Tak ingin terlalu memikirkan hal yang tidak-tidak, Ify pun melanjutkan makannya, sesekali menjerit saat Rio dengan sengaja menggodanya. Ia benar-benar lupa, dengan kenyataan jika dirinya berbeda. Di depan Rio, Ify seperti menjadi manusia normal seperti dulu.

****

Seorang pria parubaya sibuk berteriak menjajakan dagangannya. Bermacam-macam minuman botol yang sampai saat ini tak mampu menarik minat pembeli. Namun ia tak menyerah meski banyak orang mengabaikannya. Ia terus berjalan dan berteriak, dengan kotak berisi botol minuman yang ia dekap di depan dada. Topi hitamnya yang usang tak lagi mampu menghalau sinar matahari yang bersinar sangat ganas hari ini.

Berkali-kali ia meneguk ludahnya agar tenggorokannya tetap basah. Ia haus, tetapi tak bisa mengambil minuman dagangannya karena belum laku sejak pagi tadi. Lagipula itu bukan miliknya, jika ia mengambil satu, maka upahnya akan dipotong.

Beristirahat sejenak, pria penjaja minuman itu berteduh di bawah pohon di trotoar yang lumayan rimbun dan mampu menaunginya dari sinar matahari. Topi hitamnya ia lepas dan ia gunakan untuk mengipasi wajah.

Di seberang jalan, Ify memandang penjaja itu kasihan. Ia merogoh saku bajunya dan menemukan selembar uang sepuluh ribu. Ia kemudian menyebrang menghampiri penjaja minuman.

"Pak, saya beli minumannya satu."

Penjaja itu tampak berbinar. Dengan cepat ia meraih satu botol minuman dan menyodorkan kepada Ify.

"Tapi ... saya tidak ada kembalian." Penjaja itu mengulurkan kembali uang milik Ify.

20 detik.

Ify tercekat. Apa yang akan terjadi dalam waktu dua puluh detik?

"Sebentar, saya akan menukarnya ke warung di seberang. Tunggu sebentar ya, Dek!"

"Pak tung-"

Ify belum sempat menyelesaikan ucapannya saat penjaja itu sudah berlari dengan riang ke seberang jalan untuk menukar uang yang akan ia dapatkan pertama kalinya hari ini.

Ify hanya mampu menghela napas lega saat melihat penjaja itu selamat sampai di seberang. Tak butuh waktu lama, sang penjaja sudah keluar dari warung dengan tangan yang menggenggam uang receh untuk kembalian.

Ify semakin khawatir. Ia berniat menyusul sang penjaja saat sebuah papan reklame di seberang jalan tiba-tiba rubuh, menimpa sang penjaja malang yang tak mampu menghindar.

Ify jatuh terduduk. Air mata sudah mengalir melihat darah yang mulai merembes keluar dari bawah papan reklame yang rubuh dan bahkan menimpa sebagian atap warung.

"Aku sudah bilang, kalau terlalu menakutkan jangan dilihat."

Ify terisak, Rio mendekap gadis itu ke dalam pelukan dan mengusap-usap punggungnya agar tenang.

"Ini bukan salahmu, ini sudah takdirnya," bisik Rio menenangkan.

"Enggak, Yo! Kalau aku bisa nahan Bapak itu biar nggak ke seberang jalan, dia nggak akan mati."

"Sssttt, kamu bukan orang yang bisa merubah takdir kematian seseorang, Fy!"

Ify mendongak dengan air mata terurai. Ia tersentak, kemudian melepaskan diri dari Rio.

"Kamu juga melihatnya 'kan?"

Rio menaikkan sebelah alisnya. "Melihat apa?"

"Sisa waktu yang dimiliki seseorang."

Rio menggeleng dan tersenyum. "Aku tidak memiliki kemampuan itu."

"Tapi ... bagaimana kamu bisa tahu kalau aku bisa melihatnya?" Ify memandang Rio dengan mata memicing curiga.

"Aku mendengarnya dari anak-anak."

"Dan kamu percaya?"

"Kenapa enggak?"

Ify terkekeh hambar. Alasan Rio masih terlalu dibuat-buat.

"Kamu gila? Apa masuk akal seseorang bisa melihat waktu kematian? Kamu tidak mengalaminya sendiri tapi kenapa kamu langsung percaya begitu saja?"

Rio mendekat, merapikan rambut Ify yang sedikit berantakan karena tertutup angin.

"Kenapa tidak? Dunia itu penuh dengan hal yang tak masuk akal."

Ify masih memandang Rio dengan sangsi, sampai pemuda itu membimbingnya untuk ke supermarket yang kebetulan tak terlalu jauh dan duduk di kursi yang ada di teras.

"Dengar Ify! Aku tahu kamu mungkin tak percaya, tapk aku percaya kamu memiliki kemampuan itu. Dan itu bukan kejahatan, jadi berhenti bersembunyi dan menyalahkan diri sendiri." Rio memberikan seulas senyum tipis sebelum masuk ke dalam supermarket, meninggalkan Ify yang tercenung dengan perasaan yang tak bisa ia utarakan. Untuk pertama kalinya, ada yang mempercayainya. Untuk pertama kalinya, ada yang tetap merangkulnya meski tahu kemampuannya, dan untuk pertama kalinya seseorang menganggapnya sebagai manusia normal seperti yang lainnya.

****

Selamat datang, Desember
Berbaik hatilah, dan kita bisa mengakhiri tahun 2020 dengan senyuman.

Suasana hatiku sedang senang ini makanya update wkwkwk

See u next chapter 👋👋

Thanks

_dee

Sidoarjo, 01 Desember 2020

Dead Time (DISCONTINUED) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang