Mungkinkah Bobby bermaksud untuk menenangkan June? June tidak tahu. Andaikan memang begitu, usahanya tidak berhasil. Bukannya menjadi tenang, June malah semakin gugup. Berdasarkan info yang baru saja disampaikan Bobby, banyak orang sudah melihat katalognya. Itu artinya banyak orang sudah menyaksikan foto-foto June yang nyaris telanjang dengan berbagai ekspresi yang tidak senonoh.
Oh my God.
Ia buru-buru memasukkan amplop berisi katalog ke dalam tas kuliahnya, diam-diam berdoa semoga muncul lubang hitam di dasar yang menyedot katalog itu menuju alam antah-berantah.
Gimana kalo sekarang gue cari tanah kosong lalu mengubur diri sendiri?
Sementara June sibuk menimbang-nimbang tingkat efektivitas membuat liang kubur dengan cangkul, waiter datang membawakan makanan dan minuman pesanan mereka. Wangi yang menguar dari berbagai macam hidangan mengalihkan pikirannya yang kalut, mengundang perutnya untuk menyelenggarakan konser, menggerung-gerung riuh-rendah tanpa ampun.
"Langsung aja, Jun, ambil yang mana yang lo mau," Bobby mempersilakan. Ia sendiri mengambil piring berisi pasta berkuah putih, yang June duga adalah carbonara pasta yang dipesan tadi.
Sedetik kemudian, June meraih sepotong pizza, lalu melahapnya.
Urusin perut dulu, deh. Kubur dirinya belakangan.
▪︎▪︎▪︎
"Jun, jujur, deh."
June meletakkan gelasnya yang isinya hanya tinggal es batu. Benaknya langsung dipenuhi perasaan waswas.
"Jujur soal apa, Bob?"
Ujung bibir Bobby sebelah kanan tertarik ke atas, kedua matanya menatap tajam ke arah June.
"Lo punya kecenderungan masokis, ya?" tanya Bobby.
Jantung June serasa mengerem mendadak, yang menyebabkan dirinya terlempar melawan gravitasi. Ia memasang wajah bingung, pura-pura tidak tahu. "M-maksudnya gimana, Bob?"
Tawa Bobby yang (masih) terdengar seperti kucing terjepit pintu terdengar sesaat. "Mau dijabarin, ya? Masokis itu artinya lo senang dengan hal-hal yang menyakiti diri lo. Lo terangsang saat lo berada dalam situasi yang membuat lo menderita atau tidak berdaya. Seperti misalnya ketika gue mengikat lo, menyumpal mulut lo, lalu ketika gue..."
"Stop, stop!" June memekik panik. Ia menoleh ke kanan-kiri, khawatir ada yang tanpa sengaja mencuri dengar.
Bobby tertawa lagi, kali ini lebih keras. "Tenang aja," katanya santai. "Yoyo dan staf-stafnya udah tau kerjaan gue apa. Mereka nggak bakal kaget lagi kalo denger gue ngomongin yang aneh-aneh."
"T-tapi kan..." June menunduk, yakin bahwa wajahnya pasti merah seperti udah rebus.
Lagi-lagi, Bobby tertawa. Ingin rasanya June menutup mulutnya menggunakan serbet. Seenaknya saja tertawa di atas penderitaan orang.
"Maaf, ya, Jun. Tapi lo gemesin banget, sumpah."
June mengangkat kepala, bingung menatap Bobby. Random banget ini orang, kok tiba-tiba bilang gemes???
"Pertama kali gue ketemu lo, gue pikir, ini anak polos banget. BDSM aja nggak ngerti, masa iya daftar jadi model katalog?" ujar Bobby. "Ketika lo tandatangan kontrak, gue agak merasa bersalah karena gue seakan menjerumuskan seorang anak nggak bersalah ke dalam dunia hitam."
Emang iya! Gara-gara lo gue jadi nggak suci lagi!
Eh. Nggak gitu, sih.
"Tapi, di luar dugaan, lo betul-betul menjalani sesi sesuai kontrak. Tanpa protes lo menghadapi momen demi momen yang pastinya menyiksa banget untuk orang biasa yang nggak tau apa-apa. Bahkan, kalo gue boleh bilang, lo menikmati apa yang gue lakukan pada lo."
YOU ARE READING
Part Time Job
FanfictionJune butuh uang, dan ia butuh segera. Orangtuanya tidak bisa mengirimkan uang bulanan, sedangkan iuran kostnya sudah menunggak selama 3 bulan. Ibu kost sudah mengancam akan mengusirnya apabila ia tidak segera membayar. Putus asa, secara kebetulan i...
Part 4 (Epilog)
Start from the beginning
