"Hai, Bob!" sapa orang itu, tersenyum lebar. Ia hanya mengangkat wajah, sementara kedua tangannya sibuk mengoperasikan sebuah mesin yang June duga adalah pembuat kopi. "Tumben siang-siang? Hanbin mana?"
"Jaga toko," jawab Bobby sambil terkekeh. "Kenalin, ini June. Jun, ini Yoyo, yang punya kafe."
Senyum pria itu semakin lebar, kini ditujukan kepada June. "Halo. Sori, aku mau salaman tapi nggak bisa," katanya ramah. "Ini mesinnya lagi kumat, ngadat. Biasa, manja, minta dielus sama yang punya."
June mengangguk canggung. "Iya, nggak apa-apa. Salam kenal, Bang."
Yoyo tertawa. "Jangan panggil Bang, panggil aja Yoyo," katanya. "Ya udah, duduk dulu. Menunya nanti dibawain sama waiter, ya."
"Oke. Thanks, ya," jawab Bobby seraya berlalu, tangannya menarik lengan June yang hanya bisa tersandung-sandung mengikutinya.
Bobby menuntunnya ke sebuah meja di dekat bar yang sedikit tersembunyi, terlindungi oleh sepasang pot berisi tanaman yang menjulang. Ia menarik salah satu kursi, lalu mempersilakan June duduk dengan gaya ala pangeran dari negeri dongeng.
June membelalak dan buru-buru duduk, sebelum ada yang melihat. Nah, kan. Udah tau efek yang diakibatkan oleh seseorang bernama Bobby segini dahsyatnya, kenapa juga masih mau ngikut waktu diajak?
Tepat setelah Bobby duduk di kursi di hadapannya, seorang waiter datang menghampiri meja mereka. Di tangannya tersedia sebuah unit iPad yang gunanya untuk mencatat pesanan mereka.
Setelah Bobby memesankan makanan untuk mereka (Carbonara pasta? Carne asada pizza? Tomato and basil bruschetta? June cuma berharap lidahnya yang terbiasa dengan siomay, bakso dan nasi goreng tidak bakal terkaget-kaget mencicipi semua makanan asing itu), sang waiter pergi meninggalkan mereka berdua.
June menggigit bibir, gugup. Segala macam basa-basi yang bisa dipikirkan otaknya sudah ia keluarkan tadi selama perjalanan dari kampus menuju ke kafe ini. Apa iya ia harus menanyakan kabar Bobby lagi? Atau membahas cuaca yang jelas-jelas panas terik?
Sebelum ia dapat memikirkan topik yang bisa dibicarakan, Bobby tiba-tiba berseru, "Oh iya!", dan mulai merogoh tas kanvas jinjing yang dibawanya. Sesaat kemudian, ia mengeluarkan selembar amplop besar berwarna coklat. Isinya kelihatannya sesuatu yang tidak terlalu tebal, seperti sebuah buku atau majalah.
June terkesiap. Pasti itu...
"Katalognya," ucap Bobby, seakan-akan menyambung dugaan yang muncul di benak June. "Bagus banget, lho, jadinya!"
June menatap amplop yang disodorkan Bobby dengan perasaan yang sulit dijabarkan. Separuh ngeri, separuh penasaran. Walau malunya setengah hidup, ia ingin tahu hasil pemotrerannya jadi seperti apa.
Akhirnya, dengan tangan gemetar dan jantung yang berdebar-debar tidak karuan, ia menerima amplop tersebut, lalu membukanya. Keberaniannya hanya sampai batas mengintip isi katalog dari ujung amplop. Tidak banyak yang bisa dilihatnya. Meski begitu, itu sudah cukup untuk membuatnya panas luar-dalam, tubuhnya serasa disetrum, dan otaknya korslet karena kelebihan tegangan.
Cepat-cepat ia menutup amplop, kemudian menyodorkannya kembali ke Bobby. Rasanya, semakin lama ia memegang amplop tersebut, semakin terbakar seluruh badannya.
"Ini buat lo, simpen aja," kata Bobby sambil menyengir. "Kalo takut ketauan ortu, jangan dikeluarin dari amplop. Atau lo sembunyiin di dalem lemari."
"Ta-tapi..."
Bukan itu masalahnyaaa!
Cengiran Bobby meleleh menjadi sebuah senyuman kecil. Ia bicara lagi dengan suara yang lembut, "Malu, ya? Nggak usah malu. Lo keren banget di foto-foto itu. Bahkan, berkat katalog baru itu, orderan toko gue jadi meningkat pesat."
YOU ARE READING
Part Time Job
FanfictionJune butuh uang, dan ia butuh segera. Orangtuanya tidak bisa mengirimkan uang bulanan, sedangkan iuran kostnya sudah menunggak selama 3 bulan. Ibu kost sudah mengancam akan mengusirnya apabila ia tidak segera membayar. Putus asa, secara kebetulan i...
Part 4 (Epilog)
Start from the beginning
