THE CHOICE✔

By msvante

521K 77.1K 27.9K

[COMPLETED] 'Tidak boleh ada ponsel saat jam belajar. Terlebih kau masih dalam kelas detensiku, Nona.' ©️msva... More

Prologue
Part 1. Club
Part 2. Angel
Part 3. Ssaem
Part 4. Punishment
Part 5. Quiet
Part 6. Speak
Part 7. Accept
Part 8. Day One
Part 9. Talking with You
Part 10. Bad Day
Part 11. Bad Night
Part 12. Welcome to Jeju
Part 13. Day One Jeju
Part 14. Day Two Jeju
Part 15. Last Day Jeju
Part 16. One Bad Day
Part 17. Complicated
Part 18. What are You Doing
Part 19. Comeback
Part 20. Evacuate
Part 21. Class
Part 22. Strange Days
Part 23. Hoobae
Part 24. Dinner
Part 25. Mrs. Oh
Part 26. Shirt
Part 27. Night
Part 28. After
Part 29. Papa
Part 30. Until When
Part 31. Cute
Part 32. Family
Part 33. Home
Part 34. Breakfast
Part 35. Coffee
Part 36. Lose
Part 37. Jealous
Part 38. Fall
Part 39. Door
Part 40. Chaos
Part 41. Yuri
Part 43. Negotiation
Part 44. In the Car
Part 45. Her
Part 46. Parasyte
Part 47. Fed Up (Muak)
Part 48. Talk
Part 49. Let Go
Part 50. Mama
Part 51. congratulations
Part 52. Criminals
Part 53. the choice
Part 54. kehidupan masing-masing
Part 55. Swiss
Part 53. The Truth
Part 54. Ending
Epilogue
Epilogue II
Epilogue III

Part 42. Gone

7.3K 1.3K 1.2K
By msvante

"Yuri ..."

Taehyung nyaris tak percaya akan apa yang telinganya dengarkan. Adapun istri sahabat dekatnya itu terus menatapnya dengan sendu, menembus nuraninya sampai nyaris tak tega untuk berucap untaian kalimat yang telah tertahan di tenggorokan.

"Taehyung ... please ..."

Bekas menangis di pipi gadis itu menambah kesan menyedihkan yang membuat satu sudut kecil di ruang hati Taehyung seperti tercubit. Jejak hitam di bawah matanya juga menjadi pertanda bahwa Yuri mungkin saja menyimpan segala kesusahannya hingga tak memiliki waktu yang cukup untuk istirahat.

Dengan hati-hati, Taehyung berusaha membangun buah bibir yang akhirnya ia suarakan. "Yuri, sejujurnya akan terasa aneh jika kau menginap di sini. Maksudku—bisa menjadi sebuah kesalahpahaman sebab statusmu."

Yuri tak langsung bersua. Jelas sekali rautnya tengah kecewa dan itu kembali membuat hati Taehyung merasa tak nyaman.

"It's okay," katanya, terlalu singkat dan Taehyung masih merasa tidak enak di dalam hatinya.

"Yuri ... "

"It's okay, Taehyung. Aku tahu bahwa semua orang pada akhirnya akan meninggalkanku. Aku tak seberuntung dirinya. Aku tak selayak gadis itu untuk bisa menumpang di sini, sekalipun aku merasa tak ada lagi rumah sebagai tempat untuk pulang. Kau—atau Jimin—" Perempuan itu kembali terisak, terdengar pilu dan Taehyung semakin tak tega hingga merapalkan kata maaf dalam gumamannya sambil kembali merengkuh gadis itu. "It's okay, it's o—"

"Sorry ... i'm really sorry ... " Taehyung mengusap rambutnya, terus merapalkan itu dan mengulum bibirnya. Rasa bersalah kian menggunung dan ia berucap dengan setengah hati, "Kau boleh menginap, Yuri."

***

"Enak, Sayang?"

Jimin sedari tadi tak bisa fokus pada mangkuk ramennya sendiri ketika gadis di hadapannya baru saja menyeruput mie Jepang itu setelah meniup-niupnya selama beberapa detik.

Ia seperti seseorang yang tak ingin melepaskan pandangannya barang sedetik saja. Takut gadis itu segera menghilang, bahkan jika ia sedang berkedip.

Mereka singgah di sebuah kedai ramen tak jauh dari kawasan Yeouido. Keduanya berjalan, berpegangan tangan dan menikmati malam seperti layaknya pasangan pada umumnya yang sedang dimabuk cinta.

Hal langka sebab Jimin biasanya tak membiarkan untuk memperlihatkan hubungan terlarangnya di depan publik. Pria itu biasanya sangat berhati-hati. Namun malam itu, Jimin seolah tak peduli akan segalanya.

Gadis Jung itu hanya mengangguk, menikmati ramennya dalam diam sebab perutnya yang bersuara terlebih dulu hingga Jimin memiliki ide untuk mampir di kedai terdekat.

"I love you."

Spontan Jimin menguntai kalimat yang terlampau jarang terdengar belakangan ini. Dengan senyum manis dan tatapan memuja yang membuat gadis itu terhenyak dan sedikit banyak merasa terharu akan perlakuan kekasihnya.

Nara, harusnya begitu bersyukur 'kan?

"Too, Jimin."

Hati Jimin menghangat, tampak senyum manis terkembang di kedua pipi tirusnya ditambah manik berkelibat cinta.

Keduanya tak banyak berbicara ketika menghabiskan seluruh isian ramen dalam mangkuk mereka.

Sesekali gadis Jung itu harus menepis kuat ketika sosok lain muncul dalam pikirannya. Sosok yang entah mengapa mengambil alih pikirannya hingga tak bisa sepenuhnya fokus pada Jimin. Terlebih mendengar fakta yang rasanya membuat hati gadis itu diremas.

"Sayang ..."

Jimin sengaja mengusap punggung tangannya. Ada rasa kecewa sebab sadar bahwa gadis itu tak mendengarkan cerita yang baru saja ia sampaikan dengan antusiasme yang menggebu.

"Ah, ya?"

"Well, aku bilang bahwa proyek di Paris sepenuhnya aku yang memegang dan perusahaan berhasil memenangkan tender. Kita, lebih dekat dengan masa depan, Sayang."

"Selamat, Sayang."

Mendengar panggilan terakhir yang memang tak terlalu sering diperdengarkan oleh kekasihnya membuat Jimin cukup lega dan kehangatan mengerubungi hatinya.

Jika mereka tak sedang berada di tempat umum, sudah pasti Jimin akan mengecup bibir dan memberikan pelukan hangat sebagai bentuk cinta yang begitu banyak dan dalam yang ia simpan untuk kekasihnya.

"Jimin, apakah aku benar-benar tidak bisa ikut ke tempat Taehyung Ssaem? Hanya ingin mengucapkan selamat tinggal dan terima kasih, juga permintaan maaf karena sudah membuatnya kerepotan. Hanya sebagai seseorang yang memiliki etika."

Jimin tak lekas menjawab. Ada helaan nafas berat yang menjadi pertanda bahwa dirinya sesungguhnya tak suka dengan topik pembicaraan yang dibuka oleh kekasih yang sangat dicintainya itu.

Apakah gadisnya benar-benar tak mengerti makna dari kalimat-kalimat sebelumnya?

Menatap wajah Nara, serta kejujuran yang tersirat dari binar matanya, sesungguhnya Jimin cukup tahu bahwa gadisnya tak berbohong.

Butuh sekitar lima menit baginya untuk menimbang dan mereka larut dalam keheningan sampai ia bersuara dengan nada sedikit berat. "Kita ke sana, kau—untuk terakhir kali."

***

Jadi, apa yang membuat Jimin mengizinkan untuk membiarkan gadis itu ikut dengannya adalah, niat untuk memutuskan hubungan apapun dengan Taehyung saat ini. Termasuk, pemutusan hubungan asisten - dosen antara Nara dan Taehyung.

Sepanjang perjalanan pria itu sampai memikirkan kalimatnya di dalam kepala. Ia tak peduli jika mereka kembali terlibat perkelahian atau apapun. Yang jelas, ia tak suka jika miliknya berusaha direbut oleh orang lain, terlebih seseorang yang dulu begitu ia percaya.

"Kita tidak akan lama." Jimin segera bersua ketika mereka tiba di depan lobi apartment Taehyung setelah keluar dari taksi.

Jam menunjukkan nyaris tengah malam namun Jimin bersikukuh ingin menyelesaikan segalanya malam ini.

Sedangkan Nara, tak bisa dipungkiri bahwa dada gadis itu berdebar, rasanya aneh seperti ia tengah berlari dan jantungnya dipaksa untuk bekerja di luar batas biasanya.

"Tanganmu berkeringat, Sayang." Jimin melepaskan genggaman yang bertaut.

"Sorry ..." Nara mengusap telapak tangannya dengan senyum kecil di ujung bibirnya.

Bunyi lift bersamaan dengan pintu yang terbuka menandakan bahwa mereka telah tiba di lantai tempat apartment Taehyung berada. Keduanya berjalan dalam diam.

Jimin segera menekan tombol. Tangan keduanya bertaut kembali, lebih tepatnya Jimin yang menggenggam begitu erat.

Ada sekitar tiga kali Jimin menekan bel sebab pemiliknya tak kunjung membuka pintu. Baru pada kali keempat pintu itu terbuka. Bersamaan dengan Taehyung yang telah berganti baju, wajah bekas pergulatan yang sudah dibersihkan dan pandangannya yang turun ke arah kedua tangan yang bertaut.

Nafasnya terdengar mendengus, nampak tak suka dengan pandangan yang tersaji. Terlebih ketika Nara menatapnya sendu, membuat pria Kim itu segera membuang pandangan ke arah lain.

"Kami ingin mengambil barang milik—"

"Taehyung, aku pinjam goodie bag untuk—"

"Yuri!"

Jimin secara otomatis melepaskan genggamannya, tubuhnya mendorong Taehyung, masuk ke dalam melalui celah meski sang pemilik belum membukakan sepenuhnya.

"Yuri, apa yang kau lakukan di sini?" Nada pria itu naik ketika mendapati sang istri tengah berdiri di sana, memegang tumpukan baju dan tubuhnya kenakan sweater kebesaran yang ia hafal benar itu adalah milik Taehyung.

"Jimin ..." Perempuan dengan rambut basah itu nampak terkejut, terlebih mendapati Jimin sedang menatap ke arahnya dengan telinga merah dan mata menyalang. Ia hafal benar bahwa suaminya itu tengah marah.

"Jawab aku, apa yang kau lakukan di sini?!"

"Jimin, jaga nada bicaramu." Taehyung menyela, berjalan mendekat dengan Nara yang menyusul di belakangnya.

"Jangan ikut campur dengan urusan rumah tanggaku, Taehyung. Kau yang mengatakan itu jika kau lupa."

Sontak suasana hening sekaligus mencekam, sebab Nara pun merasa benar-benar ngeri dan asing dengan kemarahan Jimin seperti saat ini. Ia tahu ada kalanya Jimin akan menjadi temperamen, namun tak menyangka jika itu terjadi pada sosok yang ia sebut tak pernah dipedulikan selama ini.

"Kau sendiri, apa yang kau lakukan di sini, dengannya?" Meski ada getar namun Yuri mengatakan itu dengan suara yang terbilang lantang. Berusaha tegar meski tungkainya sudah lemas dan tenaganya seperti terhisap habis entah kemana.

Jimin sempat terkesiap, dengusan nafasnya jelas sekali menandakan pria itu sedang berusaha tenang. Mengusap keningnya sedikit kasar sekaligus memejamkan mata kemudian ia menjawab. "Ini Jung Nara, asisten Taehyung di kampus dan mereka tinggal bersama. Kebetulan kami bertemu di bawah, dan naik untuk menjemput barangku di sini. Kau lihat, koperku masih ada di sana. Aku mengunjungi Taehyung sesaat setelah tiba di Korea."

Sungguh Yuri ingin tertawa, rupanya Jimin sangat lihai mengarang cerita. Tidakkah ia layak untuk menjadi seorang penulis cerita fiksi? Perempuan itu baru saja akan mengangkat suara sebelum Jimin berjalan ke arah kopernya, menarik itu sekaligus meraih pergelangan tangannya. "Ayo, pulang!"

"Jimin—kau tidak bisa seenaknya."

"Kau istriku, Yuri!"

"Aku belum beritahu kenapa aku ada di sini." Yuri berusaha melepaskan genggaman suaminya yang mengerat. Di sisi lain terbersit secercah harapan dimana Taehyung akan menolongnya.

"Kau bisa jelaskan di rumah."

"Jimin—"

Jimin tak peduli ketika istrinya berusaha melepaskan diri. Tangannya mengerat, bersamaan dengan suara koper yang ia seret. Melewati Taehyung yang menatapnya tajam namun memilih tak ikut campur seperti apa yang pria itu katakan. Selanjutnya, tatapannya mendadak sendu ketika melewati sang gadis yang ia lepaskan genggamannya beberapa saat yang lalu. Jimin jelas takut segalanya akan semakin rumit, namun ia percaya bahwa gadisnya akan menepati segala rencana yang sudah mereka rancangkan tadi.

Sebelum benar-benar melewati, ia menyempatkan diri untuk berucap tanpa suara.

"I love you."

***

Tersisa keheningan dengan suasana tegang yang mencekam. Mungkin keduanya tak menyangka akan terjebak di situasi seperti sekarang ini.

"Aku—minta maaf telah merepotkan dan membuat kekacauan, Ssaem." Nara memutuskan untuk membuka suara terlebih dulu. "Aku akan kembali ke flat, hanya ingin mengambil barang-barang yang tersisa."

Taehyung tak lekas menjawab. Matanya lekat di sana, mengikuti kemana gadis itu berjalan—masuk ke dalam kamar yang ia tempati.

Sedang gadis itu berusaha menetralisir perasaannya yang semakin tak menentu. Gelenyar aneh di dalam tubuhnya memberi sinyal bahwa ada sesuatu yang tersimpan dan ingin sekali ia ungkapkan. Nyatanya, tangannya sudah membuka lemari dan mengambil beberapa potong pakaian untuk dimasukkan ke dalam tas yang tak terlalu besar.

Cukup terkejut kala mendapati Taehyung melipat tangan sudah berdiri di depan pintunya. Membuang pandangan dan pura-pura fokus pada pekerjaan tangannya. Kemudian perhatiannya tersita kala Taehyung terkekeh pelan lalu bersuara dengan baritonnya. "Ternyata kau begitu mudah mengingkari janji."

Nara mau tak mau memindahkan pusat perhatiannya, menatap Taehyung dengan rasa ingin tahu tersemat di keningnya.

"Sudahlah. Lupakan." Taehyung berucap santai. Tetapi posisinya stagnan di sana, tak bergeser barang sedikitpun.

Barangkali pemuda Kim itu tak tahu, bahwa Nara sebenarnya menimbang-nimbang di dalam hatinya. Apakah itu karena panggilan Ssaem yang baru saja ia sebutkan setelah perjanjian mereka hari itu, atau ada hal lain? Ah, tentu tak tak begitu penting mengingat pria itu baru saja berdua dengan wanita pujaannya.

"Ssaem, terima kasih telah menerimaku dengan baik selama di sini."

Raut Taehyung masih saja tak berubah. Dingin seperti gadis itu melakukan sesuatu yang membuatnya tak senang.

"Maaf sudah merepotkan."

"Jadi begini akhirnya? Kau bersikap seperti kita begitu asing, sementara kau yang menginginkan supaya aku tidak melupakan apa yang terjadi pada malam itu?"

Nara mengambil jeda dari aktivitasnya, memberanikan diri untuk melihat wajahnya meski tatapan Taehyung begitu menusuk.

"Ssaem—"

"Kau membingungkan, Nona."

Nara mendadak bungkam. Otak encernya tak bisa mencerna apa makna dari kalimat yang teruntai dari bibir pria yang lebih tua itu.

"Aku tak mengerti mengapa kau bisa terpilih sebagai mahasiswi terbaik sementara otakmu begitu bodoh untuk mencerna apa yang terjadi beberapa saat yang lalu." Taehyung kembali terkekeh, kali ini terdengar miris dan wajahnya terlihat jauh dari kata senang. "Atau benar-benar tak peduli untuk tetap merebut milik orang lain, masih sejahat itu kau rupanya?"

Nara terlampau terbiasa jika Taehyung mengatainya, namun tidak untuk kali ini sebab kalimat Taehyung sama sekali tidak bisa dibenarkan. Bukan itu.

"Kau mencintai perempuan itu, Ssaem. Lama. Sangat lama dan kau tak bisa melupakannya sampai saat ini."

Itu bukanlah jawaban yang sama sekali Taehyung duga akan teruntai dari bibir tipis yang beberapa malam lalu menjadi bulan bulanan kecupannya.

Lalu apa?

"Apa urusanmu?"

Hati gadis itu seperti diremas. Rasanya sakit, terlampau sakit dibandingkan waktu sebelumnya. Taehyung benar-benar mencintainya, ya?

"Kau ingin melampiaskan segalanya padaku, membalaskan dendam mungkin—karena pikirmu aku menyakiti perempuanmu."

Rasanya begitu sakit, bibirnya bergetar sampai tangannya berkeringat. Tak peduli jika dianggap tak sopan sebab menghilangkan embel-embel pada pemuda Kim itu.

"Selain bodoh, kau terlalu sok tau."

Nara total benci.

"Jangan merasa benar sendiri, kau juga jahat. Kau menyakitiku demi rasa cintamu yang—"

Gadis Jung itu seketika bungkam, dipaksa diam kala bibirnya disentuh secara tiba-tiba dan disesap paksa. Matanya membola, reaksi tubuhnya begitu kaku dan beku seperti bongkahan es. Emosinya diaduk, bercampur sampai tak sadar tetesan air mengalir dari sudut matanya. Mendesis dan baru memberikan perlawanan ketika bibirnya terasa perih sebab Taehyung menggigit sampai berdarah. Barulah pria itu menjauhkan wajahnya, matanya mengilat dengan nafas putus-putus.

"Pergi dari sini, kejar pria brengsekmu itu dan aku akan membahagiakan perempuan yang kalian sakiti. Seperti yang kau bilang, perempuanku."

[]

Continue Reading

You'll Also Like

112K 9.2K 85
Kisah fiksi mengenai kehidupan pernikahan seorang Mayor Teddy, Abdi Negara. Yang menikahi seseorang demi memenuhi keinginan keluarganya dan meneruska...
249K 39.3K 33
❝ Sora, kau ada waktu Jum'at minggu depan?❝ Sora Egbert jelas mengingat dua kenangan mengejutkan dalam hidupnya. Pertama ketika Seojin Hwang datang m...
194K 20.2K 27
Mereka menikah bukan karena cinta atau perjodohan. Melainkan untuk memuaskan ego masing-masing. Tidak ada yang spesial diantara mereka. Tidak seperti...
795K 82K 56
Menceritakan tentang kehidupan 7 Dokter yang bekerja di rumah sakit besar 'Kasih Setia', mulai dari pekerjaan, persahabatan, keluarga, dan hubungan p...