1. Do-ing interview.

1.7K 113 15
                                    

°°° °
Seokjin tersenyum dengan suara riuh rendah yang menyambut. Seisi ruangan ikut berdiri dan membalas sapaan sembari saling membungkukkan badan. Tak banyak yang ada di sana, berhubung ruangan itu juga hanya bisa diisi empat orang dewasa.

Begitu orang yang ditunggu-tunggu terduduk, suasana yang santai berubah formal. Seokjin merapikan sejenak kerah kemejanya, kemudian pria di balik kamera sana mengacungkan ibu jari.

"Baik. Selamat pagi menjelang siang, Seokjin-ssi," sapa perempuan di hadapannya dengan sebuah ipad di pangkuan.

"Oh? Sudah selama itu, ya?" tanyanya, lalu melihat jam di tangan.

"Iya, sayangnya."

"Ah, ya, ampun, maaf, maaf. Aku terlalu lama di dapur ternyata. Oh, bagaimana ini ... pantas perasaanku tidak enak."

"Aduh, tak apa, Seokjin-ssi. Kebetulan hari ini memang khusus hanya untuk Anda saja, jadi jangan khawatir."

Seokjin tertawa di balik tangan. Kedua mata bulatnya memandang bersalah seraya membungkuk badan beberapa kali, walau sudah dikatakan tak perlu merasa demikian.

"Nanti, kalian bisa makan siang lengkap di sini, ya. Aku yang masak langsung. Tak perlu pikirkan biaya, ini sebagai penebusan karena menungguku lama."

Gumam saling sungkan beberapa saat dari mereka berdua, lalu kembali pada sikap formal seperti seharusnya.

"Baik, tak apa jika saya mengulang bertanya, Seokjin-ssi?"

"Ya, ya, tentu."

"Bagaimana keadaan Anda hari ini?"

"Luar biasa. Anda sendiri, nona?"

"Wah. Saya pun luar biasa kalau begitu." Ia tertawa karena Seokjin mengacungkan ibu jari di atas kakinya yang terlipat apik. Kebiasaan. "Saya pernah datang ke mari, beberapa hari yang lalu dan Anda sama cerianya, Seokjin-ssi."

"Oh? Benarkah? Nona terlalu memuji."

"Tidak, tidak. Selain tampan, Anda juga ramah dan ceria. Tak heran banyak yang mengantri setiap minggunya."

"Oke, nona dan teman di belakang sana akan saya beri dua kali dessert spesial, nanti."

Mereka tertawa.

"Bagaimana ini? Saya hampir jadi lupa harus bertanya apa saja. Anda membuat saya tak berhenti tersenyum, Seokjin-ssi."

"Tersenyum itu anugerah. Santai saja. Tak perlu terlalu serius, nona."

Tapi, malah semakin salah tingkah, si penanya barusan. Setelah menjernihkan tawa dalam lehernya, mereka pun kembali fokus.

"Baik. Kim Seokjin-ssi, pemilik dining resto semi formal ini, sudah berapa lama Anda mendirikannya?"

"Um ... belum terlalu lama juga. Bulan kemarin, baru satu setengah tahun."

"Apa Anda berasal dan besar di kota ini?"

"Kebetulan iya. Saya lahir di sini, menempuh sekolah wajib di ibu kota, sampai memutuskan untuk kuliah di luar negeri."

"Dari sanakah kemampuan atau keinginan Anda sampai akhirnya mendirikan resto sendiri?"

"Sebenarnya tidak serta merta begitu. Jurusan yang kuambil malah bertolak belakang dengan hal-hal berbau masakan. Karena dulu begitu sulit mencari masakan negeri sendiri saat di negeri orang dan harus menyesuaikan lidah dengan hidangan setempat, lama-lama jadi kepikiran, kenapa tidak membuat sesuatu yang mirip atau seperti pencampuran dari keduanya. Sepanjang masa kuliah, cukup sulit bagiku mendapatkan bahan makanan yang sesuai keinginan lidah. Ibu di rumah kadang-kadang jadi kurepotkan untuk mengirim makanan, karena terlalu rindu sebongkah kimchi atau odeng untuk makan malam. Karena untuk lidahku, semirip apa pun kucari bahannya di luar sana, tidak bakal sama dengan rasa sendiri. Tahu, 'kan maksudnya?"

.Voice of Love. | NJ ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang