June butuh uang, dan ia butuh segera. Orangtuanya tidak bisa mengirimkan uang bulanan, sedangkan iuran kostnya sudah menunggak selama 3 bulan. Ibu kost sudah mengancam akan mengusirnya apabila ia tidak segera membayar.
Putus asa, secara kebetulan i...
Benar sekali. Rambut Bobby kini berwarna ungu. Di bawah terpaan cahaya matahari yang terang-benderang, tampak berbagai macam semburat warna ungu berkilauan di kepalanya. Mirip kayak gulali rasa tutti frutti yang baru keluar dari mesin pembuat gulali terus langsung dihembus angin, melambai-lambai. Keliatan manis banget. Untung nggak sampai dikerubungin semut.
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Gegara rambut ungunya itu, June tidak heran pria itu jadi pusat perhatian. Bukannya di kampus June tidak ada yang mewarnai rambut, tapi baru sekarang muncul manusia yang warna rambutnya se-mencolok ini.
Tapi, ngapain dia di sini??? Bukannya urusan gue sama dia beserta toko laknatnya itu udah kelar?
Seakan-akan dapat mendengar cuitan bingung di dalam kepala June, tiba-tiba saja Bobby menoleh tepat ke arahnya. Dan seketika, sebuah senyum super lebar lengkap dengan gigi kelinci yang berkilauan muncul ke permukaan wajah Bobby (June berani sumpah dia mendengar koor serempak suara-suara melengking, "IMUT BANGEEEET!").
Lalu, Bobby melambaikan tangan sambil berseru riang, "Juneeee!"
Rasanya June ingin bumi di bawah kakinya terbelah dan menelannya bulat-bulat. Malunya setengah mati. Puluhan pasang mata kini terarah kepadanya, sebagian bahkan berkomentar keras-keras, "Itu orang kenalannya June?!", "Dih, June nggak bilang-bilang punya temen cakep gini!", "Bisa kali, Jun, bagi-bagi nomer temennya!".
Meskipun June sudah berdoa sekuat tenaga, sayangnya bumi tak menghiraukan permohonannya. Ia masih tetap berada di tempatnya, berdiri dengan canggung di tengah-tengah sorot mata banyak manusia. Situasi semakin diperparah ketika Bobby berjalan dengan gaya swag-nya mendekati dirinya.
Donghyuk melontarkan protes di sampingnya, yang mungkin berbunyi, "Bangke lo, tadi ngomong nggak kenal!", tapi perhatian June sama sekali tidak terarah kepada temannya itu. Matanya terpaku ke arah Bobby, yang kini hanya berjarak tiga langkah darinya. Dengan tangan melambai dan cengiran yang semakin lebar, ia menghampiri June.
"Hai, Jun!" sapanya. "Akhirnya nongol juga lo. Gue udah nungguin dari tadi."
June bermaksud untuk membalas dengan, "Kenapa lo nggak telpon dulu?", atau "Emang ada urusan apa lagi sama gue?". Tapi yang keluar dari mulutnya hanyalah, "Hah...?"
Ia hampir lupa efek dahsyat yang ia rasakan jika berada dalam jarak dekat dengan manusia yang satu ini. Setelah malam itu, dimana ia berjalan terburu-buru meninggalkan toko Double B, ia yakin betul ia tidak akan bertemu dengan Bobby lagi. Dengan begitu, ia tidak perlu khawatir memikirkan resiko jantungnya copot dari rongga dadanya dan menyebabkan ia menggelepar-gelepar di lantai seperti ikan terdampar di daratan.
Tapi nyatanya takdir berkata lain. June curiga takdir sedang mengejeknya, "Nih, gue kasih si Bobby! Gue mau liat, gimana reaksi lo!"
"Apa kabar, Jun? Sehat, kan?" tanya Bobby, yang tampaknya sama sekali tidak menangkap kegugupan June.
June mengangguk, masih sadar betul akan puluhan pasang mata yang terarah kepadanya, termasuk di antaranya Donghyuk. "A-ada perlu apa, Bang? Eh, Bob?"