My Brothers | ENHYPEN✓

By _sheyiu

1M 172K 95.7K

Choi Sheya terbangun di rumah sakit seusai koma. Saat pertama kali membuka mata, beberapa cowok dengan wajah... More

Z;E;R;O > Prolog
O;N;E > My Brothers
T;W;O > Come Back Home
T;H;R;E;E > Deeper
F;O;U;R > Hope Not
F;I;V;E > Done For Me
S;I;X > Destiny
S;E;V;E;N > Attention
E;I;G;H;T > Cinnamons
N;I;N;E > Flame On
T;E;N > Innocent
t;r;a;i;l;e;r
E;L;E;V;E;N > Singularity
T;W;E;L;V;E > Misfit
T;H;I;R;Teen > Hellevator
F;O;U;R;Teen > Levanter
F;I;V;E;Teen > Utopia
S;I;X;Teen > Labyrinth
S;E;V;E;N;Teen > Halloween
E;I;G;H;T;Teen > Save Me
N;I;N;E;Teen > Eclipse
T;W;E;N;T;Y > Butterfly
Twenty;O;N;E > Fronting
Twenty;T;W;O > So Am I
Twenty;T;H;R;E;E > Euphoria
Twenty;F;O;U;R > Thunder
c;h;a;t
Twenty;F;I;V;E > Birthday
Twenty;S;I;X > Whiplash
QnA
Twenty;S;E;V;E;N > Mercy
Twenty;E;I;G;H;T > Valkyrie
Twenty;N;I;N;E > Paradise
T;H;I;R;T;Y > Twilight
Thirty;O;N:E > Rainbow
Thirty;T;W;O > Tarot Cards
Thirty;T;H;R;E;E > Flicker
Thirty;F;O;U;R > Pied Piper
Thirty;F;I;V;E > Wonderland
Thirty;S;I;X > Dandelions
Thirty;S;E;V;E;N > Sunrise
Thirty;E;I;G;H;T > Mikrokosmos
Thirty;N;I;N;E > Epiphany
F;O;U;R;T;Y > Run Away
Fourty;O;N;E > Take Off
Fourty;T;W;O > Lost Dream
Fourty;T;H;R;E;E > Galaxy
Fourty;F;O;U;R > Navillera
Fourty;F;I;V;E> Miracle
ver ultah shella
Fourty;S;I;X > Kict It
Fourty;S;E;V;E;N > Shine
Fourty;E;I;G;H;T > U Got It
Fourty;N;I;N;E > Little Prince
E;N;D > Ending Scene
Dark Creatures
info
cover
OPEN PO PERTAMA
OPEN PO KEDUA
MASIH ADA DI LIBRARY KALIAN?!
Are You My Brothers?
OPEN PO KETIGA
OPEN PO KEEMPAT
OPEN PO KELIMA + AYMB
Terbit Lagi
OPEN PO

F;I;F;T;Y > Still With You

14.4K 2.5K 1.8K
By _sheyiu

Ini double up, jangan sampe tertuker ya:"

Votes jebal:"

Happy reading~



•••••••••••••••••••

Aku selalu disini 
Seperti sunset ungu yang akan datang tanpa henti 

Bahkan jika lenganku sempit 
Aku akan memelukmu

Kursi kosong yang kurasakan setiap saat tanpamu
Kekosongan yang meningkat 

Suara hujan dan angin kencang 
Itu menjadi naungan yang luas
Aku tidak ingin merasa sakit 

Hai, aku akan memelukmu 
Beristirahatlah....

°from: niki°

•••••••••••••••••••••••






"KASIH TAU DIMANA NIKI SEKARANG!" bentak Yena, mencengkeram kerah kaos Haruto.

"Berapa kali sih gue bilang, mana gue tau!" balas Haruto, ikut membentak.

"Nggak usah banyak bacot! Kasih tau njing!"

"Gue nggak tau nyet!"

"Bangke! Nggak usah sok bela diri! Gue tau lo adalah dalang dari semua ini! Cepetan kasih tau sebelum gue jebolin lo ke penjara!"

"Sekali lagi gue bilang Nyonya Yena yang terhormat, gue nggak ada hubungannya sama adeknya si jalang ini. Jadi gue minta lo pergi dan jangan lupa bawa si bitch, jangan sampe abang gue tau dia dateng."

"NGGAK! LO BOHONG! GUE NGGAK BAKAL PERCAYA SEBELUM MERIKSA RUMAH LO SENDIRI!"

"PERGI! APA-APAAN SIH LO!" Haruto mendorong Yena yang berusaha giat membobol pintu masuk.

"GUE BISA AJA LANGSUNG NELEPON POLISI SEKARANG! TAPI ENTAR MASALAHNYA JADI RIBET, GUE BENCI KERIBETAN. JADI MUMPUNG GUE LAGI BAIK, MENDING LO MINGGIR SEBELUM GUE SERANG ADEK BERHARGA LO YANG ADA DI BAWAH!"

"Cewek gila. Pergi sekarang!"

Mereka berdua malah saling dorong-mendorong.

"Yen, kayaknya beneran nggak ada hubungannya sama Haruto."

"MANA MUNGKIN?! NIKI BERUBAH DRASTIS SETELAH BERURUSAN SAMA KELUARGANYA! JELAS INI ADA SANGKUT-PAUT SAMA DIA!"

"Eh lo nggak usah teriak-teriak di sini, ini rumah gue. Pergi lo berdua!"

"JANGAN HARAP!"

Lagi, mereka kembali dorong-mendorong.

Aku mengusap wajah gusar. "Yen, udah cukup. Ayo pergi."

"JANGAN MAU DITIPU SAMA COWOK BEGAYAAN BEGINI! DIA---"

"Yen! Udah ayo! Gue tau dia nggak ada sangkut-pautnya!" sentakku.

Seketika Yena menjauh dari Haruto, ia membetulkan letak hoodienya yang berantakan. "Oke. Ayo pergi. Dan lo!" tunjuknya pada Haruto. "Jangan harap bisa lepas, awas lo! Gue awasin setiap saat!"

Tanpa membuang waktu, aku menarik lengan Yena menjauh, keluar dari gerbang rumah Haruto yang tidak kalah mewah dengan rumahku. Tetapi rumahku jauh lebih 'woah'.

"Jadi sekarang harus kemana?" Yena kembali mengenakan helm, aku ikut mengenakannya.

Kemana? Kami harus kemana sekarang? Aku tidak tau harus kemana lagi. Pandanganku tertuju pada aspal, melamun, berusaha memikirkan apa saja yang berhubungan dengan Niki.

"Pantai," ujarku, setelah berpikir keras.

"Ha? Ini bukan waktunya liat sunrise."

"Enggak, Yen. Ayo ke pantai." Buru-buru aku menyuruh Yena naik ke atas motor.

Tidak banyak bertanya, Yena naik, menyalakan mesin, aku ikut naik ke jok belakang, motor mulai melaju seperti tadi, kebut-kebutan.

••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••



Setiba di pantai---dimana Niki membawaku beberapa minggu lalu---aku celingukan kesana-kemari mencari keberadaannya, di tengah angin laut malam yang begitu dingin.

"NIKI!" teriakku, berharap Niki dapat mendengar, nihil, tidak ada siapapun di sini selain kami. Tentu saja, siapa yang ingin berkunjung ke pantai lewat jam dua belas malam?

Tangisku meluruh. "NIKI GUE MINTA MAAF! JANGAN PERGI! LO DIMANA??"

"NIKI!"

Aku terisak. "Niki gue nggak bermaksud nginjek kalung pemberian lo. Maafin gue...."

"Shey! Ada jejak kaki!" teriak Yena di ujung sana. Sontak aku menoleh dan langsung berlari mendekat.

"Dimana?" Napasku tercekat, melihat jejak kaki yang masih terlihat jelas sejauh dua ratus meter menuju sebuah gubuk tua.

Entah mengapa tangisku bertambah parah. Aku meraung ketakutan.

"Kok nangis? Ayo kita liat."

Aku menggeleng kala Yena menarik lenganku menuju ke sana.

"Gue...nggak bisa," isakku.

"Apanya nggak bisa? Lo pikir Niki bundir? Ayo buruan liat." Dia menarikku. Kali ini aku tidak membantah, mengikuti arah tarikannya yaitu menuju gubuk itu. Ketakutan dalam hatiku semakin meraup nyata ketika jarak kami semakin dekat, tubuhku bergetar hebat.

"Gi-gimana ini? Gu-gue nggak bisa. Apa yang...harus gue lakuin?" Linangan air mataku semakin deras.

Yena tidak menggubris, tetap menarikku.

"Yen...gue nggak bisa."

"Yena...."

"Hiks, Ya Tuhan...gimana?" Aku mengusap wajah, terus-menerus meneteskan air mata. Aku berusaha berpikir positif, tetapi kenyataan membuatku berpikiran hal buruk.

Selama satu menit melangkah dengan keterpaksaan, akhirnya kami sampai tepat di depan gubuk itu, pintunya tertutup rapat.

Jiwa dalam ragaku seakan melayang keluar tatkala melihat kalung berbandul NS yang telah diperbaiki itu tergantung di knop pintu tua.

Ja-jadi benar...Niki ada di dalam?

Deru napasku memburu, aku menggeleng berulang kali. "Niki...Niki ada di dalem?" Tangisku mengencang.

Yena langsung menggedor pintu. "WOY! ADA ORANG NGGAK?! BUKA CEPETAN!"

Satu hal yang membuatku semakin berpikir buruk; tidak ada sahutan dari dalam. Raunganku melengking, aku menangis luar biasa.

"WOY!" Yena berusaha mendobrak, tetapi kian tak bisa.

"NIKI!" Kali ini aku yang berteriak, mengambil alih pintu. Kubuka knop beberapa kali, berharap pintu bisa terbuka. "NIKI GUE MINTA MAAF! GUE SALAH! GUE NGGAK BERMAKSUD NYAKITIN PERASAAN LO! JANGAN KAYAK GINI! BUKA PINTUNYA, PLIS...."

"NIKI!"

"NIKI! HIKS, GUE MOHON! NIKII!"

"NIKI!"

Karena tidak kunjung dibuka, aku mengedarkan pandangan mencari sesuatu, ada broti besar, aku mengambil dan berusaha merusak knop pintu dengan mengerahkan segala kekuatan.

Di hantaman kesepuluh, knop pintu berhasil terlepas, otomatis pintu terbuka sedikit demi sedikit. Jantungku seperti mencelos, decitan pintu tua menguakkan segalanya.

Ketika pintu mulai terbuka lebih lebar, pada saat itu---

"NIKI!" Air mataku meluruh deras. Kakiku melemas. Waktu seakan berhenti. Aku menutup mulut yang terbuka lebar.

Aku menutup mulut seraya menggeleng berulang kali, air mata terjatuh setitik demi setitik. Selama beberapa detik indra pendengaranku tidak berfungsi, hanya dapat mendengar detak jantungku yang berdegub sangat keras, atau bahkan napasku yang tercekat.

Hingga---

"NIKI!" Sontak aku berlari ke dalam, bergegas melepas tali yang tergantung di atap langit. Tubuh Niki meluruh ke bawah kala tali itu terlepas.

Aku diam mematung, tidak bisa melakukan apapun selain terbengong. Air mukaku memucat. Waktu seakan benar-benar berhenti.

"Ke-kenapa...?" Tubuhku terjatuh ke lantai dengan air mata yang tidak bisa dikendalikan, terduduk tak berdaya sembari meringkuk.

Dadaku terasa diserbu jutaan volt. Sakit. Sangat sakit. Begitu sakit.

Niki di depanku---Dia sedang... tertidur lemas tanpa adanya pergerakan. Bahkan, tubuhnya tidak bergerak seincipun. Tunggu! Apa? Tertidur lemas?! Tertidur le...mas?

Kenapa? Dunia harus sekejam ini?

Aku menjerit sekuat mungkin, menjambak rambut sendiri dan menangis sejadinya.

Yena tidak berani masuk, dia memilih menunggu di luar. Sementara aku terus menjerit, menjerit sekencang mungkin, meraung sekeras mungkin, meringkuk sedalam mungkin. Aku menjerit melampiaskan segalanya.

Aku tidak sanggup bangkit hanya untuk menghampirinya. Niki ... dia masih berbaring tak berdaya di atas lantai, matanya tertutup rapat, tubuhnya benar-benar tak bergerak sekadar menyatakan bahwa ia tengah bernapas. Dia ... apa dia sudah pergi?

"NIKIIIIIIII!!!!!"


••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••



Aku masih tetap menangis, memeluk diri di ujung koridor rumah sakit. Air mataku tidak juga berhenti, dadaku terasa amat sesak, tanganku terkepal mengingat bagaimana Niki tergantung mengerikan di dalam gubuk itu.

Raunganku terus mengisi koridor sepi, aku terisak, sesenggukan, tremor, dan juga menjambak rambut penuh luapan emosi. Keadaanku sungguh kacau. Aku benar-benar dilanda ketidakwarasan.

Di tanganku terdapat kalung milik Niki, aku menggenggamnya sangat erat. Begitu erat, sampai tanganku tergores karena terlalu erat meremas bandul, darah mengalir dari sana.

"Kenapa...? Kenapa, Nik? Kenapa lo lakuin ini?" Aku kembali terisak.

Suara derap kaki yang ramai terdengar, berlari dari arah koridor lain menuju kemari.

"CHOI SHEYA!" bentakan yang menggelegar itu mengisi koridor sepi, derap kakinya semakin mendekat, aku tidak bisa melakukan apapun lagi, memilih menerima semuanya dengan hati tersayat.

Saat sudah berada di depan, ia langsung menarikku berdiri secara kasar. Dan---

PLAK!

Hatiku yang sudah hancur lebur bertambah lebar hanya karena sebuah tamparan melengking itu. Aku bercicit kecil sambil tetap menangis, rasa perih menjalar dari pipi hingga ke dadaku. Rambut menutupi sebagian wajah, namun tidak bisa mengindahkan betapa hampanya hatiku kini.

Padahal ... baru kemarin kami tertawa bersama.

Rambutku ditarik tanpa kasian, orang itu meremas rahangku begitu kuat, menggunakan kuku, sampai kulit wajahku mengelupas.

"APA YANG KAMU LAKUIN HAH?!"

Mataku terpejam, menikmati rasa sakit yang ada.

Tamparan kembali kuterima.

PLAK!

"CEWEK BODOH!"

PLAK!

"CEWEK BEBAL!"

PLAK!

"CEWEK TOLOL!"

PLAK!

Aku menerima semua perlakuan itu tanpa perlawanan. Ini lebih baik, setidaknya luka fisik dapat mengalihkan luka psikisku sejenak. Tetapi yang menambah sesak menjadi lebih parah adalah; seluruh abangku yang tersisa hanya bertindak sebagai penonton, menyaksikan penderitaanku dengan bibir terkatup rapat, sama sekali tidak berniat memberi pembelaan, meski hanya sekali.

Aku memejamkan mata rapat-rapat, menangis dalam diam. Setidaknya akhirnya aku tau, tidak ada orang baik di dunia ini, sekalipun itu yang dinamakan keluarga.

••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••


[Epilog]

"Cinta yang baik adalah cinta yang memberi banyak kasih, tidak peduli seberapa banyak luka tertoreh, kamu harus selalu menyayangi, karena itulah makna cinta."

"Cinta yang baik adalah cinta yang memberi banyak kasih, tidak peduli seberapa banyak luka tertoreh, kamu harus selalu menyayangi, karena itulah makna cinta."

"Cinta yang baik adalah cinta yang memberi banyak kasih, tidak peduli seberapa banyak luka tertoreh, kamu harus selalu menyayangi, karena itulah makna cinta."

Aku terus mengulang kata-kata yang pernah diucapkan seorang wanita yang mengenalkan dirinya sebagai 'Ibu'. Sejak pertama jumpa, ia langsung mengucapkan itu.

"Bibi! Ibu ada dimana?" tanyaku pada seorang wanita yang tengah memotong bawang.

"Ibu udah pergi, Nona Sheya."

"Pergi kemana kalau boleh tau?"

"Ke tempat Tuhan, sangat jauh."

Aku memiringkan kepala ke samping. "Setauku tempat Tuhan itu Surga. Jadi Ibu udah meninggal?"

Bibi tampak terkejut dengan jawabanku. "Mending kamu main sama abangmu. Kamu udah bujuk mereka kan? Biar kamu jadi princess di rumah ini."

Senyumku terpatri. "Udah dong. Mereka nerima aku apa adanya, tanpa sandiwara kayak yang kamu bilang, Bi."

Dia terkekeh. "Artinya kamu luar biasa, bisa nakhlukin ketujuh hati pangeran sekaligus."

Aku ikut terkekeh. "Kalau gitu aku mau main sama mereka. Dah." Kulambaikan tangan sambil berlari riang menyusuri koridor lebar nan mewah.

Tidak butuh waktu lama aku sampai di ruangan---dimana aku bertemu pertama kali dengan mereka secara serempak---. Ruangan ini gelap, tidak ada sumber cahaya, hanya dari celah jendela yang tertutup tirai. Aku berjalan masuk semakin dalam sebab ruangan ini teramat luas.

"Lo jangan ganggu gue, minggir!"

"Lo yang awas sialan, ini bagian gue."

"Eh, eh, kalian kok berantem?" Aku menengahi.

"Cih, ngapain sih lo suka dateng kemari?" sinis Suno.

"Emang kenapa?"

"Karena di sini bau bangke. Ngerti nggak? Jake udah larang lo ke sini."

"Kenapa emangnya? Kan aku udah masuk perkumpulan kalian."

Jungwon mendengus. "Masuk gimana? Lo aja nggak bisa bunuh kucing satupun."

"Ey, membunuh itu nggak baik. Kalian juga harus berhenti."

"Mana bisa." Suno tertawa, mencincang daging berbulu yang ada di atas meja. Aku mendesis jijik ketika darah terpecik mengenai pipiku.

Bola mataku bergilir melirik Bang Jay yang sibuk memblender sesuatu. Aku berjalan mendekat, melihat seekor tikus mungil ia blender hidup-hidup.

"Bang!" sentakku. Kupukul kepala Bang Jay kencang, setelahnya aku mencabut kabel blender. "Pake otak dong! Coba kalau kamu yang kugiling!"

Perhatianku tercuri oleh sebuah kikikan senang. Spontan aku celingukan mencari sumber suara. Ah! Ketemu. Dua orang itu, Bang Jake dan Niki terus tertawa bahagia melihat seekor anjing menggeliat di atas api, dibakar hidup-hidup, keempat kakinya diikat, mulutnya juga diikat sehingga tidak menimbulkan suara apapun, hanya tawa dari kedua pelaku yang terdengar.

"NGGAK ADA OTAK!" teriakku.

"Mau?" Tiba-tiba Bang Sunghoon menjulurkan sepiring kue.

"Wah? Apa nih?" Aku mengambil satu potong kue dari atas.

"Kue cokelat."

Saat aku ingin melahapnya, Bang Sunghoon kembali melanjut ucapan.

"Campur darah."

Keningku berkerut, ia memasang raut datar seraya mengangkat lengan, menunjuk pergelangan tangannya yang terus mengalirkan darah. Di bibirnya juga terdapat bercak darah, jangan bilang dia menggigit dirinya sendiri?

Dadaku kembang-kempis. Kulempar kue itu ke lantai. "Kalian bisa nggak, jadi manusia normal?!"

"Jadi lo pikir sekarang kita manusia apa? Manusia purba?" cibir Suno di ujung sana.

"YA! SERUPA! Kalian manusia yang nggak punya belas kasihan! Kalian masih punya Tuhan! Jangan kayak gini!"

"Iya kapan-kapan deh gue coba berubah," sahut Bang Jake, menabur bumbu ke atas panggangannya.

"Jangan kapan-kapan! Dari sekarang!"

"Iya, iya. Bawel." Bang Jake tertawa.

Tanganku terkepal erat, selalu saja perkataanku dianggap bercandaan. Jika selalu begini, bila dewasa nanti, tidak ada kemungkinan kalau mereka tidak akan membunuh sesama mereka, manusia. Sekarang saja mereka menyakiti hewan tanpa memiliki sisi berbelas.

"Denger ya, aku bakal berusaha ngubah kalian jadi manusia normal! Meski susah banget, aku bakalan tetep berusaha! Sampe kapanpun, aku terus berusaha! Aku janji bakal numbuhin balik perasaan yang ada dalem hati kalian!"

Jungwon tertawa sinis. "Oke, kita liat hasil usaha lo."

[Epilog End]

••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••





Owghey, ini buru-buru:'(

Sekitaran beberapa chap lagi tamat ya:')

D

ah.

Continue Reading

You'll Also Like

900K 54.4K 35
Delissa Lois adalah seorang gadis cantik yang terkenal barbar, suka mencari perhatian para abang kelas, centil, dan orangnya kepo. tapi meskipun begi...
14.6K 1.8K 13
Aviella Rubby J Seorang gadis yang memiliki dua kepribadian yang istimewa, dimana mereka bisa saling berkomunikasi satu sama lain. V dengan sifat ram...
1.6K 147 25
Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada kehilangan seseorang yang sangat kamu cintai, segala usaha yang kamu lakukan untuk mempertahankan ikatan su...
231K 20.4K 33
"I think ... I like you." - Kathrina. "You make me hate you the most." - Gita. Pernahkah kalian membayangkan kehidupan kalian yang mulanya sederhana...