Bab 2: Tama

16 0 0
                                    

Hujan  sore hari membuat Cinta malas bergerak, apalagi hari ini dia hanya berdua dengan bi Inem. Bi Inem telah bertahun-tahun ikut dengan keluarga Cinta sejak Cinta masih kecil. Keluarga bi Inem juga berantakan, suaminya meninggalkannya ketika anak mereka meninggal karena sakit. Sejak saat itu, bi Inem ikut dengan keluarga cinta untuk mengurangi rasa sakitnya. Dengan kehadiran bi Inem, membuat kehidupan Cinta yang sepi tanpa ayah dapat sedikit terobati. Bi Inem telah dianggap keluarga sendiri, bi Inem sangat menyayangi Cinta dan merasa bila Cinta adalah pengganti anaknya yang tiada.
Sembari duduk di dalam kamar berusaha menghabiskan novel yang masih dibacanya, Cinta tiba-tiba teringat akan pertemuan pertamanya dengan Tama, 5 tahun lalu.
Namanya  Hanindya Putra Pratama atau lebih dikenal dengan Tama adalah sahabat Cinta sejak duduk di bangku SMP semester genap, awalnya mereka tidak begitu saling mengenal tapi karena rumah mereka yang sekomplek dan berdekatan membuat mereka tanpa sengaja sering berangkat dan pulang sekolah bersamaan. Terutama setelah ibu  Cinta, yang ternyata bersahabat dengan ibu Tama, memintanya untuk menemani Cinta bila ibu tidak dapat menjemput dan mengantar Cinta ke sekolah.
Ibu Cinta, Ratna dan ayah Tama, Hantoro sama-sama teman sekantor, hanya saja pak Toro memiliki jabatan lebih tinggi dari  bu Ratna.
Cinta teringat dulu ketika pertama kalinya Tama datang kerumah untuk mengambil pesanan kue yang dipesan ibunya pada ibunya. Bu Ratna adalah seorang yang pandai membuat beraneka macam kue, mereka membuka toko di rumah. Semua itu dilakukannya untuk mencukupi kebutuhan mereka, sebagai pegawai yang kedudukannya tidak begitu tinggi, tentunya gaji yang diperoleh tidak cukup untuk membiayai kehidupan mereka.
Akhirnya, bu Ratna berusaha memutar otak bagaimana caranya dapat mencukupi kebutuhan mereka, ia pun mencoba membuka toko kue. Awalnya pegawai toko kue bu Ratna hanyalah seorang, yaitu bi Inem, namun seiring dengan waktu dan karena kue buatan bu Ratna memang enak, membuat langganannya bertambah terus. Kini toko kue Bu Ratna lumayan besar, dengan dibantu tiga orang pegawai mereka berusaha melayani pesanan kuenya yang semakin hari semakin banyak, terutama ketika masa tertentu, seperti liburan dan waktu-waktu pernikahan. Terkadang Cinta juga ikut membantu ibunya membuat kue, sehingga Cinta kecil sudah dapat membuat aneka kue meski ia baru duduk di bangku SMP.
Hari masihlah pagi, meskipun hari ini hari minggu namun karena Cinta telah membantu ibunya sejak subuh membuat kue pesanan,  hal itu membuatnya kelelahan. Ketika Cinta sedang tiduran di depan televise di ruang tamu, tiba-tiba terdengar suara pintu rumahku di ketuk.
"Assalamu'alaikum..." terdengar suara yang mengiringi ketukan di pintu rumah. Komplek rumah tempat tinggal Cinta berkonsep cluster, pengembang melarang setiap pemilik rumah untuk membuat pagar sehingga memudahkan akses tetangga atau siapapun yang datang untuk dapat langsung mengetuk pintu rumah.
"Wa'alaikumsalam," jawab Cinta segera membuka pintu. Di depan pintu terlihat seraut wajah tampan yang tersenyum ramah. Entah karena baju atau wajah Cinta yang terlihat kotor penuh dengan tepung membuatnya tidak melepas pandangannya dari gadis berambut panjang.
"Kamu Cinta kan?" tanyanya, ternyata ia mengenali Cinta sebagai teman sekelasnya. Walau sekelas, namun mereka jarang bergaul.
"Iya Tam," jawab Cinta berusaha memberitahu Tama bila iapun mengenalinya sebagai teman sekelas. Hal itu sukses membuatnya kaget dan akhirnya tersenyum.
" Oh, kamu yang mau ambil pesanan kue yang sudah sejak subuh kami buat ya?" tanya Cinta dengan nada kesal, untung saja ini hari minggu kalau tidak mungkin sudah ia biarkan saja ibunya sibuk sendiri tanpa dibantu.
"Oh ini nak Tama, putranya pak Hantoro? Ayo masuk, duduk dulu ya," kata ibu mengagetkan.
" Sudah Cin, tolong ambilkan kue yang tadi sudah dibungkus." perintah ibu pada Cinta untuk segera mengambil bungkusan kue di dapur. Ketika meninggalkan ibu dan Tama, samar-samar Cinta mendengar ibu menanyakan apakah ia dan Tama teman satu sekolah.
Segera Cinta mendekati bi Inem yang masih sibuk di dapur, “Bi, apakah masih banyak yang harus dibungkus?" tanyanya sembari membantu bi Inem memasukkan kue-kue yang sudah di bungkus ke dalam plastik besar
"Ada apa Non? Non sudah lelah? Kalau Non lelah istirahat saja, nanti bibi selesaikan sendiri," kata bi Inem sambil tersenyum.
"Bukan begitu Bi, itu Tama puteranya Tante Dewi  sudah datang untuk mengambil kuenya," jawab Cinta.
Tiba-tiba saja ibu dan Tama sudah berdiri di belakang Cinta dan bi Inem, "Aduh, pantes saja tidak selesai-selesai, asyik ngobrol sih.” Kata ibu.
“Gimana bi? Sudah beres semua? Gak ada yang ketinggalan?” tanya ibu pada bi Inem.
“Sudah pas Bu, tadi sekalian saya hitung.” jawab bi Inem, tiba-tiba bi Inem berpaling ke arah Tama sambil tersenyum,”Oh, mas Tama ya? Yang rumahnya di sudut jalan kan?” tanyanya pada Tama.
“Iya Bi, saya Tama.”
“Saya bi Inem, saya kenal dengan asisten rumah tangga Mas Tama, Bi Anik kan?” tanya bi Inem terus tanpa bisa direm.
“Duh Bi Inem, sudah ngobrolnya. Kuenya sudah ditunggu di rumah untuk arisan,” potong ibu agak jengkel melihat bi Inem yang terus berbicara.
“Iya Bu,” jawab bi Inem tertunduk dan segera pergi ke belakang.
Melihat bi Inem yang pergi ke belakang, Cinta pun segera beranjak pergi. Ia ingin segera merebahkan badannya kembali ke tempat tidurnya. Namun,” eh kamu mau kemana? Ada tamu kok ditinggal pergi,?” kata ibu.
“Tidur.”
Mendengar jawaban jujur dari Cinta, Tama pun tersenyum. “Nah, ini nih anak tante. Malesnya minta ampun,” kata ibu memberi penjelasan pada Tama. Mendengar hal itu senyum Tama pun semakin lebar, berbanding terbalik dengan wajah Cinta yang menggambarkan ekspresi kesal.
"Nak Tama, boleh Tante minta tolong? Berhubung Tante beberapa hari ke depan ada kegiatan di luar kota, bisa tidak  nak Tama untuk menemani berangkat dan pulang sekolah?" tanya ibu. Pertanyaan itu membuat kaget Cinta, dengan wajah yang terlihat kaget Cinta pun bertanya pada ibunya,” Bu, maksud ibu apa?”
“Begini, kamu kan masih kecil. Sekarang kata ibu-ibu komplek sedang marak penculikan. Kalau kamu ada teman pulang sewaktu ibu sedang tugas di luar kota, ibu jadi tidak khawatir,” jelas ibu.
"Ibu tidak punya maksud apa-apa, hanya takut kalau Cinta pulang sendirian. Jadi ibu minta tolong kamu ditemani oleh orang yang  ibu kenal," kata ibu.
"Oh begitu maksudnya," jawab Cinta. “Tapi kan Cinta sudah bisa pulang sendiri Bu,”rengek Cinta. Ia malu bila terus dianggap anak kecil oleh ibunya di depan teman sekelasanya. Sebelum Cinta berhasil membuat ibunya merubah pikirannya, tiba-tiba Tama pun menyaguhi permintaan Ratna.
"Iya Tante, insya Allah nanti Tama temani," jawab Tama dengan sopan membuat Cinta agak kesal.
Begitulah, sejak saat itu. Setiap ibu tidak bisa menjemput,  Cinta selalu pulang bersama Tama..
Awalnya, Cinta tidak menyukai kebiasaan baru ini. Namun ketika mulai maraknya terjadi beberapa kejadian penculikan membuatnya terpaksa bersyukur atas perinyah ibunya itu
Kala itu, usia sumuran Tama dan CInta merupakan usia yang memasuki masa pubertas, membuat beberapa teman menggoda dan mengolok-olok mereka sebagai sepasang kekasih. Namun, Tama sama sekali tidak menganggap hal itu., membuat Cinta yang mulai merasakan benih-benih itu menjadi surut.
Hingga akhirnya mereka harus berpisah, ketika naik kelas tiga SMP Tama harus pindah sekolah karena mengikuti ayahnya dipindah tugaskan. Sejak Tama pindah, putus sudah pertemanan mereka.
Hari ini adalah hari pertama Cinta duduk di kelas tiga SMP, sungguh terasa berbeda. Biasanya pagi-pagi ia telah bergegas berangkat sekolah, menunggu Tama keluar dari pagar rumahnya dan  bersama-sama menuju halte untuk naik bis.
Tapi mulai hari ini, Cinta harus berangkat sendiri. Pagi-pagi menuju halte bis ditemani bi Inem kemudian berangkat sekolah menggunakan bis sendiri. Walau sebetulnya dalam hati ia sudah merasa berani dan aman untuk bepergian seorang diri, namun tetap saja berangkat sekolah berdua itu lebih baik daripada sendiri seperti kali ini.
Pagi ini, seperti biasa Cinta berjalan melewati pagar rumah Tama yang terkunci. Tapi entah apa yang membuatnya reflek menurunkan kecepatan berjalan ketika melewati rumah itu. Cinta yang berjalan sembari melamun, tanpa sadar berhenti sejenak di depan rumah seperti kebiasaannya dulu. Ketika berhenti dan berdiri di depan pagar rumah itu, tiba-tiba terdengar suara yang menyapanya.
“Assalamu’alaikum Mbak Cinta...” sebuah suara cempreng yang sangat ia hapal menyapa. Suara Bi Ani, pembantu di rumah Tama.
“Mau berangkat sekolah Mbak Cinta?” lanjutnya.
Diliriknya jam tangan yang melingkar di tangan kanannya, masih cukup pagi untuk berhenti sejenak.“Bi Ani kok ada di sini? Gak ikut keluarga Tama?” Tanya Cinta berhati-hati.
“Gak Mbak, Bibi kebagian jaga rumah ini. Takut kalau sewaktu-waktu pulang dan rumah dalam keadaan kotor. Kata bapak, merek mungkin akan kembali lagi ke sini, tidak selamanya di sana,” jelas Bi Ani panjang lebar.
“Oh begitu Bi, ya sudah aku berangkat dulu ya bi.  Bye Bi,” kata Cinta bergegas sambil melambaikan tangan.
“Hati-hti di jalan Mbak,” teriak bi Ani sembari membalas lambaian tangannya.



Friendship CircumstancesWhere stories live. Discover now