Sial sekali. Sepertinya aku terlalu terbawa emosi. Sampai bisa memberikan alasan yang nantinya akan menjebak diriku sendiri.

"Mba? Kok diem? Jadi benar, kalau ini hanya masalah restu keluarga?"

"Restu keluarga atau apapun itu, Mba tetap tidak mau menikah dengan Pak Harun. Harus dibilang berapa kali sih. Ampun".

Aku meremas wajah dengan kasar. Bingung harus mengatakan alasan apalagi. Rasa-rasanya, aku ingin berteriak. Meluapkan segala emosi yang mati-matian ku tahan demi menjaga kesopanan sebagai anak dan kakak yang harus dicontoh perilakunya.

"Mba-". Cicit Arkan pelan.

"APA? KAMU MAU BILANG APA LAGI?". Aku benar-benar sudah tidak menahan emosi lagi. Semua orang berlomba-lomba mengatakan kalau aku harus menikah dengan majikanku itu. Ratusan kali aku mencoba untuk mencari alasan mengapa aku harus melakukannya, namun tidak ada satu hal pun yang bisa ku temukan. Semua alasan yang mereka berikan sama sekali tidak masuk akal.

"Mba Pita tahan emosi dulu. Kenapa mba menjadi kerasa seperti ini? Apa mba nggak kasihan dengan ayah dan ibu? Setelah kedatangan Pak RT dan Mba Rani itu, semua tetangga di rumah kita berlomba-lomba menggosipkan Mba Pita yang katanya jadi simpanan om-om kaya. Entah siapa yang menyebarkan".

"MBA PITA! ARKAN!"

Aku menoleh ke belakang mendengar suara Arman yang sangat terburu-buru. Raut wajahnya terlihat sangat panik. Dengan segera aku beranjak untuk membayar pesananku tadi, sedangkan Arkan berlari ke arah Arman.

"Arman ada apa? Kenapa kamu panik? Ayah dan ibu baik-baik saja kan?". Tanyaku sambil mengguncang bahu Arman berkali-kali.

"Rumah kita diserang warga mba. Mereka meminta kita sekeluarga segera pindah. Mereka bilang nggak mau terkena sial karena ada yang berbuat nggak benar di lingkungan mereka".

Aku terduduk lemas mendengar penuturan Arman. Segitunya kah? Kenapa mereka bisa asal memfitnah seperti itu? Bukankah tuduhan itu harus memiliki bukti yang nyata alih-alih hanya praduga semata?

"Ibu dan ayah sudah tahu?". Tanya Arkan yang sedari tadi terlihat sedikit lebih tenang dariku.

"Belum. Kakak sengaja nggak bilang sama mereka. Tapi kalau Pak Harun sudah kakak beri tahu. Sekarang beliau langsung ke sana. Mba kita harus bagaimana ini?".

Menangis terisak. Hanya itu yang bisa ku lakukan. Tidak lagi fokus mendengar ucapan baik Arkan maupun Arman. Bahkan untuk bernafas saja rasanya sangat sesak.

"Kita langsung ke sana saja kak. Mba Pita mau ikut?"

"Iya".

**

"Ibu-ibu, bapak-bapak bisa tolong minggir dulu". Arman langsung berteriak setelah kami turun dari dalam taksi.

Suasana saat ini sangat gaduh. Ibu-ibu berdaster saling berteriak, anak-anak yang melempari rumah kami dengan batu, dan bapak-bapak yang berusaha untuk mendobrak rumah kami.

"EH INI NIH PELAKUNYA. PELACUR KECIL YANG LAGAKNYA SAJA SOK POLOS. PANTESAN ADEK-ADEKNYA BISA SEKOLAH DI TEMPAT MAHAL PADAHAL MEREKA CUMA KELUARGA PEMBANTU".

Aku mencengkram kuat lengan Arkan, sedangkan Arman berusaha membuka jalan untuk kami masuk ke dalam rumah.

"Kak, Pak Harun dimana? Katanya tadi langsung ke sini".

"Beliau ada di dalam. Lagi berusaha menghubungi polisi dan pengacaranya".

"HALAH SEGALA PANGGIL POLISI. PAKE PANGGIL PENGACARA JUGA LAGI. SUDAH SALAH MAH SALAH AJA". Teriak salah seorang bapak yang berdiri di paling depan.

Jangan Dengar MerekaWhere stories live. Discover now