 | Kebetulan
Ketos Galak : 38 | Di Balik Dinding
Ketos Galak : 39 | Perjalanan Pulang
Ketos Galak : 40 | Jadi gini, ya?
Ketos Galak : 41 | Takut Kehilangan
Ketos Galak : 43 | Terakhir
Ketos Galak : 44 | Pengakuan yang Terlambat
Ketos Galak : Vote Cover
Ketos Galak : PO Novel
Ketos Galak : 46 | Pertunjukan Sirkus
Ketos Galak : 47 | Belahan Bumi Lain
Ketos Galak : Epilog & Extra Part
Ketos Galak : Special Part
Ketos Galak : Special Part 2
Ketos Galak : Special Part 3
Ketos Galak : Special Part 4
Ketos Galak : Special Part 5
Ketos galak : Special Part 6
Ketos Galak : Special Part 7
Ketos Galak : Special Part 8 & 9
Ketos Galak : Special Part 10

Ketos Galak : 9 | Tikungan

73.2K 9.6K 1.5K
By cappuc_cino

Ketos Galak | [Tikungan]

Yang nunggu angkat tangan dolooo. Hoy. Hoy. Hoy. Hoy. 🖐


Di sini ada POV Kae. Padahal ya niat awalnya bakal full POV Jena. Tapi aku tidak tahan untuk spill kehidupan, perasaan, pandangan, dan segala macam yang ada pada diri Kaezar. Wkwk. Selamat membacaaa.

BTW. Mohon dibantu tandain typo yaaa. Ini tanpa edit karena baru nyampe rumah. Langsung post. T.T
***

JENA

AKHIR pekan ini tidak ada Kak Aru. Kak Aru tidak pulang, sedangkan Sheya dan Shena pergi ke Depok, ke rumah kakeknya dan akan menginap dua hari di sana. Jadi, hari ini aku benar-benar tidak ada kegiatan. Chiasa sempat mengajakku pergi sih tadi, dan aku sempat tertarik untuk ikut.

Namun, "HP Papi ketinggalan, Fush. Tolong antarkan ke Blackbeans, ya?" Telepon Papi siang ini membuatku tahu, aku akan menghabiskan waktu akhir pekanku ini di Blackbeans.

Aku berangkat ke Blackbeans menaiki taksi online yang sudah dipesan Mami. Sempat berdebat dengan Gio sebelum pergi, memintanya ikut, tapi jelas aku selalu kalah. Gio lebih memilih game di komputernya daripada ikut denganku.

Aku sampai di Blackbeans satu jam kemudian, langsung bergerak ke lantai dua, tempat di mana Papi dan Om Janu berada.

"Memang kalau usia nggak pernah bohong, ya?" ujar Om Janu ketika melihat aku memberikan ponsel pada Papi.

Papi terkekeh. "Jangan mentang-mentang anak gue udah SMA sementara lo belum menikah, lantas lo pikir usia kita beda ya, Nu."

Om Janu tertawa. "Lho, jodoh gue kan Jena." Lalu menatapku. "Ya, Sayang?" tanyanya sebelum Papi melemparnya dengan gulungan kertas dan menghasilkan tawa lebih keras dari Om Janu.

Aku keluar dari ruangan itu, meninggalkan dua orangtua yang masih berdebat alih-alih meeting, seperti alasan yang kudengar dari Papi pada Mami ketika harus berangkat lebih pagi. Aku menuruni anak tangga, berpapasan dengan Om Chandra yang baru saja datang.

"Siang, Jena. Udah di sini-Eh, lho? Jena kok di sini?" tanyanya seraya mengacungkan telunjuk ke arahku, kelihatan bingung.

"Aku ke sini nganterin HP Papi, ketinggalan di rumah." Aku menatap Om Chandra yang masih kebingungan. "Kenapa, Om?"

"Bukannya tadi jalan sama Chiasa?" tanyanya. "Kok, Chiasa bilang tadi pergi sama kamu?"

Hah? Aku pasti kelihatan gelagapan sekarang. Sumpah ya, Chiasa. Kalau bohong ya briefing dulu dong harusnya! "Oh, iya, tadi rencananya aku mau berangkat sama Chia. Cuma ... Ng ... Mami nyuruh ke sini. Jadi aku batalin."

"Oh, gitu," gumam Om Chandra, mengangguk-angguk seraya melanjutkan langkah menaiki anak tangga. Om Chandra tidak memperpanjang percakapan, padahal aku tahu kelihatannya beliau tidak percaya begitu saja.

Aku kembali menuruni anak tangga, lalu berjalan ke arah konter pemesanan sambil bertanya-tanya sebenarnya Chiasa berangkat dengan siapa. Sesampainya di balik konter, aku meraih apron yang menggantung di gantungan tiang bercabang yang sengaja disediakan untuk karyawan, lalu berjalan menghampiri Mas Dino yang tengah membuat latte art di cangkir cappuccino pemesen.

"Aku bantuin, ya!" seruku membuat Mas Dino menoleh dan terkekeh.

"Wah, balabantuan weekend, nih?" sambar Mbak Kesya yang berjalan mendekatiku seraya membawa paper bag berisi biji kopi. "Tugas pertama, silakan haluskan beans ini, ya."

"Dengan senang hati," ujarku seraya meraih paper bag dari Mbak Kesya.

Aku memang senang berada di Blackbeans. Dibandingkan dengan Gio yang lebih senang berada di balik meja komputernya, aku lebih sering mengunjungi Blackbeans.

Aku suka aroma kopi yang menenangkan, suara coffee grinder yang menyala, melihat tetes-tetes terakhir espresso yang jatuh ke sloki, dan melihat Mas Dino menyajikan latte art di setiap cangkir. Omong-omong, aku juga mulai menguasai latte art, walaupun baru bisa membentuk satu hati di cangkir cappuccino berkat belajar dari Papi Terhebatku.

Aku bangga pada Papi, selalu. Tapi aku sebal kalau beliau sudah mulai resek!

"Caffe Americano," ujar salah seorang pengunjung yang suaranya amat kukenali.

Aku menjauh dari coffee grinder, lalu menghampiri sumber suara. Dan, aku menemukan Favian berdiri di balik konter pemesanan, tatapannya terarah pada menu bar "Favian! Sama siapa ke sini?"

"Eh, Je? Sendiri gue," jawabnya yang juga sama-sama terkejut.

Aku tidak mungkin membiarkan Favian duduk sendirian. Jadi, dengan apron yang masih menempel di tubuhku, aku cowok itu menikmati pesanannya. Favian memilih duduk di kursi outdoor, meja kayu berbentuk persegi itu hanya diisi oleh sepasang kursi kayu yang saling berhadapan dan dinaungi oleh sebuah payung besar berwarna coklat.

Payung itu tampak biasa pada siang hari, namun jika waktu sudah beranjak gelap, di sisi-sisi payung diisi oleh lampu oranye yang menyala hangat.

"Gue sering lho ke sini padahal, tapi baru lihat lo di sini," ujarnya saat aku memberitahu bahwa aku adalah anak dari salah satu pemilik Blackbeans.

"Masa, sih? Gue juga sering ke sini, kok. Tapi ... dulu, sih. Sekarang udah jarang."

"Sekarang sibuk banget, ya?" tanya Favian seraya menikmati caffe americano pesanannya.

Aku mengaduk frappuccino yang tadi dibuatkan oleh Mas Dino. Dia tahu sekali minuman kegemaranku jika main ke Blackbeans memang. "Sibuk lah. Sibuk di sekolah, sibuk di absis, terus-"

"Sibuk dikerjain Kae?" lanjut Favian, lalu tertawa setelah melihat ekspresi sebalku.

Semua orang tahu bahwa selama ini aku dan anggota OSIS lain memang sedang 'dikerjai' oleh Kaezar dengan dalih tugas OSIS. Karena kadang Kaezar tuh kalau melimpahkan tugas, suka tidak manusiawi. Pakai bilang, "Gue bisa kok ngerjain ini dalam sehari."

Padahal, harusnya dia tidak membandingkan kami sebagai manusia dengan mesin seperti dirinya.

Eh, tapi Bisa tidak, jangan bahas Kaezar pada hari libur seperti ini? Hanya dengan mendengar namanya, aku bisa merasakan ketidaktenangan pada diriku, seberpengaruh itu memang Kaezar. "Eh, iya. Gue baru tahu lho, kalau lo masuk Absis juga."

Favian mengangguk. "Bokap yang nyuruh, setelah lihat nilai ulangan gue yang menurutnya berantakan banget dibandingkan nilai ulangan punya-Yah, gitu." Favian tersenyum. "Eh, gimana kelanjutan PENSI?"

Kenapa dia kembali membahas masalah PENSI yang hubungannya tipis banget dengan Kaezar, sih? "Ya gitu-gitu aja," jawabku sekenanya.

"MPK siap bantu, gue udah bilang Kalil."

"Kita ada rapat hari Senin ini, rapat mingguan yang ngundang perwakilan sekolah lain juga," jelasku. "Kaezar bilang-" duh menyebut namanya saja aku merasa terganggu, "-bakal ngundang MPK juga."

"Oh, keputusannya sekolah lain bakal ikut bantu juga, ya?" tanya Favian. "Kemarin lo sama Kaezar rapat di Pengabdi itu, jadinya banyak sekolah lain yang ikut?"

Aku tertegun sejenak, lalu mengangguk. Sedikit bingung, bagaimana bisa Favian tahu aku pergi dengan Kaezar? Padahal satu-satunya orang yang tahu masalah itu kan Janari. Malah, setiap anggota OSIS mengira hari itu Kaezar pergi bersama Janari-karena rencana awalnya memang begitu-bukan aku.

"Eh, lo tahu nggak sih kalau anak teater udah mulai latihan?" tanya Favian. "Keren banget mereka!"

"Oh, ya?" ujarku ikut antusias. "Belum lihat gue."

"Lain kali lo harus lihat, deh! Mereka sengaja nyewa pelatih dari salah satu sanggar terkenal gitu. Konsepnya keren banget." Favian selalu bicara dengan mata yang terbuka lebar, bersemangat, dan tangannya bergerak ke sana-kemari. Seperti kata anggota MPK, kalau kehadiran Favian itu ... mood booster banget untuk mereka.

Oke. Jangan bandingkan dengan ketua kami, Yang Terhormat Alkaezar Pilar, yang setiap kehadirannya membangkitkan kejulidan alih-alih mood.

Favian tertawa ketika menceritakan kejadian saat menonton teater, membuatku ikut tertawa. "Jemima kan berperan jadi penyihir, terus gaun hitamnya keinjak Farhan yang lagi benerin sound system." Dia tertawa lagi.

Hakim seharusnya melihat ini. Bengek yang sesungguhnya adalah Favian. Dia tuh gampang banget tertawa. Dan membuat aku ikut-ikutan tertawa.

Namun, "Permisi." Tiba-tiba Papi hadir dengan lap putih yang digosokkan ke meja. "Ini bekas pengunjung lain kayaknya. Masih kotor. Sebentar, ya?" ujarnya, yang membuatku mengernyit, karena ... SEJAK KAPAN PAPI SUKA LAPIN MEJA BLACKBEANS SIH HA?

***

KAEZAR

GUE menjadi siswa terakhir yang keluar dari kelas Platinum Absis. Dan seringnya memang begitu. Tertegun sesaat sebelum melangkah menuju lobi, gue melihat ke balik dinding kaca koridor, dan baru sadar bahwa hari sudah beranjak larut. Jam tangan di pergelangan tangan sudah menunjukkan pukul delapan malam.

"Harusnya sebentar lagi," gumam gue sembari melangkah menuju mesin absen untuk menempelkan kartu pelajar.

"Hati-hati, Kae," ujar Kak Almira yang berada di balik meja administrasi. Kak Almira sudah sangat mengenal gue karena sering menjadi siswa paling lama berada di Absis.

Sebenarnya, hari ini tidak ada apa-apanya, gue bahkan pernah pulang saat pintu lobi Absis sudah mau dikunci dan pulang bersama sekuriti yang akan berganti shift.

"Duluan ya, Kak?" ujar gue sembari keluar dari lobi. Sudah gue duga, satu-satunya motor yang berada di lahan parkir siswa adalah motor gue. Gue melangkah ke sana seraya mengeluarkan kunci motor dari tas, lalu bergerak meraih helm saat sudah sampai.

Namun, gue berdecak saat mesin motor tidak menyala. Penyakitnya kumat lagi. Karena gue biarkan kehujanan seharian, mesinnya mati.

Gue mundur dua langkah, menatap motor sambil mengingat-ingat bengkel terdekat. Jika gue langsung mendorong motor dalam keadaan menerka-nerka letak bengkel, sedangkan jarak bengkel lumayan jauh, bisa-bisa besok pinggang gue kaku.

Mendorong motor sport seberat ini untuk mencari bengkel sama saja dengan cari penyakit. Jadi, gue memutuskan untuk keluar dari gerbang Absis, mencari bengkel lebih dulu, setelah itu mencari akal bagaimana membawa motor ke sana.

Gue buru-buru berjalan, karena hanya punya waktu satu jam lagi sebelum gerbang absis ditutup pada pukul sembilan malam.

Gue melangkah di trotoar, sebelah kiri, sesekali menoleh ke kanan untuk memastikan ada bengkel atau tidak. Namun, sejauh ini gue tidak menemukannya, hanya ada ruko-ruko makanan. Langkah gue terhenti di dekat tukang minuman gerobak. "Aqua satu ya, Bang," ujar gue seraya mencabut botol air mineral dari susunan dagangannya.

Pedagang gerobak yang tadi tengah duduk di pinggiran trotoar itu bangkit, menerima uang lima ribuan yang gue berikan.

"Ada bengkel nggak, Bang, di sini?" tanya gue setelah menenggak air mineral sampai habis setengah.

"Ada, sih. Tapi jauh." Tangan pedagang itu menunjuk ke arah ujung jalan. "Di sono noh, yang ada pertigaan. Belok kiri, dah."

"Wah." Gue mengembuskan napas berat membayangkan untuk mendorong motor sejauh itu.

"Mogok motornya?" tanya Abang Pedagang seraya melihat tangan gue yang menjinjing helm.

"Iya, nih."

"Wah, repot mogok motor di sini. Bengkelnya jauh."

Gue mengangguk-angguk. "Gitu, ya." Setelah Si Abang Pedagang kembali duduk di pinggiran trotoar, gue merogoh saku celana untuk meraih ponsel. Awalnya gue ragu dengan apa yang akan gue lakukan, tapi gue benar-benar tidak punya ide untuk mencari alternatif lain.

Papa adalah pilihan terakhir yang ... mungkin bisa gue andalkan. Oke. Bukan 'mungkin', tapi 'pasti'. Hanya gue saja yang denial pada kenyataan bahwa Papa bisa membereskan segala sesuatu dalam hidup gue.

Saat jemari gue mencari nomor kontak 'Papa' di layar ponsel, sebuah pesan hadir. Dari Favian. Awalnya gue hendak menekan pilihan 'mark as read' tanpa membacanya, tapi nama yang tertulis di pesan membuat gue tidak bisa mengabaikannya begitu saja.

Favian Keano

Gue habis jalan sama Jena.

Nggak jalan sih, cuma ketemu. Terus ngobrol lama.

Gue mendecih setelah membaca pesan itu. "Terus lo pikir gue peduli?" Gue hanya bergumam, tapi pasti terdengar sangat kesal. Segala sesuatu yang Favian lakukan tidak pernah lolos untuk membuat gue tidak kesal. Bagi gue, segala sesuatu yang ada pada Favian adalah salah. Kehadirannya dalam hidup gue adalah salah satu kesalahan terbesarnya.

Gue mengurungkan niat untuk menghubungi Papa setelah membaca pesan singkat dari Favian. Namun sialnya, Si Dungu itu tidak berhenti sampai di sana.

Favian Keano

Jangan pulang ke Jagakarsa, kata Papa.

Pesan itu hanya muncul di pop up tanpa gue baca. Gue langsung memasukkan ponsel ke saku celana dan hendak melangkah lagi untuk mencari bengkel jika saja sebuah mobil Civic hitam tidak tiba-tiba berhenti di sisi gue dan menyalakan klakson.

Gue menoleh, menyaksikan kaca jendela mobil di bagian depan turun dan terbuka. Ada ... Jena yang kini duduk di samping jok pengemudi.

Sebentar.

Jena?

Gue mengernyit bingung.

"Kaezar? Ngapain di sini?" Om Argan yang berada di balik kemudi mencondongkan tubuhnya ke depan untuk menatap gue, sementara Jena tetap menatap lurus ke depan dan duduk dengan posisi sangat dalam, cewek itu seakan ingin menanamkan punggungnya ke jok mobil demi tidak melihat gue dan enggan dilihat oleh gue.

"Oh, iya, Om?" Gue turun dari trotoar dan membungkuk, menyamakan dengan tinggi atap mobil.

"Lagi ngapain?" ulang Om Argan.

"Ini ...." Gue menoleh ke arah gerbang Absis. "Baru pulang bimbingan belajar, tapi motor saya mogok."

"Oh, gitu. Mau diantar?"

Jena menoleh pada Om Argan dengan cepat, seakan tidak terima dengan tawaran itu.

"Ayo, Kaezar. Masuk," ujar Om Argan.

Gue meringis, karena benar-benar tidak mau merepotkan selama gue bisa melakukan semuanya sendiri. "Nggak, Om. Makasih. Saya bisa-"

"Oh, kamu nolak?"

"Ya?" Gue mengerjap, bingung. "Nggak, Om. Saya cuma-"

Tiba-tiba Jena membuka pintu mobil dan turun. "Masuk, Kae. Mau sampai rumah jam berapa, jam segini masih di sini?" Sempat berhenti sesaat sebelum pindah ke jok belakang, Jena menggedikkan dagu ke arah depan.

Gue mengembuskan napas panjang. Selain benar-benar tidak mau merepotkan, rasanya gue juga ingin menghindar dari sesi interogasi sepanjang perjalanan menuju ke rumah. Namun, sepertinya tidak sopan jika gue harus menolak lagi. Gue bergerak masuk ke mobil dan duduk di samping jok pengemudi seraya memangku helm.

Agak aneh, kenapa juga Jena mesti pindah ke belakang?

"Nah, kalau gini kan enak ngobrolnya," ujar Om Argan ketika sudah melajukan mobil dan kembali berbaur di jalan raya.

Ngobrol? Maaf nih, Om. Rasanya gue ingin menyahut, "Bukan ngobrol, tapi lebih ke wawancara kayaknya ya, Om?"

"Jam segini baru pulang bimbingan belajar?" tanya Om Argan dan gue hanya mengangguk seraya mengiyakan. "Di Absis juga kan, sama kayak Jena?" Sesaat Om Argan menoleh ke belakang. "Fush, kamu kok nggak belajar malah ketemuan sama cowok?"

"Siapa yang ketemuan sama cowok, sih? Favian tuh tadi memang ke kedai tanpa tahu aku di sana, kita nggak sengaja ketemu," jelas Jena. "Lagian bunuh diri banget nggak sih aku ketemuan sama cowok di Blackbeans?" gerutunya kemudian.

Jadi ucapan Favian tentang pertemuannya dengan Jena bukan sekadar mengada-ada.

"Terus, masalah bimbel. Kae tuh kelas Platinum, kelas tertinggi, jadwalnya padat. Beda lah sama aku yang masih Silver."

"Oh, ya?" Om Argan menatap gue sekilas. "Kaezar nggak bisa bikin Jena masuk Platinum juga?"

Gue baru membuka mulut, hendak menyahut, tapi Jena lebih dulu bicara.

"Pi, ya nggak segampang itu Kaezar nyeret aku ke Platinum. Gimana, sih?" gerutunya. "Pembagian kelas kan disesuaikan sama kemampuan masing-masing dari kami."

"Lho, ya, iya, Papi ngerti. Maksudnya, bukan asal ngajak kamu ke kelas Platinum. Tapi Kaezar ajarin kamu sampai bisa masuk Platinum juga."

Hening. Rupanya Jena pun mengalami kebingungan yang sama.

"Maksudnya, Kaezar nggak bisa jadi tutornya Jena?" tanya Om Argan.

"NGGAK USAH NGADA-NGADA, DEH!"

Mendengar suara cempreng Jena, gur dan Om Argan sampai menoleh bersamaan ke jok belakang.

Harus Om Argan ketahui, jangankan untuk jadi tutor sebayanya, jika diberi kesempatan untuk pergi dari kehidupan ini untuk menghindari gue, kayaknydi bakal dia lakukan.

"Kaezar kenal Favian?" tanya Om Argan tiba-tiba.

Gue mengangguk. "Kenal, Om."

Om Argan bergumam. "Satu sekolah sih, ya." Lalu melirik gue sekilas. "Teman dekat?"

Bukan. Lebih ke ... musuh bebuyutan? Gue ingin menjawab demikian. "Nggak juga, tapi ... cukup dekat."

"Oh." Om Argan mengangguk. "Hati-hati ya, tikungan di mana-mana."

Gue nggak begitu mengerti tentang tikungan yang dimaksud, tapi untuk menghargai ucapannya, gue memutuskan untuk mengangguk. Getaran ponsel membuat gue merogoh saku celana, lalu melihat notifikasi adanya satu pesan masuk.

Shahiya Jenaya
Jangan terlalu dengerin bokap gue.

Gue melirik ke belakang, melihat Jena yang kini tengah menatap layar ponselnya.

Gue lalu membalas,

Alkaezar Pilar
?

Shahiya Jenaya
Bokap gue masih salah paham tentang lo yang bilang suka gue.

Sampai di kedai tadi, waktu gue ketemu Favian, bokap bilang, 'Kamu sebenarnya suka Kae atau siapa sih, Je?'

Apa tidak menggelikan mendengar itu?

Seandainya lo dengar sendiri, terus lo bayangin deh lo suka gue gitu.

Alkaezar Pilar
Seandainya gue suka beneran memangnya kenapa?

Lalu, terdengar suara ponsel yang jatuh dari arah belakang. Membuat Om Argan menoleh lagi. "Kenapa, Fush?"

"Nggak. Ini ... cuma ini... kaget aku."

***

Ke depannya, enaknya khusus POV Jena atau harus ada POV Kaezar ya?



Eee, weekendnya abiiisss. Besok Senin. *Diingetin banget* wkwk

Senin itu timur, waktu untuk kamu terbit, bersinar, berjuang. Dan ketika kamu lelah, capek, redup, dan butuh istirahat, ingat ya, saya dan cerita ini ada, menunggu kamu di Barat.

Bahagia selalu
Citra

Continue Reading

You'll Also Like

462K 16.2K 50
Cerita tahun 2018, masih menye-menye banget. Please jangan dibaca lagi!!!
391K 35.9K 97
Jenderal Su Yi adalah berpengetahuan luas baik dalam seni dan perang dan memiliki kehormatan dan kesetiaan. Kejatuhan satu-satunya sebagai jendral ad...
986K 30.7K 43
-please be wise in reading- ∆ FOLLOW SEBELUM MEMBACA ∆ Tentang Vanila yang memiliki luka di masalalu dan tentang Vanila yang menjadi korban pelecehan...
46K 6.8K 24
Bagaimana jika kamu harus menjadi manager dari grup rookie jebolan pdx ini? Started: 11/08/19 End: 14/08/20 © K N O C H U U X - 2019