Aku yang Jadi Terlahir

17 1 0
                                    

 Muhammad Ilham – Empat Belas Setengah Tahun


****
Matahari nampak sudah memancar meski belum sempurna. Angin berkesiur lembut, menguarkan aroma kesturi yang berada dalam keranjang. Hari ini saya mendayung jukung sendirian. Abang Ripan mempercayai saya, meski terlukis dari raut wajahnya jika dia tidak seratus persen rela. Tetapi terlepas hal itu, rasanya senang sekali untuk pertama kalinya diberi kepercayaan. Sungguh, tidak akan pernah saya sia-siakan momen langka ini.

Seminggu ini saya sedang libur sekolah. Kesibukan saya selama menunggu pengumuman lulus sekolah menengah pertama kemarin adalah berjualan di pasar terapung. Oleh karena itu saya akan berjualan buah-buahan sampai habis setiap harinya hingga pukul sepuluh pagi. Rasanya campur aduk saat saya melihat Abang Ripan menautkan tas ranselnya lalu turun di dermaga dekat jembatan. Meski tersenyum samar, saya mendapati Abang Ripan mengucapkankan hati-hati di balik punggung gagahnya.

Setelah memastikan punggung Abang Ripan menghilang, saya mendayung jukung menuju Pasar Terapung Siring. Sepanjang perjalanan yang di dominasi udara lembab dan hawa dingin membuat saya menaikkan resleting jaket bekas Abang Ripan.
Saya tersenyum saat mendapati seorang Julak yang hendak memotong batang hijau bulat yang menganggukkan kepalanya. Burung-burung gereja pun turut andil pada pagi ini. Mereka saling berkicau lalu mematuki bulir-bulir padi dari sawah yang terhampar tepat di kanan jukung.  Sungguh saya bersyukur dapat terlahir di tanah Banjar ini.

Biasanya Abang Ripan akan meniup kuridingnya sambil bersenandung. Suaranya yang tegas dan bersahaja dapat menenangkan saya. Saya menikmati, setiap Abang Ripan duduk di buritan sambil meluruskan kaki panjangnya di bawah buah-buahan lalu berkomentar cara mendayung saya. Meski hanya di dominasi keheningan setelahnya. Saya hanya tidak berani berbicara jika Abang tidak bertanya. Saya tidak ingin, Abang Ripan merasa tidak nyaman. Karena selama di jukung ini adalah satu-satunya waktu yang saya punya untuk bisa bersama dengan Abang Ripan. Abang terbaik yang pernah saya miliki.

Riak air sungai mendadak bergelombang saat klotok menyalip dari sisi kanan. Saya berusaha menyeimbangkan diri dengan  minggir ke kiri. Tapi tak sampai menepi. Saya tidak mau saja pertama kali diberi kepercayaan oleh Abang Ripan berakhir mengecewakan. Meski jujur saja. Dada saya vergemuruh hebat, takut terguling.

Setelah jukung saya seimbang, netra saya mendapati sekumpulan enceng gondok melintang di depan jukung. Tangan saya mencoba untuk meraihnya, lalu menyingkirkannya dari arah berlawanan. Saya melakukannya dengan perlahan agar tidak menimbulkan goresan bagi tempiring di sisi sungai. Jika saya tidak berhati-hati Ikan-ikan kecil itu akan terusik.

Alhamdulillah, akhirnya terlihat gapura Pasar Terapung Siring. Pasar Terapung Siring merupakan pasar terapung yang paling baru setelah Pasar Kuin dan Pasar Lok Baintan. Pasar ini termasuk yang teramai, apalagi di saat akhir pekan. Akan tetapi saat pagi menjelang siang pada hari selasa tidak seramai di waktu pekan.

Saya hanya dapat merasakan atmosfer keramaian saat libur begini. Biasanya saya dan Abang Ripan hanya dapat berjualan di pagi hari selama kurang lebih satu jam sebelum masuk sekolah. Karena Abah dengan jelas menentang kami untuk berjualan. Padahal Uma Bunga sudah menawarkan diri untuk menggantikan kami berjualan. Namun ditolak oleh Abang Ripan. Saya tidak suka saat Abang Ripan membentak Abah dan Uma Bunga, hati saya ikut merasa sakit. Padahal Abang Ripan tidak menyukai saya, mengapa harus dilampiaskan kepada Abah dan Uma Bunga?

Kemarin saya baru saja melihat Abang Ripan merekahkan senyumnya saat memberi tahu kepada saya  tentang kelulusannya.
“Aku lulus dengan nilai memuaskan!” pekiknya saat jukung kami akan sampai di rumah.

Saya senang bukan main saat mendengar langsung Abang Ripan. Pasti Abang Ripan akan dapat melanjutkan mimpinya. Mimpi yang sampai saat ini saya juga tidak tahu.
Setelah jukung terpakir sempurna mengikuti arah jukung lain dekat dengan dermaga. Saya melepas  topi yang terbuat dari nipah agar dapat leluasa menatap langsung pembeli. Pasar Terapung Siring hari ini di dominasi dengan wisatawan yang langsung bergerombol di pinggir dermaga.

Meski ada juga wisatawan yang menaiki kapal klotok hanya untuk membeli dagangan kami.

“Woy Ilham, sendirian saja kau? Mana sih Ripan itu?”

“Sedang mengurus Ijazah Acil, Abang Ripan lulus dengan nilai yang memuaskan, saya sangat senang!” pekik saya sambil tersenyum.

“Wah hebat sekali ternyata dia ya, padahal bicaranya kasar sekali seperti orang kesetanan.”

Saya hanya tersenyum tipis dan tidak melanjutkan. Rasannya tidak sopan jika saya menyalahkan Acil Siroh atas ucapannya. Lebih baik sabar, itu yang selalu Tuan Guru Ijay katakan. Seandainya saya terlahir saat beliau masih ada akan tidak saya sia-siakan keseempatan untuk menuntut ilmu kepada beliau.

Dari kejauhan terlihat Acil Ipah pemilik warung bubur sop di daerah Tendean sudah hampir mendekat ke jukung saya.

“Limau untuk bubur sop Cil?” tanyaku saat Acil Ipah berjongkok di depan jukung.

“Iya Ham, tidak seberapa banyak untuk kali ini, asal tidak kapau saja limaunya,” kata Acil Ipah lagi.

“Baik Cil, akan Ilham pilih yang segar dan tidak kapau,” jawabku sembari tersenyum.

“Senyum kau itu ya, untung cucu Acil ini lelaki semua. Jika tidak, kali kau bisa ku jodohkan.”
Saya hanya tergelak, sambil memasukkan limau ke dalam kresek bening. Acil Ipah selalu suka bercanda.

“Oh iya Ham, Kau bisa antar lagi ke tempat Acil agar tidak perlu berjongkok setiap pagi di depan jukung kau ini.”

Saya mengikat kresek bening lalu menjulurkan tangan ke Acil Ipah.

“Mohon maaf Ilham tidak bisa Acil. Ilham tidak mungkin melakukan itu. Berjualan di  jukung ini juga merupakan wasiat dari Uma saya.”

Saat kata Uma terlontar dari bibir, seketika saya  terjerembab dalam bayang-bayang Abang Ripan yang kemarin terlihat murung. Tak pernah saya berhenti untuk membersamainya. Saya iri sebenarnya dengan Abang Ripan. Dia dapat melihat Uma, sedangkan selama hidup saya harus melihat banyak pasang mata yang tidak menerima kelahiran saya.

Namun hanya Abah dan Umi Bunga yang dapat memeluk saya dengan penuh rasa sayang. Abah selalu mengatakan jika saya tersenyum, selalu mirip dengan Uma. Makanya saat saya merindukan Uma, saya tersenyum sambil berkaca.

Uma, semoga Ilham dan Abang Ripan bisa mengayuh jukung bersama, dan meraih mimpi bersama.

Tersadar dengan lamunan, saat Acil Ipah menyodorkan dua lembar uang sepuluh ribuan.

“Saya jual kepada Acil ya sekresek limau ini,” kata saya sambil tersenyum.

Setelah Acil Ipah beranjak, saya melihat bayangan Uma menuju ke arah saya. Namun ternyata hanya sebuah delusi. Di depan saya malah terlihat seorang gadis kepang dua sedang berjongkok.

“Sedang cari apa Nona?”

“Maaf jika menganggu lamunan Abang,” kata Gadis itu membuat saliva saya susah tertelan.  Gadis itu mengangkat sudut-sudut bibirnya lalu berkata, “satu kilo harga berapa Abang?”

“Dua puluh ribu rupiah, untuk buah Mundarnya.”

“Wah boleh sekali, saya Mau bang dua kilo,” jawabnya sambil membentuk lengkungan.

“Baik Nona, Saya terima akad...”

“Abang maaf saya hanya ingin membeli buah,  bukan menikah,” ucap gadis itu membuat netra saya membulat. Entah mengapa tonus saya tertohok. Semua Acil yang berada di jukung samping kanan dan kiri saling bersahutan.

“Saya hendak melakukan akad jual beli Nona, bukan akad pernikahan. Kami selalu melakukan akad itu sebelum barangnya bertukar, agar keabsahan jual beli ini jelas hukumnya dan berkah.”

Pipi gadis itu berubah merah, taksir saya dia sedang malu.

“Maaf Abang, saya tidak tahu. Jadi seharusnya bagaimana Abang? Karena saya bukan asli sini. Kebetulan lagi liburan di sini. Jadi akad jual beli ini?”

Saya tersenyum, “Nama Nona siapa, agar saya dapat melakukan akad jual beli ini lagi."

“Samia,” katanya mantap.

“Baik Samia, bismillahirahmanirrahim, saya Ilham dengan ini melangsungkan akad jual beli sayur seberat dua kilo kepada Saudari Samia dengan uang tukar rupiah  sebesar empat puluh ribu rupiah.”

“Sah!” pekik abang-abang jukung lainnya. Samia makin nampak tersipu.

“Mohon maaf jika itu menganggu kamu Samia.”

“Oh nggak apa-apa Abang, saya Cuma sedikit kaget saja. Sekali lagi terima kasih buahnya, saya permisi.”

“Sama-sama.”

Saya melihat punggung Samia semakin mengecil. Lalu terkesiap, Julak Ali tiba-tiba memukul jukung saya.

“Ilham, gawat! Abang kau, lagi berkelahi dengan, si Antang Jagau.!”

“Astaghfirullahal’adzim, boleh saya titip jukung sebentar Acil?”

“Lekaslah, sebelum dia semakin meradang!” jawab Acil Siroh.

Saya berlari tanpa menghiraukan sahutan Acil lainnya. Saat ini saya tidak ingin Abang Ripan terkena masalah dengan jagau itu.

MundarKde žijí příběhy. Začni objevovat