ANTHEM

Από Anshadows

176 26 11

Music plays a big role in my life. Anthem is a rhythm of my heart. Aku akan berusaha menyampaikan gejolak ji... Περισσότερα

Losing Game
I Wish By God You'd Stay
Bumi Berpulang
Somebody That I Used to Know

The Crying Dove

29 4 0
Από Anshadows

"I wish that my heart was made of stone."
-Diamond Heart, Alan Walker
___

Separuh wajahku tertampar cahaya matahari dari timur, sinarnya menyala keemasan, tetapi udara masih beku. Arthur berdiri menantangku dalam jarak sepuluh meter, membiarkan panahku membidik tepat ke arahnya. Senyumnya miring, campuran antara seratus persen kepercayaan diri, dan seribu macam jenis keangkuhan. Laki-laki itu tidak pernah jeda meremehkanku. Dan aku, tetap keras kepala ingin membuktikan diri walau ribuan kali meleset.

"Kau hanya membuang waktuku, Gaia. Kau tahu itu, bukan?" teriaknya dari seberang. "Kalau kau sudah selesai dengan latihanmu, aku akan pergi sekarang."

Seekor burung merpati melintas di atas kepalanya, kulepaskan anak panahku dengan penuh kemarahan. Arthur terperanjat, kehilangan keseimbangan dan terjatuh di atas pasir, bangkai si burung jatuh mengenai kepalanya, sebelum terlempar ke sisi Arthur karena ia dengan tangkas menepis bangkai itu.

"Perempuan gila!" amuknya. Ia bangkit dari kejatuhan itu, agak terseok, mungkin rasa takut itu masih tersisa, sebab aku dengan tangkas menarik satu anak panah lainnya dari tas di punggung, tetapi ia tetap berlari ke arahku. "Kau benar-benar ingin membunuhku?!"

Bersamaan dengan kalimat yang meluncur dari bibir itu, kepalan tinjunya melayang ke arahku, tepat mengenai sisi kanan wajahku, menghantam pipi dan rahang, sehingga keseimbanganku terganggu. Aku bahkan tidak pernah melukainya dengan panahku walau hanya rambut, tak peduli meskipun aku menginginkan itu.

"Aku akan pulang, lebih baik kau juga," katanya kemudian, mengibaskan tangannya yang mungkin juga ngilu sehabis menghantamku. Aku bergeming, membiarkan busur panahku terbenam di tumpukan pasir gurun. Langit mulai terang, dan Arthur berlalu.

Aku juga tidak habis pikir mengapa aku sedemikian pasrah di atas kuasanya, seakan-akan aku adalah perempuan yang terkena tenung penyihir sakti yang akan serta merta mati apabila sekejap saja melawan kegilaan Arthur, atau aku akan lekas menjadi gila apabila sedikit saja membantah ucapannya. Andai hatiku terbuat dari batu, atau mungkin sebentar lagi memang akan berubah menjadi batu.

Alih-alih meraih busur panah dan pulang, aku memilih untuk duduk di sana, di tengah gurun, menikmati sinar matahari pagi yang sebentar lagi akan memanggang pasir-pasir itu, dan sebelum semuanya menjadi sepanas bara, aku memutuskan untuk menikmati jejak-jejak fajar yang masih tersisa. Kepalaku masih separuh sakit sehabis terjaga semalaman, bekerja di bar pinggiran desa, mencium aroma alkohol dan asap tembakau sepanjang malam. Begitu pulang, aku melihat Arthur mengendap-endap dekat ruang penyimpanan anggur, mencuri beberapa boks persediaan bar. Jika bosku sampai melihatnya, aku akan dipecat.

"Sudah kubilang, tinggalkan saja laki-laki gila itu, lalu kau akan terbebas dari segala bentuk tanggung jawab yang tidak semestinya kau tanggung." Torvas, entah bagaimana caranya, tiba-tiba datang dan duduk di sebelahku, menyingkirkan busur panahku agar tidak menghalanginya. Dia temanku sejak kecil, sudah tahu bahwa sejak awal memang ada hal yang tidak beres dari Arthur, tetapi, memangnya, apa yang bisa Torvas lakukan untuk mencegahku dari pahitnya jatuh cinta? Dia pasti menyaksikan semua kejadian itu dari awal hingga akhir. Torvas memang seperti hantu, melayang-layang di sekitarku sepanjang waktu, seakan ada radar yang terhubung di kepalanya untuk melacak keberadaanku.

"Coba saja kau yang jadi aku," balasku kesal. "Memangnya, Arthur mau melepaskanku begitu saja?"

"Kau hanya mencari pembenaran."

Benar juga.

"Lihatlah dirimu di cermin. Bayangkan kakakmu pulang dan melihat wajahmu berantakan seperti itu. Kau pikir dia akan diam saja?" Torvas meraih busur panahku, bangkit dari duduknya, dan kembali bicara. "Ayo pulang."

Lalu aku berdiri, meraih telapak tangan yang ditawarkan oleh Torvas untuk membantuku, lalu menyusuri gurun menuju pemukiman, sembari mengayun-ayunkan lengannya di genggamanku. Torvas seusia Drew, kakak kandungku yang bekerja menjadi mata-mata pemerintahan. Karena kakakku lebih sering berada di luar daripada di sampingku, maka gelar kakak itu berpindah ke Torvas.

Pemukiman tidak sepanas gurun di waktu pagi, sesuatu yang sedikit magis membayangi langit pemukiman kami sehingga tempat itu layak huni. Biasanya, sepulang dari bar, aku hanya akan beristirahat sebentar, membersihkan diri, dan mulai berjalan ke hulu, mengejar hutan di sisi selatan. Aku baru melakukan rutinitas semacam itu belakangan setelah Arthur menjadi lebih sering tak terkendali.

Torvas hanya mengantarku sampai di depan pintu, sebab dia sendiri harus pergi ke daerah pertambangan dan bekerja seharian. Menjadi dewasa itu sibuk, tidak ada waktu untuk melakukan hal-hal seperti mengobrol dengan teman sebaya dan sebagainya. Barangkali, hanya Arthur saja pemuda yang tidak punya kesibukan di desa.

Sepeninggalnya Torvas, aku berbalik, barulah kusadari saat itu daun pintu rumahku agak terbuka. Menyadari hal itu, aku segera merogoh kantong celanaku dan menemukan kunci rumahku masih ada di sana, tidak berubah sejak terakhir kali aku menyimpannya. Apa iya, aku lupa mengunci pintu kemarin sore?

Tanpa prasangka, aku masuk ke ruangan, dan menyadari kursi rotan tempat kakakku biasa duduk meminum kopinya di sore hari, melayang di udara, menyasarku. Secepat mungkin aku berusaha menghindar, tetapi lenganku tetap bersinggungan dengan salah satu kaki kursi itu. Rasa sakit menjalar seketika.

"Bermesraan dengan Torvas, lagi?" Arthur-lah yang ada di balik semua kekacauan itu. Dia bergerak maju, sementara aku meraih gagang pintu, tetapi ia lebih tangkas dariku. Dengan satu tangan ia menyingkirkanku dari daun pintu, melemparku jauh ke dalam ruangan. "Perempuan jalang!" satu tamparan menyasar pipi kiriku. Mengejutkan, sewaktu Arthur sepertinya tetap memikirkan untuk menyerangku di bagian yang belum ia jadikan sasaran emosi.

Aku tahu, jika aku tak berhasil tegas pada diriku sendiri, semua ini akan menjadi takdirku yang abadi, pahit, dan penuh penderitaan. Setiap hari aku kekurangan tidur, berusaha menghindari Arthur sesering mungkin, tetapi tetap saja, jika aku hanya berlari sembari tetap menggenggam tali kekangnya, aku takkan pernah bisa lepas dari Arthur. Maka sebelum aku tenggelam terlalu jauh, atau menjadi lebih candu daripada sekarang, satu-satunya hal yang perlu kulakukan adalah membebaskan diriku sendiri.

"Kau tahu?" Tangan Arthur terhenti di udara. "Aku berharap hatiku terbuat dari batu, kebal dari segala rasa sakit yang kau berikan, bahkan jika kau tembakkan peluru ke kepalaku. Dengan bodohnya aku berharap bahwa mungkin aku bisa melawan semua itu sendirian. Aku sungguh-sungguh ingin menjadi sekuat itu untuk bisa menghadapimu."

Aku tidak berhenti untuk menangis, tetapi seluruh jemariku bergetar hebat tanpa bisa kukendalikan. Arthur seperti tersadar dari kerasukan, berjongkok di hadapanku, berusaha meraih tubuhku, sayangnya aku jauh lebih tangkas daripada beberapa detik yang lalu. Jika saja aku sekuat itu, aku ingin bertahan mati-matian, mencintainya sampai akhir. "Kenyataannya aku cuma perempuan yang kau sebut gila, rapuh dan dengan mudahnya bisa kau hancurkan hanya dengan semua ucapan dan perbuatanmu ini. Jadi, aku akan berhenti sekarang. Aku akan mengakhirinya sekarang."

"Tidak," sahutnya, sedemikian cepat. "Gaia, maafkan aku. Aku gagal mengendalikan diri lagi."

"Sudah kumaafkan. Sekarang, kau harus keluar dari rumahku, dan dari kehidupanku."

Aku hancur menjadi serpih, betapa sakitnya mencintai laki-laki egois yang gila. Seperti duka yang manis, racun yang mengantarkanku pelan-pelan pada kematian. Anehnya, aku menikmati semua rasa sakit itu kendati begitu tak tertangguhkan. Seperti terjebak di suatu pagi dalam keadaan mabuk, seperti tenggelam dalam penderitaan tanpa akhir. Maka sebelum aku benar-benar menyerahkan nyawaku pada kenikmatan rasa sakit itu, aku memutuskan untuk berhenti mencintainya, memastikan untuk tidak pernah mencintai siapa pun lagi.

Kuraih gagang pintu yang sebelumnya terasa sedemikian jauh, terseok-seok mengejar Torvas di ujung jalan, bahkan jika aku harus terkubur di bawah tanah karena ikut Torvas menambang hari itu, aku tidak akan pernah menyesal. Aku sudah melalui semuanya, mengorbankan semua hal yang kupunya untuknya, untuk Arthur, sehingga yang tersisa dari diriku hanyalah serpihan yang tidak lagi berarti. Kenyataannya, hatiku tidak terbuat dari batu, tidak mampu ditempa lebih keras daripada ini. Bukannya lebur menjadi bentuk yang lebih berharga, aku malah lebur menjadi sesuatu yang tidak lagi berarti.

Dia adalah pangeran kejam yang menjadikan hatiku tumbal untuk dirinya sendiri, sementara aku hanyalah seekor merpati yang menangis kehilangan seluruh hidupnya.

***

Sumpah emang gak jelas banget, maaf gais:')
Sekarang aku mulai berpikir, mungkin ini saatnya aku berenti nulis?

Συνέχεια Ανάγνωσης

Θα σας αρέσει επίσης

44.6K 2.8K 35
" maaf untuk sebelum nya judul nya aku ganti " 🔞🔞🔞 Tidak bagus di baca untuk anak di bawa umur!!!
471K 11.9K 37
🔞MARKHYUCK🔞 "gak mau nambah anak lagi ??" "mauu" BxB GAYY HOMO 🔞🔞🔞🔞🔞
Light In Heart ✓ Από moana0323

Μικρού Μήκους

470K 32.8K 55
Tetap baca dan vote walaupun cerita ini sudah end. Publish Oktober 9 2023 End Maret 8 2024 Berkisah tentang remaja yang mengejar kasih sayang dari ke...
450K 5.1K 26
Hanya cerita hayalan🙏