A Night Sky of Lyra

By Ellenconny

53 5 0

Oliver Aldera adalah pusat tata surya di SMA SATURN. Namun hidupnya berubah dalam 10 detik, meluncur masuk ke... More

BAB 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 7

Bab 6

4 0 0
By Ellenconny


"Kau tidak bisa menjadi dokter, biologist, mikrobiologist, neurologist hanya gara-gara pacarmu sakit, Olly."

Kupikir kalimat ini akan kudengar dari Mama. Tapi tidak. Di luar dugaan papalah yang melontarkan kalimat itu.

"Jelas saja kau tak mengerti perasaan Oliver, mana kau tahu rasanya patah hati Alan?" geram Mamaku.

"Oliver baru di sini dua jam dan kau sudah merasa lebih baik dariku?" balas papaku sengit.

Dan begitulah mereka memulai pertengkaran mereka.

"Oke...sebaiknya aku ke kamar saja," kataku lelah

"Lihat apa yang kau lakukan!" sergah mama kepada papa.

Lalu mama memberikan secangkir teh hangat herbalnya padaku. Dia bilang ini campuran chamommile, daun-daunan herbal, ginseng, lemon, dan tak tahu apa lagi. Dia menuang bubuk demi bubuk dan dedaunan ke dalam panci dan mendidihkannya di kompor sambil bercerita panjang lebar soal membuat teh yang benar. Berusaha untuk membuatku lupa soal Lyra. Tapi sesuatu dalam jiwaku patah, dan aku menjadi rapuh dan mentah sehingga tak menanggapinya sepatah kata pun.

"Bawa tehmu ke atas. Minum dan cobalah untuk tidur Olly," katanya lembut.

Aku hanya mengangguk. Papaku meremas bahuku saat aku melewatinya.

Aku menaiki tangga yang berada di sudut antara ruang tengah dan dapur. Ruang tamu terletak paling depan dan sangat kecil. Kurasa ruangan itu ada sekedar formalitas saja.

Hanya ada dua kamar di atas. Kamar mama dan kamarku yang selama bertahun-tahun cuma menjadi kamar tamu karena aku hampir tidak pernah datang ke sini. Saat aku menangis seperti bocah lima tahun dihadapannya, mama langsung meninggalkan pekerjaannya dan mengajakku ke rumah. Untuk pertama kalinya selama bertahun-tahun juga, dia menelepon papa.

Jendela terbuka, angin membuat tirai tipis berwarna putih berkibar-kibar. Kamarnya besar, seperti kamarku di rumah. Tidak ada interior berlebihan. Kamar ini seperti guest house atau kamar sebuah hotel. Tunggu! kecuali...Aku terperangah melihat tiga fotoku dengan mama di bufet samping tempat tidur. Ada juga dua lukisan cakar ayamku waktu kecil yang dipajangnya. Ada perasaan nostalgia yang tak dapat kugambarkan. Dan perutku terpilin oleh rasa bersalah. Mungkin mama memang berusaha.

Aku menghirup tehku sebelum merebahkan diri. Rasanya enak dan menenangkan meskipun aromanya begitu asing. Rasa lelah itu baru terasa begitu mendera saat aku menggeletakkan kepala di bantal.

Aku mencintaimu, kalimat itu kugumamkan dalam kegelapan. Sekarang tak mungkin aku mengingat kata cinta tanpa terbayang wajah Lyra yang terguncang.

Aku terbangun lepas tengah malam. Sayup-sayup suara tawa dari bawah membuatku turun. Papa dan mamaku sedang terkikik-kikik bersama-sama. Ya..ampun...ini bahkan lebih buruk dari pertengkaran mereka yang kulalui selama bertahun-tahun. Aku sempat berpikir kalau ini mimpi.

"Kau ingat pacarmu yang berambut merah itu?" tanya Mamaku.

"Jordana," kata Papaku.

"Kau ingat bagaimana dia mengira Olly perempuan..."

Lalu tawa mereka berdua meledak.

Oke. Aku tidak suka kalau aku di bawa-bawa. Ini jelas bukan mimpi. Aku melihat papaku meminum tehnya terus menerus. Jangan-jangan, ini ada hubungannya dengan teh herbal yang diberikan mamaku hingga papa bisa terkikik-kikik sampai memegangi perutnya. Aku hanya menggelengkan kepala dan memutuskan untuk tidur lagi. Tapi itu tidak berhasil. Lalu aku hanya tercenung sambil memandangi langit dengan hati yang patah. 

***

Aku dan Fiona. Itu bukan patah hati sungguhan. Dan seperti apa patah hati sungguhan? Seperti yang ditulis Max di jurnalnya. Begitu menyiksa. Segala sesuatu mengingatkanmu akan dirinya, seperti candu tak peduli betapa pun sakitnya itu.

Aku menggulung diri di tempat tidur, menyelubungi diriku dengan selimut. Aku hanya ingin tidur. Mama mengantarku pulang ke rumah pagi-pagi sekali. Menurutnya, di rumah papa lebih banyak orang, jadi lebih baik bagiku untuk pulang ke rumah. Bagiku di manapun juga tidak jadi soal. Perasaanku tetap sama, getir!. Aku ingin berbuat apa saja untuk Lyra, menghiburnya, bahkan mengambil penyakitnya kalau perlu.

"Olly?" sebuah suara terdengar samar-samar dari balik selimutku. "Olly!" Ben menarik selimutku. "Kau baik-baik saja?"

Aku mengangguk lemah. Kepalaku pusing, aku hanya ingin istirahat. Aku ingin punya waktu bersedih tanpa diganggu siapa pun.

"Aku ingin menyerahkan ini," katanya memberikan medali kemenangan Saturn kemarin.

Aku mengambilnya ogah-ogahan dan melemparkannya begitu saja di sisi lain kasur.

Dia sudah membuka mulutnya tapi ragu-ragu untuk bicara. Namun setelah aku menyelubungi kepalaku lagi dengan selimut, dia akhirnya mengeluarkan suara, "Aku sudah dengar apa yang terjadi."

Aku bergeming.

"Alice sudah bicara dengan Lyra," katanya lagi.

Lalu aku membuka selubungku, memandangnya penuh tuntutan untuk bicara lebih lanjut.

"Dia bilang kalian putus," katanya perlahan-lahan, seolah itu akan mengurangi rasa sakitnya.

"Dia bilang begitu?"

Itu pemutusan sepihak. Teriakku dalam hati. Aku tak pernah menginginkannya. Dan aku tidak mengatakan kata 'putus'. Aku...sudahlah...mungkin ini putus sepihak atau cinta sepihak...tergantung dari sudut pandang siapa.

"Kau tahu apa yang kau butuhkan?" dia menyibakkan selimutku dengan paksa, membiarkanku terpapar oleh sinar mentari sore yang hangat.

"Lagu soundtrack patah hati," cengirnya. "Karena kita bukan cewek dan kita tidak punya ikatan batin pada cokelat, jadi kita tidak mungkin menghabiskan berpak-pak es krim dan cokelat sambil menonton opera sabun untuk pelampiasan, jadi lagu soundtrack pasti bisa menggantikannya," katanya penuh semangat.

Aku bangun dan menyambut ide konyolnya tanpa minat.

"Bagaimana dengan lagu-lagu Smiths? Jangan deh, terlalu depresi," putusnya sendiri. "The Script! Nothing!" matanya berkilat-kilat, tapi dia menggeleng, baru ingat bait pertamanya, "Am I better of dead? No no..." dia meringis.

"Semua lagu patah hati memang terdengar agak depresi dan gila," katanya pada akhirnya.

Aku tersenyum tipis, "Aku patah hati Ben, bukan gila."

"Kau terlihat gila," dia mendelik.

Aku merapikan rambutku sambil terkekeh, "Mungkin sedikit."

Lalu kami berdua tertawa. Aku bangkit dan mencuci muka, juga mengganti baju. Lalu kami berdua duduk di kursi balkon sambil menikmati udara sore.

"Kau benar-benar mencintainya ya?" tanyanya.

"Sampai rasanya mau mati," kataku tersenyum sedih."Tapi aku cuma 17 tahun, aku mungkin tak tahu artinya cinta," suaraku nyaris seperti bisikan.

"Bayi pun tahu artinya cinta, Olly. Bahkan janin di dalam rahim seorang ibu tahu apakah dia dicintai atau ditolak oleh orang tuanya. Cinta bukan soal umur. Mungkin cinta terdengar gila, aneh, tapi itu berharga. Jangan biarkan itu pergi begitu saja," katanya memandangku.

Dan hanya dengan kata-kata seperti itulah Ben mendorongku untuk berbuat sesuatu.

***

Jangan biarkan itu pergi begitu saja. Aku berdiri di depan pintu Lyra. Kakek Bob mengijinkanku untuk menemuinya langsung di kamarnya, karena Lyra nyaris tidak keluar sejak Jumat malam. Dan ini sudah minggu sore. Aku diam selama 20 detik sebelum mengetuk pintu.

"Aku sedang tak mau diganggu Kek," suaranya menyahut dari balik pintu.

"Ini aku," kataku.

Lalu keheningan yang mutlak berada di antara kami.

"Aku membawa cinnamon roll kesukaanmu."

"Lyra..." ketokku lagi, "Please. Aku akan menunggu di sini, sampai kau membuka pintu."

"Kau tidak punya urusan lagi denganku Olly, tolong...pergilah."

"Aku janji ini hanya sebentar, oke?" kataku tegas, mencoba meyakinkannya.

Tidak ada jawaban. Aku baru saja mau mendudukkan diriku di depan pintu kamarnya saat derit pintu terdengar.

"Kau punya lima menit," dia membukakan pintu kamarnya untukku.

Aku melangkah masuk. Merasa melanggar seluruh privasinya. Kamar itu berlantai ubin kemerahan dengan karpet besar melapisi tengah ruangan. Sebuah teleskop berdiri dekat jendela. Di sampingnya terdapat meja besar, berisi tumpukan majalah astronomi, lensa-lensa dan kamera fotografi, juga pigura-pigura: bola dunia, solar system, dan otak. Tidak terdapat poster dan deretan foto apa pun di meja dan dinding. Dindingnya polos di cat ungu muda. Rak-rak penuh buku memenuhi ruangan dan kursi-kursi beanbag berada di antaranya.

Aku menyerahkan kue cinnamon roll kepadanya. Dia meletakkan kotak kue itu di meja begitu saja. Dia menyandar di samping jendela. Aku menatap matanya yang cekung dan hampa dan dia memandangku.

"Aku tidak mau pergi. Aku tidak akan menyerah kepadamu, Lyra."

"Ini bukan terserah kau," jawabnya datar tanpa ekspresi.

"Aku memutuskan untuk menjadi neurologist."

Dia menyipitkan matanya ke arahku. "Kenapa?"

"Karena....karena aku ingin mencari obat untuk Alzheimer sialan itu. Aku ingin menjadi satu-satunya orang di dunia ini yang mengerti tentang dirimu, Lyra!" suaraku terdengar marah dan sengsara sekaligus.

Dia terlihat skeptis, seakan-akan tidak mempercayai pendengarannya.

"Aku tidak percaya ini, kau memutuskan masa depanmu karena oh....seseorang sakit alzheimer...aku jadi neuorologist [17] saja."

"Kau bukan sekedar seseorang buatku. Dan tidak. Aku tidak mau jadi atlet meskipun aku sangat baik melakukannya. Aku tidak akan menjadi seseorang meskipun seluruh dunia memintanya. Aku bukan orang yang tak tahu apa-apa Lyra. Aku sempat mati, kau ingat? Aku memulai kehidupanku tanpa apa-apa, tanpa siapa pun. Dan kalau kau berpikir aku akan melepaskanmu begitu saja, kau salah!" kedua mataku berkaca-kaca melihat mendung di wajah Lyra. Aku ingin memeluknya. Dan berteriak padanya kalau semua akan baik-baik saja tapi aku hanya berkata pelan, "Aku akan bersamamu, apa pun yang terjadi."

"Apa pun yang terjadi? Kau baru 17 tahun Olly, apa yang kau tahu?" desisnya tajam.

"Aku tahu aku mencintaimu."

"Sekarang. Bagaimana saat aku tidak mengingat nama orang lain? Saat orang lain melemparkan lelucon, aku tidak tertawa karena aku bahkan tidak tahu apa arti kata-kata yang mereka ucapkan. Bagaimana saat aku menanyakan pertanyaan yang sama seribu kali? Aku bahkan tidak bisa berteman dengan siapa pun karena semua orang akan menganggapku konyol, anti sosial, dan mereka membenciku. Kau akan membenciku!" dia menutup bibirnya dengan telapak tangannya, dan memalingkan matanya yang berkaca-kaca. Dia menjauhiku dan melangkah pergi. Tapi aku menyambar lengannya, memutar tubuhnya dan menariknya kembali. Dia menyentakkan tangannya dari cengkeramanku, dia berhasil tapi berhenti melarikan diri dariku. "Bagaimana aku bisa membencimu?" aku mencari-cari matanya.

"Ini tidak akan berhasil Olly. Mengapa kau tidak mengerti juga?!" geramnya

"Berhenti melakukan ini Lyra. Stop it! Kau berhak marah atau patah. Aku akan memberikan ruang sebanyak yang kau minta, aku akan menghormatinya. Tapi aku tidak akan membiarkanmu menghadapinya sendirian. Aku akan tetap berada di sampingmu. Di sini. Jika kita mencintai satu sama lain, akan selalu ada harapan."

"Harapan adalah sesuatu yang abstrak, Olly," suaranya dingin seperti es.

Hatiku melesak. Aku menatapnya pilu, "Pertanyaannya sekarang adalah apa kau juga mencintaiku?" Aku bertanya dengan putus asa. Aku sudah tahu jawabannya dari wajahnya yang berubah dingin.


[17] Neuorologist: Dokter yang mengkhususkan dirinya pada neurologi (cabang dari ilmu kedoteran yang menangani kelainan pada sistem saraf), memiliki kemampuan untuk mendiagnosis, merawat, dan manajemen pasien dan kelainan saraf.


***

Aku hanya duduk mencengkeram setir tanpa melakukan apa-apa, seolah sebagian dari hidupku mendadak dirampas dan aku terlalu mati rasa untuk menanggapinya. Entah berapa lama aku terduduk di sana. Tapi saat aku tiba di rumah, Alice, Ben dan Papa bangkit menyambutku. Wajah mereka menyanyikan nada yang sama, bagaimana? Apa yang terjadi?

"Kami resmi putus," kataku dengan nada resmi juga.

"Dan aku masih ingin jadi neurologist," aku menatap papa.

"Tentu saja!" Papaku segera mengangguk setuju.

"Olly, kami sedih mendengarnya," Alice tersenyum pedih.

"Thanks, tapi aku ingin sendirian," kataku langsung melesat, menaiki tangga.

***

Aku ingin kabur dari sekolah. Bagaimana bisa aku berhadapan dengan Lyra setiap hari? Dalam beberapa hari pertama, aku selalu menemukan diriku membaca lembar demi lembar buku tanpa ada satu kata pun yang tersangkut. Dan bengong di tengah-tengah obrolan. Atau aku mengalami perut melilit setiap kali melihatnya tertawa bersama geng 'royal society' atau aku ketahuan memencet saos, kecap, mengambil sambal terlalu banyak dengan penuh geram campur putus asa saat melihat Bara melakukan pdktnya yang terang-terangan pada Lyra. Akhirnya Alice dan Benlah yang menjadi mata dan telingaku saat aku tidak karuan begini.

Selain Lyra yang mengambil sepotong hatiku, kehidupan sosialku berlangsung sangat baik. Semua orang mulai menyapaku. Bahkan Saturn Angels secara bertahap mendatangi mejaku saat tahu kami berdua putus.

"Oh...Olly kau orang terkeren se-Saturn, dia pasti nyesel banget!" seru Sofie, cewek saingan Fiona di cheers.

"Ya ampun...lihat dia...bergaul dengan amuba-amuba seperti mereka..." desis Andrea. Kalau soal menghina, menuding, menghancurkan harga diri orang lain dengan kata-kata, Fiona masih kalah jauh dengannya.

Namun yang paling menjengkelkan dari semuanya adalah tingkah Fiona. Dia menungguku di depan kelas saat bel belum berbunyi baik saat istirahat, maupun pulang sekolah. Aku menanggapinya dingin. Dan mengabaikan 98% kata-katanya, 2 % sisanya hanya karena terpaksa. Dia juga ikut bergabung dengan aku, Alice, dan Ben. Meja kami memang kadang-kadang ramai oleh para Angels dan para social climber. Sementara itu aku memutuskan untuk cukup hanya berbasa-basi dengan Bhumi dan Rafael. Dan mereka pun juga cukup tahu diri.

Soal Jo, hukumannya sudah hampir selesai, insiden memalukan yang dilakukannya juga tak lagi dibicarakan. Namanya bahkan tak pernah disebut-sebut seolah dia tak pernah ada dari peradaban Saturn. Tapi bukan berarti Planet Saturn melupakannya. Saat dia kembali, dia akan berada di neraka, bahkan lebih buruk.

"Seluruh persiapan sudah 80 persen. Tempat sudah oke. Kita tinggal tunggu konfirmasi beberapa orang lagi yang sanggup menghabiskan uang di lelang nanti," Alice memamerkan desain undangan yang akan dia email ke orang-orang. "Bagaimana menurutmu?"

"Oke," aku mengangguk sambil menyeruput es tehku.

"Kalau begitu aku send sekarang," kata Alice riang.

"Ada beberapa orang yang mengaku tertarik membeli Jersey Kobe Bryantmu," kata Ben sambil serius melirik tabletnya "Sebaiknya kita buka dengan harga berapa?"

"Jangan terlalu tinggi, supaya persaingan bisa ditingkatkan," saran Alice.

"Bagaimana kalau 5 juta?"

Ben berpikir beberapa saat, "Sebenarnya itu harga yang cukup rendah mengingat itu seorang Kobe Bryant, tapi tidak terlalu jadi soal. Aku sudah mengundang orang-orang yang memang musuh bebuyutan satu sama lain. Jadi berapa pun nanti kurasa mereka akan bertarung sampai mati."

"So...5 million it is!"

Sabtu minggu depan kami akan mengadakan lelang untuk pengumpulan dana lukisan Cafe van Java—Max. Barang-barang yang dilelang ada 9 item:

1. Edisi pertama DVD Star Wars 1-6 sumbangan dari Om Bagas, Papa Alice.

2. Vinyl Pet Shop Boys, single Se A Vida E. Punyaku.

3. Buku puisi Chairil Anwar Aku ini Binatang Jalang tahun 1986 dari Ben.

4. Mesin tik Hermes Baby keluaran tahun 1938. Peninggalan kakek Ben. Ajaibnya mesin tik itu masih bisa dipakai tapi tentu bukan untuk keperluan administrasi atau penulisan novel yang panjang-panjang.

5. Kamera Kodak Signet 150, tahun 1980 an, sumbangan Papa.

6. DVD Back to The Future 1, 2, 3 dari Alice.

7. Telepon putar Erisson LM Hitam sumbangan dari Stacy salah satu teman Max.

8. T shirt Woodstock vintage dengan sablon merpati dan ujung gitar yang kuambil dari sedikit koleksiku.

Dan bintang utama lelang adalah Jersey Kobe Bryant dengan tanda tangan aslinya yang terletak di nomor punggung belakangnya. Jersey yang kupigura tapi kemudian kuturunkan dari dinding saat aku bangun dari koma. Aku ngefans dengan Kobe, tapi melihat wasiat Max terkabul jauh lebih penting.

Kami sedang menikmati makan siang garis miring diskusi lelang saat Fiona nongol dengan senyum tak sabar ingin bergosip. Kupikir dia kapok dengan sikap dinginku. Tapi kayaknya harapanku belum terkabul.

Alice yang memang punya hati mirip malaikat mendesah ke arahku, "Kau harus sabar Olly, dia tidak punya teman lagi selain kita."

Tapi aku hanya mengedik tak peduli.

"Hei kalian...." dia tersenyum lebar, meletakkan roti lapis sayur mayur dengan jus campuran buah-buahan dan sayuran yang selalu mendapat seringai dan lakon ingin muntah dari Ben.

"Apa kau tahu Olly?" tanyanya sambil meletakkan jemari tangannya di atas tanganku. Aku menarik tanganku otomatis dan memperingatinya. Tapi dia memasang mimik sok pengertian yang seumur-umur tak pernah kulihat selama berpacaran dengannya.

Dia mencondongkan badannya ke arah kami, "Papanya Lyra bunuh diri!" katanya sambil melotot kesenangan. Dia menirukan gaya meledakkan pistol di pelipis kanan, Door! Katanya lagi tanpa suara.

Seperti ada aliran panas yang menggelegak di dadaku, mataku memerah dan aku menggertakkan gigi.

Alice melotot memperingatinya. Ben memiringkan kepalanya, menilainya dengan tajam.

"Kau beruntung Olly sayang, kalau masih bersamanya, kau pasti ketularan depresi, gila dan bunuh diri," dia membeliak ngeri. "Dia sudah cocok di sana dengan kaumnya," tambah Fiona tajam.

Aku membanting nampanku. Suara keras yang mendadak itu langsung menarik perhatian banyak orang. Sudah cukup tindak-tanduknya aku tolerir!

"Dengar Fiona. Aku berjanji pada diriku sendiri tidak akan pernah memaki cewek. Tapi kalau kau sekali lagi duduk di sini dan bicara kejam soal Lyra. Aku tak akan segan-segan melakukannya. Dan aku akan melakukannya di depan semua orang. Kau dengar?! Dia orang yang jauh lebih baik darimu! Dia tidak berselingkuh dengan orang lain sementara pacarnya koma! Apa kau mengerti?!" Tatapanku tajam seolah ingin melumatnya.

Wajahnya merah padam. Selama beberapa detik aku menoleh ke arah Lyra, dia memandangku, memandangku dengan senyum rapuhnya. Lalu sedetik kemudian aku mendengar Andrea berkata Auch! mengejek Fiona bersama Sofie. Dan celotehan, bisikan di sekitar kami mulai menggaung sementara aku, pergi melesat dari kantin masih meradang.

*** 

Ternyata aku memang belum dianugerahi hari-hari yang tenang. Setelah berjuang menghadapi hati penuh luka serius paska Lyra, lalu soal Fiona yang berakhir dengan kegeramanku, tiba-tiba saja Bara mendorongku dengan berang saat aku keluar dari perpustakaan sore itu.

"Apa maksudnya ini?!" Dia melempar undangan lelang ke mukaku dengan pandangan yang artinya apa kau belum pernah ke neraka?. Jelas sudah. Aku akan jawab begitu, kalau dia bertanya langsung.

Oke, aku tidak tahu menahu kalau Alice mengundangnya.

"Lelang untuk Max, apa kau tidak bisa baca?" tanyaku pelan tapi tajam.

Erick memiringkan senyum sinisnya yang terlihat dibuat-buat sambil melirik ke kanan kiri takut kalau para pembelaku mulai berdatangan, dia tahu berurusan denganku sekarang begitu berbeda dengan aku sebelum menang pertandingan basket. Aku telah kembali menjadi anak kesayangan Saturn.

"Berani-beraninya kau mengumpulkan dana untuk Max! Memangnya kau siapa?"

"Temannya. Dan kalau kau mengaku temannya kenapa kau tidak tahu Max ingin mencari lukisan mamanya. Kau sahabatnya kan? Kenapa dia menceritakannya padaku dan tidak padamu?"

"Brengsek kau Oliver! Kau pikir aku takut dikeluarkan gara-gara membuat wajah cantikmu jadi biru?! Aku juga anak kesayangan Saturn. Mereka akan berpikir panjang untuk menendangku bahkan setelah meninjumu!"

"Hei! Apa-apaan ini?!" Alice dan Ben menghampiri kami.

Aku dan Bara saling mengunci tatapan kami.

"Bara? Ada apa?"

Suara itu. Suara yang begitu ingin kudengar berdenting lagi. Lyra, bola matanya menelisik ke arah kami berdua.

"Aku mengundang kalian karena kalian teman Max, aku ingin kalian terlibat. Mengenangnya!" seru Alice kecewa, dengan mata yang pedih.

Lyra mengambil kartu undangan yang jatuh itu dan menatap Bara, "Kau teman Max, Olly juga teman Max. Max sudah pergi. Dan Olly hidup, deal with it Bara!" Lyra menekankan kartu itu ke dada Bara. Bara menelan ludah berat dan pergi tanpa bicara apa-apa lagi.

"Thanks," kataku pada Lyra, "tapi tolong jangan lakukan lagi. I can fight my own battle."

Aku bisa melihat bola matanya yang bersedih, tapi aku melangkah pergi. Seberapa pun besarnya keinginanku untuk menenangkannya, selalu ada untuknya, tapi dia harus memilihku dengan keputusannya sendiri. Bukan karena aku memaksanya atau karena aku memilihkannya untuknya.

*** 

Di Sabtu sore yang tenang ini aku mencoba menulis esai untuk tugas Profesor Farid.

Baru saja aku mengetik sebuah kalimat: The Moon. Our Forever Friend.

Tiba-tiba saja aku mendengar suara teriakan Sam yang membuat seisi rumah gempar. Sejak kapan dia datang? Aku berlari turun ke bawah. Anak itu ditenangkan oleh Tante Debbie. Tapi dia menggeliat-geliat sambil menjerit-jerit.

"Sam! Ada apa?" Aku menariknya, mencoba menenangkannya. Tak disangka dia malah memelukku. Tante Debbie akhirnya menghela napas. Dia terlihat lelah sekali.

"Kau mau es krim?" tanyaku.

Sam mengangguk sambil memasang muka merajuk. Aku menuntunnya ke dapur. Dan mendudukkannya di kursi. Dia mengusap air matanya yang jatuh.

"Ada apa?" tanyaku pelan-pelan.

"Billy, dia sudah pergi," suara Sam nyaris seperti bisikan. "Aku sudah mencarinya ke rumahnya. Rumahnya terbakar," dia menangis pilu. "Aku sudah mencarinya ke mana-mana, mungkin dia kabur. Apa dia ke sini? Dia suka di sini, apalagi dengan teleskop," bola matanya penuh harap.

Aku jadi tak tega mengecewakannya. Namun aku tetap menggeleng.

Sam menekuri tangannya sambil terus bersedih.

"Bagaimana kalau kita melihat bintang malam ini? Billy kan suka sekali dengan teleskop."

Akhirnya seulas senyum merambat di bibir Sam. Dia menghapus sisa-sisa air matanya, dan kami menghabiskan es krim cokelat sore itu.

*** 

Langit kerlap-kerlip membentang di hadapan aku dan Sam. Setelah membuatnya mengenal Orion dan Sirius. Kami berdiri menyandar di pinggir balkon.

"Kau tahu kan Sam, aku juga kehilangan seorang teman?"

"Max?" tanyanya.

Aku mengangguk.

"Jadi aku tahu bagaimana perasaanmu. Seseorang bernama Plato pernah berkata—"

"Aku tahu Plato!" Seru Sam, "Dia tukang bikin puisi kan?"

Aku mengangguk sambil tertawa kecil, "Ya, kau benar. Kau tahu apa yang Plato bilang?"

Sam menggeleng.

"Plato bilang kalau setiap orang yang sudah pergi akan menjadi bintang. Aku tidak lagi terlalu sedih karena kepergian Max, karena setiap malam aku tahu Max pasti ada di sana," aku menunjuk salah satu bintang yang bersinar di kejauhan.

"Apa Billy juga ada di sana?"

"Aku yakin."

Dia lalu memeluk pinggangku. "Terima kasih Olly. Max pasti kangen padamu."

Aku mengusap kepalanya, "Billy juga pasti kangen padamu."

***

Satu minggu berikutnya aku disibukkan dengan persiapan lelang, kuis dan presentasi. Lyra mengirimkan foto-foto bulan untuk kupilih untuk diserahkan saat deadline tugas Prof Farid. Esai Bulan sudah 90 persen. Dengan tertatih-tatih aku mengerjakannya. Saat aku menawarkan Lyra untuk memberi masukan, dia menolaknya. Dia bilang dia percaya padaku. Itu saja. Kami memang bicara. Tapi percakapan itu tidak lebih dari dua kalimat. Setelah tugas ini selesai, mungkin kami tidak akan pernah bicara lagi sama sekali.

Aku takut memikirkan jika hal itu sampai terjadi, jadi aku menenggelamkan diri kepada lebih banyak lagi hal, seperti pergi ke pusat riset tempat mama bekerja, bertemu dengan Profesor Neurologi, membaca buku-buku neurologi.

Ini menyenangkan. Serius! Profesor Brenda benar. Otak begitu misterius dan ajaib. Jaringan abu-abu itu dapat menyimpan detail-detail tentang pengalaman masa kecil kita selama seumur hidup, tapi sering tidak dapat mengingat nomor telepon penting untuk hanya dua menit. Atau bagaimana Cingulate Cortex [18] di bagian tengah otak mendorong kita untuk berkata jujur, tapi Prefrontal Cortex [19] menjelaskan akibat buruk yang terjadi saat kita berkata jujur. Terjadi perkelahian di otak kita untuk berkata jujur atau tidak, kau bisa bayangkan? Jaringan seberat kira-kira 1,3 kilogram itu punya begitu banyak misteri dan keajaiban. Dan itu membuatku semakin penasaran setiap harinya.

[18] Cingulate Cortex: Bagian otak di sebelah kanan depan yang bertanggung jawab terhadap muncul tidaknya rasa malu, sebagai penyebab kunci rasa malu manusia.

[19] Prefrontal Cortex*: Berlokasi di otak bagian depan, berfungsi sebagai pemroses rasionalitas dan pengambilan keputusan, juga bertugas memproses rangsangan untuk diolah, mampu menghambat tingkah laku yang tidak sesuai, ditelaah berdasarkan informasi dan pengalaman yang pernah terekam dalam memori.

***

Jumat malam seperti yang dikatakan Profesor Farid, aku mengirim tugas esai dan foto bulan kepadanya. Aku tak pernah menulis sesuatu sepuitis ini. Mungkin ini karena pengaruh jurnal Max dan tulisan-tulisan Ben. Aku ingin memberikannya kepada seseorang tapi mengingat rasa malu yang akan ditimbulkannya, aku tidak jadi melakukannya. Sudahlah, lagi pula, aku sudah membacanya ratusan kali dan tombol send sudah kutekan. Tidak ada lagi yang bisa kulakukan. Semoga Profesor X tidak menertawakannya. Dan semoga saja Lyra tidak membenciku setelah membacanya.

Aku tidur dengan gelisah. Ketika akhirnya menyebut nama Lyra, aku tak bisa menyangkal perasaanku terhadapnya. Namanya bergulir keluar seolah aku menghayati setiap suku katanya. Kalung harpa kosmik itu kuambil dari laci meja. Aku ingin dia bisa melihat bahwa cintaku padanya permanen seperti konstelasi Lyra di langit. Aku tak mampu melupakan wangi rambutnya. Matanya yang rapuh dan cerdas. Dia telah mengubahku meskipun dia menyangkalnya setengah mati. Aku mencintai neurologi dan bertekad akan menjadi salah satu neurologist terbaik yang pernah ada, tapi apakah artinya semua itu tanpa dirinya?

***

The Cafe of Eight berada di tengah-tengah taman dan kolam. Bangku-bangku dibuat bersaf kebelakang. Alice membagikan katalog tipis berisi barang lelang besertadeskripsinya. Ada kopi, teh dan kue kering di meja belakang. Sudah ada mejaadministrasi untuk menyelesaikan pembelian. Acara ini hasil patungan dari kamiberempat (Aku, Ben, Alice, Lyra) beserta sebagian besar teman-teman Max. Barang-barangyang dilelang di letakkan di atas meja di dekat panggung. Jersey Kobe Bryantku  yang di letakkan di stand lukisan tampak menonjol, mendapatkan perhatian sekumpulan orang. Meskipun yang datang sebagian besar adalah orang-orang seumuran kami, tapi Ben dan Alice benar-benar tampil tanpa cela. Kurasa mereka akan buka rumah lelang setelah ini. Aku tersenyum. Seandainya Max melihat ini.

Teman-teman Max seperti Elise, Stacy dan Brian sedang mengobrol di dekat meja kopi, sementara Bara, Franky dan Erick tidak kelihatan. Itu lebih baik, daripada mereka datang cuma ingin buat keributan. Aku menoleh ke arah pintu masuk, Lyra belum juga datang. Alice mengusap bahuku dan tersenyum, seolah dia membaca kekuatiranku tapi dia tidak bicara apa-apa.

Sepuluh menit kemudian, aku sudah berdiri di atas panggung. Orang-orang mulai duduk di kursi yang disediakan saat aku memegang mic. Aku berdeham, mataku menyapu sekeliling ruangan dan dalam sekejap semua obrolan mendadak berhenti, menunggu-nunggu diriku. Aku tersenyum mengendalikan rasa gugup yang tiba-tiba menyerbu.

"Hai, terima kasih atas kehadiran teman-teman semua," sapaku.

"Ummm...acara lelang ini kami adakan sebagai tribute untuk sahabat kami, sahabat kita Maxwell Leo. Sebagian besar dari kita tahu, Max meninggal dunia karena kecelakaan sekitar enam bulan lalu. Saat pertama kali mengenal Max, aku melihat dia sebagai seorang yang unik, begitu terobsesi dengan bulan, Galileo, dan fisika. Dia terkadang sinis tapi kalau kita mengenalnya, dia adalah teman yang perhatian, dan baik hati, menutupi potongan rambutnya yang kuno," aku meringis.

Dan beberapa orang tertawa.

"Tapi dia adalah salah satu orang terbaik yang pernah kukenal."

Lalu foto lukisan Cafe van Java terpampang di layar, aku menoleh ke arah foto tersebut.

"Ini adalah foto lukisan Cafe van Java, sebuah lukisan yang dimiliki Tante Leo, mama Max. Tante Leo menjual lukisan ini untuk membelikan Max teleskop. Aku meletakkan teleskopnya di dekat atap Olly, begitu kata Max. Kami membangunnya agar terlihat menyerupai observatorium kecil. Mama bilang dia membelinya dari uang lebih hasil mengajar les. Tapi, aku sadar sebuah lukisan menghilang dari kamarnya. Lukisan itu cukup bernilai. Mamaku, dia selalu ingin menjadi pelukis, tapi Kakek dan Nenek selalu berkata padanya kalau hidup pelukis sangat sulit. Sebagai orang biasa-biasa, dia harus realistis. Mama mencintai lukisan itu, Olly. Itu mengingatkannya akan impiannya yang hilang."

Aku terdiam, memoriku serasa berkabut. Ingatan tentang itu membuat tubuhku bergetar. Aku memandang ke arah kursi-kursi yang penuh. Mereka juga terdiam dalam kesedihan. Dan aku melihat Lyra, berdiri di belakang bersama Bara, Franky dan Erick. Rambutnya yang bergelombang jatuh di sweaternya yang berwarna oranye. Dia tampak cerah dengan warna itu. Sejak kapan dia ada di situ? Dia memandangku dengan senyum sempurna. Aku menarik napas panjang dan memusatkan pikiran.

"Sayangnya lukisan itu sudah dibeli seseorang, karena itu lelang ini diadakan. Max ingin membeli lagi lukisan itu. Dia ingin menghadiahkan kembali lukisan itu pada mamanya, dan berharap agar mamanya melanjutkan bakat yang telah dilupakannya," aku menelan ludah berat. "Enam bulan yang lalu kita kehilangan sahabat. Tante Leo kehilangan seorang anak yang dicintainya. Ini adalah hal kecil yang dapat kita lakukan untuk Max. Setelah begitu banyak yang diberikannya pada kita."

Aku melihat Stacy, Elise dan Brian mengusap air mata mereka, sementara sebagian orang lainnya berkaca-kaca. Apalagi saat layar menampilkan slideshow foto-foto Max.

Aku tertawa sedih melihat foto Max saat merayakan ulang tahun terakhirnya, dia basah kuyup dikerjai teman-temannya tapi dia tertawa.

"Thanks Max, karena sudah menjadi sahabat kami. Karena sudah menjadi bagian dalam hidup kami semua. Kami menyayangimu!"

Lalu aku turun diiringi oleh tepukan tangan yang meriah. Lelang berlangsung dengan seru dan agak gila. Ben berhasil menggunakan barang-barang yang akan dilelang jadi properti untuk lelucon. Lalu setiap palu closing dipukul, semua orang akan berteriak Yihauw!! Ala koboi dan diikuti oleh tawa terbahak-bahak. Lyra pun tak bisa menahan tawanya. Dia tertawa lepas. Dan aku sangat senang meskipun harus melihatnya dari jauh.

Jersey Kobe Bryantku terjual dengan harga 35 juta. Kami bertepuk tangan gembira saat palu terakhir diketuk. Di total-total dari semua barang lelang, kami sudah bisa membeli lukisan Cafe van Java itu dari Laura bahkan lebih.

Tapi tiba-tiba Ben memberi pengumuman kalau ada satu lukisan lagi yang akan dilelang. Dia meletakkan sebuah lukisan berukuran 70 X 50 cm di stand lukisan di tengah panggung.

Aku tercekat. Sebuah langit gelap tampak tak terbatas, bintang-bintang yang bersinar keperakan membentuk sesuatu yang sangat kukenal. Harpa kosmik. Itu konstelasi Lyra. Sebuah harpa digambar tipis keperakan dengan sebaran warna merah keemasan di beberapa bagian yang menandakan nebula pada konstelasi tersebut.

"Lukisan yang keren kan?" Kata Ben menyeringai. "Ini adalah konstelasi Lyra," Ben memandang ke arah Lyra sedetik.

Aku menatap cewek itu. Dia hanya tersenyum tipis pada beberapa orang yang menoleh ke arahnya. Apa lukisan ini pemberiannya? Mengapa Ben dan Alice tidak memberitahuku soal ini? Semua barang-barang yang dilelang harus kami sepakati bersama dulu sebelum dilelang.

"Lukisan ini adalah karya seorang pelukis Bali, I Made Enzo. Ada tanda tangannya di balik kanvasnya, dia mempunyai galeri kecil tapi cukup produktif di Ubud," jelas Ben lagi.

"Kita akan memulai dengan 500.000. Siapa yang punya 500.000 untuk lukisan konstelasi Lyra?" Ben memulai.

Semua orang masih terlihat berpikir dan saling berbisik satu sama lain.

Tapi akhirnya sebuah suara tegas terdengar, "500.000!" Bara mengangkat tangannya sambil mengedipkan matanya kepada Lyra.

Apa-apaan?! Rahangku mengencang.

"1.000.000!" seruku tanpa berpikir.

Beberapa tarikan napas yang dalam terdengar. Sebagian orang saling melirik karena sudah mencium persaingan di antara kami.

"1.500.000!" Bara tak mau mengalah. Dia menatapku seolah menantang.

Oh aku mengunci tatapannya tanpa segan-segan.

"3.000.000," aku menyeringai. Oke, aku akan mati-matian mengalahkan cowok ini, meski harus mengorek-ngorek tabunganku, menjual mobilku, dan berhutang.

Ben menatapku kuatir. Aku tak memedulikannya. Alice menghampiriku, dia tahu aku tidak punya tabungan begitu banyak. Tidak, setelah aku bercerita uangku terkuras demi membeli teleskop.

"4.000.000!"

Suara tarikan napas yang tajam secara serentak terdengar lagi saat Bara menaikkan uangnya.

"5.000.000!"

"Olly, kau tak perlu seperti ini. Ingat Max," Alice memperingatkan.

"Ini untuk Max, untuk diriku dan—aku menginginkan lukisan itu Alice," aku menelan ludah, tenggorokanku terasa kering.

"5.000.000. Bagaimana ada lagi?" Tanya Ben menunggu Bara.

Dahi Bara terlihat berkerut-kerut. Dia tampak bergumul.

Semua orang memutar pundaknya ke arah Bara, menunggu-nunggu akhir lelang yang dramatis.

"5.000.000 untuk satu. 5.000.000 untuk dua. 5.000.000 untuk tiga," Ben memukul palu. "Lukisan konstelasi Lyra untuk Oliver!"

Kemudian tepuk tangan dan suitan terdengar bersahut-sahutan. Bara menggaruk-garuk kepalanya, dia hanya mengedikkan bahunya saat Erick dan Franky menepuk pundaknya.

Aku melemparkan tatapanku pada Lyra. Pikiranku menjadi benar-benar kosong saat memandangnya. Dia berbalik pergi. Dan aku mengejarnya. Aku mengejarnya keluar. Aku bersumpah mengikutinya tapi dia berjalan begitu cepat dan sudah menghilang saat aku tiba di depan jalan raya. Meski malam sudah turun lalu lintas terlihat tidak ramai, aku melihat ke seberang, deretan toko-toko dan restoran, mungkin dia sudah berbelok ke arah lain. Aku mendesah putus asa dan berjalan kembali menuju kafe.

"Olly."

Aku memutar tubuhku saat mendengar suara Lyra. Dia di sana, memanggil namaku. Dengan rambutnya yang terurai diterpa angin.

"Hei," aku mendekatinya

"Hei," katanya, dia melakukan hal yang sama berjalan menuju diriku.

Dalam beberapa detik kami saling menatap, "Lukisan itu milikmu kan?" tanyaku

Dia mengangguk, "Aku dan Papa memesan sebuah lukisan. Saat pelukis itu tahu namaku, dia bilang kalau konstelasi Lyra begitu cantik..."

"Apa kau tahu aku akan membelinya?"

Dia tersenyum.

"Jadi aku masuk perangkap?"

"Semacam itu."

"Aku senang memilikinya. Itu mengingatkanku akan dirimu."

Dia menggeleng, menekuri tangannya yang sedang memilin tali tas hitamnya, "Aku minta maaf Olly."

"Untuk apa?"

"Untuk semuanya. Untuk kita. Aku melihatmu di sana waktu itu, di lapangan basket. Menjadi bintang. Kau layak ada di sana Olly, tanpa aku."

"Aku memutuskan untuk tidak berada di sana Lyra. Dan aku tidak ingin ada di dunia ini tanpamu."

Dia tersenyum sedih, air matanya tiba-tiba meluncur, "Apa gunanya cintamu kalau aku tidak akan mengingatnya?"

Suaranya yang pedih itu mengiris hatiku, "Aku akan mengingat segalanya untukmu," sudut mataku memanas.

Dia bergetar, "Aku bertanya-tanya mengapa aku? Mengapa ada tombol delete kejam di kepalaku? Aku mau mengingat diriku dan semua orang yang menyayangiku. Hidup begitu kejam bukan? Mengapa—?" dia menangis, menangis seolah-olah hatinya benar-benar remuk redam.

Aku menyentuh kedua lengannya, menatapnya dengan air mata yang menggenang, "Akan ada obatnya Lyra. Mereka melakukan penelitian sejak puluhan tahun lalu. Dan kalau pun mereka tidak menemukannya, aku yang akan menemukannya. Aku akan bekerja siang malam, untuk menemukannya."

Tenggorokanku perih dan air mataku jatuh, "Aku mencintaimu Lyra. Aku tahu kau juga mencintaiku. Dan kalau kau siap untuk mengakuinya, kau bisa mengatakannya kapan pun, karena aku akan menunggumu. Tak peduli berapa lama."

Dia mendongak sedih, dan melepaskan kedua tanganku dengan lembut, dia menggeleng tanpa bicara. Dan sekali lagi aku membiarkannya berjalan pergi. Meninggalkanku. Tapi seketika itu juga mataku membelalak. Suara klakson terdengar memekakkan telinga. Aku berlari menggapai Lyra dan yang terakhir yang kulakukan adalah memanggil namanya. Memeluknya, kemudian terpelanting jatuh membentur aspal.

"OLLY!!"

Lyra menjerit sejadi-jadinya. Dia merengkuh kepalaku, dicengkeram rasa panik. Napasku tercekat di tenggorokan. Dingin merayapi sekujur tubuhku. Nyeri menusuk kepalaku. Aroma dan rasa menghilang perlahan-lahan.

"Olly," air mata Lyra jatuh berderai, suaranya kini pecah, seakan tenggorokannya robek. Tubuhnya gemetar saat melihat tetesan darah di telapak tangannya.

Lalu aku melihat orang-orang mulai berlarian, memerintah sana-sini, tapi suara-suara mereka perlahan mulai menghilang.

Aku berusaha sekuat tenaga untuk mengambil kalung harpa kosmik dari kantong celanaku, dia menggenggamnya dengan pedih. Aku mengangkat tanganku dan menghapus air matanya. Dia mendekat kepadaku, aku mencium bau madunya, atau ini hanya halusinasiku saja, tapi itu menenangkanku, dia mencium pipiku dan berbisik pilu, "I love you Oliver. I'm scare of not being with you."

Sebutir air mata bergulir di wajahku. Rasanya aku akan mati jika merindukannya. Aku berjuang untuk menggenggam jemarinya. Tapi tubuhku terasa ringan. Dunia di depanku menjadi datar dan mengabur. Aku menarik napas dalam dan mengembuskannya. Dan suasana menjadi lengang. Aku menutup mataku.

**********

Continue Reading

You'll Also Like

5.4M 289K 56
Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusaknya sejak 7 tahun lalu. Galenio Skyler hanyalah iblis ya...
2.4M 446K 32
was #1 in paranormal [part 5-end privated] ❝school and nct all unit, how mark lee manages his time? gampang, kamu cuma belum tau rahasianya.βžβ–«not an...
8.3M 518K 34
"Tidur sama gue, dengan itu gue percaya lo beneran suka sama gue." Jeyra tidak menyangka jika rasa cintanya pada pria yang ia sukai diam-diam membuat...
1.2M 62.7K 50
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...