"Yaudah ok Don. Selamat makan siang." Ujar Rima. Bertepatan keluarnya Donny, satu nasabah sampai di depan Rima. Si perempuan manis itu kembali sibuk melayani nasabahnya yang semakin ramai saat jam makan siang. Pegawai front office seperti dirinya pasti memiliki jam makan siang yang fleksibel alias tak sama seperti jam makan siang kantor pada umumnya. Terlebih di jam makan siang biasanya bank malah lebih ramai oleh nasabah.
"Pak Yusuf." Rima menoleh ke belakang, si pria yang sejak tadi berada di belakang mereka menghampiri dengan cepat. "Minta kodenya." Lanjut Rima.
Menunduk dan mencocokan kode miliknya pada layar komputer Rima, si perempuan menggumam terima kasih dengan pelan.
"Transaksinya sudah berhasil ya Pak, terima kasih." Menambahkan anggukan ramah pada pria paruh baya di depannya, Rima turut menghadirkan senyum cerahnya.
"Pak Yusuf.." Rima kembali memanggil, dan panggilan itu terus berulang 2 kali sampai jam satu terlewati. Tepatnya setelah Donny dan Rosa menyelesaikan makan siang mereka. Karena Yusuf mengisi posisi kepala divisi teller, segala transaksi yang melebihi batas wewenang teller, Yusuf sebagai head teller akan mengambil alih wewenang itu sampai limitnya juga.
"Sana makan siang Rima, dan ini tadi 10ribunya ya. Thanks." Menerima sepuluh ribu yang disodorkan Rosa, Rima memasukkanya ke laci di bawah meja kerjanya.
"Aku makan siang dulu ya Mbak." Pamit Rima.
"Bareng saya Rim." Sela Yusuf yang sudah berdiri dari kursinya. "Nanti telepon saya aja ya kalo butuh." Rosa dan Donny mengangguk mengerti—sudah biasa dengan kondisi yang begini.
Berjalan keluar dari tempatnya, Yusuf mengekori Rima dalam diam—jangan lupakan senyum cerah si pria yang tercetak ssmpurna ditiap langkah yang ia ambil.
"Mas Yusuf mau makan siang apa?" Tanya Rima—dengan panggilan non-formalnya karena paksaan Yusuf, dirinya memikirkan kemungkinan mereka berdua memiliki menu yang berbeda untuk disantap dan itu berarti kesempatan yang bagus untuk Rima.
"Saya ikut kamu aja Rim. Kamu makan soto apa tongseng?" Rima tersenyum kaku, bukannya bagaimana. Hanya saja Yusuf ini terlalu jelas menunjukkan ketertarikannya. Si pria tau hampir semua kebiasaan dan kesukaan Rima. Menjadi rekan kerja selama 5 tahun, membuat Yusuf merasa cukup mengenal Rima—kecuali tentang isu pernikahannya yang ditutupi. Dan membuat si pria memiliki kepercayaan diri yang lebih besar.
"Saya lagi pengen bakso Mas." Bersiap keluar dari pintu samping tempatnya bekerja, Rima dan Yusuf bertemu dengan Jeje di balik pintu.
"Eh Mas Yusuf, Rima. Baru mau makan siang?" Tanya Jeje ramah. Dirinya baru berniat kembali setelah menghabiskan waktu makan siang dengan Rosa—si perempuan sudah kembali lebih dulu.
"Iya nih. Baru dapat giliran."
"Wokeh kalo gitu Mas, duluan ya. Rima, duluan." Pamit Jeje melewati keduanya agar bisa mencapai pintu.
"Sepertinya mereka mau menikah." Rima menoleh pada Yusuf yang tingginya terlalu sulit digapai. Apalagi kini Rima sudah mengganti heelsnya dengan sandal tipis. "Itu loh Jeje sama Rosa. Kepala cabang mulai diskusi siapa yang sebaiknya di mutasi." Lanjut Yusuf. Tak seperti Rima yang tertutup akan semua hal yang berhubungan dengan pribadi—bahkan pekerjaan, Yusuf itu selalu menceritakan segalanya pada Rima. Bahkan tentang keluarganyapun Rima tau.

YOU ARE READING
end | GRAVITY
FanfictionRasanya terlalu sulit mengabaikan perempuan sesempurna dia kan? -Keanu Abraham Available pdf. Cover berasal dari pinterest.