2. NOT ME ✔️

Door Caaay_

10.4M 1.7M 365K

Cakrawala Agnibrata, dia selalu menebar senyum ke semua orang meskipun dunianya sedang hancur berantakan. Sam... Meer

NOTE
CAST
C A U T I O N
B LU R B
-000-
|| P R O L O G ||
CHAPTER 1 | RAPUH |
CHAPTER 2 | BULLYING |
|CHAPTER 3| BEKAS LUKA|
| CHAPTER 4 | KEMOTERAPI
| CHAPTER 5 | GABI FATHAN
|CHAPTER 6| SEPEDA
| CHAPTER 7 | RUANG KELAS |
CHAPTER 8 |PULANG|
CHAPTER 9| SATE|
CHAPTER 10 | PERHATIAN TERSELUBUNG |
CHAPTER 11 | LEMARI |
CHAPTER 12 | CERMIN |
CHAPTER 13 | KOMPETISI |
CHAPTER 14 | BROKEN |
CHAPTER 15| TIDAK TERIMA |
CHAPTER 16 | HUBUNGAN BARU|
| CHAPTER 17 | TEMANKU
| CHAPTER 18 | MELUKIS
| CHAPTER 19 | PULPEN KUNING
| CHAPTER 20| KAKAK TERSAYANG
| CHAPTER 21| KEGILAAN CAKRAWALA
| CHAPTER 22 | JANGAN SAKIT
| CHAPTER 23 | OCD
| CHAPTER 24 | ORANG GILA
| CHAPTER 25 |RAMBUT RONTOK
| CHAPTER 26 | MENCARI
| CHAPTER 27 | MENJAGAMU
| CHAPTER 28 | CAKRAWALA KECIL
|CHAPTER 29| CAT AIR
|CHAPTER 30| MALAM MINGGU
| CHAPTER 31 | LOKOK BUAT AYAH
| CHAPTER 32 | MUNGKINKAH BERSAMA?
| CHAPTER 33 | DEPRESI
|CHAPTER 34 | DIMAKAN AIR
| CHAPTER 35 | SIMULASI MATI
|CHAPTER 36 | MENINGGALKAN
|CHAPTER 37| JALAN-JALAN
| CHAPTER 38 | CAKRAWALA SAKIT
| CHAPTER 40 | SENYUMAN CAKRAWALA |
| CHAPTER 41 | BUKAN AKU
| CHAPTER 42 | KHAWATIR
| CHAPTER 43 | KANGEN CAKRA
|CHAPTER 44 | RUMAH GABI
| CHAPTER 45| CAKRA ANAK NAKAL
|CHAPTER 46|KEMARAHAN MARATUNGGA
|CHAPTER 47| TENTANG MARATUNGGA
|CHAPTER 48| TENTANG MARATUNGGA II
|CHAPTER 49| MAAFIN CAKRA
|CHAPTER 50| AKU ATAU TUHANMU
|CHAPTER 51| BADUT TOKO MAINAN
CHAPTER 52 | DIKELUARKAN
| CHAPTER 53 | RUMAH SAKIT JIWA
|CHAPTER 54 | SENANDUNG UNTUK CAKRA
| CHAPTER 55 | JANGAN TINGGALIN CAKRA
|CHAPTER 56| KEPULANGAN CAKRAWALA
| CHAPTER 57 | TANGISAN PILU
|CHAPTER 58| PELUKAN UNTUK CAKRA
|CHAPTER 59 | USAI
EPILOG
KLARIFIKASI
ABOUT ME
VISUALISASI NOT ME
PESAN TERAKHIR CAKRA
NOT ME 2

| CHAPTER 39 | PERJANJIAN DENGAN BUNDA

109K 21K 4K
Door Caaay_

Vote dulu, biar nggak lupa.
Ramaikan komentar juga yak!

Support 1k followers yuk Caaay_

Happy reading!!!

———

—CAKRAWALA AGNIBRATA

—————

"Peluk yang kenceng, gue mau ngebut!" Seru Galaksi.

"Ogah!"

Galaksi menggeber motornya hingga membuat Moa refleks memeluk erat pinggang cowok itu.

"Sialan lo!"

Dibalik kaca helm fullfacenya, Galaksi terkekeh.

Sudah seminggu ini, ia selalu mengantar dan menjemput Moa ke sekolah. Awalnya Moa memang menolak dengan alasan tidak ingin menyakiti Cakrawala, tapi bukan Galaksi namanya jika menyerah begitu saja.

Dengan jurus seribu alasan serta strategi yang selalu melintas di otak cerdiknya, akhirnya Galaksi berhasil membujuk Moa.

"Nanti malem gue mau balapan bareng Wicak, lo ikut juga dong, semangatin gue."

"Ada Nadin juga." Lanjutnya.

Moa tidak terkejut jika Nadin di sana, karena gadis itu memang tidak pernah absen menemani Wicak balapan.

"Enggak!" Tolak Moa mentah-mentah. "Males gue."

"Udah lama banget kita nggak kumpul-kumpul kayak dulu."

Dulu Moa, Nadin, Galaksi dan Wicak sangat dekat, mereka sering kemana-mana bersama hingga terlihat seperti sebuah geng. Circle mereka susah di tembus dan mereka juga ditakuti oleh semua murid SMA Elang.

Ternyata memang benar, cinta itu hadir karena terbiasa. Mereka berempat yang awalnya bersahabat, merasa nyaman satu sama lain dan menerjemahkan perasaan itu sebagai sebuah cinta. Wicak dengan Nadin, dan Galaksi dengan Moa.

Namun, hubungan persahabatan mereka mulai renggang semenjak Moa dengan Galaksi putus. Setelah putus, Galaksi menarik diri. Ia tidak pernah datang ke tempat nongkrong dan menjadi lebih diam. Katanya sih, biar bisa move on.

Tidak sampai di situ, Galaksi bahkan sempat berpacaran dengan Wanda—anak kelas sebelah—tapi hanya bertahan selama tiga bulan. Hati Galaksi masih milik Moa. Ia memang brengsek, hanya menjadikan Wanda sebagai pelampiasan, padahal gadis itu sangat perhatian dengannya.

Ibaratnya, Galaksi sudah dapat malaikat tapi maunya justru sama setan. Wanda itu ketua OSIS, dia cantik, lemah lembut, dan penyayang. Beda sekali dengan Moa! Sayangnya, gadis sebaik Wanda harus disia-siakan. Tapi mau bagaimana lagi, kita kan tidak bisa memilih dengan siapa kita akan jatuh cinta.

Sama juga dengan Moa, sudah ada cowok normal yang jelas-jelas ngejar dia, tapi dia justru lebih memilih cowok sakit mental. Moa tinggal bilang 'iya', pasti sudah bisa balikan dengan Galaksi.

"Moa!" Panggil Galaksi.

"Apa?" Moa mendekatkan kepalanya ke pundak Galaksi.

Kalau di atas motor begini, suara Galaksi menjadi samar-samar terdengar.

"Gue ragu, lo itu sebenarnya beneran suka sama Cakrawala atau cuma sekedar kasihan dan ingin tanggung jawab?" tanya Galaksi.

Galaksi sudah lama mengenal Moa, ia juga paham Moa itu orangnya seperti apa. Mau seburuk apapun sikap Moa, ia adalah gadis yang bertanggung jawab. Jika ia merasa perbuatannya salah, maka ia akan memperbaiki dan menebus kesalahannya. Begitu juga sebaliknya. Prinsip hidup Moa, 'Kalo lo baik sama gue, gue juga bakalan baik sama lo. Tapi kalo lo jahat sama gue, gue bisa lebih jahat daripada lo.'

"Nggak usah tanya-tanya. Ntar kalo gue jawab jujur, lo sakit hatiiii..." Sindir Moa.

"Sialan!"

"Gue itu lebih segalanya dari Cakrawala, tapi kenapa lo nggak milih gue sih?!"

"Wanda juga lebih segalanya dari gue, tapi kenapa lo nggak milih dia sih?!" Moa balik bertanya.

"Ya karena gue maunya sama lo," jawab Galaksi.

"Yaudah sama. Gue maunya sama Cakra, bukan elo."

"Susah ya ngomong sama batu kayak lo, Mo."

"Salah siapa ngajakin gue omong."

"Iya-iya cowok itu emang selalu salah!"

"Nah, itu sadar."

Mata Moa menangkap seorang cowok yang mengayuh sepeda kuning di depan sana. Melihat dari punggungnya pun, Moa sudah tahu kalo itu Cakrawala.

"Ala, turunin gue!" Seru Moa.

"Bentar lagi sampe, elah!"

"Ada Cakrawala!"

"Ya biarin!"

Alih-alih menuruti Moa, Galaksi justru melajukan motornya dan ketika ia berpapasan dengan Cakrawala. Ia membunyikan klaksonnya.

Tin Tin Tin

Cakrawala menoleh, ia melihat motor ninja yang dikendarai oleh Galaksi dan Moa dibonceng di belakang.

"Hai teman!" Sapa Galaksi.

"Hai...!" Ia melepas tangan kanannya dari stang sepeda, kemudian melambai pada Galaksi seraya tersenyum.

"Cakra! Aku mau bareng sama kam—"

BRUUUM!

Galaksi melajukan motor dengan kencang membuat Moa tidak sempat melanjutkan ucapannya.

Cakrawala menghembuskan napas panjang, ia menatap punggung Moa yang semakin menjauh dan akhirnya menghilang.

Cakrawala melanjutkan mengayuh sepeda, ia menyunggingkan senyum meskipun ada rasa kecewa di hatinya lantaran melihat Moa bersama dengan Galaksi.

———

Maratungga berjalan di area pemakaman sambil membawa dua keranjang bunga.

Maratungga jongkok di samping makam ibu kandungnya.

"Mama... udah lama Mara nggak ke sini," ujarnya.

Maratungga membuka satu keranjang bunga, kemudian menaburkannya di atas tanah makam ibunya. Sejak kecil ia tidak pernah sekalipun melihat sang ibu kandung secara langsung, ibunya meninggal karena melahirkannya.

"Ayah baik sama Mara. Ayah juga sayang sama Mara. Saking sayangnya sama Mara, Ayah sampai lupa kalau dia juga punya anak yang lain."

"Mama yang tenang ya di sana."

Maratungga menatap makam ibunya. Ia mengembuskan napas berat, ia sadar cepat atau lambat, ia juga pasti akan menyusul ibunya. Tubuh Maratungga sudah ringkih karena digrogoti oleh sel kanker. Dan sekarang ia hanya sedang menunggu waktu kematiannya.

Usai mengunjungi makam sang ibu, Maratungga tidak langsung pulang. Ia mampir ke makam Bunda Cakrawala. Setiap ke makam, ia pasti membawa dua keranjang bunga karena Maratungga punya dua ibu.

Maratungga tersenyum melihat makam Bunda Cakrawala. Makam itu terlihat sangat indah dengan taburan bunga di atas tanahnya, padahal ia belum sempat menabur bunga. Tidak ada rumput-rumput liar yang tumbuh di makam bunda Cakrawala, makamnya sangat rapi dan bau harum menguar karena siraman air mawar.

"Anak kesayangan bunda pasti habis ke sini, ya?" ujar Maratungga. "Dia ke sini sama sepeda kuningnya, iya kan?"

Maratungga menabur sisa bunga yang ia bawa. Sejak kecil ia tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu, sampai akhirnya bunda Cakrawala datang. Membuat Maratungga akhirnya mengerti, 'Oh, jadi seperti ini rasanya punya Bunda.'

Waktu dua tahun bersama bunda Cakrawala sangat berharga bagi Maratungga. Ketika Bunda meninggal, Maratungga bahkan menangis dua hari dua malam. Maratungga bahkan menyalahkan Cakrawala, ia berteriak dan menyebut Cakrawala sebagai pembunuh.

Dan bertahun-tahun Maratungga membenci Cakrawala, sekarang Maratungga sudah dewasa. Ia sudah sadar, ia sudah bisa membedakan mana yang salah dan mana yang benar. Bunda pergi bukan karena Cakrawala, tapi karena memang sudah waktunya.

Di hidup Maratungga, sosok bunda Cakrawala sangat nyata sampai mengalahi sosok ibu kandungnya sendiri. Bunda memang sudah pergi, tapi kenangannya masih tetap ada.

"Mara, sini, bobok di samping Bunda."

Maratungga merangkak naik ke atas kasur, ia kemudian berbaring di samping Bunda.

Bunda tersenyum, ia mengusap-usap lembut rambut Maratungga.

"Tadi sekolahnya gimana?" tanya Bunda. "Diajarin apa aja sama Bu Guru?"

"Banyak. Ada matematika juga. Mara nggak suka pelajarannya. Susah."

Bunda tertawa.

"Tadi waktu pelajaran menggambar, kata Bu Guru gambar Mara yang paling bagus."

"Oh, ya?"

"Iya, Bunda!" Maratungga mulai bercerita panjang lebar.

Bunda tertawa menanggapi cerita-cerita dari Maratungga. Ia juga mengecup pipi Maratungga dengan sayang.

"Anak Bunda pinter banget."

"Bunda, kata temen-temen, ibu tiri itu jahat. Tapi kenapa Bunda baik banget?" Maratungga menatap Bunda Cakrawala.

"Maratungga juga anak Bunda, kan? Anak Bunda bukan cuma Cakrawala aja kan? Kalau Ayah nggak ada, Bunda nggak akan jahatin Maratungga, kan?"

Bunda tereyuh menanggapi pertanyaan anak tirinya itu. "Siapa yang bilang begitu? Hem?"

"Kamu itu anak Bunda juga." Bunda menoel hidung Maratungga. "Bunda sayang sama Maratungga sama seperti sayangnya Bunda ke Cakrawala."

Bunda memeluk Maratungga dengan erat dan anak itu menangis.

"Lho, kok, Mara nangis?"

Bunda mengusap air mata di pipi Maratungga. "Kenapa, Nak? Mara sedih kenapa? Ayo, cerita sama Bunda. Ada yang jahatin Mara di sekolah?"

Maratungga menggeleng, air matanya terus menetes meskipun sudah diusap oleh Bunda.

"Mara seneng punya Bunda... Hiks! Sebelumnya Mara selalu di ejek sama temen-temen karena nggak punya ibu!"

Melihat tangisan Maratungga, mata Bunda menjadi berkaca-kaca. Ia mengerti bagaimana perasaan Maratungga, karena Cakrawala pun juga sering diejek karena punya ayah suka mabuk-mabukan. Bahkan ketika di sekolah, tidak ada yang mau berteman dengan Cakrawala.

"Siapa yang ngejek, Mara? Hem? Biar bunda jewer kupingnya..."

Maratungga menggeleng. Ia memeluk Bunda dengan erat dan meredamkan tangisannya dipelukan Bunda.

"Maratungga anak yang kuat kan?"

Maratungga mengangguk-angguk.

"Bunda boleh minta tolong sama Maratungga?"

Sekali lagi, Maratungga mengangguk-angguk.

"Meskipun Mara sama Cakra tidak dilahirkan dari rahim yang sama. Tapi kalian harus tetap saling menyayangi, ya?"

Maratungga mengangguk-angguk.

"Kalian boleh berantem, asal jangan saling benci."

"Bunda titip Cakra ke Mara, ya. Tolong jagain dia, karena adik kamu itu berbeda."

Maratungga mengangguk-angguk.

"Mara abangnya, kalo ada yang macem-macem sama Cakra. Mara pukul!"

Jika diharuskan memilih, lebih baik tidak pernah melihat sosok ibu sejak lahir, daripada ditinggal pergi secara mendadak tanpa mengucap kata pamit. Lebih baik tidak punya kenangan sekalian! Karena mau seindah apapun yang namanya kenangan tetap saja menyakitkan.

Terlebih lagi untuk Cakrawala. Anak itu sejak kecil sangat dekat dengan Bundanya. Cakrawala tidak pernah melewatkan sehari pun tanpa kehadiran Bunda. Sampai kemudian, malapetaka itu datang dan merenggut Bunda untuk selamanya. Cakrawala masih belum siap kehilangan.

Orang genius itu punya daya ingat yang sangat kuat, begitu juga dengan Cakrawala. Dibandingkan dengan kebahagiaan, hidup Cakrawala justru lebih banyak penderitaan. Pukulan serta makian sudah menjadi makanan sehari-hari bagi Cakrawala. Dan ingatan-ingatan tentang itulah yang membuat Cakrawala tersiksa sampai tidak bisa tidur. Cakrawala bukan hanya terluka fisiknya, tapi juga mentalnya.

"Bunda, anak Bunda sudah besar."

"Bunda... Mara janji, Mara akan selalu jagain Cakra."

"Terima kasih telah melahirkan seseorang yang penuh cinta seperti Cakrawala."

"Terima kasih telah memberitahuku bagaimana rasanya punya Bunda, meskipun hanya sebentar."

"Terima kasih telah memberiku seorang adik seperti Cakrawala. Walaupun kita sering berantem, tapi Maratungga sayang sama Cakrawala."

"Bunda... Bunda sudah berhasil mendidik Cakrawala. Dia anak baik."

Maratungga mengusap makam Bunda Cakrawala.

Maratungga menunduk dan perlahan darah mulai turun dari hidungnya. Maratungga mengusap darah di hidungnya dengan telapak tangan.

"Maratungga akan bertahan, Maratungga akan kuat, untuk anak bunda, untuk Cakrawala."

——

Moa berlari menghampiri Cakrawala yang sedang memarkirkan sepedanya.

"Cakra, kamu nggak papa kan?"

Cakrawala tersenyum. "Iya, nggak papa."

"Bukan mauku buat bareng sama Ala."

"Iya, aku tahu."

Alih-alih marah, Cakrawala justru menatap Moa dengan teduh. Ia menyunggingkan senyum.

"Ayo, masuk ke kelas sama-sama."

"Kamu nggak marah?"

Cakrawala menggeleng. "Mana bisa aku marah sama kamu."

Moa tersenyum. Ia kemudian menggandeng tangan Cakrawala dengan erat. Mereka berjalan menuju kelas sama-sama.

"Moa..."

Moa menoleh. "Hem?"

"Nggak ada yang bisa gantiin kamu, tapi banyak yang bisa gantiin aku."

"Kok gitu sih?!" Protes Moa. "Nggak ada yang bisa gantiin kamu."

"Ala bisa."

"Nggak bisa!" Tegas Moa. "Dia itu masa laluku, dan kamu masa depanku. Ini hatiku, cuma aku yang tahu apa yang aku suka dan apa yang aku mau."

"Moa, keinginan seseorang akan berganti seiring waktu. Begitu juga dengan hati, dia yang kamu anggap masa lalu bisa saja kembali dan  menjadi masa depanmu. Dan sesuatu yang kamu anggap masa depan itu bisa saja pergi."

Cakrawala menatap intens gadis yang berjalan di sampingnya. "Moa, aku itu nggak normal."

"Udah!" Sentak Moa. "Lo ngomong gitu sekali lagi gue habisin lo!"

"Moa galak!"

"Makanya diemm... Jangan ngomong yang aneh-aneh. Mau aku gigit? Ha?"

Cakrawala menggeleng-gelengkan kepala. "Nggak mau... Ntar aku rabies."

Moa melotot. "Ngomong apa kamu Cak?!"

Cakrawala melepas gandengan Moa, kemudian berlari.

"Lari.... Takuuuttt....!"

Moa tertawa. "Cakra jangan larii!!!"

"Ketangkep aku gigit beneran kamu, Cak!"

Moa berlari di koridor, mengejar Cakrawala yang sudah jauh di depannya. Ia berlari dengan cepat hingga mampu menyamai langkah kecil-kecil milik Cakrawala.

Hap!

"AAA ketangkeeeep....." Seru Cakrawala.

Moa berhasil menangkap Cakrawala. Ia memeluk cowok itu dari belakang dengan sangat erat.

"Mmmmph!" Moa menggigiti lengan Cakrawala dengan gemas.

Tidak sampai disitu, Moa juga menggelitiki Cakrawala dengan jari-jari tangannya. Cakrawala menggeliat-geliat, minta dilepaskan.

"Hahaha Moa geli..."

"Moa jangan gitu... Ahahaha... Moa aku geli..."

Murid-murid di koridor memandang Cakrawala dan Moa dengan sinis. Pagi-pagi sudah mencemari pemandangan, begitu pikir mereka.

"Ampun... Hahaha.. Moa ampun."

Moa melepaskan Cakrawala.

"Kamu lama-lama mirip sama Bang Mara, sukanya gelitikin aku. Geli tau!"

Moa terkekeh, gemas. Ia mencubit pipi Cakrawala.

"Moa, aku kan udah bilang, pipiku jangan dicubit. Nanti kendor."

Melihat ekspresi cemberut Cakrawala, Moa justru tertawa.

'Cakra, kamu anak baik. Kamu normal, dan kamu berhak bahagia.'

"Aku akan buat kamu bahagia, Cak."

Cakrawala mengelus puncak kepala Moa seraya tersenyum.

"Bahagiaku sederhana, Mo. Lihat kamu kayak gini aku udah bahagia. Senyumku luntur saat senyummu hilang."

——

Dengan seragam sekolah yang masih lengkap, Cakrawala menuntun sepedanya menuju rumah. Sepeda kuning Cakrawala rantainya lepas. Ia sebenarnya bisa membetulkan rantai sepeda, namun saat ini ia sedang memakai seragam sekolah. Jika sampai seragamnya terkena oli, nodanya akan susah hilang. Apalagi ia hanya punya satu seragam.

Jarak sekolah menuju rumah lumayan jauh, tapi Cakrawala tetap nekat untuk menuntut sepedanya pulang.

Mata Cakrawala tidak sengaja menangkap seorang anak kecil di sebarang jalan.

"GABIII!" Teriak Cakrawala. Ia melambaikan tangan pada anak itu seraya tersenyum.

Gabi menoleh, matanya berbinar senang melihat Cakrawala.

"KAKAK CAKRA!" Serunya.

Gabi berlari dari seberang jalan menghampiri Cakrawala tanpa menoleh kanan dan kiri. Sampai akhirnya sebuah mobil sedan putih datang dengan kecepatan tinggi.

TTTIIIIIIIIINNNN!

"GABIII AWWWAAAASSSS!"

Cakrawala melepaskan sepedanya hingga ambruk, kemudian berlari menyelamatkan Gabi. Ia menarik tangan anak itu secepat yang ia bisa.

Bruugk!

Cakrawala jatuh dengan Gabi yang menindih tubuhnya. Beruntung, mobil tadi tidak melibas Gabi maupun tubuhnya.

"Akh!" Cakrawala meringis.

Gabi segera bangun dari atas tubuh Cakrawala.

"Gabi nggak papa? Gabi nggak luka kan?" Tanya Cakrawala, ia begitu khawatir.

Gabi menggeleng. "Gabi nggak apa-apa. Tapi tangan sama kaki kakak luka."

Cakrawala melihat tangan dan kakinya mengeluarkan darah. Ia meringis, perih. Kerasnya gesekan aspal membuat kulit Cakrawala mengelupas dan berdarah.

"Kakak nggak papa."

"Lain kali kalo kamu mau nyebrang lihat kanan kiri dulu ya?"

Gabi mengangguk-angguk. "Iya, kak."

Gabi mengulurkan tangan mungilnya untuk membantu Cakrawala berdiri.

"Sepeda kakak kenapa?" tanyanya.

"Rantainya lepas."

Cakrawala mengangkat sepedanya yang jatuh, "Gabi mau ke mana?"

"Nggak kemana-kemana. Cuma mau jalan-jalan, nyari udara segar. Mumpung nggak ada ayah di rumah... Hehe..."

Cakrawala tersenyum. Ia mengusap lembut rambut anak laki-laki yang tingginya hanya sebatas pinggangnya itu.

"Mau kakak temani?"

Gabi menggeleng. "Nggak usah kak, kakak langsung pulang aja. Obatin luka kakak. Aku mau jalan-jalan sendiri."

"Kakak nggak papa. Kamu yakin mau sendirian?"

Gabi tersenyum. "Iya kakak.... Aku duluan ya kak..."

Gabi melangkah menjauh dari Cakrawala. "Dadaaaa..." Ia melambaikan tangan pada Cakrawala seraya tertawa ceria.

Cakrawala tersenyum. Ia membalas lambaian tangan Gabi.

"Hati-hati... kalau ada apa-apa langsung telpon kakak ya?"

Gabi mengangguk-angguk.

Dari arah belakang, sebuah tangan tiba-tiba menepuk pundak Cakrawala.

Cakrawala menoleh.

"Cakra..."

"Bu Ambar."

———

Aku gantung dulu wkwkwk

Sampai jumpa di chapter selanjutnya!!!

Buat kalian yang mau gabung di grup chat Not Me boleh banget kok. Klik tautan yang ada di bio aku ya.

Ga verder met lezen

Dit interesseert je vast

1.5K 182 27
"𝐎𝐛𝐚𝐭 𝐢𝐭𝐮 𝐰𝐚𝐤𝐭𝐮, 𝐛𝐮𝐤𝐚𝐧 𝐬𝐨𝐬𝐨𝐤 𝐭𝐨𝐤𝐨𝐡 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐛𝐚𝐫𝐮." 𝓢𝓻𝓲 𝓗𝓪𝓻𝓯𝓲𝓪𝓷𝓲 - 𝓘𝓷𝓯𝓲𝓷𝓲𝓽𝔂 𝓛𝓸𝓿𝓮𝓲𝓷 𝓞𝓯 𝓢𝓱𝓮...
BIRU Door .

Tienerfictie

194K 17.1K 28
Ini mengenai Biru dengan segala ketidakmungkinannya. Sempat ada rasa tidak percaya terhadap perubahan, apalagi soal hati. Itu dulu, dulu sekali sebel...
AREKSA Door Itakrn

Tienerfictie

32.9M 3.2M 64
"Perasaan kita sama, tapi sayang Tuhan kita beda." ****** Areksa suka Ilona Ilona juga suka Areksa Tapi mereka sadar... kalau mereka berbeda keyakina...
2.4M 214K 52
TERSEDIA DI GRAMEDIA📍 "Aku terlalu lelah untuk terus berkelana di bawah hujan." Legenda Negeri Angkasa. Sosok laki-laki yang rasa sabarnya tidak per...