Yuk jangan jadi silent readers ;)
1 vote kamu berarti sejuta bagi penulis❤
Syila berjalan sendirian di koridor sekolah. Matanya waspada menatap sekitar. Sekolah saat ini sudah sepi karena jam belajar yang telah usai. Ia memutuskan untuk pulang sendiri, oleh karena itu ia tidak boleh berpapasan dengan Arlan.
Syila menoleh ke kiri dan sialnya ia melihat Arlan tengah menuruni tangga. Syila panik, ia bingung harus berlari kemana. Tanpa berfikir panjang Syila langsung memasuki salah satu ruangan terdekatnya untuk saat ini, tanpa melihat nama ruangan tersebut terlebih dahulu.
"Untung aja." Syila menghela nafas lega. Begitu memasuki ruangan tersebut, Syila langsung menutup pintunya cukup keras.
Syila memutar badannya dan ia dikejutkan dengan sosok laki-laki yang tengah duduk menulis sesuatu di atas meja.
"Abis dikejar setan ya?"
Syila memutar otaknya. "Erga?" Jika ada Erga disini, maka ia ada di ruang...
Syila sontak membuka pintu dan melihat nama ruangan yang tertempel di tembok. Dan benar saja yang ia baca adalah ruang OSIS.
"Maaf, gue masuk ruangannya nggak sopan." Ujar Syila sembari berjalan mendekati Erga. Jemarinya ia mainkan di belakang tubuh.
Syila menatap sekitar ruang OSIS. "Lo sendiri?"
Erga mendongakkan kepalanya, lalu bergeleng. "Enggak, berdua."
Syila memicingkan matanya. "Ada orang disini selain lo?" Tanyanya takut-takut.
Erga terkekeh. "Lo." Telunjuk Erga mengarah ke Syila yang berdiri di depannya.
Syila langsung mendengus dengan kekehan kecil di akhir.
"Belum pulang?" Tanya Erga menambahi.
"Ini mau pulang." Jawab Syila. Jikasaja ia tak hampir bertemu Arlan, dirinya pasti sudah dalam perjalanan pulang saat ini.
Erga merapikan meja lalu bangkit berdiri. "Yuk, gue anter."
Syila menggeleng. "Nggak usah, gue naik ojek online aja." Ia takut akan merepotkan Erga. Rumah mereka juga tak searah. Ditambah Erga baru saja menyelesaikan tugas OSISnya, pasti cukup melelahkan.
Erga menepuk pundak Syila pelan. "Nggak papa, biar gue anter."
Ia kemudian mengajak Syila berjalan keluar bersama. Mereka berjalan beriringan menuju parkiran sekolah. Begitu sampai, Erga dan Syila langsung masuk ke dalam mobil.
"Oh ya waktu itu lo nanya siapa yang ngelukis lukisan itu, emang kenapa?" Tanya Erga di sela-sela menjalankan mobilnya.
Syila langsung teringat dengan percakapan mereka sebelumnya. "Ehmm bagus aja, makanya pingin tahu. Jadi siapa yang ngelukis?"
Erga menggeleng. "Gue juga kurang tahu, bahkan sebenarnya keluarga gue punya galeri lukisan. Tapi keluarga gue jarang ngebahas lukisan-lukisan disana." Jelas Erga. Itu menjadi bagian rahasia keluarga yang tak terusik.
Syila ingin bertanya lebih jauh. "Oh ya? Gue jadi pingin lihat lukisan-lukisannya." Rasa penasarannya semakin menguat.
Erga menatap Syila di sebelahnya. "Mau mampir ke galerinya?" Tawar Erga.
Syila buru-buru mengangguk. "Boleh." Ia perlu mencari tahu sesuatu.
Perjalanan tiga puluh menit mereka tempuh untuk sampai di galeri tersebut. Dari luar, sudah terlihat unsur-unsur seni dari gedungnya. Begitu mereka keluar dari mobil, Erga langsung mengajak Syila masuk ke dalam.
Syila seketika takjub melihat banyaknya lukisan-lukisan di tempat ini. Semua ditempatkan dengan rapi dan indah. Syila menghampiri salah satu lukisan, memperhatikan gaya melukisanya. Sebagai orang yang hobi melukis, Syila tahu betul lukisan ini mempunyai maknanya sendiri, yang membuat nilai seninya semakin tinggi.
Mata Syila turun mencari nama pelukisnya, tapi yang ia kembali lihat adalah lambang pita merah kecil di pojok kanan bawah.
"Suka?" Tanya Erga memperhatikan Syila yang begitu serius memandangi lukisan.
Syila sontak tersadar dari lamunannya. "Suka." Jawabnya cepat.
Syila dan Erga berjalan sejajar melihat satu persatu lukisan. Aneh, setengah lukisan tersebut memliki pita merah di pojoknya. Syila semakin yakin akan sesuatu di dalam hatinya, hanya saja ia tidak ingin menyuarakannya.
"Siapa yang ngerawat galeri ini?" Syila menghentikan langkahnya, menatap Erga.
"Papa gue yang ngerawat sama pekerja-pekerjanya."
"Papa lo?"
Erga mengangguk. "Mau lihat foto papa gue?" Tawar Erga.
"Boleh."
Erga mengeluarkan handphone dari saku celananya. Baru saja Erga akan menunjukkan fotonya, ponsel Syila berdering terlebih dahulu.
"Tunggu sebentar." Syila membalikkan badannya, melihat nama yang tertera dilayar ponselnya.
Matanya langsung terbelalak melihat nama Arlan lah yang terpampang. Syila tak menjawab panggilan tersebut.
"Erga pulang sekarang yuk, biar nggak keburu sore." Ajak Syila.
Erga mengangguk. "Yuk." Ia juga tak berhak mengajak anak gadis berkelana hingga petang.
Selama di dalam mobil Syila hanyut dengan pikirannya sendiri. Bahkan Erga yang berbicara tak ia dengarkan.
"Hei, jangan bengong." Erga menyenggol pelan lengan Syila.
"Maaf, gue tiba-tiba kepikiran sesuatu." Syila menggaruk rambutnya yang tidak gatal.
Erga menyetir dengan satu tangannya, ia sempatkan menoleh ke arah Syila. Tanpa memberi tahu, Erga menghentikan mobilnya di salah satu supermarket.
"Tunggu bentar." Perintahnya pada Syila.
Beberapa menit kemudian, Erga kembali memasuki mobil. Tangannya terjulur memberikan Syila sebotol minuman dingin.
"Minum, biar lo lebih rileks." Erga mengembangkan senyumnya yang hangat.
Syila menerimanya dan balik tersenyum. "Makasi."
Minuman tersebut habis Syila teguk setengahnya, mungkin ia memang sedikit tegang sebelumnya. Tunggu, kenapa laki-laki disebelahnya memiliki kepekaan yang baik. Bukankah laki-laki umumnya perlu dikode.
"Erga turunin gue di belokan kayak waktu ini ya, gue kayaknya perlu jalan bentar." Pinta Syila. Kali ini alasannya tak sepenuhnya kebohongan.
Erga langsung mengangguk tanpa bertanya lebih jauh. Begitu mereka sampai di belokan, Syila langsung melepaskan sabuk pengamannya. Tangannya hendak membuka pintu mobil, namun tangan Erga menghentikannya. "Kalo ada masalah cerita aja sama gue, jangan dipendam sendiri."
Syila mengangkat sudut bibirnya. "Oke, kalo gitu gue pulang dulu. Makasi Erga."
Langkah kaki Syila pendek, sengaja menghabiskan lebih banyak waktu untuk berjalan. Matanya menatap lurus ke depan dengan pikiran yang entah kemana.
"Tinn..."
Bunyi sebuah klakson motor dari belakang yang mengagetkan Syila.
"Arlan?" Ujar Syila begitu membalikkan badannya. "Lo ngagetin aja sih." Syila menatap kesal Arlan.
"Naik." Perintah Arlan.
Syila dengan cepat menggeleng. "Nggak, gue jalan aja." Ia langsung membalikkan badannya.
Baru beberapa langkah, tas Syila ditarik ke belakang.
"Cepet naik, lo nggak tahu panas apa?" Arlan menunjuk sinar matahari yang masih panas benderang dengan dagunya.
Syila males berdebat, akhirnya ia memutuskan untuk naik saja.
"Arlann..." Ujar Syila kesal. Begitu ia menaiki motornya, Arlan langsung mengegas motornya dengan kencang. Alhasil, kedua tangan Syila telah melingkar di perut Arlan. Sial, mengingat tangannya membuat Syila berdebar sendiri.
"Kenapa tadi muka lo keliatan banyak pikiran?" Tanya Arlan dari balik helmnya.
Pertanyaan Arlan membuat Syila merasa diperhatikan. "Kenapa emang?"
"Jangan lagi." Perintah Arlan. Dan entah kenapa, Syila merasa Arlan menahan tangannya untuk tetap berada di sana. Anehnya juga, Syila juga tak merasa perlu untuk melepasnya.
"Lo jelek kalo cemberut."
Syila langsung memelintir perut Arlan, kesal.
"Arlan, kok lo nyebelin banget sih?" Syila menggepak-geplak helm Arlan, melampiaskan rasa sebalnya. Sedangkan yang digeplak hanya terkekeh.
"Awas ntar jatuh." Ingat Arlan untuk menghentikan tingkah Syila.
Arlan mengintip wajah Syila dari spion motornya.
"Muka lo yang kesel lebih bagus daripada sedih."
Updateeee...
Kalo part ini menurut kalian gimana?
Jangan lupa divote ya 🥰
See u in the next chapter
Makasi semuanya ❤
Have a wonderful february 😊