2. Re-act.

756 87 15
                                    

°°° °
"Kak, maafkan aku. Dosennya keburu datang. Kak Namjoon kutinggal di perpus, ya?"

Seokjin memekik. "Heh? Tu-tunggu dulu—"

"Sudah, ya. Aku buru-buru!"

Seokjin mengumpat ke ponselnya. Yoongi yang baru datang dari dapur, menaikkan alis.

"Dia bukan anak kecil. Tak usah panik." Yoongi menanggapi dengan tepat. Seokjin melewatinya menuju jendela dengan jemari yang sibuk mengetik. Mengumpat lagi karena tidak dibaca pesannya. "Kenapa juga kau minta Taehyung menjemput kalian dan bukannya membawa dia ke sini sekalian?"

"Namjoon mau singgah cari buku, jadi kupikir bareng dia saja karena arahnya sama dengan universitas. Aish! Kenapa tidak dibaca, sih?" Seokjin khawatir Namjoon pergi sendiri ke rumah sakit. Terakhir kalinya dibiarkan jalan seorang diri, ia nyaris sampai di luar kota. Terlalu nyaman tertidur di atas bus, belanya.

"Pergilah. Sudah kubilang kau tak perlu datang hari ini. Jangan sampai jadwal kunjungan kalian lewat." Yoongi duduk di balik meja, mulai menilik inventaris dapur. Seokjin membuang napas, lalu menghampirinya.

"Nanti pulangnya?" Mobil Seokjin belum selesai dipinjam si ayah dari minggu lalu.

"Jimin yang jemput. Sana. Berdoalah Namjoon masih betah bertengger di rak buku saat kau datang."

Seokjin mengangguk. "Kau terbaik, Yoongi-ya," ujarnya, meraih kunci dan coat putih gading di gantungan dekat pintu, lalu melambaikan tangan seraya keluar, "sampaikan salamku ke Jimin!"

"Yep!"

Terduduk di belakang kemudi, panggilan video Seokjin terjawab juga. "Di mana? Masih di perpustakaan, 'kan?" Di seberang sana, Namjoon mengangguk tepat di depan rak buku. "Aku tiba sekitar sepuluh menit. Jangan ke mana-mana, ya?" Namjoon mengangguk lagi, tersenyum. Seokjin memasang sabuk pengaman ke tubuh. "Mau kubawakan cokelat hangat?" Namjoon menggeleng, kemudian mengetuk layar dan mengecupnya singkat. Seokjin mendengkus. "Perayu ulung. Ponselmu jangan diabaikan kalau pergi ke rak lain. Bawa terus. Aku jadi naik pitam kalau pesannya tidak kau baca. Jangan pakai wajah itu! Kau bersalah dan tunggu aku di sana. Mengerti?"

Panggilan diakhiri dengan Namjoon yang menopang dagu, tersenyum kian cerah dengan lesung pipinya. Seokjin menggerutu pada diri sendiri karena hal itu, ia salah menginjak pedal rem alih-alih mengegas, membuatnya tersentak menyedihkan seolah baru kemarin belajar mengemudi. Berputar di parkiran, mobil Yoongi pun dibawa pergi.

.

Namjoon menaruh ponselnya ke dekat buku. Layar itu menampilkan fotonya dengan Seokjin yang menggigit pipinya gemas, dipandangi lama sampai redup sendiri, lalu kembali membaca buku yang terbuka.

Perpustakaan bernuansa hangat dan estetik itu, salah satu tempat tujuan kesukaan Namjoon jika dirinya senggang. Ia bisa sekalian mencari ide juga pencerahan untuk bait lirik yang akan ia gubah ke nada-nada. Sebenarnya ia tidak enak menyetujui ajakan Taehyung tadi dan lebih memilih tak usah ke perpustakaan. Kalau bukan karena permintaan Seokjin, ia lebih baik menunggu di apartemen sampai mereka pergi berbarengan. Kekasihnya itu menolak membiarkan Namjoon melenggak ke sana sini sembarangan, karena kecerobohannya minggu lalu. Jika diingat lagi, Namjoon hanya bisa mengumpat dalam kepala.

"Eh, Yuna. Lihat, bukankah pria di sana tak asing?"

Namjoon menangkap suara di seberang kirinya. Ia menatap ke arah sana. Dua orang perempuan segera menutup wajahnya ke balik buku. Namjoon spontan mengambil penutup wajah di saku, mengenakannya. Lupa tadi dilepas karena sedikit sulit bernapas.

" ... tidak mungkin. Aku pernah lihat di akun resminya."

"Barangkali sudah potong rambut, 'kan?"

.Voice of Love. | NJ ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang