UNIVERSE PROJECT --LIMERENCE

By We_Escreator

1.6K 539 2.7K

We Escreator Present; Universe Project--LIMERENCE Slice of Life Team *** Kisah ini bermula dari putusnya Hwan... More

Prakata;
Chapter 01
Chapter 02
Chapter 03
Chapter 04
Chapter 06
Chapter 07
Chapter 08
Chapter 09
Chapter 10

Chapter 05

104 45 237
By We_Escreator

"Hatimu bukan patah. Hati tak akan bisa patah. Yang kau rasakan adalah sakitnya bertumbuh. Hatimu bertumbuh dalam kebijaksanaan, kelembutan, dan kekuatan, sehingga suatu hari nanti, kau bisa mencintai dengan lebih hebat."

-Bryant McGill

Masih jelas dalam ingatan Yeji, rasanya bangun dengan mata sembab dan pikiran yang kacau. Sama sekali tidak berniat untuk beranjak dari tempat tidur dan bertemu banyak orang. Memilih sendiri dalam ruang yang kedap dan menutup diri.

Lalu harus dengan terpaksa ikut tertawa pada obrolan ringan agar tampak 'baik-baik saja' di depan banyak orang. Merasa tidak lagi punya tenaga bahkan hanya untuk mengambil air minum di dapur. Ada perasaan yang berat dan dada sering terasa sesak. Semua hari terlihat sama, selalu mendung dan berawan.

Tidak! Ini semua tidak benar. Yeji tidak bisa terima jika dilupakan semudah ini. Ia merasa ini semua tidak adil untuknya, saat ia mati-matian menahan rindu kepada Jeno. Dan sekarang yang pemuda itu lakukan adalah justru mencari penggantinya.

Gadis tersebut mengacak barang-barang yang ada di kamar untuk meluapkan kekecewaannya, termasuk membanting fotonya dengan Jeno.

"Aku harus melakukan sesuatu..."

"Tapi apa yang harus aku lakukan?" Yeji masih terus membuang beberapa peralatan di nakas, ia mengacak rambutnya frustasi kemudian tercetuslah sebuah ide.

"...mereka tidak boleh bahagia diatas penderitaanku!"

Beberapa ide berlalu lalang di otak Yeji hingga pada akhirnya ia menemukan suatu titik terang. Na Jaemin! Yeji harus memanfaatkan sahabat Jeno itu untuk melancarkan aksinya.

Seperti yang Yeji ketahui, bahwa Jaemin merupakan lelaki dengan vibe soft. Yeji yakin kalau Jaemin tidak akan tega melihatnya masih begitu mencintai Jeno. Jaemin akan melakukan apa pun untuk sahabat baiknya itu.

"Na Jaemin..."

Yeji tersenyum licik kemudian menyusun rencana. Ia akan mulai dengan mendekati Jaemin. Kebetulan mereka tinggal di daerah yang sama, yaitu Hannam-dong (The Hill).

***

Pagi ini, Yeji yang merupakan Mahasiswi Sastra Mandarin semester 5 di Hankuk University of Foreign Studies, tengah berdiri di depan gerbang rumah yang cukup luas. Seharusnya pada jam sekarang, Yeji berada di kelas. Tapi, kali ini ia membolos demi tujuannya.

Dengan pakaian casual ala Yeji --kaos lengan panjang dipadukan dengan celana jeans, tak lupa surai yang ia biarkan terikat satu. Gadis itu sudah memantapkan hatinya. Ia ingin kembali dekat dengan Jeno dan meminta bantuan sahabatnya.

Pada deringan bel ketiga, pintu gerbang terbuka dan memperlihatkan seseorang tersenyum ke arahnya. "Oh?"

"Apa Na Jaemin ada di rumah?" sahut Yeji dengan ekspresi ramahnya.

Ternyata yang membukakan gerbang tersebut adalah Ibu Jaemin. "Jaemin sedang ke mini market depan. Kau temannya Jaemin? Silakan masuk kalau begitu. Tunggu saja di dalam, Jaemin tidak akan lama."

Dengan tekadnya, Yeji menunggu Jaemin di dalam rumahnya hingga beberapa menit. Ia sedikit mengobrol dengan Ibunya Jaemin. Ternyata gadis yang bersama Lia itu, merupakan sahabat Jaemin. Yeji mengetahui itu ketika Ibu Jaemin menceritakan tentang Lia.

Hingga tak terasa, setengah jam berlalu. Akhirnya Jaemin pulang juga. Ia terkejut mendapati ada Yeji yang tengah mengobrol bersama Ibunya.

"Yeji?"

Jaemin mengerutkan keningnya heran. Ia penasaran apa yang dilakukan mantan pacar Jeno ada di rumahnya sepagi ini.

Baru saja Yeji ingin menjawab, tapi Ibu Jaemin mendahului. "Dia menunggumu lama, Jaemin. Aemi akan ke kamar, mengobrol lah dengan nyaman, hm?"

"Ne eomma..."

Setelah Ibu Jaemin pergi, pemuda itu meletakkan belanjaannya dan duduk di sofa seberang Yeji. "Apa yang kau lakukan di rumahku?"

"Ah...aku... " Yeji menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia terlihat kikuk. "Ada yang ingin kubicarakan denganmu."

"Tentang apa?"

"Ini tentang Jeno."

Jaemin tersenyum tawar. "Bukankah hubungan kalian berakhir karena mitos kepercayaanmu itu?" sindir lelaki tersebut.

"Ya benar." Yeji menundukkan kepalanya.

Tak tega, akhirnya Jaemin mencoba melihat dari sudut pandang berbeda. "Baiklah, katakan apa tujuanmu ke sini sebenarnya?"

Yeji mulai menampakkan wajah resahnya. Ini merupakan salah satu strategi agar Jaemin percaya kepadanya dan membantu memuluskan segala rencananya.

"Kau pasti sudah mendengar tentang berakhirnya hubunganku dengan Jeno karena bunga itu. Tetapi jujur, aku sedang tidak baik-baik saja, Jaemin," kata Yeji.

"Begini Yeji. Sebagai sahabat Jeno dan juga temanmu, aku hanya ingin mengatakan ini. Hal pertama yang harus kau terima adalah dirimu sendiri. Karena saat kau menemukan hubunganmu hancur berikut hatimu, kau akan bertanya-tanya apa yang salah darimu? Apa yang kurang dari jiwamu? Mungkin sebagian orang kemudian menyalahkan dirinya sendiri atas semua yang terjadi. Namun, ingatlah bahwa semua ini bukan melulu tentang siapa yang salah siapa yang benar."

Yeji mengangguk. Lalu berkata, "aku sadar, tidak semuanya adalah kesalahan Jeno."

"Tapi perlu kau tahu Jaem, aku masih memiliki perasaan kepadanya. Rasa sayangku pada Jeno tidak bisa dihapuskan begitu saja. Segala kenangan indah tentang aku dan Jeno selalu membekas di hati serta pikiranku. Aku tidak bisa terus menerus menyiksa diri dengan mencoba melupakan Jeno," sambung Yeji dengan suara parau-kemudian Jaemin mendongak menatap gadis itu yang berkaca-kaca, "...dan aku sadar bahwa Lee Jeno adalah segalanya bagiku."

Jaemin mulai merasakan Yeji sedang serius dengan perkataan dan perasaannya saat ini. Kasihan juga Yeji jika harus menahan sakit dengan kesulitan melupakan Jeno seperti ini.

Sebab sebagai perempuan yang sedang patah hati, mereka cenderung mengalami perubahan emosional yang ekstrem, kesedihan mendalam, dan bahkan berujung depresi. Perempuan membutuhkan waktu untuk pulih dari semua itu.

Perempuan, membutuhkan waktu untuk membuka banyak pintu, bertemu banyak orang, berbicara dengan jujur, dan mendengarkan dengan sabar untuk bisa mengatasi patah hati. Perempuan berjuang mengumpulkan semua energi untuk melewati masa-masa yang paling buruk dalam hidup hingga mereka bisa pulih dari patah hati.

"Jaemin, kau adalah sahabat Jeno. Kau paling tahu perasaan Jeno. Jadi aku minta tolong kepadamu satu hal..."

"Apa itu?"

"Tolong bantu aku agar bisa kembali dengan Jeno."

Jaemin terdiam sebentar, ia melihat ekspresi Yeji. Gadis itu terlihat sangat terpukul dengan berakhirnya hubungan mereka, dan Jaemin harusnya membuat Jeno kembali berpihak kepada Yeji lagi. Tapi masalahnya ia sudah memperkenalkan Jeno dengan Lia.

"Bagaimana caranya?" tanya Jaemin lagi, kali ini berusaha menemukan kesungguhan di mata Yeji.

"Aku pun juga tidak tahu. Hmmm, Jaem... bagaimana kabar Jeno sekarang? Apa dia juga sama sepertiku? Masih memikirkan hubungan kami? Atau..."

Jaemin tak berani menatap mata sendu milik Yeji. Ia merasa bersalah karena sudah membuat Jeno berpaling dari gadis itu. Bukan maksud Jaemin ingin menyakiti salah satunya, hanya saja ia tak bisa terus menerus melihat Jeno seperti mayat hidup.

"Kau benar-benar masih mencintai Jeno?"

"Ya, aku sangat mencintainya, apakah kau melihat kebohongan di mataku?" tandas Yeji dan kini ia memberikan tatapan kesungguhan yang ia bisa.

Jaemin tidak melihat adanya kebohongan di sana. Sungguh, ia pun dilema sekarang.

***

Memiliki hubungan yang baik-baik saja tentunya suatu hal yang diinginkan semua pasangan. Namun, jika hubungan tersebut putus dan tidak bisa diperbaiki kembali maka rasa kecewa dan patah hati akan timbul. Terutama untuk wanita yang selalu mengekspresikan kesedihannya.

Tetapi ternyata laki-laki pun tidak baik-baik saja, walaupun dalam kenyataannya mereka tidak terlihat sedih.

Berbeda jika seorang laki-laki sedang jatuh cinta maka akan melakukan suatu hal yang optimal guna membuat pujaan hatinya terkesan. Seperti yang dilakukan oleh Lee Jeno hari ini. Ia mengenakan setelan jaket kulit dengan kaos hitam, rambut yang disisir rapi, serta memakai parfum supaya harum karena ia akan bertemu dengan Lia.

Sekadar informasi, Lia menerima ajakan Jeno untuk dinner malam ini. Tidak sia-sia ajakan Jeno kemarin karena sekarang ia bisa menghabiskan waktu bersama Lia lagi.

Dan di sinilah Jeno, di depan unit Apartemen Lia hendak menekan tombol hitam di pinggir pintu. Tapi, tak jadi karena bersamaan dengan itu, Lia muncul dengan balutan dress selutut warna navy tanpa motif --sederhana namun terkesan manis, ditambah polesan make up naturalnya. Lia tersenyum tipis ke arah Jeno.

Tentu saja Jeno terpesona, tapi hanya sebentar. "Apa kau menunggu lama?" tanyanya sedikit gugup.

"Tidak, kita mau ke mana, Jen?" sahut Lia sambil membenarkan letak tas kecil yang terselampir di pundak kanannya.

"Nanti kau akan tahu," jawab Jeno. "Ah iya, tidak masalah kan kalau naik motor?" lanjutnya. Jeno merasa salah membawa kendaraan, karena Lia sudah sangat cantik seperti ini.

Mengangguk santai, Lia berkata, "tidak masalah. Aku sering seperti ini bersama Jaemin. Kau tenang saja, tapi nanti tolong tahan motornya ya, aku tidak bisa duduk menyamping."

Syukurlah, Jeno mengangguk sebagai bentuk persetujuan. Kalau dilihat lagi, Lia ini agak sedikit tomboy memang. Hanya saja, tetap terlihat feminim apalagi saat memakai dress seperti itu.

Setelah itu, Jeno naik lebih dulu ke atas motor, diikuti oleh Lia. Sesuai permintaan Lia, Jeno menahan motornya supaya Lia bisa langsung menginjak pedal dan duduk dengan nyaman.

"Sudah?"

"Hm." Lia mengeratkan pegangannya pada Jeno, seperti memeluknya dari belakang.

Padahal baru saja Jeno ingin menggoda Lia untuk berpegangan padanya, tapi gadis itu langsung peka dan sedikit membuat Jeno tersentak karena gugup. Sepertinya, benih-benih cinta mulai tumbuh di hati Jeno.

Secepat itu kah?

Tak butuh waktu lama, keduanya tiba di sebuah restoran dekat Sungai Han. Di sana lebih terkenal dengan nama Han Street. Biasanya banyak foodcourt yang menjajakan makanannya di pinggiran. Juga ada beberapa restoran yang memiliki tema outdor seperti tempat yang tengah Jeno dan Lia kunjungi.

Mereka memesan makanan pembuka hingga penutup, dan diakhiri dengan secangkir cokelat hangat. Keduanya sangat menikmati suasana malam di pinggir Sungai Han. Airnya terlihat begitu tenang, dengan diiringi beberapa lagu yang dibawakan oleh penyanyi jalanan, menambah suasana semakin romantis.

"Terima kasih sudah mengajakku ke tempat ini," ujar Lia sambil menyeruput cokelat panasnya.

Mengangguk, dan tersenyum. Jeno menatap lurus ke depan --di mana hanya ada pemandangan sungai dengan air yang tenang. "Hm, terima kasih juga karena kau bersedia menamaniku malam ini," jawabnya.

Lalu Jeno kembali menatap Lia. Rasanya tak jemu-jemu ia memandang wajah cantik Lia yang semakin menawan diterpa sinar rembulan.

"Kenapa kau melihatku dengan tatapan seperti itu?" tanya Lia ketika sadar bahwa Jeno sejak tadi mencuri-curi pandang kepadanya.

Lelaki tersebut memberikan senyuman tipis. "Bagaimana kalau aku jawab, kau cantik? Pasti itu sudah biasa kan?"

"Eoh? Lalu?"

"Karena kau sudah menjadi fokus kedua mataku, jadi sulit untuk aku berpaling," jawab Jeno lebih cringe daripada jawaban 'kau cantik'.

Lia tak bisa menahan diri untuk ikut tertawa. "Bisakah aku anggap itu pujian?"

"Boleh, asalkan kau mau mendengar ocehanku yang lebih cringe dari ini."

"Apa? Kau akan mengatakan apa lagi?" sahut Lia antusias. Biarpun Jeno berlebihan dalam kata-katanya, tapi itu lucu menurut Lia. Sebab, saat Jeno berusaha membuatnya meleleh, malah respon tawa darinya.

"Aku serius," ulang Jeno lagi. "Mungkin bulan pun akan malu, karena terpana oleh kecantikanmu."

Benar kan? Jeno berniat ingin menggombal, tapi malah jatuhnya cringe. Astaga Jeno, lihatlah Lia tertawa sampai sakit perut. "Ya! Jeno-ssi, cukup. Kau membuatku lelah karena tidak bisa berhenti tertawa," jawab Lia

Lia memang terkesan cuek, tapi saat ia tertawa, bisa dipastikan yang melihatnya tak bisa berpaling. Lia pribadi yang menyenangkan dan membuat siapapun merasa nyaman di dekatnya. Dan itu berlaku untuk Jeno.

"Setelah ini kita mau ke mana? Kau mau mencari makanan penutup lain?" tawar Jeno kepada Lia.

Lia menggeleng mantap. "Tidak, aku sudah kenyang. Cokelat panas ini cukup sebagai menu penutup."

"Baiklah." Jeno pun bertanya lagi, "Coktail di depan sana sangat enak, apa kau mau?"

"Tidak, Jen. Aku kenyang."

"Bagimana kalau salad?" Jeno tak berhenti sampai di situ.

Tentu saja membuat Lia sedikit bingung. "Tidak."

"Atau kau mau-"

"Tidak Lee Jeno, aku tidak mau apapun."

"Mau jadi teman hidupku?"

"Kan aku sudah bilang...hah-apa? Kau bilang apa?" Lia mengerjapkan matanya beberapa kali sambil menatap Jeno tidak percaya. Ia berusaha mencerna perkataan yang terucap dari mulut lelaki itu.

"Jeno, coba ulangi kau bilang apa tadi?" tanya Lia karena tadi kurang paham apa yang Jeno katakan.

Jeno membisu.

Kemudian lelaki itu tersenyum simpul. "Ah, tidak apa-apa. Lupakan saja."

"Terserah," jawab Lia dengan nada ketus.

Jeno rasa, akan terlalu cepat jika mengutarakan perasaannya sekarang. Di saat-saat seperti ini harusnya yang ia lakukan adalah berusaha maksimal dalam mengambil hati Lia. Tidak perlu gegabah untuk menyatakan perasaannya.

Tapi, tidak saat ini...

Masih ada celah milik hati sebelumnya yang belum sepenuhnya Jeno tutup. Pasti akan sulit kalau Jeno memaksakan kehendaknya malam ini. Jeno harap, Lia akan sabar menunggu.

S.O.L Team; 1944 kata
©WE, 2021

Continue Reading

You'll Also Like

82K 12.5K 17
Yang publik ketahui, kedua pemimpin perusahaan ini sudah menjadi musuh bebuyutan selama bertahun-tahun lamanya, bahkan sebelum orang tua mereka pensi...
233K 25.4K 17
[Brothership] [Re-birth] [Not bl] Singkatnya tentang Ersya dan kehidupan keduanya. Terdengar mustahil tapi ini lah yang dialami oleh Ersya. Hidup kem...
303K 25.5K 37
"I think ... I like you." - Kathrina. "You make me hate you the most." - Gita. Pernahkah kalian membayangkan kehidupan kalian yang mulanya sederhana...
38.2K 3.2K 69
#taekook #GS #enkook "Huwaaaa,,,Sean ingin daddy mommy. Kenapa Sean tidak punya daddy??" Hampir setiap hari Jeon dibuat pusing oleh sang putra yang...