Ketos Galak

By cappuc_cino

3.7M 401K 131K

[TSDP #1] Siapa sih yang nggak mau jadi pengurus inti OSIS? Satu sekolah bakal kenal, "Oh, dia Shahia Jenaya... More

Ketos Galak : Tokoh
Ketos Galak : Prolog
Ketos Galak : 1 | Kabar Putus
Ketos Galak : 2 | Tokoh Antagonis
Ketos Galak : 3 | Tertangkap Basah
Ketos Galak : 4 | Kak Aru
Ketos Galak : 5 | Rapat OSIS
Ketos Galak : 7 | Interogasi Dadakan
Ketos Galak : 8 | Roti dan Air Mineral
Ketos Galak : 9 | Tikungan
Ketos Galak : 10 | Magenta
Ketos Galak : 11 | Hiya Hiya Hiya
Ketos Galak : 12 | Pernah ingat?
Ketos Galak : 13 | Ujung Sepatu?
Ketos Galak : 14 | Hapus!
Ketos Galak : 15 | Yang Pertama
Ketos Galak : 16 | Zoom
Ketos Galak : 17 | Curi Balik
Ketos Galak : 18 | Istirahat Dulu
Ketos Galak : 19 | Apa pun
Ketos Galak : 20 | Percakapan Singkat
Ketos Galak : 21 | Sebentar
Ketos Galak : 22 | Bilang
Ketos Galak : 23 | Kok, bisa?
Ketos Galak : 24 | Chat Doang
Ketos Galak : 25 | You Deleted this Message
Ketos Galak : 26 | Jadi gimana?
Ketos Galak : 27 | Lebih Dekat
Ketos Galak : 28 | Caption
Ketos Galak : 29 | Nggak gitu!
Ketos Galak : 30 | Pernah Muda
Ketos Galak : 31 | Jari Kelingking
Ketos Galak : 32 | Eh?
Ketos Galak : 33 | Make-up
Ketos Galak : 34 | CCTV
Ketos Galak : 35 | Keputusan
Ketos Galak : 36 | Pertemuan Masa Lalu
Ketos Galak : 37 | Kebetulan
Ketos Galak : 38 | Di Balik Dinding
Ketos Galak : 39 | Perjalanan Pulang
Ketos Galak : 40 | Jadi gini, ya?
Ketos Galak : 41 | Takut Kehilangan
Ketos Galak : 43 | Terakhir
Ketos Galak : 44 | Pengakuan yang Terlambat
Ketos Galak : Vote Cover
Ketos Galak : PO Novel
Ketos Galak : 46 | Pertunjukan Sirkus
Ketos Galak : 47 | Belahan Bumi Lain
Ketos Galak : Epilog & Extra Part
Ketos Galak : Special Part
Ketos Galak : Special Part 2
Ketos Galak : Special Part 3
Ketos Galak : Special Part 4
Ketos Galak : Special Part 5
Ketos galak : Special Part 6
Ketos Galak : Special Part 7
Ketos Galak : Special Part 8 & 9
Ketos Galak : Special Part 10

Ketos Galak : 6 | Pillow Talk

77.4K 9.7K 2K
By cappuc_cino

Ketos Galak | [Pillow Talk]


Nungguin nggakkkk? XD


Mohon dibantu tandain typo yaaa.
***


Aku seringnya tidak mengerti pada cara berpikir Kaezar. Rencana awal kan dia akan berangkat dengan Janari. Namun, karena dia ada urusan, Janari mengajakku. Lalu, ketika Kaezar bisa berangkat, bukankah seharusnya dia berangkat bersama Janari? Kenapa jadi aku?

Senang banget ya dia bikin aku harus pulang larut ke rumah karena urusan OSIS?

"Iya, Mi. Di SMA Pengabdi." Aku masih berbicara dengan Mami di telepon sembari mengikuti langkah Kaezar yang kini berjalan ke arah tempat parkir sekolah, meminta izin untuk pulang agak larut.

"Sama siapa? Sendiri?"

"Nggak, nggak sendiri. Aku sama Kaezar," jawabku.

"Kaezar yang waktu kelas sepuluh sering antar kamu pulang?" Mami kenal pada Kaezar karena saat kami duduk di kelas sepuluh dan menjadi bagian pengurus OSIS di Sekbid Budi Pekerti Luhur, Kaezar sering mengantarku jika pulang terlalu sore. Dan hari ini, kebiasaan yang tidak pernah dilakukan selama beberapa bulan itu akan terjadi lagi.

"Iya, Kaezar yang itu."

"Oh. Boleh Mami bicara sama Kaezar?" Kebiasaan Mami, kalau tahu aku akan pergi dengan temanku. Ini tidak hanya berlaku pada teman cowok seperti Hakim atau Sungkara, setiap aku pergi dengan Chiasa atau Davi, Mami juga akan melakukannya.

Namun masalahnya, kali ini orangnya adalah Kaezar. "Hah? Mau apa, Mi?"

"Cuma mau ngomong sebentar. Tolong kasih teleponnya ke Kaezar."

Aku menjauhkan HP dari telinga, lalu menatap punggung Kaezar yang sudah berjalan sekitar lima meter di depanku. "Kae?" Saat melihat cowok itu berbalik, aku mengangsurkan HP ke arahnya. "Mami mau ngomong."

Kaezar kembali berjalan menghampiriku. Menerima HP yang kuberikan begitu saja tanpa banyak bicara atau bertanya, ada apa? Mau ngapain? Atau pertanyaan gugup lain yang biasa terucap dari teman-teman cowokku setiap kali Mami ingin bicara. Kaezar langsung berbicara dengan sopan, "Halo? Iya, sore juga, Tante. Oh, iya, saya Kaezar."

Aku tidak bisa mendengar suara Mami dari seberang sana. Yang bisa aku lakukan hanya mendengar ucapan Kaezar dan memperhatikan raut wajahnya.

"Baik, Tante. Tante apa kabar? Oh. Iya. Boleh kapan-kapan." Kaezar melihat jam di pergelangan tangannya. "Iya. Pasti saya antar Jena pulang kok. Iya, Tante. Iya, pasti. Oh, gitu? Boleh-boleh. Nggak kok, nggak ngerepotin. Sama-sama, Tante."

Mami sudah mematikan sambungan telepon saat Kaezar menyerahkan kembali HP-ku. Lalu kutanya, "Nyokap gue bilang apa?"

"Kapan main ke rumah?"

"Bohong banget!" Aku melotot.

Kaezar tidak memedulikan ketidakpercayaanku.

"Gue serius! Nyokap gue tadi bilang apa?"

"Titip Jena. Tolong jagain Jena."

"Halah, halah. Gue udah gede juga," gerutuku sembari memasukkan ponsel ke tas. Kami kembali berjalan, berjauhan, seolah-olah ada tiga atau empat orang yang memisahkan kami. Lahan parkir hanya diisi oleh tujuh motor milik siswa. Masih tersisa pengurus OSIS di sekolah, mungkin motor-motor itu milik mereka. "Terus? Kae?" Aku masih belum menyerah.

Kaezar yang kini sudah duduk di jok motornya menoleh. "Terus apa?"

"Terus nyokap gue bilang apa lagi?" Aku takut banget Mami bilang macam-macam.

"Pastiin Jena makan."

"Ih, gue udah makan juga tadi siang." Aku mendumal lagi. "Terus? Apa lagi katanya?"

"Pacarin Jena."

Aku tahu itu tidak mungkin, jadi aku hanya berdecak seraya mengambil ancang-ancang memukul Kaezar dengan tangan yang mengepal.

"Lagian." Kaezar memakai helm, dan menyerahkan helm milik Janari yang tadi dipinjamnya. "Nyokap lo nggak bilang aneh-aneh juga, khawatir banget."

Aku baru saja selesai memasangkan kunci helm di bawah dagu, lalu mengusap poni yang terurai menghalangi pandanganku. Aku mengerjap, menatap jok motor kosong di belakang Kaezar yang posisinya lebih tinggi dari jok di depannya. Aku tidak terlalu memperhatikan merek dan jenis motor itu. Yang kutahu, itu jenis motor sport, yang kalau berada dalam boncengan, akan membuat posisi tubuh otomatis condong ke depan.

Aku pernah dibonceng oleh Kak Aru, dengan jenis motor yang sama. Dan itu bukan masalah, aku suka berada di boncengan Kak Aru. Namun, karena cowok di depanku adalah Kaezar, ini adalah masalah besar.

"Je, naik," ujar Kaezar yang sudah menyalakan mesin motor.

Sementara aku masih meneliti step motor yang mesti kupijak saat naik, bisa tidak ya aku naik tanpa berpegangan pada Kaezar? Lalu, aku mulai mencari pegangan apa pun di motor itu yang bisa kugunakan selama perjalanan agar tidak memegang sedikit pun tubuh Kaezar, tapi nihil.

"Jena?"

Bagaimana aku bisa lolos dari boncengan ini tanpa memegang Kaezar sama sekali?

"Jenaya?"

Walaupun Kaezar tidak melepas tas punggungnya, tapi membayangkan tubuhku yang akan jatuh sepenuhnya di punggung itu ... membuatku ngeri.

Kaezar menarik gas dan menghasilkan bunyi raungan motor yang kencang, membuatku mengerjap dan menatapnya kaget. "Mikirin apa, sih?" tanyanya. "Takut ketahuan cowok lo gue boncengin?"

Aku mengernyit, lalu menggeleng. Cowok dari mana, sih? Dari Kerajaan Majapahit?

Kaezar mendengkus, mematikan mesin motornya. "Gue perlu izin dulu sama cowok lo apa gimana?" tanyanya lagi. "Atau bilang aja, lo nggak ada niat suka sama gue."

Ih, kalau ngomong suka bener. Aku menggeleng. "Kae ...." gumamku.

"Apa?"

"Gue nggak suka naik motor kayak gini," ucapku jujur.

Kaezar menoleh ke belakang, memeriksa keadaan motornya. "Apa yang salah?"

Aku memegang tulang punggungku. "Dulu, waktu masih kecil gue terdeteksi kena skoliosis."

Aku tidak berbohong tentang skoliosis yang kuderita, aku menemukan foto-foto di album keluarga saat mengenakan brace atau alat penyangga tulang punggung di usia tiga tahun. Namun, gejalanya sudah hilang, aku sudah sembuh jauh sebelum beranjak ke usia lima tahun. Jadi, ini termasuk dalam sebuah kebohongan tidak, ya? "Kalau kelamaan duduk di jok motor kayak gini, pasti—"

"Bentar, bentar." Kaezar membuka helm dan segera turun dari motor. "Gue pinjam motor Janari aja kalau gitu." Dia berlari setelah menyerahkan helmnya padaku.

***

Motor Janari adalah motor paling ramah sejagat raya. Motor matic yang joknya tidak akan membuat punggung kram walaupun melakukan perjalanan jauh. Aku turun dari boncengan Kaezar. Lulus tanpa pegangan sedikit pun.

Kami sudah sampai di SMA Pengabdi, disambut oleh ketua OSIS dan wakilnya di pintu masuk gedung sekolah. Kedua cowok itu memperkenalkan diri, Ketua OSIS-nya bernama Rival, sedangkan wakilnya bernama Faldy. Keduanya menyambut kami dengan baik, tapi Faldy lebih banyak mengajakku bicara saat Rival dan Kaezar berjalan lebih dulu.

Saat sampai di ruang OSIS, aku takjub sekali karena ruangan itu begitu dingin. Apakah mereka sengaja membuatnya sedingin itu?

Mungkin karena melihat ekspresiku yang tidak terlalu nyaman dengan suhu ruangan, Faldy menjelaskan. "Ini AC-nya memang sering turun-naik suhunya, belum dibenerin."

Aku mengangguk-angguk. "Oh, nggak apa-apa." Padahal, aku ingin sekali mengumpat karena jujur, aku paling tidak tahan dengan suhu dingin.

Perwakilan sekolah lain belum datang, kami menjadi yang pertama. Kaezar itu seperti sudah men-setting waktu dalam 24 jam perhari untuk kegiatan yang harus dilakukan. Jadi, tidak akan ada kata terlambat. Aku pernah tidak sengaja melihat buku catatannya yang terjatuh, ada jadwal kegiatan yang harus dilakukan setiap hari yang diurut dan dibatasi jam.

Dan jika dia tidak bisa melakukan salah satu di dalam kegiatannya, dia akan mencoret dan menggantinya dengan kegiatan lain, lalu memindahkan kegiatan yang sempat tidak dikerjakannya ke waktu lain. Seperti yang tadi dilakukannya sebelum berangkat ke tempat ini. Dia memindahkan jadwal bimbingan Fisika ke jam delapan malam.

Tiga perwakilan sekolah lain hadir; Axel dari SMA Adyaksa, Adam dari SMA Caraka, dan Dafa dari SMA Danapati. Aku sebagai cewek sendirian di sini, bagus sekali pilihan Kaezar memang. Dan setelah Rival mulai membuka rapat tentang PENSI yang akan diadakan di SMA Adiwangsa yang lain mulai memberi usulan.

"Jadi, masing-masing dari kami akan dibentuk panitia secukupnya," ujar Adam. "Gue dan tim akan bantu dari segi publikasi dan cari sponsor juga."

"Kami harus ikut rapat kepanitiaan di Adiwangsa sih biar lebih enak koordinasinya," tambah Axel. Dia baru saja menulis nomor HP di lembar kertas berisi catatan perwakilan sekolah yang kemudian diserahkannya pada Kaezar.

"Kami biasa rapat seminggu sekali," ujar Kaezar yang membuatku mengernyit tidak terima.

Seminggu sekali, katanya?

"Di luar rapat-rapat kecil yang sifatnya nggak terjadwal," lanjut Kaezar setelah menulis nama dan nomor HP-nya di kertas, lalu mengembalikannya pada Faldy dan melewatiku begitu saja. "Gue hubungi kalau kami udah nemu jadwal rapat mingguan supaya kalian bisa ikut."

Tangan Faldy kembali terulur. "Jena belum nulis?"

Kaezar mendorong kertas itu. "Nggak usah. Nomor gue udah cukup."

"Semua harus disesuaikan sama konsepnya, ya?" tanya Dafa yang membuat perhatian kembali terpusat pada rapat.

Kaezar mengangguk. "Biar total, iya harusnya. Terus nanti rencananya kita bakal—" Suara bersinku membuat Kaezar menghentikan ucapanku dan menoleh. "Kenapa, Je?" tanyanya ketika semua perhatian tengah tertuju pada penjelasannya.

Aku menggeleng. Aku harusnya berusaha terlihat baik-baik saja, tapi sulit karena suhu di ruangan itu terlalu dingin. Aku menyimpan dua tanganku yang saling menggenggam di pangkuan.

"Untuk parade kostum memarik banget nih, bisa sekalian keliling kayak pawai sambil bawa alat musik daerah gitu nggak, sih?" usul Axel. "Gue mau bilang sama yang lain buat nyiapin ini kalau boleh."

Kaezar mengangguk, sesaat tubuhnya membungkuk, seperti meraih sesuatu dari tas yang disimpan di dekat kaki kursinya. "Boleh nanti kita diskusiin sama panitia lain saat rapat mingguan," ujarnya. Tangannya baru saja mengeluarkan jaket dari tas, lalu terulur padaku. "Waktu rapat kemarin, kita masih bicarakan masalah konsep, sih." Dia masih terus bicara, tapi di bawah meja, tangannya membentangkan jaket ke pangkuanku.

***

Aku tidak bisa menahan suara bersinku yang terus-menerus, sampai membuat Kaezar meringis. Padahal aku sudah mengeratkan jaket Kaezar di tubuhku. Ini ironi banget sih, karena tadi aku mati-matian sama sekali tidak ingin menyentuh Kaezar selama perjalanan—sekali pun hanya jaketnya, tapi sekarang aku malah memeluk erat-erat jaket Kaezar ini. Ini pasti salah satu bentuk kutukan untukku yang terlalu sering membicarakan keburukan Kaezar.

Dan, kutukan tidak sampai di sana. Sekarang, alih-alih membawaku cepat-cepat pulang, Kaezar malah membawaku ke sebuah kafe yang jaraknya tidak jauh dari SMA Pengabdi.

Di setiap sudut kafe disediakan sepasang bean bag serta bantal-bantal besar yang lembut, empuk, dan wangi. Aku beneran jadi ingin tidur.

Di antara lampu oranye yang hangat dan ramainya berbagai warna bantal, Kaezar berjalan menghampiriku, menaruh dua cangkir cokelat hangat di meja pendek yang memisahkan kami.

"Makasih," ujarku seraya menarik balok UNO yang sudah tersusun tinggi di atas meja.

Kafe itu seperti dirancang untuk memanjakan orang yang kelelahan, didesain senyaman mungkin sampai rasanya seperti berada di kamar sendiri. Dan di atas meja, tidak hanya ada balok-balok UNO, ada banyak kartu yang disimpan di dalam stoples yang bisa digunakan untuk mengusir jenuh. Namun sayangnya, aku tidak ingin memainkan kartu-kartu itu dengan Kaezar.

"Kenapa nggak bilang, sih? Kita kan bisa cepat pulang tadi biar lo nggak kayak gini."

Yang benar itu. Seharusnya aku tidak usah ikut pergi biar keadaanku tidak seperti ini. "Ya nggak enak, kan lagi rapat," ujarku. "Giliran lo nih." Aku menyerahkan permainan UNO pada Kaezar.

Dengan hati-hati, Kaezar menarik Balok Wild, balok berwarna ungu yang dapat diambil kapan saja, dan orang yang berhasil mengambil balok itu bisa menentukan warna apa yang harus diambil oleh pemain selanjutnya. Kaezar menyeringai saat berhasil menarik balok itu dengan mulus "Giliran lo."

"Warna apa?" tanyaku sambil cemberut.

"Kuning aja." Anehnya Kaezar memberiku pilihan warna yang paling mudah.

Namun selanjutnya permainan terhenti karena perhatianku teralihkan pada layar ponsel yang menyala, muncul satu pesan di sana.

Faldy Raihan
Je, udah sampai rumah? Gimana keadaan lo?

Aku memang tidak menulis nomorku di catatan tadi, tapi aku memberikannya langsung pada Faldy sesaat sebelum keluar dari ruang rapat saat cowok itu memintanya.

Shahiya Jenaya
Belum. Lagi mau makan dulu nih.

Faldy Raihan
Oh. Tapi lo nggak apa-apa? Lain kali, kalau mau rapat di sini lagi, gue minta benerin AC RO deh ke pihak sekolah biar lo nggak bersin-bersin. Haha. Sori, ya.

Shahiya Jenaya
Nggak apa-apa. Hahaha. Tapi thanks, btw.

Faldy Raihan
Btw lo di mana sekarang? Kok nggak langsung balik?

Aku mendongak, menatap Kaezar yang baru saja menyesap coklat hangatnya. "Ini kita lagi di mana sih, Kae? Nama kafenya apa?

"Pillow Talk."

"Oh." Aku kembali menunduk, membalas pesan Faldy. "Sesuai namanya, ya? Banyak bantal gini.

"Hm."

"Eh, masa Faldy nggak tahu ada Pillow Talk deket SMA Pengabdi, memangnya baru ya ini kafenya?" tanyaku.

Kaezar mengernyit, raut wajahnya berubah. Namun aku tidak tahu apa alasannya. Cowok itu tidak menjawab pertanyaanku, tapi malah bertanya tentang hal lain. "Lo kasih nomor lo ke Faldy?"

Aku mengangguk. "Sebelum keluar auditorium, dia minta," jawabku. "Kenapa memangnya?" Tidak ada yang salah, kan? SMA Pengabdi akan menjadi partner kami untuk acara PENSI nanti, tapi kenapa Kaezar terlihat tidak suka?

Kaezar hanya bergumam, lagi-lagi.

Lalu, karena Kaezar diam saja, selanjutnya aku memainkan balok-balok UNO sendirian. Lagi pula, aku pasti kalah jika melanjutkan permainan ini melawan Kaezar.

"Je?"

"Hm?" Aku sedang fokus menarik balok warna hijau.

"Tadi sebelum pergi Janari sok-sokan mau kenalin lo sama cowok dan lo nggak nolak. Sekarang, lo juga malah kasih nomor ke Faldy."

Aku mendongak, menatapnya bingung. "Iya ... terus?"

"Lo nggak takut cowok lo marah?"

Aku mengernyit. "Terus lo nggak nanya, apa cowok gue nggak bakal marah kalau lihat kita makan bareng berdua di sini?"

Kaezar berdecak. "Gue kan udah tawarin tadi, mesti ngomong nggak gue sama cowok lo biar nggak salah paham?" ujar Kaezar seraya kembali meraih cangkir cokelatnya. "Lagian, ini bentuk tanggung jawab gue sama nyokap lo aja sih. Nggak balikin anaknya dalam kondisi kelaparan."

"Kae, kenapa sih lo sewot banget kalau gue punya cowok?"

Ekspresi Kaezar berubah kaku, dia juga tidak bersuara.

Aku bersidekap. "Gue tetap bakal loyal jadi partner lo di OSIS kok, seandainya nanti gue beneran punya cowok, ya seenggaknya—"

"Seandainya nanti?"

"—sampai selesai PENSI," ujarku tanpa memedulikan kebingungannya. "Sekarang gue nggak punya cowok. Puas lo?" Dalam hati, dia pasti sedang menertawakanku.

"Cowok yang dilihat Favian di PIM?"

"Bukan cowok gue," sanggahku. "Dia itu ... kakaknya temen gue. Tapi ya memang sih ...." Gue suka. Aku ingin melanjutkan penjelasanku, tapi itu tidak penting juga untuk diceritakan pada Kaezar, tidak penting Kaezar tahu siapa cowok yang aku suka. "Yah, gitu. Dia cuma nganter doang."

"Hm."

Aku mendengkus. "Lagian, penting banget ya lo tahu gue punya cowok atau nggak?"

Kaezar masih menyimpan cangkir di depan wajahnya, jadi aku tidak bisa melihat bagaimana eskpresinya sekarang. "Nggak juga sih."

***









Kaezar tuh sebenarnya :

A. Suka Jena

B. Gabut aja pengen deketin

Wkwkwk.

Semoga madih ada yang nungguin bangeeet cerita ini ya huhu :")
Dapet salam dari Kae di sini.

Selamat menikmati hari Minggu. Semoga kebahagiaan kamu datang sebanyak air hujan yang nggak ada berhentinya jatuh seharian ini.

Bahagia selalu
Citra

Continue Reading

You'll Also Like

462K 16.2K 50
Cerita tahun 2018, masih menye-menye banget. Please jangan dibaca lagi!!!
50.5K 2.3K 55
VOTE SEBELUM MEMBACA [LENGKAP] •• Setelah putus dari mantan nya, kini Keira selalu terdiam menatapi kenangan yang telah hilang. Ia terus berusaha men...
57K 4.5K 37
Semua itu bermula ketika Ratu kepo terhadap Gavin Raefal Ishara yaitu seorang Bad Boy. Gavin benar-benar membuat Ratu jera karena rasa keponya.
846K 23.9K 55
Zanna tidak pernah percaya dengan namanya cinta. Dia hanya menganggap bahwa cinta adalah perasaan yang merepotkan dan tidak nyata. Trust issue nya so...