14 : Naresh dan lingkungannya

Mulai dari awal
                                    

"Oh iya, btw bang jendral yang kita ajakin bolos itu, dia dimarahin gak sama bonyoknya?"

Pertanyaan Haidar membuat Naresh menghentikan langkahnya. Sekelebat ingatan tentang suara gaduh kedua orang tua Jendral yang bertengkar kemarin membuat Naresh tidak yakin kalau pemuda itu pulang dengan keadaan baik-baik saja. Dalam artian, apakah Jendral dimarahi orang tuanya? Terlebih lagi..

"Udah baik aku doain dia cepat mati!"

... Ucapan menohok yang terdengar sangat tidak mengenakkan masuk ke telinga. Naresh jelas mendengarkannya. Apalagi sorot matanya menangkap jelas gambaran wajah Jendral yang terlihat salah tingkah, malu, menahan tangis, semua hambur jadi satu. Naresh jelas mengetahui bagaimana perasaan Jendral malam itu. Kecewa, merasa diasingkan, merasa tak diinginkan, kehadirannya bagai sebuah aib mengerikan, dan bagaimana Naresh melihat mata serupa bulan sabit itu terlihat kosong. Semuanya membuat Naresh semakin ingin mengenal lebih jauh sosok yang lebih tua darinya satu tahun itu. Naresh ingin tahu, ia ingin tahu bagaimana seorang Jendral Anargya menjalani dunianya. Dunia yang seperti kawat berduri baginya. Naresh ingin tahu.

"Nggak kok," ucap Naresh pada akhirnya. Ia membuka pintu kamar Haidar, keluar dari ruangan itu pada akhirnya.

Kediaman Naresh dan Haidar ini bisa dibilang cukup sederhana. Terletak di kampung tujuan para wisatawan-kampung warna-warni namanya, keduanya tinggal dan tumbuh bersama di sana. Di sebuah gang kecil rumah Naresh berada, tepat dibangun di depan sebuah warung mi ayam milik ayah Haidar-Pak Jagratara. Tidak berdua saja, Naresh dan Haidar mempunyai satu teman lagi, sang pemilik tubuh bongsor, Langit namanya. Mereka bertiga tumbuh di lingkungan yang sama, jatuh bangun bersama, hingga saat ini keduanya duduk di bangku sekolah yang sama, menjadi sahabat karib yang benar-benar nyata adanya.

Jika malam, Naresh, Haidar, dan Langit akan duduk di bangunan pos ronda yang ada di depan gang-nya, bisa dibilang pos ronda itu adalah markas ketiganya. Mereka sering menghabiskan waktu di sana. Baik mengobrol, dan tak jarang Langit membawa gitar kesayangannya, bernyanyi di sana sambil bersenda gurau bersama remaja kampung lainnya.

Jika pagi setiap membuka pintu rumahnya, yang didapati Naresh bukanlah pemandangan pekarangan rumah seperti orang-orang kaya, melainkan rumah-rumah tetangganya yang berjajar, diiringi suara bocah-bocah ingusan yang pikirannya hanya tau main saja, dan juga tukang sayur keliling yang dikerubungi ibu-ibu berdaster yang sibuk bergunjing ria. Melihat ke arah lain, Naresh bisa melihat bapak-bapak bersarung wadimor dengan kaus singlet sebagai atasannya, sibuk menyeruput kopi sambil bermain catur. Ah, indahnya lingkungan Naresh.

"WOI! Buruan mandi, lo telat lagi gue tinggal." Suara itu berhasil membuat Naresh terperanjat. Posisinya, sang pemuda sekarang berdiri di teras rumah Haidar sembari melakukan peregangan kecil.

Naresh mendapati Langit, sahabat sekaligus tetangganya yang berdiri di teras rumahnya, sudah rapi memakai seragam sekolahnya, namun masih sibuk melakukan kegiatannya-mencukur rambut-rambut halus di sekitaran dagu wajahnya sembari berkaca pada sebuah cermin kecil yang tergantung di tembok teras rumahnya.

"Bentaran napa, baru juga bangun." Naresh menggaruk perutnya.

"Ngungsi tidur lagi? Habis dari mana lo?" Tanya Langit yang rumahnya berseberangan dengan rumah Haidar, hanya dipisah oleh jalan setapak gang yang berkisar dua meter jaraknya.

"Abis open bo sama om-om."

"COCOTE." Langit melotot. "Jangan deket-deket gue lo, bau om-om."

"Omnya ganteng, baunya juga wangi. Gak kayak lo, bau azab." Ejek Naresh.










"Mas Aris! Mas Langit! Ica pulang!!!!!!!!!!!!!!!!" Tiba-tiba saja suara teriakan melengking memenuhi sepanjang gang.









Anargya | Jaeyong & Nomin [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang